Wapres: Penangkapan
Jangan Dikaitkan Agama
Wakil Presiden (Wapres) Hamzah
Haz meminta agar aparat keamanan, khususnya
Kepolisian RI (Polri), melaksanakan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme secara transparan. Dia juga
meminta agar penangkapan sejumlah orang yang
diduga terkait dengan terorisme oleh aparat
kepolisian tidak dikaitkan dengan pesoalan agama.
"Yang perlu adalah transparansi
dari aparat dalam implementasi UU Anti Terorisme
itu," ujarnya usai bertemu Presiden Megawati
Soekarnoputri, Kamis (18/9) di Istana Negara
Jakarta untuk melaporkan hasil kunjungannya
ke beberapa negara di Timur Tengah. Dia menanggapi
perkembangan yang terjadi di sejumlah kalangan
yang mempersoalkan penangkapan sejumlah orang
oleh Kepolisian Negara RI karena diduga terkait
dengan aksi terorisme.
Wapres meminta agar penangkapan
tersebut tidak dikaitkan dengan persoalan agama.
"Memang mereka ada yang pengurus mesjid,
tetapi itu jangan dikaitkan dengan soal makronya.
Kita lihat identitas masing-masing orang itu,
lihat kasus orang per orangnya," katanya.
Menurut Wapres, bila keluarga
atau yang bersangkutan merasa tidak puas dengan
tindakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian,
maka mereka dapat menempuh jalur hukum. "Bawa
ke pengadilan, praperadilankan saja. Tempuhlah
saluran hukum kalau dirasa bertentangan, supaya
tidak terlalu membuang energi," kata Hamzah.
Pernyataan serupa juga disampaikan
oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
(Menkeh HAM) Yusril Ihza Mahendra. Yusril menegaskan,
penangkapan terhadap orang- orang yang diduga
terkait dengan aksi teror dilakukan karena polisi
memiliki bukti permulaan. Mereka ditangkap bukan
karena aktivitasnya sebagai aktivis Muslim.
Menkeh HAM juga mengatakan, persoalannya
adalah semata-mata masalah hukum dan jangan
dilarikan ke menjadi isu politik. "Harus
jelas bahwa ini masalah hukum. Jangan dilarikan
menjadi isu politik. Sekarang kan seolah-olah
yang ditangkapi itu aktivis Islam atau aktivis
masjid," katanya.
Dia menunjuk ada pihak tertentu
yang mengaitkan dirinya sebagai Ketua Partai
Bulan Bintang sengaja membuat Undang-undang
Terorisme untuk menangkapi pengurus masjid.
"Ada kampanye untuk menjelekkan saya sebagai
Ketua PBB," ujarnya.
Mengenai munculnya kesimpangsiuran
tentang prosedur penangkapan, Yusril menyarankan
kepada pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan
masalah itu ke praperadilan. "Untuk menguji
apakah penangkapan itu sesuai prosedur atau
tidak, silakan melalui praperadilan," katanya.
Sementara Kepala Kepolisian Negara
RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar menegaskan
penangkapan yang dilakukan oleh Polri memiliki
dasar yang kuat. "Bukan karena dia alumni
suatu tempat atau institusi tertentu, bukan
itu urusannya. Polri melakukan tindakan hukum
karena orang-orang tersebut terkait dengan perbuatan
pidana, khususnya terhadap UU No 15/2003,"
ujarnya usai mengikuti peresmian perumahan TNI
AL di Ciangsana Bogor.
Tidak tertib prosedur
Indikasi keterlibatan orang- orang
yang ditangkap tersebut, lanjut Kapolri, diperoleh
dari keterangan para tersangka lain yang telah
ditahan. "Mereka menyebutkan kawan-kawannya
atau orang-orang yang terkait. Lalu kita mencari
nama-nama itu, setelah ditemukan kita periksa.
Untuk dapat lebih intensif memeriksa, maka dilakukan
tindakan hukum, yaitu penangkapan. Sesuai UU
polisi dapat menahan selama tujuh hari,"
tutur Da'i Bachtiar.
Bila dalam batas waktu tersebut
penyidik tidak mendapatkan cukup bukti, maka
yang bersangkutan harus dilepaskan. "Tetapi,
kalau cukup bukti akan diteruskan proses lebih
lanjut dan akan dilakukan penahanan," tegasnya.
Kapolri mengakui, bila dalam praktik
di lapangan ada kelemahan yang dilakukan oleh
pihak kepolisian, yaitu tidak memberitahu pihak
keluarga tentang penahanan tersebut. "Mungkin
secara prosedur ada kelambatan. Tetapi, hasil
pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, yang
bersangkutan menjelaskan ada prosedur yang telah
ditempuh dengan memberi surat pemberitahuan
pada keluarga," katanya.
Menjawab pertanyaan dari 15 orang
yang telah ditangkap, berapa orang yang telah
ditetapkan sebagai tersangka, Da'i mengatakan,"
Kalau nanti sudah ditahan, maka jelas statusnya
sudah menjadi tersangka. Saya belum mendapat
laporan terakhirnya."
Di Gresik, Ketua PBNU KH Hasyim
Muzadi, menyayangkan tindakan Polri terhadap
penangkapan tersangka teroris karena itu polisi
diharapkan bisa segera memperbaikinya. "Kapolri
Jenderal Da’i Bachtiar telah mengakui
bahwa dalam proses penangkapan tersangka teroris,
polisi kurang tertib administrasi," kata
Hasyim di sela-sela acara Haul Akbar Ponpes
Daruttakwa, dan kunjungan ke kantor DPC Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Gresik.
