|
|
Sejarah
Wirasaba
(jaka kaiman diangkat jadi adipati)
Sepeninggal Adipati Wraga Utama I, Sultan Pajang menyesal atas tindakannya. Kemudian, Sultan memanggil
para putera Adipati Warga Utama I. Namun, Ki Ageng Senon dan Ki Wirawijaya tidak bersedia memenuhi panggilan raja. Mereka takut
akan mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya. Karena itu, Jaka Kaiman bersedia berangkat ke Pajang. Ia rela menanggung dosa
mertuanya. Sebaliknya jika ia mendapat anugerah raja, ia meminta agar kedua saudara iparnya tidak iri hati, tidak mengganggu
keturunannya dan keturunan Kaiman tetap memerintah di Wirasaba.
Bangun Banyumas
Akhirnya, Jaka Kaiman
Upacara inisiasi merupakan sarana pelepasan dari anggota masyarakat manusia menuju
masyarakat yang baru, yaitu masyarakat roh. Upacara inisiasi tidak lebih
sebagai upacara perpisahan. Pihak yang ditinggalkan mendapatkan kesedihan dan kehilangan,
sementara pihak yang pergi dalam kondisi tidak menentu. Ada yang pergi ada yang datang.
Pamali hari sabtu pahing pada saptawara adalah hari ketujuh atau hari terakhir.
Hari sabtu disebut sanaiscara dalam kalender Jawa Kuno sebagai hari istirahat.
Hari Sabath dalam bahasa Ibrani berati istirahat, yaitu hari terakhir dari pekan (sabtu)
dianggap sebagai hari istirahat suci orang Yahudi sejak dahulu kala. Pamali hari sabtu mungkin
muncul karena ada perubahan zaman dari Hindu ke Islam.
Hari Jumat menggantikan sanaiscara (sabtu) sebagai hari suci. Hari sabtu menempati
arah selatan seperti halnya pahing.
Warga Utama
Arah selatan melambangkan darah, keturunan ibu (matrilineal), warna merah, dan huruf jawa
da-ta-sa-wa-la. Keturunan ibu memiliki watak ibu dan garis matrilineal. dan garis ibu, Adipati
Warga Utama I adalah keturunan ketujuh (gantung siwur) para Adipati Pasirluhur :
1. Kanda Daha (pasirluhur)
2. Ciptararas (istri banyak catra atau kamandaka)
3. Banyak Wirata (pasirluhur)
4. Banyak Rama (pasirluhur)
5. banyak Besi (pasirbatang)
6. Dewi Lungge (istri Adipati Wirasaba Sura Utama)
7. Warga Utama I
Warga Utama I sebagai keturunan ketujuh gantung siwur berkaitan dengan hari sabtu sebagai hari
ketujuh. Angka tujuh termasuk golongan angka yang penting, misalnya, digunakan untuk bangunan Candi
gedong SOngo dengan gedong Pitu, Bendungan waringin Sapta di Sungai Brantas yang dibangun pada zaman
Airlangga, Ibukota Mataram Hindu di Mdang Ri Poh Pitu, Keris Gandring oleh Raja Pipitu, Ksatria
Werkudara disebut Gendeng Pitu, ada dendam tujuh turunan, dll. Kata pitu berarti nenenk dari
nenek. Jadi, pitu melambangkan nenek moyang dari Warga Utama I.
Huruf Jawa da-ta-sa-wa-la menunjuk kepada perselisihan anatar Warga Utama denga demang Toyareka,
yang menyebabkan bencana, pralaya atau mengalami jaman kali. Perselisihan dilanjutkan dengan kesalahpahaman
dua rombongan gandek Sultan Pajang yang menyebabkan kematian Warga Utama I.
Keturunan Banyak
Darah atau getih disamping sebagai lambang kematian, juga lambang keturunan.
Warga Utama I dari garis ibu merupakan keturunan Marga Banyak (angsa).
