Mengutamakan
yang Lebih Utama
Mengutamakan
hal-hal yang bersifat lebih utama merupakan bagian dari keadilan,
yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Dalam hal ini,
prioritas diberikan pada hal yang lebih penting. Nah, apakah
hal yang perlu diprioritaskan dalam kehidupan muslim non-gay?
Al-Ghazali mengemukakan contoh seseorang yang menyukai kehidupan
duniawi, namun ingin membuktikan secara logis bahwa kehidupan
akhirat harus didahulukan. Premis pertama, yang lebih kekal
adalah yang lebih penting. Premis kedua, akhirat lebih kekal
daripada dunia. Konklusi, akhirat lebih penting daripada dunia.
Jadi
bisa disimpulkan bahwa muslim non-gay hendaknya memandang dunia
sebagai jembatan menuju akhirat, setelah melewatinya tidak berharap
untuk kembali lagi, apalagi bermain-main di atasnya. Ini bukan
ajakan untuk meninggalkan keduniawian dan menjalani kerahiban,
seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. "Sesungguhnya
Allah SWT tidak menentukan kerahiban atas kita, tetapi sebenarnya
bentuk kerahiban umatku adalah berjuang di jalan Allah SWT."
Ini
juga diamini oleh Ali ra. dalam sabdanya, "Sesungguhnya
dunia adalah tempat kejujuran bagi orang yang jujur terhadapnya,
tempat yang sehat bagi orang yang memahaminya, tempat kekayaan
bagi orang yang hendak mengambil bekal darinya, dan tempat nasihat
bagi orang yang hendak mengambil nasihat darinya, tempat sujud
kekasih-kekasih Allah, tempat shalat para malaikat-Nya, dan
tempat turunnya wahyu, serta tempat berdagangnya para wali Allah.
Mereka mencari rahat di dalam dunia, dan mereka menemukan keuntungannya
berupa surga."
Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan terutama kelak di akhirat, maka seorang muslim
mesti menahan diri dari berburu kenikmatan. Bolehlah kita mencari
dan memohon kebahagiaan di dunia, namun tidak harus dengan melakukan
hal-hal yang bisa membatalkan kebahagiaan di akhirat kelak,
yaitu berbuat dosa (dalam hal ini, perilaku homoseksual).
Sebuah
contoh untuk tidak berlebihan dalam mengejar nikmat dunia disampaikan
oleh Ali ra. ketika menjenguk Ala' bin Ziyad di Basrah, mendapati
rumahnya penuh kemewahan di luar kewajaran. Ia berkata, "Apa
yang hendak kauperbuat dengan kemewahan seperti ini di dunia?
Tidakkah engkau lebih memerlukan akhiratmu kelak?" Selain
siksa di akhirat, pelanggaran hukum agama (berlebihan dalam
kesenangan dunia) bisa menjadi sumber kecemasan hidup seorang
umat beragama.
Bertafakur
Atas Kefanaan Dunia
Bagaimana cara menanamkan dalam hati bahwa hidup sesuai dengan
tuntunan agama memang lebih penting daripada hidup bersenang-senang
saja? Salah satu cara yang diperintahkan dalam Islam dan sudah
diakui oleh psikologi kognitif adalah bertafakur. Dalam hal
ini, objek dari aktivitas berpikir mendalam ini adalah kefanaan
(mortality) dari hal-hal yang berpotensi merusak komitmen hidup
muslim non-gay (misalnya, nonton VCD porno, berhubungan homoseksual,
dll).
Dokter
Iman Santoso Sardjono menegaskan kembali apa yang pernah dikemukakan
oleh Stumphauzen (1973), Kaplan & Sadock (1985), dan Ardiningsih
(1986) mengenai convert sensitization. Metode ini mungkin tidak
terlalu pas dengan definisi tafakur dalam psikologi islam; Lebih
tepatnya merupakan pemrograman mental dengan memfokuskan pikiran
pada sisi negatif suatu hal yang menyenangkan. Dalam hal ini,
pasien diminta untuk membayangkan objek fantasi seksualnya yang
sangat menarik, kemudian si objek tersebut didapati penuh dengan
luka-luka yang busuk dan memualkan sehingga pasien didorong
untuk mencari udara segar yang melegakan (Sardjono, 1988)
Contoh
yang amat sesuai mengenai tafakur ini didapati dalam sebuah
anekdot tentang seorang biksu yang bertafakur terhadap tulang.
Kemudian, lewatlah seorang wanita cantik yang tersenyum sambil
memamerkan giginya. Tak lama kemudian, muncul suami sang wanita
yang rupanya kehilangan jejak. Ia bertanya kepada sang biksu,
apakah ia melihat seorang istrinya lewat. Sang biksu menjawab
bahwa ia tidak tahu siapa yang lewat. Ia tadi hanya melihat
sekarung tulang belulang manusia saja.
Dari
ranah Islam, kita bisa mengambil hikmah dari percakapan Yusuf
as. dan Zulaykha.
"Rambutmu sungguh indah."
