Artikel Garda Era

Home
Perpustakaan
Artikel

 


 



Depresiasi Rupiah dan Dualitas Nilai Tukar 
Oleh Davy Hendri 

Nilai tukar rupiah ambruk !. Itulah berita utama yang mendominasi berbagai media massa sepanjang tahun 2005 kemaren. Jika pada bulan Mei 2005 nilai tukar rupiah berada pada kisaran 9.545 per dolar AS maka pada penutupan perdagangan 24 Agustus 2005 kemaren rupiah berada pada posisi 10.165 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah kali ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di pasaran dunia hingga mencapai US$ 66,26 per barel. Terkait dengan hal itu, keterbatasan anggaran pemerintah untuk terus-menerus mensubsidi BBM ini dipersepsi oleh para pelaku pasar akan memicu inflasi.  

Pesimisme terhadap BI

Depresiasi rupiah kali ini telah meresahkan semua pihak, baik para pelaku pasar maupun pemerintah. Kepanikan yang juga tercermin dari anjloknya IHSG secara signifikan (turun 30,647 poin) ini secara tersirat menunjukkan pesimisme para pelaku pasar terhadap keampuhan jurus-jurus BI dalam meredam kejatuhan nilai tukar rupiah. Sebagai otoritas moneter, sejak Maret 2005 hingga pertengahan Agustus 2005, BI telah menaikkan SBI setiap kali lelang dengan total kenaikan 133 basis poin dari 7,42 % menjadi  8,75 %. Padahal jika dielaborasi, fakta menunjukkan bahwa rata-rata dalam 1  bulan, rupiah telah terdepresiasi sebesar 1,5 % terhadap dollar AS  (Media Indonesia, 25 Agustus 2005).  

Di sisi lain, adalah wajar, jika pemerintah juga sangat resah dengan fenomena ini.  Sebagai presiden baru, SBY, diwarisi berbagai fundamental ekonomi makro yang sangat buruk, terutama dua hal yaitu defisit anggaran dan jumlah pengangguran yang sangat besar.  Sementara itu untuk mengelola  dua isu pokok makroekonomi ini dibutuhkan  pula prasyarat kestabilan nilai tukar dan rendahnya inflasi. Hal mana setelah masa independensi BI, tidak bisa lagi diutak-atik oleh pemerintah.  

“Kisruh” di sektor moneter ini secara tidak lansung tentu akan membuka peluang  bagi kegagalan berbagai implementasi rancangan asumsi dasar makroekonomi bagi program-program pembangunan. Ketika  pemerintah kemudian harus seringkali melakukan penghitungan ulang asumsi dasar anggaran negara, bagaimana mungkin implementasinya di lapangan akan berjalan dengan baik ?. Oleh karenanya kemudian, presiden SBY merasa perlu mengadakan pertemuan dengan gubernur BI beberapa waktu yang lalu sebagai langkah  awal konsolidasi BI-pemerintah dalam menghadapi kondisi ini.  

Walaupun pemerintah kemudian memilih opsi yang cukup moderat dengan menaikkan harga BBM awal tahun 2007 nanti sebagai respon untuk meredam kejatuhan rupiah lebih jauh namun juga santer terdengar desakan agar pemerintah menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) mencabut rezim devisa bebas.  Sebagian pihak menyimpulkan bahwa hanya dengan merevisi Undang-undang No. 29/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, maka Indonesia dapat terhindar dari krisis mata uang. Benarkah demikian ?.  

Dualitas ekonomi

Pada hakikatnya, indonesia sedang mengalami transisi perekonomian dari  dominasi sektor rural-agraris-tradisional  menuju sektor urban-industri-modern. Data statisitik yang ada menyimpulkan bahwa sejak dimulai tiga dasawarsa silam  transformasi itu masih berjalan sampai sekarang dan belum selesai. Bahkan hantaman krisis ekonomi di awal milenium baru mampu menghentikan laju agenda tranformasi tersebut.  Sebagai catatan penting, malah di masa krisis tersebutlah, sektor  rural-agraris-tradisional tadi bisa dikatakan kembali menjadi primadona ekonomi Indonesia.  

Fakta terkini menyebutkan bahwa pada saat ini kedua sektor tadi eksis dan memberikan kontribusi yang hampir sama besar dalam perekonomian (dualisme  ekonomi).  Hal ini dapat dilihat alokasi input, seperti jumlah serapan tenaga kerja dan modal sampai kontribusi output. Dalam hal ini, bagi para pelaku ekonomi sektor agraris yang minim input berbasis import maka depresiasi rupiah akan meningkatkan kesejahteraan mereka melalui hasil ekspor ouput komoditi primer yang semakin besar nilai nominalnya.  Jadi secara umum, bagi sektor ini spread depresiasi rupiah yang semakin besar dan tunduk pada mekanisme pasar bebas (floating exchange rate) justru memberikan berkah (disguised blessing) tersendiri. 

Sebaliknya, bagi pelaku sektor industri dengan kandungan impor yang besar pada bahan baku atau perantara, maka depresiasi berarti kiamat bagi kelansungan usaha mereka.  Bagi para pelaku usaha sektor ini, depresiasi atau apresiasi yang terlalu lebar dan berubah secara cepat, malah akan mempersulit sektor riil (dunia usaha). Pengusaha tidak dapat memprediksi secara tepat berapa harus membeli input dan berapa harus menjual outputnya. Oleh karenanya untuk melindungi neraca   perdagangan maka sistem devisa terkontrol (fixed exchange rate) dalam komiditi ini harus dilakukan.  

Dualitas Nilai Tukar

Dari paparan di atas kemudian kita bisa menyimpulkan bahwa dalam kondisi tertentu maka penerapan dualitas atau multi nilai tukar (dual/multiple exchange rate) akan memberikan keuntungan lebih maksimal bagi perekonomian sebuah negara. Dalam konteks perekonomian Indonesia, setidaknya  ada tiga poin penting yang menjadi dasar argumen  bagi pernyataan di atas.

Pertama, dualitas ekonomi berupa sumber daya dasar yang melimpah (endowment resources) dalam bidang pertanian seperti yang telah penulis bahas di awal.  

Kedua, di saat neo-liberalisme telah berhasil “memaksa” negara-negara miskin dunia untuk membuka lebar-lebar pasar mereka bagi produk-produk negara-negara maju maka pengelolaan depresiasi atau devaluasi mata uang ini dengan baik akan menjadi sebuah strategi aman dan gratis untuk  memenangkan perang dagang terutama pada komoditi primer (missal : pertanian, perikanan dan kehutanan) dengan negara-negara maju.   

Terakhir, mewujudkan peluang ini menjadi sebuah keuntungan tentu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Namun hal yang harus diingat oleh para pemutus kebijakan publik adalah depresiasi rupiah ini merupakan sebuah fenomena siklus ekonomi yang wajar,  yang sudah seringkali terjadi di masa lalu, sekarang dan akan terjadi lagi suatu saat di masa datang.  

Jadi, bukankah momen ini seharusnya  menjadi titik acuan untuk memberikan perhatian yang lebih besar bagi sektor pertanian ?.

Pegiat pada Yayasan GARDA ERA,
Dosen 
Fak. Syari'ah IAIN Imam  Bonjol Padang

 

Link
IMZ

Tazkia Institute

Domper Dhuafa

Muamalat Institute

Bank Syariah
Mandiri

Baitul Maal

BMT Link

Islamic Finance

Asuransi Takaful

OKI

Majalah Modal
Bank Muamalat