Angsa atau banyak adalah binatang totem keluarganya. Karena itu muncul pamali
kelima, yaitu makan pindang banyak. Larangan membunuh binatang totem adalah ketakutan
pada si anak. Binatang totem adalah subtitut bagi ayah yang mengancam dalam kondisi
Oedipus Complex. Menurut Freud, totemistis tidak lain daripada mengenangkan
peristiwa pembunuhan itu. Peristiwa pembunuhan ayah mengakibatkan rasa bersalah pada
si anak, kemudian menjadi fundamen totemisme (Bertens, 1991).
Selanjutnya, pamali totem diiringi dengan pamali menikahi wanita dari klan yang sama. Karena
itu Adipati Wirasaba memberikan pamali tidak boleh mengambil menantu dari keturunan Toyareka.
Toyareka masih satu klan dengan Adipati Warga Utama I. Selain itu, Toyareka juga telah tega
memfitnah saudaranya sendiri hingga celaka.
Kegagalan perakwinan diantara anggota klan yang sama dapat mengakibatkan perpecahan dan permusuhan.
Perkawinan putri Warga Utama I dengan putra Demang Toyareka menjadi contoh model perkawinan anggota
klan yang tidak baik, bahkan berakibat bencana.
Penjelmaan Siwa
Di samping itu, Angsa atau banyak dalam agama Hindu merupakan wahana Dewa Brahma sebagai dewa pencipta.
Dalam ajaran dari aliran Siwa Sidhanata disebutkan adanya lima aksara yang melambangkan penjelmaan
Siwa yang berhubungan dengan keempat arah mata angin. Penjelmaan siwa dalam pancaaksara berada di sebelah
selatan, yaitu Ma sebagai Dewa brahma. Brahma sebagai causa prima (sangkanparaning dumadi)
juga ditemukan pada kompleks percandian Prambanan. Di situ ada tiga candi induk, yaitu Candi Wisnu, Candi
Siwa dan Candi Brahma. Ketiga bangunan itu dilengkapi dengan tiga candi wahana. Candi wahana Brahma adalah
Angsa.
Angsa selain menjadi binatang totem bagi keluarga Warga Utama I, juga menjadi seimbol dewa pencipta yaitu
Brahma. Maka dari itu, memakan Banyak, seliain tidak menghormati binatang totem juga mematikan atau melupakan
Sang Maha Pencipta. Bangsa-bangsa kuno memiliki kepercayaan totemisme atau binatang suci yang tidak boleh
digangu, dibunuh atau dimakan.
Totemisme muncul karena adanya anggapan bangsa-bangsa itu mempunyai hubungan kekuatan gaib dengan
sekelompok orang, sesekali dengan seseorang, dan segolongan binatang atau tumbuhan atau benda material (Baal, 1987).
Totemisme sering dipakai oleh banyak anggotanya untuk menelusuri identitasnya dari suatu simbol bersama sering lewat asal-usul
suatu leluhur atau sekelompok bersama.
Angsa atau banyak merupakan simbol bersama masyarakat Banyumas terhadap leluhurnya yang berasal
dari Padjadjaran, yakni Banyak Catra. Banyak Catra dan keturunannya yang menjadi Adipati Pasirluhur dan Pasirbatang menggunakan
nama Banyak. Dengan demikian, Angsa adalah lambang yang berkaitan dengan awal-mula, Maha pencipta, dinasti (wangsakerta), dll.
Oleh karena itu, warga Utama I memberikan pamali tersebut sebagai pengejawantahan kesadaran historis leluhurnya.
Kesadaran itu merupakan peringatan agar keturunannya tidak mengalami peristiwa naas yang sama. Pamali ini telah
menjadi legenda di kalangan masyarakat Banyumas, baik keturunan asli maupun pendatang. Pencarian makna pamali tersebut
diharapkan dapat mengubah citra pamali sebagai tugu yang mati. Tanpa ada pemahaman makna pamali, maka pamali tersebut
akan menjadi vampire yang menakutkan bagi masyarakat pewarisnya.
Sebuah penghargaan untuk Dian Nuswantoro
"sebagai awal untuk yang lebih baik"
| Babat 1 || Babat 2 || Babat 3 || Back |
|
---|
|