Jatuh Bangun OKP dalam Kepemimpinan
Mahasiswa
Oleh Dewa Gde Satrya *
Krisis kepemimpinan yang kini berlangsung memanggil kaum
muda untuk
belajardan bekerja lebih keras agar mampu memberikan alternatif
kepemimpinan yang lebih demokratis, plural, inklusif,
jujur, dan adil. Ketika berhadapan dengan gerak globalisasi
yang eksploitatif itu, kaum muda harus berani tampil dan
menegakkan kembali martabat manusia sebelum ia sepenuhnya
terlindas oleh gemertaknya roda-roda globalisasi ekonomi
yang represif.
Pemahaman ini mensyaratkan kesediaan mahasiswa
untuk belajar dari dan
bersama masyarakat. Jika Soekarno muda menjadi pejuang
penuh semangat
bagi rakyat terjajah, semangat itu tidak terutama dia
dapatkan di bangku kuliah, melainkan dari masyarakat,
misalnya, dari petani Marhaen. Sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat, kaum muda
dan mahasiswa
sekarang juga dituntut untuk bersedia membuka diri guna
belajar dari dan bersama masyarakat dalam rangka perjuangan
bersama demi terwujudnya
masyarakat yang lebih baik.
Berkumpulnya pemuda dalam Kongres Pemuda
1928 yang menghasilkan
Sumpah Pemuda merupakan simbol kekuatan perubahan yang
dimiliki pemuda.
Peran perubahan terus dimainkan pemuda ketika bangsa dan
negara mengalami stagnasi. Kekuatan pemuda yang cukup
disegani adalah Kelompok
Cipayung (HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, dan PMII). Mereka merupakan
kelompok organisasi kepemudaan (OKP) berbasis mahasiswa
yang memainkan peran sebagai Sparring partner bagi negara.
Dalam konteks gerakan mahasiswa, masa keemasan
OKP yang bernaung
Dalam kelompok Cipayung ini terlihat pada awal Orde Baru.
Waktu itu,
Cipayung yang notebene merupakan icon gerakan mahasiswa
ekstrakampus, bersinergi dengan gerakan mahasiswa intrakampus
berlabel Dewan Mahasiswa. Ketertarikan aktivis kampus
terhadap OKP dapat dipahami sebagai media pembelajaran
gerakan mahasiswa yang populis, tidak menutup diri dari
problematika masyarakat, dan melebur dalam perjuangan
rakyat.
Hal menarik dari pengalaman di atas adalah
munculnya kepemimpinan
Mahasiswa dan selanjutnya kepemimpinan nasional yang berlatar
belakang OKP. Sebut saja, Akbar Tandjung dari HMI dan
Cosmas Batubara dari PMKRI. Kedua nama ini dibesarkan
OKP di tingkat mahasiswa. Namun, sejak diberlakukannya
NKK/BKK 1978, gerakan mahasiswa dengan
Wadah OKP tidak terdengar lagi dengungnya. Kebijakan depolitisasi
kampus itu merupakan titik balik sekaligus pukulan keras
bagi kepemimpinan mahasiswa. Kampus akhirnya dipakai sebagai
wadah pengembangan intelektual an sich, tanpa menyatu
langsung dengan penderitaan rakyat.
Periode waktu berikutnya, OKP tidak diperkenankan
hadir dalam Lingkungan kampus. Gerakan mahasiswa akhirnya
terpolarisasi pada dua lingkup, internal kampus dan eksternal
kampus. Bentuk kepemimpinan mahasiswa pun bergeser,dari
eksternal kampus menjadi internal kampus. Namun, tidak
tertutup kemungkinan manakala kepemimpinan internal kampus
tersebut juga berlatar belakang OKP. Ini berarti OKP merupakan
wadah pembelajaran bagi pemimpinmahasiswa internal kampus
untuk menyikapi wacana yang berkembang di masyarakat.
OKP juga merupakan representasi kebebasan
mahasiswa dalam mengemban
Tugas sebagai agent of social change. Hal ini dapat dipahami
sebagai
alternatif, manakala dirasakan adanya banyak batasan bagi
gerakan mahasiswa di kampus. Pada tingkat OKP, kepekaan
sosial pemimpin mahasiswa akan diuji. Sinergisitas antara
kemampuan akademik dan kepekaan sosial merupakan hal positif
yang didapatkan pemimpin mahasiswa dari OKP. Pada tataran
ini, OKP merupakan salah satu soko guru gerakan mahasiswa.
Tanpa OKP, gerakan mahasiswa akan menemui kendala kepemimpinan.
Berseraknya potensi gerakan mahasiswa dapat
di-create menjadi
kekuatan baru yang memiliki daya dorong dahsyat manakala
dikelola dengan sempurna. Idealisme dan kritisisme gerakan
mahasiswa akan sangat bermakna bila
mampu melakukan misi mengawal transisi menuju demokrasi
dan menjadi pagar norma hukum dan moral bagi penyelenggara
negara untuk bekerja mengeluarkan bangsa dan negara ini
dari krisis. Karena itu, sosok kepemimpinan mahasiswa
diperlukan dalam menjaga dinamika gerakan supaya tetap
pada semangatnya.
*. Dewa Gde Satrya, koordinator Forum Studi
Mahasiswa Unika Widya
Mandala, mantan aktivis PMKRI Surabaya.