Pernikahan (1)

Gaymuslimus:

Saya sudah menikah dan punya anak. Saya menikah karena punya kesadaran untuk menjaga kesucian. Sesudah menikah, saya pribadi tidak lagi terlalu tertarik dengan hubungan sejenis. Perlu dicatat pula sebelum menikah saya pun belum pernah berhubungan dengan sesama jenis.

Namun satu yang Saya rasakan bahwa saya bersyukur telah menikah. Karna rasa syukur itu pula saya ingin berbagi dengan teman-teman seperasaan, mungkin bisa memberi masukan untuk membuat keputusan yang lebih tepat. Istri saya tentu saja tidak tahu saya gay, tapi suatu hari nanti saya berharap bisa mengkomunikasikannya secara tuntas. Mungkin saya dibantu istri saya bisa lebih mensosialisasikan tentang pernikahan gay... apakah baik atau buruk Saya masih perlu waktu.

Handy:

Saya beristri dan berpacar pria.. istri saya mengerti ke-gay-an saya, saya tidak pernah menggauli dia meskipun sudah lebih dari 15 tahun menikah, dia berfikir bahwa saya adalah memang jodohnya, dan dia menerima apa adanya, karena itu adalah suratan NYA.. meskipun saya tidak mengesampingkan faktor lingkungan yang akan menjudge dia sebagai janda cerai.. sehingga ia mempertahankan perkawinan ini.. sementara saya selalu merasa bersalah telah menikahinya dan menelantarkannya dari segi kebutuhan biologis.. beberapa kali pernah saya katakan padanya, bahwa ide perpisahan harus dari pihaknya..

Perlu dicatat, saya TIDAK MAMPU mengauli istri saya.. bukan berarti saya tidak pernah mencoba.. lain jika berhadapan dengan pacar pria saya..Hubungan saya dengan istri cukup rumit.. antara tahu, tidak tahu, tidak mau tahu, dan concern kegiatan ke-gay-an saya..

Sedangkan saya sendiri, sewaktu sebelum menikah, bisa dikatakan belum mengerti seluruhnya tentang apa itu gay..Saya sudah mencoba untuk tidak berhubungan badan (dan bathin) dengan pria.. ternyata membuat hidup saya menjadi sangat menderita.. saya selalu berfikir, apakah saya sebagai gay, saya tidak berhak untuk mendapatkan kepuasan seks, karena saya tidak mampu dengan wanita.. sedangkan pria, katanya haram..

DS:

Menerima diri sendiri apa adanya sudah susah, apalagi dengan kaum perempuan yang harus menerima kita sebagai suami mereka. 

Edi Jaka:

Kasus saya, jika saya masih di Indonesia, mungkin saat ini saya sudah menjadi seorang Bapak (sound cool). Tapi Allah mengirim saya ke USA (yang saya fikir susah kalau saya berusaha sendiri tanpa "keajaiban"). Apakah Allah mentakdirkan saya untuk berada di USA, dimana gay (lebih) diterima oleh masyarakat. Wallau 'Alam. Saya tidak tahu. Tetapi masih terjadi perang dalam diri saya bahwa saya akan menjadi kepala bahtera rumah tangga kelak, tetapi saya tetap menjalani hidup seperti ini sekarang.

Menurut saya adalah tidak adil (bagi si wanita) jika kita menikah dengan mereka. Ini akan terasa ketika mendekati usia senja. Wanita tersebut juga berhak untuk menikamati kebahagiaan (yang didapat dari suamu, moril dan materil). Seandainya kita tidak menikahinya mungkin dia bisa menemukan seorang pria yang bisa membuatnya bahagia, tapi karena menikah dengan kita (gay), maka dia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan tersebut. Mungkinkah dia bahagia menikah dengan Gay. Mungkin saja, tetapi saya berharap bahwa kebahagiaan tersebut bukan kebahagian yang dibuat-buat untuk kepentingan suami. Kita jangan menyeret wanita kedalam hidup kita jika kita tahu bahwa itu akan menjadi susatu yang membuatnya tidak bahagia. Jika kita merasa tidak bahagia (karena harus berpura-pura), janganlah kita menyeret orang lain kedalamnya. Akan lebih buruk situasinya jika kita (gay) mempunyai anak.

Di USA, 80% gay (yang menikah secara terpaksa) akhirnya bercerai dengan istri. Ada istri yang mesih berhubungan (sebagai teman) dengan mantan suami, ada pula yang akhirnya meninggalkan mantan suami.

Semperfy:

Usia dan kemandirian saya saat ini juga belum memungkinkan saya untuk menikah, misalnya. Namun Insya Allah, jika Ia berkehendak (dan pasti selalu baik) siapa yang sanggup menghalangi?

Wanita manapun tentu punya cita-2 bersuamikan seorang pria yang bisa membhagiakannya di segala segi. Adalah suatu kekecewaan besar apabila yang didapatkannya tidak sesuai dengan harapannya. Nah, saya hanya iingin bilang bahwa sebagian gay telah menikah dan ternyata bahagia. Berarti, ini bukanlah hil yang mustahal. Tentu, ada juga yang gagal, tapi apa sesungguhnya yang membedakannya? Ini wajib dicari jawabnya, lho.

