|
|
Sejarah
Wirasaba
(naskah dari purbalingga)
Naskah Sejarah Wirasaba adalah koleksi pribadi Mad Marta,
penduduk Desa Wirasaba, Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Naskah tersebut hasil salinan
dari Mulyareja, paman Mad Marta. Ia lahir pada hari Senin Kliwon, 27 Desember 1894 dan
menjadi penduduk Wirasaba sejak 8 Januari 1946. (Drs. Sugeng Priyadi M.Hum)
Naskah Lor
Pada pupuh I, bait2, terdapat keterangan yang menjelaskan kapan naskah itu ditulis,
yaitu sengkalan yang berbunyi swara naga giri sangi. Sengkala
itu menunjukkan tahun Jawa 1787 atau 1858 Masehi. Menurut Mad Marta, naskah Sejarah
Wirasaba ini merupakan salinan ketiga dari naskah yang berangka tahun 1858 Masehi.
Naskah memakai kertas berukuran 16,5 x 21 cm. Teks Sejarah Wirasaba
berbentuk tembang macapat (14 pupuh) (halaman 1-85)
dan gancaran silsilah Adipati Wira Utama (Katuhu) sampai
Tumenggung Yudanegara atau gandakusuma (halaman 86-90).
Pada halaman 10 dan 11 ada keterangan bahwa ada satu bait yang hilang (pupuh III, bait 9 dan 12).
Disamping itu, pada halaman 72 juga diketemukan penjelasan bahwa ada
|
|
beberapa halaman naskah yang disalin hilang. Ada kemungkinan naskah ini kurang delapan
setengah bait dandanggula (pupuh XI) dan empat baris asmarandhana (pupuh XII).
Kekurangan halaman ini dapat diteliti melalui teks Babat Wirasaba Kejawar dan
Serat Sedjarah Banjoemas. Kedua teks tersebut diduga disalin dari teks Sedjarah Wirasaba di
Banyumas dengan tambahan teks tradisi lisan Babad Pasir dan kisah keluarga Dipayuda Banjarnegara.
|
(Pigeaud, 1968 : 374)
(Pigeaud, 1968 : 462)
(Pigeaud, 1968 : 439)
Dinasti Wirasaba
Sejarah Wirasaba membuka kisah dengan menampilkan dinasti Wirasaba yang menjadi leluhur Banyumas.
Dinasti Lokal ini berkaitan dengan Majapahit. Salah seorang putra raja Majapahit pergi berkelana
ke Padjadjaran dan kawin dengan Putri Pamekas. Perkawinan itu menghasilkan putra yang bernama Raden Katuhu.
Di sini, tidak disebut putra-putra Raden Baribin. Raden Katuhu dikisahkan menjadi adipati di Wirasaba
dengan gelar Adipati Warga Utama berputra Dipati Urang dan Dipati Urang berputra Adipati Sutawinata
(Surawin).
Kemudian, cerita sisipan Ki Tolih dihadirkan. Raja Negeri Keling memerintahkan
Ki Tolih untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki
Tolih dapat di tawan oleh Ki Gajah. Sementara itu kuda milik baginda mengamuk di ibu kota
Majapahit dan tak seorang pun yang berani menangkap kuda itu.
Lalu, Raja Brawijaya mengadakan sayembara barang siapa yang dapat menangkap kuda akan
mendapat hadiah tanah dan puteri.
|
Ki Tolih sebagai tawanan memberanikan diri
mengikuti sayembara. Akhirnya, Ki Tolih berhasil menaklukkan kuda itu dengan mudah. Ternyata
kuda milik baginda raja kemasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh oleh Ki Gajah.
Sebagai seorang pemenang sayembara, Ki Tolih menolak hadiah raja.
Yang diminta adalah keris gajah Endra yang dibawanya dari Negeri Keling.
