Artikel GARDA ERA

Home
Perpustakaan 
Artikel


 



Ambivalensi Kenaikan GWM
Oleh Davy Hendri 

Sebuah beleid baru berupa kenaikan GWM (Giro Wajib Minimum) bagi dunia perbankan yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No.6/15/PBI/2004  diluncurkan pada akhir Juni 2004. Beleid baru ini diharapkan dapat meningkatkan volume kredit serta menarik rupiah yang selama ini berlebih di pasar  dan dicurigai sebagai lahan untuk spekulasi valuta asing (valas). Agaknya BI merasa perlu mengeluarkan beleid ini setelah kegagalan instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dalam mengemban amanat tugas di atas. Pertanyaannya adalah mengapa instrumen SBI  dikatakan gagal ? 

Credit Crunch

Kalau sekedar untuk menarik ekses likuiditas dari dunia perbankan, maka instrumen SBI ini akan sangat efektif sekali. Sebagaimana kita ketahui sejak pasca krisis sampai sekarang pendapatan bunga dari SBI masih menjadi sumber pendapatan terbesar dari perbankan nasional dan jumlah penempatannya terus meningkat. Namun masalahnya adalah ketika BI terus saja membayar bunga SBI dan Fasbi kepada pihak perbankan dalam faktanya pendapatan itu tidak kunjung menyentuh sektor riil. Malah pendapatan itupun ditempatkan kembali di BI. Siklus inilah yang berlansung terus menerus tanpa melibatkan sektor riil.

Terkait dengan upaya untuk merestrukturisasi sektor riil, beberapa waktu lalu BI mulai berinisiatif untuk menurunkan suku bunga SBI menjadi di bawah dua digit. Diharapakan dengan semakin rendahnya pendapatan bunga SBI, pihak perbankan akan terdorong untuk mulai mengekstensifkan penggelontoran kredit sebagai sumber pendapatan bank. Namun tetap saja rendahnya kapasitas kredit masih menjadi sebuah permasalahan mendasar dalam dunia perbankan sampai sekarang. Hal ini ditengarai sudah mengarah kepada fenomena netralitas uang (money neutrality).  Dalam dunia  perbankan, hal ini ditunjukkan salah satunya oleh fakta credit crunch, yaitu suatu keadaan di mana saat bank mengalami kelebihan likuiditas, bank hanya menyalurkan kredit dalam jumlah yang sedikit dari potensi permintaannya. Untuk itulah kemudian BI mulai mengkombinasikan instrumen SBI ini dengan kenaikan GWM.  Kenapa kemudian BI menjatuhkan pilihan pada kenaikan GWM ?

Menyiasati Kenaikan GWM

GWM tak lain adalah suatu porsi tertentu dari dana pihak ketiga (DPK) berupa tabungan, deposito dan giro yang tidak boleh dipinjamkan oleh pihak perbankan dan harus disimpan pada bank tersebut atau bank sentral. Satu hal yang mesti diingat bahwa karena fungsinya ini maka dana tersimpan tersebut tidak akan mendatangkan hasil (yield) apapun bagi perbankan. Sebagai cadangan, dana ini hanya akan dapat  digunakan sesuai regulasi BI. Jika likuiditas perbankan dianggap berlebih, maka BI dapat menyerapnya dengan menaikkan besaran GWM. Demikian pula sebaliknya.

Terkait dengan itu, tentu perbankan harus mengupayakan berbagai strategi jitu untuk mempertahankan performa kinerja keuangannya. Guna pencapaian tujuan beleid kenaikan GWM tadi dalam konteks situasi dan kondisi dunia perbankan terkini maka ada baiknya kita menganalisa beberapa opsi strategi yang kira-kira dapat dilakukan pihak perbankan (InfoBank, No. 304, Juli 2004).

Satu, mengurangi DPK dengan cara menurunkan suku bunga simpanan. Untuk menyiasati  pertambahan beban cost of fund karena semakin besarnya dana menganggur maka perbankan harus mulai memikirkan upaya untuk mengurangi DPK (tabungan dan deposito) secara alamiah dengan menurunkan bunga simpanan. Sehingga diharapkan produk-produk tabungan dan deposito perbankan menjadi tidak termasuk lagi ke dalam pilihan portfolio investasi masyarakat.

Namun, jelas tidak ada satupun bank yang bersedia mengambil opsi ini, terutama bank-bank yang sedang dalam masa konsolidasi memenuhi ketentuan CAR (Capital Adequacy Ratio) sesuai visi API (Arsitektur Perbankan Indonesia). Upaya ini akan menjadi sebuah upaya legalitas bunuh diri. Kenapa ?. Karena, jelas DPK masih menjadi tulang punggung dalam upaya pembentukan keuntungan dalam dunia perbankan, walaupun secara tidak lansung. Singkat kata, hanya bank dengan  kemampuan rentabilitas (Return On Asset dan Return On Equity) yang baik yang akan dilirik oleh para investor. Bisa dikatakan bahwa upaya mengurangi DPK akan berkorelasi negatif secara tidak lansung dengan pertumbuhan CAR. Jadi jelas, bahwa bukan untuk tujuan ini beleid kenaikan GWM dikeluarkan oleh BI.