"Rambutku adalah yang pertama kali lepas dari tubuhku setelah
aku meninggal."
"Matamu indah sekali."
"Mataku adalah bagian tubuhku yang pertama kali membusuk
setelah aku meninggal."
Contoh
lainnya adalah sebuah anekdot (yang sayangnya saya tidak sempat
mencatat siapa pelakunya dan apa sumbernya) mengenai orang yang
dengan sombongnya berkata, "Tahukah kamu, siapa aku?"
Dijawab, "Kamu lahir dari barang yang hina, selama hidupmu
kamu membawa-bawa barang busuk dalam perutmu, dan setelah mati
kamu akan menjadi bangkai yang menjijikkan."
Berpikir
dalam Zikir dan Berzikir dalam Pikir
Tafakur merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam, yaitu
memikirkan dengan sungguh-sungguh ciptaan Allah SWT untuk kemudian
memetik hikmah di baliknya sehingga mengukuhkan keimanan dalam
diri. Ada baiknya kita renungkan sabda Ali ra. berikut mengenai
wali-wali Allah. "... Mereka melihat batin dunia ketika
orang-orang melihat lahirnya. Mereka melihat akibat yang akan
diterimanya nanti ketika orang-orang selain mereka hanya melihat
bentuknya yang sekarang. ..." Ini merupakan penggambaran
yang amat baik mengenai cara berpikir yang tidak pernah terlepas
dari Allah dan akhirat. Kemanapun pergi dan apapun yang terlihat,
ia sadar bahwa ia tengah menyaksikan kebesaran-Nya. Baginya,
Tuhan bisa dirasakan keberadaannya setiap saat. Efek dari cara
pandang ini adalah sikap yang tidak berlebihan ketika menghadapi
kegembiraan, kesedihan, dan kekecewaan. Ini tidak seperti yang
digambarkan oleh Fisher (1972, dikutip dalam Smith, 1993) mengenai
efek dari penyangkalan dorongan homoseksualitas dalam diri orang
dengan SSA (Same sex attractions): Penekanan vitalitas sedikit
demi sedikit, yang pada akhirnya secara kumulatif menimbulkan
stres dan depresi. Bagi muslim, setiap penderitaan, bahkan tertusuk
duri pun, apabila diterima dengan sabar akan mendapatkan ganjaran
positif. Inilah yang tidak bisa dimengerti oleh para ilmuwan
Barat (dan juga para gay di dunia Barat) sehingga lahirlah pernyataan-pernyataan
bahwa para gay harus dibebaskan dengan cara mengubah ayat-ayat
suci.
Sebagai
penutup bisa diringkas sebagai berikut:
-
Menyadari
dan mengakui bahwa semua manusia pasti akan menuju akhirat
dan bertemu Tuhannya, sehingga dalam hidup di dunia harus
selalu ingat kepada-Nya dan menyiapkan bekal menuju ke sana;
-
Satu-satunya
referensi mengenai Tuhan, kehendak Tuhan, dan kejadian di
akhirat hanyalah dari kitab suci, karena itu persiapan menuju
akhirat dilakukan dengan menjalankan cara hidup sesuai dengan
tuntunan agama;
-
Berlatih
menyadari bahwa setiap saat apa yang kita rasakan melalui
panca indera semuanya adalah mahluk Allah SWT yang fana,
sekaligus mengandung hikmah;
-
Bersabar
atas segala penderitaan, karena kesabaran (sebagaimana penderitaan)
adalah mahluk Allah SWT juga yang juga mengandung hikmah
di baliknya. Allah SWT telah berjanji bahwa setiap kesabaran
atas penderitaan akan diperhitungkan.
(semperfy)
REFERENSI
Ahmad
At-Tamimi, A.A.A.G. & Ibrahim Al-Jarullah, A.J. (1892) Ma'al
Maridh Min Ahkamil Maridh wa Adabuhu. Mesir: Darush Sami'in
lin-Nasyr wal Taujih. Edisi bahasa Indonesia oleh Mahdamy, A.
(1996) Nasehat untuk Orang Sakit (ed. 1) Solo: CV. Pustaka Mantiq.
Al-Mahallatiy,
S.R. (1986) 'Iqab adz-Dzunub. Teheran: Mu'awaniyyah al-'Allaqat
ad-Dauliyyah. Diterjemahkan dalam Fannani, B. (1996) Akibat
Dosa (ed. 3). Bandung: Pustaka Hidayah.
Badri,
M. (tt) Al-Taffakur min al-Musyahadah ila al-Syuhud: Dirasah
al-Nafsiyah al-Islamiyah. USA: The International Institute of
Islamic Thought. Diterjemahkan dalam Mulyana, D. (ed) (1996)
Tafakur: Perspektif Psikologi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Rosda Group.
Bastaman,
H.D. (1996) Meraih Hidup Bermakna (ed. 1) Jakarta Selatan: Paramadina.
Sarjono,
I.S. (1 Januari 1988) Tinjauan Singkat tentang Homoseksualitas.
Kesehatan Jiwa, XIV, hal. 35-52.
|