|
||
|
||
|
Ada Apa dengan Data BPS? Tanggal 1 Oktober 2005 kemaren, dana kompensasi khusus kenaikan harga BBM untuk 3 (tiga) bulan pertama telah disalurkan. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya oleh berbagai pihak, ditemukan banyak sekali permasalahan di lapangan terkait dengan program bantuan tunai lansung (BTL) sejumlah Rp. 300 ribu per tiga bulan ini. Jika diurai, sejak dari penentuan kategori keluarga miskin (penerima manfaat), pendataan sampai kepada mekanisme distribusi, program ini penuh dengan pernak-pernik permasalahan. Validitas Data BPS Untuk pengalaman pertama kali ini, kelemahan-kelemahan karena alasan teknis tadi mungkin masih bisa dimaafkan. Masih banyak ruang untuk perbaikan sehingga diharapkan program ini tetap bisa mencapai tujuan utamanya yaitu menekan jumlah penduduk miskin, secara optimal. Namun, permasalahan mendasar yang sangat penting dan dapat mengganggu keberhasilan program ini adalah salah sasaran (mis-targeting). Semakin banyak kasus yang ditemui berarti semakin tidak efektif program BTL ini. Pada program subsidi dengan target penerima manfaat pada kelompok tertentu, masalah mis-targeting ini merupakan potensi laten (Hoddinot, 2001). Mis-targeting dapat terjadi dalam 2 (dua) bentuk kasus. Pertama, kelompok masyarakat yang seharusnya memperoleh manfaat program tidak “tersentuh” oleh program (errors of exclusion). Kedua, kelompok masyarakat yang seharusnya tidak mendapat bantuan program, dalam kenyataannya malah memperoleh manfaat dari program (errors of inclusion). Jika pada kasus pertama, program tidak menjangkau semua kelompok yang sudah ditargetkan (under coverage) maka pada kasus kedua, telah terjadi kebocoran manfaat program (leakage). Dalam hal ini, 2 (dua) faktor utama yang amat menentukan tingkat rendahnya cakupan dan kebocoran manfaat program adalah indikator yang digunakan untuk menentukan kelompok penerima program dan besaran dana yang tersedia untuk membiayai program. BPS (Badan Pusat Statistik) menjelaskan bahwa untuk menangkap kondisi kemiskinan sebuah rumah tangga mereka menggunakan lebih dari 12 item indikator. Secara logika, jelas bahwa semakin banyak indikator yang digunakan diharap bisa semakin menutupi “lubang-lubang kesalahan” yang mungkin akan timbul dalam upaya memaknai kesejahteraan sebuah rumah tangga secara tepat. Pertanyaannya adalah apakah indikator yang digunakan oleh BPS cukup valid untuk menangkap dengan baik berbagai realita kemiskinan dalam masyarakat ?. Kalau ya, lantas mengapa di lapangan masih ditemui berbagai kasus mis-targeting tadi ?. Apa yang salah ? Bias Indikator Kemiskinan Memang tidak ada yang salah dengan konsep dan indikator kemiskinan yang digunakan BPS. Yang ada adalah bias pada penyusunan detail variabel yang menjadi wakil (proxy) atas sebuah indikator. Uraian di bawah ini akan menjelaskan paling tidak 2 (dua) kerumitan penarikan proxy yang berujung pula pada penarikan kesimpulan yang tidak tepat tentang kondisi kesejahteraan (miskin atau kaya) sebuah rumah tangga. Pertama, indikator tentang jumlah penghasilan sebuah rumah tangga dalam satu waktu. Isu besaran penghasilan memang sebuah isu sensitif, karena berbagai alasan. Lumrah bila kemudian masyarakat memberikan data yang lebih rendah (underestimate) dari data yang sebenarnya. Untuk menyiasati masalah ini, biasanya berbagai penelitian yang terkait dengan isu ini kemudian mewakilkannya dengan indikator jumlah pengeluaran dalam waktu tersebut. Logika ekonominya memang benar, bahwa semakin besar penghasilan seseorang maka akan semakin besar pengeluarannya. Namun, juga harus diingat bahwa kencendrungan menabung (persentase tabungan terhadap total penghasilan) bagi orang-orang yang secara ekonomi