Terlalu naif rasanya jika kita langsung mengambil kesimpulan tanpa menyelidiki duduk perkaranya terlebih dahulu. Mungkin kita perlu bercermin dari mereka yang gagal dan yang berhasl, APA HARAPANNYA, BAGAIMAA CARANYA, BAGAIMANA RASANYA, APA KESULITANNYA, APA HIKMAHNYA. Saya sebenarnya hampir saja melontarkan tuduhan sarkastis, "Lha iya, lha wong Amerika kok" kalau saja tidak ingat bahwa kegagalan itupun terjadi dimana saja. Sebenarnya ini kembali kepada kedua pihak yang menjalaninya sebagaimana yang dikapitalkan di atas.

Cahaya:

Mengenai menikah atau tidak .. menurut saya memang menikah itu bukanlah satu2x nya penyelesaian ... cuman spt-nya jalan ini cukup baik utk dipertimbangkan ...

Mqzf:

Menikah dengan wanita, saya sendiri tidak begitu suka dengan pilihan ini. Jika saya mampu menghindar dari desakan keluarga dan lingkungan, saya lebih memilih hidup selibat. Tidak perlu melibatkan orang lain dalam masalah ini dan menyiksanya dalam pernikahan demi status. Tapi kalau itu harus terjadi, itu adalah ujian bagi kedua belah pihak. Kalau si wanita tidak egois dan dapat menganggapnya sebagai cobaan dan kehendak-Nya yang harus dihadapi, kemudian mendampingi suaminya untuk menjalani hidup yang lebih baik, itu akan mengangkatnya menjadi wanita yang lebih mulia. Tidak adil? bukankah kita sudah belajar dari hidup kita sendiri, bahwa kehendak Allah yang Maha Adil tidak selalu tampak adil kalau dinalar oleh pikiran kita.

Gaymuslimus:

Thanks buat Mr LSP yang udah mau sharing, membuat saya mikir-mikir untuk ketemu gay secara real... Tapi mungkin Mr bisa ngasih tambahan sebenarnya mister nyesel nggak menikah ?? artinya apakah mestinya mr tidak menikah ?? Saya sering kasihan ama istri saya, untuk ngetik seperti ini juga saya seperti Mr, nyuri-nyuri waktu...

Mr. LSP:

Banyak yang menyalahkan saya ketika tahu bahwa saya baru memberitahu isri mengenai problem ini setelah resmi menikah. Untuk sisi buruk lain dari kehidupan masa lalu saya sebelum menikah rasanya hampir semua saya ceritakan saaat kenalan sebelum menikah. Tapi untuk yang satu itu saat itu tidak ada keberanian untuk mengungkapkannya. Pihak yang menyalahkan juga ada yang berargumen, kalau sebelum menikah tidak memberitahu dulu soal masalah ini sebaiknya tidak perlu memberitahu sampai kapan pun. Itu katanya lebih fair. Wallahu a'lam mana yang lebih baik.

Soal niat menikah sebaiknya bukan sekedar karena desakan keluarga dan lingkungan tapi dengan bersangka baik kepada Allah bahwa melalui pernikahan tersebut akan dimudahkan jalan menuju perilaku seksual yang halal.

Banyak di antara kita merasa problem kita ini adalah problem paling top. Kita sering lupa bahwa masing-masing manusia itu punya problem yang berbeda-beda dan disinilah manusia diuji apakah akan mencari keridho-an-Nya atau memilih untuk memuaskan hawa nafsunya semata. Sekali lagi, apalagi karena saya sendiri pun merasakannya, saya tahu persis betapa berat cobaan yang kita alami ini.

Saya tidak menyesali pernikahan saya. Saya mendapatkan istri dan anak-anka yang luar biasa ...... mereka semua qurra ta a'yun. Yang saya sesali adalah mengapa saya tidak istiqomah sehingga beberapa bulan belakangan ini track record saya sebagai muslim begitu terjerumus ke kualifikasi yang sangat buruk. Saya jadi pembohong nomor wahid di hadapan istri, saya bekencan secara rutin dengan sesama jenis ...............

Semperfy:

Tentunya kita semua sudah paham mengenai hukum melaksanakan pernikahan. Tentu, saya tak perlu menggurui akhi sekalian dengan menyinggung satu persatu hukumnya menurut sikon (Juga penegasan rasululah agar kita mengikuti sunnahnya); Cuma yang berkaitan dengan 'masalah kita' saja.

