Pernikahan (2)

Need more:

Mau tanya˛ nih;

2.Apakah seorang gay yg menikah itu, berarti menipu orang lain (istri), bagaimana menurut pandangan Islam mengenai hal ini?.. diperbolehkan??

 Handy:

2. Justru itu yg harus dilakukan.. Selama dia mampu untuk membahagiakan istri dan sama sekali tidak berhubungan (badan) denga laki-2.. Menurut saya dia itu bukan gay, tapi bi, masih punyaketertarikkan (turned on by) perempuan..

Semperfy:

Pertanyaan nomor dua amat menarik, dan layak diangkat secara nasional ;)  Saya belum bisa memebrikan jawabannya sebelum saya benar-2 menggali hal pernikahan islam (Bukunya sih banyak di toko, tapi selama ini belum saya sentuh...). Namun hemat saya, meskipun di antara suami istri hendaknya saling terbuka, namun kita juga melihat apakah keterusterangan kita tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar... Asalkan kita bisa menjaga komitmen pernikahan. Masalahnya  pembahasan mengenai homoseksualitas dalam islam masih berkutat pada hukum, belum terwujud pada upaya nyata yang terkoordinir dgn baik... Mungkin harus kita mulai dari diri kita, ya?

Rina:

Wah, kalo terus terang sama pasangan kita, sebaiknya hitung-hitung dulu untung ruginya, kalo banyak ruginya, mendingan enggak usah aja, kan lebih baik begitu demi kelangsungan pernikahan. Memang jadi seperti main tak umpet, tapi rina pikir sih itu jalan yang paling oke Gimana pendapat yang lain?

Need More:

Kalau dipaksakan menikah, bukannya akan menyiksa bathin kita? atau malah bahagia? (buat member yg sudah menikah, kasih review dong...!)

Nah, kalau kita memutuskan untuk tidak menikah gimana?? (diskusi soal di atas belum kelar, udah yg lain.. hehehe, *sambil nunggu member lain proaktif*)

Adakah member di sini yg demikian (sudah cukup umur, tapi belum menikah ;p)??? Trus gimana memberikan penjelasan ke orang akan fitnah˛ yg berlaku di masyarakat (laki˛ dewasa/berumur yg belum menikah??).. Kalau saya sih sepertinya masih jauh.. trus ada pertimbangan˛ spt. tsb.

Mqzf:

Seandainya suatu saat akhirnya saya harus menikah, maka itu adalah sebagai ibadah kepada Nya. Karena Allah Maha Besar, lebih besar dari apapun, jauh lebih besar dari sekedar menuruti nafsu. Itu akan jadi pedoman saya, meski itu lebih mudah diucapkan dan ditulis daripada dilaksanakan. Dan terus terang, saya masih harus terus memupuk keyakinan tersebut, makanya saya awali dengan “seandainya”. Tapi itu yang seharusnya.

Terus terang pada pasangan? Memang harus dipikir berkali-kali. Dan tergantung pada karakter dan cara pandang pasangan. Kalo pas dapat pasangan yang baik dan bisa menerima, malah bisa membantu dan mendukung kita untuk tetap selalu di jalan Nya (seperti sepotong kisah dari Mr. LSP). Kalo pasangan kita berpandangan sempit, ya bubar jalan. Yang jadi masalah kalo mau terus terang sebaiknya sebelum menikah atau sesudah ya? Kalo sebelum, pernikahan bisa batal dan aib bisatersebar. Kalo  sesudah, kok kayaknya kita menipu dan menjebak pasangan.

Kalo tidak terus terang, harus siap memasang topeng tebal dan bersandiwara seumur hidup. Harus siap stres. Mengutip referensi dari rekan semperfy dari Asosiasi Psikiater Amerika, pernikahan bagi gay bisa menimbulkan depresi, tekanan dan kecemasan. Untuk menguranginya mungkin bisa dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, bersabar dan sholat. Mempertebal keyakinan kita akan kebesaran-Nya. Dari penelitian NARTH disebutkan bahwa keyakinan yang tinggi pada agama menjadi motivasi utama bagi orang-orang yang menjalani reorientasi.

Tapi saya juga belum menjalaninya, masih mempersiapkan diri.

