Dr.
Ignas Kleden:
Pendidikan Nasional Tak Berefek Emansipatoris
Kupang,
Kompas - Sosiolog Ignas Kleden melihat pendidikan
nasional selama Orde Baru hingga sekarang tidak berefek
emansipatoris dan pembebasan. Pendidikan nasional
malah cenderung menghasilkan manusia bersikap adaptis
terhadap penyelewengan.
"Pendidikan nasional Indonesia
tidak mendidik masyarakat agar mengambil sikap secara
intelektual terhadap semua penyelewengan yang terjadi,"
kata Ignas ketika tampil sebagai penceramah pada Kongres
Nasional XXIII dan Sidang XXII Majelis Permusyawaratan
Anggota (MPA) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI) di Kupang, Rabu (20/11).
Pimpinan Media Research Ignas Kleden
& Associates itu menyebutkan sejumlah sebab kemerosotan
pendidikan nasional. Di antaranya adalah apa yang
disebutnya sebagai pendidikan bersifat instrumental,
yakni suatu pendidikan yang tidak mendidik orang untuk
menjadi manusia dewasa. Pendidikan semacam ini hanya
menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan.
Ia menunjuk contoh sistem ujian pilihan
ganda. Katanya, "Dalam ujian seperti itu sama
sekali tidak mendidik orang untuk berpikir bebas.
Kebebasan berpikir hanya dibatasi dalam tiga atau
empat kemungkinan pilihan jawaban yang disodorkan.
Anda tidak bisa mengusahakan penalaran sendiri untuk
mencari jawaban selain empat butir yang disiapkan
sebagai kemungkinan jawaban."
Ignas lebih jauh memaparkan, kiprah
mahasiswa Indonesia dalam sejarahnya tidak terlepas
dari perjuangan politik. Sejarah Indonesia sudah menciptakan
semacam hubungan historis yang menyebabkan mahasiswa
Indonesia selalu, atau satu dan lain cara, terlibat
secara aktif dalam perjuangan politik.
Sejak dulu, mahasiswa Indonesia dalam
perjuangannya selain mempelajari pokok-pokok studi,
mereka juga harus berupaya membebaskan bangsanya dari
penjajahan. Ini tugas yang paling berat. Tidak mengherankan
bila banyak di antara mereka yang akhirnya memilih
untuk berjuang di dalam gerakan-gerakan politik daripada
meneruskan kuliah. Bung Hatta sendiri memerlukan waktu
11 tahun untuk mencapai gelar doktorandusnya. Ini
merupakan waktu yang dua kali lebih dari waktu yang
biasa.
Karena itu, lanjut Ignas, usaha menormalisasikan
kampus, seperti dilakukan Daud Joesoef tahun 1970-an,
adalah usaha yang bertentangan dengan watak historis
dari gerakan mahasiswa. Meski begitu, keterlibatan
mahasiswa dalam perjuangan politik sejak dulu hingga
sekarang tetap sama. Andalannya adalah kekuatan intelektual,
kekuatan pikiran, kekuatan berargumentasi dan kekuatan
bernalar dengan konsep-konsep dan data yang mereka
kuasai.
Reformasi pendidikan
Bagaimana kedudukan mahasiswa sejak
reformasi? Tidak dapat dimungkiri bahwa peranan mahasiswa
dalam meluncurkan reformasi adalah suatu peranan sejarah
yang tak dapat disangkal. Namun, menurut Ignas, reformasi
telah melupakan satu hal yang sangat penting, yaitu
tidak melakukan reformasi pendidikan.
Ignas mengingatkan bahwa slogan pendidikan
menciptakan manusia siap pakai sebenarnya hanya slogan
semu. Tidak ada pendidikan di dunia ini yang menjadikan
orang siap pakai. Alasannya, karena industri berkembang
selalu lebih cepat dari sekolah. Alasan lain, perkembangan
masyarakat dan kebudayaan juga selalu lebih cepat
dari sekolah.
"Jadi, yang diperlukan adalah orang
yang siap belajar, bukan orang yang siap pakai. Kita
jangan terbuai dengan slogan mendidik manusia siap
pakai. Yang dibutuhkan adalah mendidik orang yang
secara bertahap dewasa secara individu: bisa berpikir
sendiri, mempertimbangkan sendiri, bertindak sendiri,
dan bertanggungjawab sendiri terhadap apa yang dilakukannya,"
kata Ignas.
Untuk itu, ia mengusulkan PMKRI agar
mendorong dilakukannya reformasi pendidikan untuk
5-10 tahun mendatang. Tema itu supaya digarap secara
terus-menerus dan konsisten dari tahun ke tahun. Bahkan,
kalau dimungkinkan, reformasi pendidikan itu menjadi
tema jangka panjang PMKRI.
Menurut Ignas, tema ini sangat strategis,
terutama karena belum mendapat perhatian yang cukup
dari kelompok lain. Tema ini juga relevan untuk lingkungan
PMKRI sendiri. Prioritas reformasi itu harus dimulai
dari bawah, yakni sekolah dasar (SD). "Kita hanya
bisa berbicara reformasi pendidikan kalau pendidikan
dasarnya diperbaiki dan diperkokoh," ujarnya.
(ans)