Banyak pakar (diikuti oleh masyarakat) yang menyatakan bahwa semua orang hendaknya diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan keadaan dirinya itu; Dalam hal ini, kalau punya dorongan homoseksual, ya harus bersikap seperti gay. Pendapat ini terutama berkembang di negara-negara yang amat menjunjung paham humanisme dan liberalisme, dan diikuti oleh negara-negara lain yang mengagumi paham ini. Saya tidak bermaksud mengkritik paham humanisme dan liberalisme, maupun negara-negara berdasarkan lokasinya; Toh rahmat Allah swt turun dalam berbagai bentuk dan hikmat-Nya terserak di seluruh alam, tinggal bagaimana kita saja untuk mengambil sikap --sesuai dengan Quran dan Hadits, tentunya.

Dengan demikian, berarti nikah (dalam pengertian aslinya, yaitu dengan lawan jenis), sebagaimana terapi reparatif / reorientasi tentu bukanlah jalan yang ditawarkan. Asosiasi Psikiater Amerika (perlu dikutip karena menjadi acuan di seluruh dunia) menegaskan bahwa terapi ini (sebagaimana pernikahan -- pen.) ini bisa menimbulkan tekanan, kecemasan, depresi-- yang selanjutnya bisa menurunkan tinglkat kesehatan mental (dan fisik) ybs. Kesimpulannya, ini berbahaya; Terutama kemudian didapati kasus-2 sbb:

1. Bbrp gay menikah dengan tujuan menutupi dorongan homoseksualnya, atau 'menyembuhkan' diri dengan harapan yang tidak realistis;

2. Pernikahan ini rentan terhadap stres, masalah performa seksual, kecurigaan, kecemburuan, perselingkuhan, dll.

3. Pada akhirnya, toh pernikahan ini kandas juga; dan si gay ybs harus menghadapi dorongannya.

Ini tidak bermaksud menakut-nakuti, lho. Bisa dicek di bbrp situs,misalnya www.psych.org/public_info/homosexual12.pdf

Namun demikian,  seperti yang telah kita ketahui, rahmat-Nya terserak memenuhi alam. "Allah tidak pernah memberi umat-Nya cobaan melebihi kapasitasnya untuk mengatasinya." Tentu saja, alternatif untuk mengatasinya sudah dimuat dalam Al Quran dan Hadits. Bahkan, kalau kita mengutip pandangan humanisme, sebenarnya manusia tidaklah tunduk sepenuhnya pada dorongan dalam dirinya: Ada kecenderungan imanen (untuk mengikuti dorongan 'alamiah' untuk menghindari kesulitan dan mencari kesenangan) dan transenden (untuk melepaskan diri dari ketundukan pada imanensi memenuhi undangan illahi).

Bukankah telah dijelaskan bahwa bagi kita telah disediakan 2 jalan? Bukankah neraka itu berpagar roti, dan surga itu berpagar duri? Sebenarnya inilah yang menjadi masalah bagi kita: Terlalu terfokus pada dosa kita dan melupakan sifat Rahman dan Rahim Nya, kurang yakin bahwa kita masih punya jalan dan kesempatan untuk memenuhi undangan-Nya. Semoga kita semua diberinya ketabahan untuk menghadapi cobaan-Nya Amin

Banyak yang menyangka, bahwa jika hati dan pikiran kita beda dengan dorongan nafsu dan perilaku kita, maka berarti kita munafik. Ini jadi makanan sehari-hari bagi muhajirin, dan mempertanyakan seberapa rendah keimannya. Saya punya opini, bahwa hal ini merupakan penyimpangan dari makna asli kemunafikan: Perilaku dan tutur katanya tunduk, hati dan pikirannya menolak-Nya. Sungguh berlawanan, bukan?Ini saya katakan semata-mata agar kita (terutama saya) tidak putus asa dari rahmat-Nya. Juga bagi mereka yang menikah, dengan maksud mengendalikan dorongan homoseksualnya. Saya yakin, Insya Allah, fungsi pernikahan sebagai pelindung bagi pelakunya akan berjalan.

Amin.

Mr.LSP:

Logika sederhananya adalah dengan menikah, peluang untuk berkencan bebas, baik dengan lelaki maupun perempuan yang bukan istri akan tereduksi. Bagaimanapun sibuknya, lazimnya seorang suami kan pulang kantor harus ke rumah. Mau cari alasan untuk pulang malam karena selingkuh dulu dengan pacar gay-nya misalnya jadi sulit karena yang namanya berbohong model ini sangat sulit karena harus logis dan konsisten.

Jadi betatapun dampak buruk yang mungkin timbul, menikah adalah salah satu cara efektif mereduksi kencan gay. Syukur kalau bisa secara total menghilangkannya. Salah satu rekan mailing-list kita ini yang pernah mengontak saya melalui japri patut dijadikan contoh ke-istiqomah-an seorang gay yang ingin berhijrah. Hatinya resah karena yakin bahwa perilakunya selama ini tidak diridhoi Allah. Bersyukurlah seseorang yang masih memiliki nurani seperti teman kita ini. Saya sendiri sangat sedih, karena hati saya seperti telah tertutup. Naudzu billaahi min daalik.

 

<< Sebelumnya | Indeks Diskusi | Selanjutnya >>