Ki Tolih kemudian mengembara dan sampai di daerah Kaleng dan mengabdi pada
Adipati Kaleng. Rakyat Kaleng hidup makmur, murah sandang dan pangan.
|
Adipati Surawin (Sutawinata) telah berputra, yaitu Raden Tambangan
yang kawin dengan putri Banyak Geleng Pasirbatang Dewi Lungge.
Perkawinan ini menlahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Warga (Warga Utama I),
Jaka Gumingsir dan Ki Toyareka. Raden Tambangan menjadi adipati Wirasaba
pada masa pemerintahaan Demak dengan gelar Sura Utama. Sepeninggal Raden Warga
menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Warga Utama I.
Jaka Kaiman Mengabdi
Adipati Warga Utama I mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para
peringgi dan kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada
bulan purnama, Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah
seorang panakawan dari Kejawar yang tidak dikenal oleh Sang Adipati.
Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed panakawan Kejawar sebagai bukti.
Pagi harinya, panakawan dari Kejawar dipanggil, lalu ia
diberitahu bahwa ia akan dijadikan menantu. Jaka Kaiman,
panakawan dari Kejawar akan dinikahkan dengan puteri Adipati
Warga Utama yang bernama Raden Sukartimas dan uang lima riyal
sebagai pitukon. Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar
memberitahukan ayahnya. Tidak lama kemudian, dua orang utusan
Wirasaba datang membawa surat pemberitahuan bahwa Kaiman akan
diambil sebagai menantu dengan pitukon lima riyal.
|
Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar meminta bantuan
keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng. Di situ, Kiai Mranggi
berjumpa dengan Ki Tolih. Pertemuan ini amat berarti bagi Kaiman
di kemudian hari. Ki Tolih memesan wrangka keris kepada Kiai
Mranggi dan keris Gajah Endra dibawa pulang ke Kejawar.
Ki Tolih kemudian menghasiahkan keris Gajah Endra kepada Jaka Kaiman.
Ki Tolih juga meramalkan Kaiman menjadi penguasa di Wirasaba.
Keris Gajah Endra dilarang dibawa ke medan perang selama tujuh turunan.
|
Sebuah penghargaan untuk Dian Nuswantoro
"sebagai awal untuk yang lebih baik"
| Babat 2 || Babat 3 || Babat 4 || Back |
catatan kaki :
1. Kiranya, naskah Sejarah Wirasaba ditemukan juga di Universitas Leiden dengan kode Lor. 6427,
Lor. 7718, Lor.
7469. Naskah Lor. 6427 berjudul History of Wirasaba . Naskah ini disalin dari naskah
milik Tumenggung Sastranegara
dari Yogyakarta. Kertas ukuran yang dipakai 21,5 x 34,5 cm. Teks
memakai huruf Jawa dengan 24 baris setiap
halamannya. Teks berbentuk tembang macapat.
Soegiarto membuat daftar isi dan nama-nama pupuh teks ini. Naskah
ini merupakan koleksi Dr. Hazeu.
History of Wirasaba diawali dengan kisah Raden Kaduhu, putra Raden Baribin dengan
putri kerajaan Padjadjaran
(Pigeaud, 1968 : 374).
2. Naskah Lor. 7718 berjudul History of Wirasaba Banyumas berisi 46 halaman dengan kertas ukuran
17 x 22 cm. Setiap
halaman berisi 15 baris dengan huruf Jawa dan tembang macapat .
Teks dilengkapi dengan ringkasan dan daftar
pupuh. Naskah ini merupakan naskah dari Snouck Hurgronje
tahun 1936 (Pigeaud, 1968 : 462).
3. Naskah Lor. 7469 berjudul History of The Wirasaba Banyumas Family dalam tembang macapat
dan huruf Jawa.
Naskah ini berisi 163 halaman yang berukuran 17 x 21,5 cm dengan 14 baris setiap halamannya.
Salinan naskah ini
diterima Mr. Selleger dan merupakan peninggalan
Snouck Hurgronje tahun 1936 (Pigeaud, 1968 : 439).
|
---|
|