Agama Statis yang Ketinggalan Jaman?
Menggaris bawahi kembali dari
tulisan sebelumnya, keberadaan agama bagi manusia berakal adalah
suatu keniscayaan, jika pencipta kita adalah Pencipta Yang Maha
Cerdas. Dari sini bisa diambil point bahwa manusia tidak bisa
menolak akan adanya agama yang benar yang menjadi pedoman dalam
mengatur hidup mahluk yang bernama manusia selama dia hidup
di dunia, jika dia percaya kepada Tuhan.
Sepengetahuan saya, semua agama
menjanjikan adanya kehidupan berikutnya, yang menjadi tempat
manusia menerima ganjaran atas segala perbuatannya di dunia
saat ini. Adanya janji ini menjadikan kehidupan di dunia saat
ini bukanlah kehidupan yang menjadi tujuan tetapi hanya sebagai
sarana untuk mendapatkan ganjaran sebaik-baiknya pada kehidupan
selanjutnya. Dan kepada manusia, yang diciptakan dengan potensi
menjadi baik hingga taraf yang terbaik dan juga potensi buruk
hingga taraf yang terburuk, tidak pernah dijanjikan bahwa mereka
berhak secara mutlak atas ganjaran yang terbaik, tetapi mereka
harus lebih dahulu berusaha membuktikan dengan perilaku kehidupannya
selama di dunia sehingga mereka pantas mendapatkannya.
Dan sah-sah saja jika Tuhan berkehendak
untuk menguji setiap manusia untuk menentukan siapa yang paling
berhak mendapatkan ganjaran yang terbaik. Berbagai macam bentuk
ujian dan cobaan dapat terjadi bagi seorang manusia untuk membuktikan
kekuatan keyakinannya akan Tuhan. Sehingga adanya penderitaan,
kesulitan, kemalangan dalam kehidupan di dunia adalah sesuatu
yang sangat mungkin terjadi pada hidup seorang manusia. Meskipun
ujian sebenarnya tidak hanya dalam bentuk penderitaan saja.
Dan kemudian tinggal bagaimana manusia yang percaya kepada Tuhannya
ini memandang penderitaan itu, apakah sebagai kesialan yang
disesali, diratapi dan dihujat ataukah sebagai cobaan yang harus
dihadapi dengan tetap menjaga ketaatannya kepada Tuhan.
Dunia bukanlah tempat untuk mendapatkan
segala kenikmatan dan kebahagiaan fisik sepuas-puasnya bagi
manusia yang percaya akan Tuhan. Di samping karena kehidupan
dunia hanya semata sarana untuk menuju kehidupan berikutnya,
juga karena kepuasan manusia akan kenikmatan dan kebahagiaan
fisik tidak pernah ada habisnya jika diperturutkan.
Agama yang diturunkan ratusan
tahun yang lalu, bukanlah hanya untuk dianut mereka yang hidup
pada masa itu saja. Pada masa sekarang yang telah sangat jauh
berbeda dengan masa itu, tidak berarti agama telah "mati" dan
tidak mampu berkembang mengikuti jaman. Nilai-nilai yang diajarkan
agama adalah nilai-nilai yang umum dan universal yang bisa berlaku
di segala jaman. Memang ada beberapa ajaran yang tampaknya hanya
berlaku pada masa itu, tapi mestinya ajaran itu masih bisa dijadikan
pelajaran dan analogi untuk berbagai masalah pada masa sekarang.
Dari nilai-nilai universal ini bisa dijadikan patokan dalam
mensikapi berbagai macam isu aneh yang ada di masa sekarang.
Dan itu adalah wewenang para ahli agama untuk membuat fatwa
untuk setiap isu penting pada masanya. Fatwa-fatwa yang berdasarkan
pertimbangan dan penafsiran manusia inilah yang masih "debatable",
tentunya di kalangan mereka yang mempunyai kemampuan untuk membahasnya.
Satu nilai universal yang diajarkan
oleh semua agama adalah "Tidak mengumbar nafsu duniawi", dan
ini berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali dan tanpa dalih
apapun. Nilai ini sejalan dengan keyakinan akan adanya hari
pembalasan dan kehidupan di alam selanjutnya. Mengumbar nafsu
akan membuat kita lupa akan Tuhan dan lupa akan tujuan hidup
di dunia, karena nafsu tidak akan pernah ada habisnya jika diperturutkan
dan selalu meminta lebih.
Sebenarnya manusia jaman sekarang
jika dibandingkan dengan manusia pada jaman Nabi-nabi pada masa
diturunkannya agama tidaklah mengalami evolusi ataupun mutasi
gen yang menyebabkan manusia sekarang menjadi lebih besar nafsunya.
Yang kemudian hal itu bisa dianggap menjadi dalih bahwa nilai
universal dan ajaran agama mengenai pengendalian nafsu perlu
diubah mengikuti kebutuhan manusia jaman sekarang. Fakta bahwa
sedemikian banyak orang pada masa sekarang membiarkan nafsunya
lepas kendali, juga tidak bisa menjadi dalih untuk menghalalkannya,
karena itupun juga sudah terjadi sejak dahulu.
Agama telah memberikan jalur
legal bagi kebutuhan seksual, apakah itu untuk tujuan prokreasi
ataupun rekreasi. Tetapi menikah bukanlah ajang untuk melampiaskan
kebutuhan seksual, karena di dalamnya juga terdapat pengendalian
diri. Setiap orang pasti memiliki sosok indah ideal yang dibayangkan
akan mampu memuaskannya secara maksimal, apapun orientasi seksualnya.
Jika kemudian ternyata ia mendapatkan pasangan nikah yang tidak
sesuai dengan fantasinya maka disitulah letak pengendalian diri,
bagaimana dia bisa bersikap secara realistis antara fantasi,
kenyataan dan ketaatan pada batasan aturan yang ada. Hal yang
sangat mungkin dihadapi oleh banyak orang.
(Noeg)
|