Handy:

Satu hal yang perlu temen-2 pikirkan:

Mampukah untuk (ini agak vulgar maaf, spy tidak salah pengertian) bermain seks dengan wanita? Menurut pendapat saya, jika itu saja bisa dilakukan, insya Allah hal-hal lain bisa ikut. Atau, selama anda masih "bi", anda insya Allah akan mampu untuk mendapatkan rumah tangga yang bahagia, tanpa laki-2 di samping anda.

Rengga:

Memang dalam membina hubungan berumah tangga, kejujuran dan saling keterbukaan adalah faktor yang sangat penting...Namun walau bagaimanapun, bukanlah hal yg kita pendam ini adalah merupakan aib diri yg sudah seharusnya kita tutupi ?

Alangkah baiknya apabila kita bisa menjalani kehidupan berumahtangga tanpa harus selalu dihantui perasaan bersalah... Jadi, mungkin memang perlu membenahi diri dulu sebelum menuju pernikahan... Bukankah pernikahan itu merupakan setengah dari keislaman seseorang? Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua Amin Ya Rabbal Alamin.

Apabila kita benar2 mencintai Allah SWT, pasti kita juga akan rela untuk selalu melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala  larangan-Nya. Bukankah ini pertanda bahwa cinta kita masih sangat tipis terhadap-Nya? (ataumungkin tidak ada...)

Rina:

Setuju tuh sama Rengga dkk, tapi memang dasarnya manusia ini suka banget lupa pada rahmat Allah. Jadi memang harus liat-liat situasi dulu dan selanjutnya berusaha memperbaiki diri agar lebih mendekat ke jalan Allah. Tentu aja ini enggak bakalan segampang ngetik email, ini butuh perjuangan berat, makanya rina cuma berharap enggak tambah parah aja udah bagus.

Semperfy:

Saya hanya akan menegaskan bbrp hal: Selama kita tidak impoten secara biologis, masih mungkin untuk  melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Berarti perlu ada manipulasi psikologis (dalam artian positif...)

Nah, perlu juga saya ingatkan bahwa salah satu fungsi dari pernikahan  adalah untuk melindungi diri, baik dari dari gunjingan orang ('udah berumus kok belum nikah'), juga dari zina dan yg lebih berat dari itu. Tidak menikah itu resikonya besar terseret dalam zina, liwath, maupun gunjingan. Belum lagi menyalahi sunnah Rasul. (Buat yang memilih untuk living together atau single, sorry ya; Kebenaran seringkali memang menyakitkan...)

Seandainya saja kita menemukan pendamping yang mau menerima apa adanya, dan mendukung secara empatis dan tak kenal putus asa, maka ini merupakan salah satu karunia-Nya yang patut kita syukuri. Jika kita memutuskan untuk tidak terbuka, hendaknya dalam kerahasiaan itu pula kita tidak menyalahgunakan ketidaktahuannya.

Sungguh beruntung wanita yang bersuamikan seorang pria, yang memperistrinya dengan landasan ibadah, bukan nafsu belaka. Paling tidak, ini saya tangkap dari bbrp teman wanita, dari lingkungan 'baik-2' dan cemas melihat betapa PD-nya teman-2 prianya akan kelelakiannya. Paling tidak, kita akan terpacu untuk menunjukkan pada istri, diri sendiri, masyarakat, dan pada Allah SWT bahwa kita 'berbeda' dari kaum Luth (minimal berusaha untuk berbeda). Bukan semata agar tidak didesak keluarga atau dikecam masyarakat, namun murni demi menggapai ridha-Nya.

Rina:

Pernikahan memang salah satu cara yang paling ok untuk mengubah perilaku kita, tapi tentu tidak semudah itu dalam menjalankannya atau memperoleh hal yang kita inginkan. Dan saya berpendapat kalo kita menikah hanya untuk tujuan tersebut, itu perbuatan yang mubazir, yang penting itu niat di hati kita masing-masing. Enggak usahlah melibatkan orang lain, kalo hal ini akan menyakitkan baginya, itu dosa lho. Jujur aja berapa persen sih wanita yang mau terima kenyataan bahwa suaminya seorang gay? mendingan berhenti dulu, baru nikah daripada nyakitin orang lain.