Ketua PBNU mengaku bertemu langsung
dengan Kapolri, Rabu (17/9) malam untuk mengklarifikasi
soal prosedur penangkapan tersangka pelaku terorisme.
Dari penjelasan Kapolri, ungkap
Hasyim, polisi sudah melakukan tindakan yang
sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang.
Namun demikian, Kapolri mengakui bahwa dalam
tertib administrasi masih ada kekurangan. PBNU
tetap menyayangkan dan meminta kepada Kapolri
agar lain kali polisi bisa secepat mungkin memberitahukan
kepada pihak keluarganya, sehingga mereka tidak
kebingungan dan mencari kemana-mana.
Sementara Imparsial (The Indonesian
Human Rights Monitor) dan Koordinator Badan
Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) juga meminta Kapolri
memberikan klarifikasi secara terbuka dan jujur
kepada publik mengenai duduk perkara penangkapan
sejumlah warga masyarakat di Jawa Tengah, Jakarta,
dan Lampung. Hal ini penting, untuk diketahui
masyarakat agar tidak terjadi konflik dan tidak
menimbulkan tanda tanya di kalangan masyakarat.
Permintaan itu disampaikan Direktur
Eksekutif Imparsial (The Indonesian Human Rights
Monitor) Munir, Direktur Program Imparsial Rachland
Nashidik dan Koordinator Badan Pekerja Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) Usman Hamid, Kamis (18/9).
Imparsial dan Kontras menyatakan
penjelasan Kepala Polri mengenai penangkapan
tersebut sangat penting, mengingat penangkapan
tersebut dianggap oleh tokoh-tokoh Islam dan
ahli hukum sebagai penculikan (abduction), karena
bertentangan dengan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Secara khusus kami menyatakan
kecemasan terhadap berlangsungnya kecenderungan
yang kian kentara berupa pengingkaran terhadap
human rights dan civil liberties dalam pelaksanaan
tugas aparat hukum dalam melindungi masyarakat
dari kejahatan terorisme," ujarnya Rachland
Nashidik.
Menurut Munir, tindakan polisi
memperlakukan informasi sebagai barang bukti
kejahatan semata-mata karena ditulis dalam bahasa
Arab adalah manifestasi dari rasisme dan diskriminasi.
Ia menegaskan, aparat penegak hukum seharusnya
mampu membedakan dirinya dengan aparat hukum
negara yang laun, yang cenderung menyamaratakan
kelompok teroris dengan mereka yang sekadar
memeluk ajaran agama yang sama.
"Bahwa apa yang disampaikan
kepolisian bahwa penangkapan dilakukan secara
prosedur, itu sama sekali tidak mampu menjelaskan
bahwa selama ini," ujarnya. Penjelasan
kepolisian Jawa Tengah yang menyatakan bahwa
buku-buku bahasa Arab, tentang metodologi membuat
bom justru sangat menggelikannya.
Penangkapan lagi
Dari Medan dilaporkan, Kepolisan
Daerah Sumatera Utara mulai memeriksa Awaluddin
alias Abu Yasar alias Dani Sitorus karena diduga
terlibat dalam pengeboman tiga gereja di Medan
pada Minggu, 28 Mei 2000 lalu. Ketiga gereja
itu adalah Gereja GKPI di Jalan Jamin Ginting,
Gereja HKBP di Jalan Sudirman, dan Gereja Katolik
Kristus Raja di Jalan MT Haryono.
“Berdasarkan hasil penyidikan
kami, tersangka memiliki kaitan dengan Hambali
dan Imam Samudra. Karena, kedua orang tersebut
merupakan donatur pengeboman tiga gereja di
Medan," kata Ajun Komisaris Besar Mardi
Rukmianto, Kepala Satuan I Direktorat Reserse
dan Kriminal (Dit Reskrim) didampingi Wakil
Direktur Reskrim Polda Sumut di Markas Polda
di Tanjung Morawa, Medan, Kamis (18/9).
Saat ini, polisi masih mengejar
N, yang diakui tersangka sebagai orang yang
meletakkan bom di Gereja Kristus Raja. Sementara
itu, Dani Sitorus meletakkan bom di dalam Gereja
GKPI dengan menyamar sebagai jemaat. Akibat
ledakan bulai Mei lalu, 30 jemaat terluka. Sementara
itu, bom yang diletakkan di dua gereja lainnya
tidak meledak akibat kesalahan penyetelan waktu.
Rukmianto mengatakan, tersangka
ditangkap petugas Polda Metro Jaya dan Mabes
Polri di Perumahan Nusantara Tirta Yasa Blok
E , Bandar Lampung, Jumat (5/9). Kemudian, Polda
Sumut mengirim tim untuk bergabung dalam pemeriksaan
tersangka di Mabes Polri.
Setelah pemeriksaan di Jakarta
selesai, Rabu (18/9), Tim Reskrim Polda Sumut
membawa tersangka ke Medan untuk pengembangan
kasus pengeboman gereja. “Diperiksa di
sini karena, kejadiannya di Medan. Dalam pengembangan
inilah, kami telah menetapkan N masuk dalam
DPO (Daftar Pencarian Orang)," jelas Rukmianto