Dua, mengubah struktur DPK dari dana mahal ke dana murah. Ini dapat dilakukan  dengan dua cara. Cara pertama sudah dipaparkan secara gamblang  pada poin pertama di atas. Maka hal kedua, yang dapat dilakukan adalah merubah dominasi produk penghimpunan dana, dari dominasi deposito kepada tabungan. Upaya ini lebih terasa lebih logis dibanding strategi pertama. Namun harus diingat bahwa ada beberapa konsekuensi besar yang harus ditanggung pihak perbankan terkait opsi strategi ini. Dalam suasana kompetisi sengit antar 81 buah bank pada kelas dengan kegiatan usaha terfokus (terutama kredit konsumsi dan ritel), hal ini juga mengundang risiko tersendiri. 

Lebih parah lagi, jika strategi ini tidak dibarengi dengan kompensasi keuntungan di sisi lain  maka bank akan ditinggalkan nasabahnya. Memang, melawan mainstream pemasaran produk perbankan (tabungan dan deposito) dengan iming-iming tingginya yield yang dianut dunia perbankan saat ini hanya dapat dilakukan dengan menciptakan nasabah yang loyal (loyal customer).  Terus terang, hal inipun sebenarnya tidak murah dan mudah.

Tiga, mendorong kredit yang bermargin lebih bagus agar benar-benar tidak mengurangi peluang menarik margin. Sebagai sebuah upaya meningkatkan rentabilitas di saat dana berlebih maka opsi strategi inilah sebenarnya yang menjadi tujuan akhir kebijakan kenaikan GWM. BI menginginkan dalam kondisi yang  tidak kondusif saat ini, pihak perbankan semakin cerdas dalam memanage dan mendiversifikasikan kredit yang diberikannya sebagai upaya percepatan pemulihan restrukturisasi sektor riil.

Namun, disinilah masalahnya. Ada pesimisme yang terkandung di sini. Berkaca pada sejarah sejak pasca krisis  sampai sekarang dan belum ditemukannya momentum yang tepat maka bisa diprediksi bahwa result dari strategi ini akan bernasib bak jauh panggang dari api. Alih-alih melakukan eskpansi kredit untuk menggerakkan sektor riil, dikhawatirkan perbankan malah memilih strategi untuk jor-joran di kredit konsumsi. Laju kredit konsumsi itu mengakibatkan kredit ini mendominasi pasar kredit perbankan sejak dua tahun terakhir ini (InfoBank, No. 304, Juli 2004).

Nah, walaupun kebijakan kenaikan GWM tadi dikatakan masih diselamatkan bila perbankan untuk berupaya full pada kredit konsumsi ini, namun dibalik itu  ada sebuah bahaya besar  yang menanti. Laju pertumbuhan (hutang) kredit untuk konsumsi yang hampir mengikuti kaedah deret ukur ini rawan akan potensi untuk menciptakan krisis baru bila tidak dimanage dengan baik oleh otoritas moneter. Oleh karena itu, pemerintah (dengan dukungan IMF) malah sudah merencanakan untuk mambatasi ruang gerak bisnis kartu kredit yang sekarang mulai memasuki titik rawan dan melamban. Tentu saja, wacana kontra-produktif ini akan menuai perlawanan keras dari kalangan perbankan yang sudah lama melakukan investasi dalam bisnis kartu kredit.

Empat, melakukan efisiensi dibanyak hal, khususnya di tingkat cabang. Jika diasumsikan ketiga upaya di atas tidak bisa menolong dalam upaya mempertahankan (maintaining) performa bank sebagai implikasi kenaikan GWM, maka bank harus dapat melakukan langkah radikal berupa penghematan biaya operasional, sehingga indikator BO/PO (Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional) tetap menarik di mata calon investor. Tapi, bukan hal mudah melakukan langkah itu. Sebab, bank-bank sekarang terbiasa bersikap apatis dengan langkah berputar-putar di pasar uang. 

Kesimpulan

Dari paparan di atas kemudian kita bisa menyimpulkan bahwa tujuan kenaikan GWM untuk meransang ekspansi kredit melalui beberapa strategi di atas, diprediksi tidak akan tercapai. Bahkan bisa dikatakan bila asumsi pra-kondisi saat ini tidak berubah (cateris paribus), beleid tersebut malah dalam jangka pendek akan memperburuk performa perbankan. Lantas, bagaimana pula dampaknya dalam jangka panjang ?. Entahlah, namun yang pasti agaknya pengaruh faktor-faktor  eksternal-ekonomis berupa gejolak mata uang global dan internal-politis berupa pemilu Pilpres putaran 2  masih akan berpotensi untuk berkontribusi negatif.

Dengan demikian untuk menghindari ambivalensi ini BI perlu memikirkan kebijakan lain. Kalau GWM dan SBI sebagai instrumen moneter dinilai cukup efektif  untuk mengendalikan likuiditas dan rupiah, maka di saat  yang bersamaan mereka tidak bisa dijadikan alat untuk meransang ekspansi kredit yang jelas-jelas terkait erat dengan kebijakan sektor riil dan fiskal. Untuk itu masih belum cukup layakkah wacana reformasi sektor riil dan fiskal mendapat sokongan kita bersama ?.

Pegiat pada Yayasan GARDA ERA
Dosen pada Akademi Ekonomi Syari’ah Adzkia, Padang

Link
IMZ

Tazkia Institute

Domper Dhuafa

Muamalat Institute

Bank Syariah
Mandiri

Baitul Maal

BMT Link

Islamic Finance

Asuransi Takaful

OKI

Majalah Modal
Bank Muamalat