Rengga:

Pusing ya klo pembahasan ini selalu disangkutpautkan kepada masalah/kepentingan pribadi dan duniawi.... Padahal kan segala tindakan dan perilaku kita selama di dunia ini seharusnya hanya didasari atas keikhlasan dan pengharapan Ridho Allah SWT...

Termasuk dalam hal menikah... kenapa kita harus menikah? Ya jawabannya karena menikah itu adalah salah satu ibadah kita kepada Allah SWT... Kepentingan pribadi seperti ingin mendapatkan status sosial, memperoleh keturunan, atau apalah... sebaiknya disingkirkan saja deh... Sekali lagi, perjalanan hidupkita semasa di dunia ini semata2 hanya mengharapkan Ridho-Nya... Jadi,sebelum terlambat, mulailah renungkan dari sekarang, mau kemana sih tujuan hidup kamu sebenarnya? Sudah benar belum sih apa yang kita kerjakan  selamaini...? Sesuai nggak sih dengan yang sudah digariskan dalam Al-Qur'an dan Al Hadits?

Need More:

Jadi... memutuskan untuk menikah, apapun resikonya adalah pilihan yg terbaik?

Memang sih... orang˛ yg tidak menghadapi problematika spt kitapun, nekat memilih untuk menikah.. meskipun kalau dilihat dari segi kedewsaan pola pikir, orang tersebut masih spt anak˛, dan ada juga yg pertimbangan materi, maaf, orang˛ yg berpenghasilan rendah (yg menurut pandangan umum belum cukup menghidupi sebuah keluarga), nekatz untuk berumah tangga..dengan alasan˛ tersendiri.Dan dari sekian alasan˛ tsb, yg paling menyentuh hati saya yaitu 'menghindari zinah'..Subhanallah, sebegitu wala'nya orang˛ tsb (atau gegabah).

Dari masukkan˛ kawan˛ di sini.. saya mulai berpikir lebih jauh untuk mempersiapkan dir u/ pernikahan kelak.. walaupun dengan keterpaksaan, toh manusia (kita & orang˛), menikah.. karena tuntunan agama bukan?, dan bukan hanya menuruti hawa nafsu!!! Yaaahhh.. mungkin ini adalah ujian dari Alloh, yg pada setiap ujian itu Alloh mengetahui bahwa hamabnya bisa menjalaninya (Alloh tidak akan menguji hambanya, kecuali hambanya tsb bisa menjalaninya)... yakinkan ini!

Dan soal kebohongan pada pasangan.. bukankah bohong dibolehkan untuk kebaikan?..atau mungkin bukan 'bohong'(terlalu kasar) tapi 'diplomatis'..hehehehe..

Semperfy:

Pernikahan mungkin bisa jadi kata yang menakutkan bagi kita; Bagaimana menemukan dan memilih calon, menata perilaku agar tidak ketahuan, memulai membuka diri, perlu atau tidak menjelaskan siapa diri kita, mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap dorongan homoseksual, malam pertama, godaan setelah menikah, dll.

Mesti kita ingat, bahwa pernikahan adalah sunnah yang ditetapkan bagi umat Muhammad saw, bagi yang mampu. Mungkin kita beranggapan bahwa kita tidak mampu, namun ini adalah ukuran kita, dari kacamata kita. Bukan dari ukuran Allah swt. Mungkin menurut-Nya kita belum cukup berusaha (meskipun di sisi lain kita tetap bisa berpegang pada samudera kasih sayang dan toleransi-Nya).

Tanpa melupakan beberapa  yang semu dan kandas, Ada juga yang berhasil dan bahagia; Dari mereka kita bisa belajar kiat-kiatnya. Saya tidak perlu menjelaskan siapa mereka, toh kita bisa membaca lagi pesan-2 terdahulu...Perlu kita juga menelaah masalah kita, membongkarnya hingga komponen-2nya. Perilaku, insya allah masih lebih mudah dikendalikan, karena selama akal masih jalan, dan dzikir tidak terputus dari hati kita, maka kita bisa menghentikan proses pembentukannya.