lebih baik, juga akan semakin besar. Jadi, intinya adalah pengeluaran mereka tentu tidak serta merta mencerminkan kekayaan mereka yang sesungguhnya. Kedua, indikator konsumsi barang atau jasa dalam sebuah rumah tangga. Dalam hal ini, perkembangan berbagai jenis barang konsumsi yang sangat cepat terutama pada barang mewah seperti alat-alat elektronik mengharuskan indikator keranjang konsumsi BPS untuk diperbaharui setiap waktu. Semakin sejahtera seseorang, secara rasional mereka akan selalu meningkatkan konsumsinya baik secara kualitas maupun kuantitas. Realitas sehari-hari menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan menyebabkan konsumen cenderung untuk mengkonsumsi barang dengan kualitas yang lebih baik (deepen) dari sebelumnya. Selanjutnya, mereka juga akan mencoba untuk mengkonsumsi berbagai jenis barang atau jasa lainnya yang mungkin belum pernah mereka komnsumsi sebelumnya (widen). Nah, adakah list indikator tadi menguak pertanyaan tentang kualitas beras dan bahan makanan pada sebuah rumah tangga ?. Apakah list pertanyaan tentang barang-barang elektronik yang dimiliki mencantumkan DVD atau MP3 ? Upaya Perbaikan Oleh karenanya, terkait dengan upaya untuk mencegah kebocoran dan keterbatasan cakupan program BTL ini, ada beberapa usulan yang layak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pertama, membagi jumlah penerima manfaat berdasarkan jangka waktu tertentu sebagai upaya mencegah kebocoran yang semakin tinggi. Jadi semakin sedikit penerima manfaat pada suatu waktu maka tentu akan semakin memudahkan upaya pengawasannya. Strateginya bisa dilakukan dengan membagikan BTL kepada sebanyak 15,5 juta KK tadi ke dalam beberapa gelombang pula. Misalkan untuk tahun 1 ini saja hanya ada sekitar 5 juta KK penerima BTL Begitu pula selanjutnya pada tahun ke-2 dan ke-3. Kedua, mempersiapkan data primer tentang angka kemiskinan di seluruh Desa (Endang Srihadi, 2005). Yang dimasud data primer di sini adalah hasil pendataan ulang pemerintah yang dimulai dari tingkat kelurahan, bahkan kalau perlu dari tingkat RT. Kenapa ini perlu?. Karena bisa jadi data dari Biro Pusat Statistik (BPS) yang tersedia di masing-masing daerah saat ini belum tentu sama dengan realitas di lapangan. Paling tidak data dari BPS hanya menjadi panduan sementara. Selebihnya harus ada penelusuran dan verifikasi data di lapangan Ketiga, membuat rumusan bersama antar berbagai pemangku kepentingan tentang kategori keluarga miskin. Apa yang dimaksud dengan keluarga miskin. Patokan miskin di setiap daerah tentu berbeda. Dan hal itu tidak bisa disamakan. Selain itu isu-isu kemiskinan merupakan isu yang sangat kompleks dan lintas sektor. Teori-teori pembangunan terkini selalu meletakkan keterkaitan kajian kemiskinan dengan isu kesehatan, pendidikan dan budaya. Apakah patokan miskin dari BPS sudah dianggap representatif untuk digeneralisasi ke setiap wilayah ?. Penutup Program BTL ini merupakan taruhan politik yang amat mahal bagi legitimasi pemerintahan ke depan. Oleh karenanya, segala kelemahan baik teknis maupun non-teknis terkait dengan program ini harus segera diperbaiki. Kita berharap semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) seperti pemerintah, perguruan tinggi, NGO dan masyarakat dapat saling berbagai ide dan pengalaman dan menjadikan perumusan poin-poin penting di atas sebagai sebuah agenda kerja ke depan. Walaupun kita juga belum bisa memastikan tingkat keberhasilan program ini, paling tidak kita semua harus bertekad untuk mencegah pengulangan kebocoran dana APBN sebagaimana yang pernah terjadi dalam berbagai program subsidi sebelumnya. (Dimuat di kolom Opini HU REPUBLIKA, Senin 10 Oktober 2005)
Pegiat
pada Yayasan
GARDA ERA,
|
Link
|