Untuk bisa berhubungan seks dengan sejenis, bukankah butuh langkah-2? Nah, panjangnya langkah-2 inilah yang bisa diinterupsi. Pikiran, insya allah juga berlaku demikian; masalahnya adalah untuk berpikir tidak butuh modal sebanyak berperilaku; jadi tergantung pada apa yang kita masukkan ke pikiran kita (Majelis zikir atau gambar porno) dan kekuatan kita untuk berzikir tanpa putus.Kalau soal perasaan, terus terang cukup sulit. Wujudnya halus, baru disadari setelah intensitasnya besar, atau terwujud dalam perilaku.

Nah, mengapa saya kali ini sangat cerewet? Ini berkaitan dengan pernikahan. Susah kalau kita menuntut untuk "sembuh" 100% dulu, baru menikah. Lha kalo nggak sembuh-2, gimana? Justru, pernikahan berfungsi sebagai cara untuk menjaga diri kita dari liwath, sekaligus mengkondisikan hubungan yg sehat dgn lawan jenis. Bgmn dgn pernikahan yang kandas karena selingkuh, atau semu karena untuk menutupi jati dirinya? Ya jangan ditiru. Ini tergantung pada kekuatan kita memegang komitmen, atau spt yg tadi saya jelaskan, zikir tak berkesudahan.

Jadi, kalau kita harus tertarik pada lawan jenis dulu 100% baru nikah, mungkin cukup sulit. Kalau menghentikan perilaku (dan insya allah hingga setelah menikah), ini relatif lebih mungkin untuk dilakukan. Seandainya istri mau menerima apa adanya dan bahkan mau membantu kita, ini adalah nikmat dari-Nya, jangan lupa bersyukur. Untuk mengetahui kemungkinan penerimaannya, bisa kita tes dengan mendiskusikan masalah homoseksual, atau "Aku pernah mendengar bahwa teman dari temanku yang homo menikah, namun istrinya ... dst"

Rina:

Waduh panjang banget penjelasannya... are you married? aku sih setuju kalo menikah adalah salah satu jalan untuk memperbaiki diri dan itu juga kewajiban bagi seorang muslim, tapi jangan sampai alasan ini akhirnya menyakiti orang lain, oleh karena itu, keterbukaan tadi amat penting, dan dia harus tahu keadaan kita sebelum menikah, kalo dia bisa terima keadaan kita, ya terusin donk, mudah mudahan niat kita tercapai.

So, aku tetap enggak setuju kalo pernikahan itu menyakitkan bagi pasangan kita, itu dosa khan? Aku sebelum menikah juga terbuka pada istriku, dan sampai sekarang terus berusaha memperbaiki diri, sekalipun itu enggak mudah.

Mqzf:

Kayaknya kita memang diberi kesempatan untuk menjadi muslim dengan tingkat iman yang tinggi, karena kita harus berperang dengan keinginan kita, sedangkan orang lain (str8 people) diperbolehkan mengikutinya. Kalo dalam bisnis posisi ini bisa disebut "high risk, high profit". Kalo gagal menjalaninya, bakal jatuh menjadi orang yang nista. Kalo berhasil, insya Allah akan mendapat tempat yang tinggi (wallahualam).

Setelah cukup lama berpikir akan hidup sendiri saja dan berakhir di panti jompo, kemudian memutuskan akan menikah, ternyata tidak mudah untuk memulainya. Setelah sekian lama menjaga jarak dengan wanita (sekaligus menjaga jarak juga dengan pria ), agak susah juga untuk menjajaki mencari calon. Nunggu dijodohin aja kali ya... he he

Rengga:

tujuan menikah untuk 'menghindari zinah' bukan hal yang buruk atau gegabah lho... dengan niat karena Allah SWT, Insya Allah dengan menikah diri kita terhindar dari perbuatan atau fitnah akan zinah... ya kan?

Semperfy:

Ya, sekali lagi, kejujuran itu penting dalam pernikahan. Hingga saat ini masih banyak yang belum saya ketahui dari pernikahan, terutama pernikahan islami. Apapun keputusannya, good luck buat mereka yang telah (dan akan) menikah, semoga tercapai keluarga sakinah mawadah warahmah.

<< Sebelumnya | Indeks Diskusi | Selanjutnya >>