KISAH TRAGIS
Bali masih terlalu segar untuk dilupakan. Meninggalnya
tidak lebih dari 190 orang dan luka yang diderita
ratusan orang lainnya (yang sebagian besarnya adalah
orang asing) telah menjadikan nama Indonesai sebagai
‘buah bibir’ di luar negeri. Dengan begitu cepat
pula Amerika Serikat dan Australia (yang kemudian
didukung oleh pernyataan pemerintahan Indonesia)
memastikan tentang kemungkinan keterlibatan Al Qaeda
dalam peristiwa tersebut (yang nota bene kebenarannya
masih diperdebatkan). Di samping itu, tidak sedikit
yang akhirnya menuding fundamentalisme Islam sebagai
tersangka, bahkan mesinyalir Indonesia, sebagai
ladang teroris. Di antara bimbang dan ragu, antara
ya dan tidak saya hanya bisa menggabungkan diri
dalam barisan Taufiq Ismail yang merasa ‘Malu (aku)
jadi orang Indonesia.’
Tanpa pretensi membebaskan gerakan fundamentalisme
dari tuduhan, tulisan berikut merupakan refleksi
atas kaitan antara Fundamentalisme dan Globalisasi
yang darinya dapat menjadi inspirasi tentang peran
yang diharapkan dari umat Kristiani di tengah gejolak
aktual.
Antara Fundamentalisme
dan Globalisasi
Fundamentalisme (agama), demikian tulis J.J. Tamayo-Acosta
dalam artikelnya: “Fundamentalismo y Diálogo
Interreligioso” (Fundamentalisme dan Dialog
Antar Agama) dicirikan sebagai sikap memaksakan
(bahkan dengan kekerasan) kepercayaannya kepada
seluruh umat manusia tanpa menghiraukan apakah orang
yang dipaksa itu sudah dan belum beragama. Warta
Kitab Suci sering diaplikasikan secara hurufiah
(dengan menerapkan teks yang mentolerilkan kekerasan)
tanpa menghiraukan konteks historis di mana ia ditulis
dan lebih tidak lagi aplikasi hermeneutisnya untuk
situasi aktual. Pengalaman agama Kristen pada masa
silam merupakan sebuah contoh jelas tentang bagaimana
agama menjadi ‘sumber kekerasan’ hal mana terbukti
dengan perang salib yang berbenderakan agama. Dewasa
ini, tanpa menyembunyikan kemungkinan tentang masih
adanya kelompok fundamentalisme Kristen, kaum Islam
menjadi kelompok ‘tertuduh’ (oleh dunia luar) sebagai
kelompok fundamentalistas. Peristiwa “11 September”
yang ‘katanya’ disponsori kelompol Al Queda telah
mencoreng nama Islam hingga mengidentikkannya sebagai
agama yang menyebarkan ‘virus’ fundamentalisme.
Kenapa munculnya fundamentalisme? Rupaya tidak
mudah menjawabnya. Ia sudah berada di masa silam.
Yang mengherankan, ia semakin bertumbuh di era globalisasi.
Sebagian besar negara-negara miskin yang nota bene
beragama bukan Kristen terjerumus dalam khaos krisis
eknomi yang proses pemuliahannya belum menunjukkan
titik cerah. Pertanyaannya: mengapa kelompok fundamentalisme
muncul dan semakin ‘subur’ di era globalisasi yang
nota bene mengagungkan kebebasan sebagai prinsip
utamanya? Tidak sedikit negara yang oleh ketakberdayaannya
(berlawanan dengan ‘adi daya’) justeru terpuruk
secara ekonomis yang menjalar sampai ke bidang sosial,
budaya dan politik.
Proses ‘pemiskinan’ yang terus menggerogoti negara
miskin dan tertimbunnya kemakmuran di negara maju
memunculkan dugaan (atau lebih tepat isyu) tentang
berlakunya ‘fundamentalisme lain’ yang beroperasi
dalam bidang ekonomi. Negara-negara maju, oleh keunggulan
iptek, belum lagi didukung oleh propaganda menggugah,
‘memfungsikan’ sebuah sistem eknomi (baca: fundamentalisme
lain) yang menyedot sisa-sia kekayaan yang sempat
tersimpan di negara-negara miskin untuk menimbunnya
di menara-menara pencakar langit. Bertolak pada
proses tersebut, Tamayo-Acosta, teolog aliran Teologi
Pembebasan mensinyalir tentang berlakunya dua ‘fundamentalisme’.
Yang satu dicurigai sebagai biang keladi oleh prinsip-prinsip
yang nota bene diwujudkan secara terbuka, (fundamentalisme
Islam) yang lainnya bersembunyi dalam prinsip-prinsip
abstrak meski mekanisme kerjanya juga tidak kalah
kejamnya. Yang satu dipersalahkan sebagai dalang
menjamurnya kekerasan, yang lainnya disinyalir sebagai
virus yang semakin menggerogoti ketahanan negara-negara
miskin.
Pergumulan antara ‘dua fundamentalisme’ cepat atau
lambat bermuara pada konflik antar agama. Xavier
Pikaza-Ibarrondo, (fenomenolog agama Spanyol) dalam
buku terbarunya: Monoteísmo y Globalización yang
diterbitkan setelah ’11 September’ (Monoteisme dan
Globalisasi), tidak menyembunyikan rumor tentang
pergumulan antara globalisasi liberal yang berinspirasi
Kristiani dan monoteisme fundamentalistis Islam.
Agama Kristen yang mengagung-agungkan kebebasan
(‘Anak Allah’) disinyalir sebagai pendukung globalisasi.
Bukan mustahil kalau akhirnya fundamentalisme Islam
merasa beralasan untuk memaksakan sistemnya sebagai
alternatip, terlepas dari strategi kekerasan yang
sangat tragis. Ketidakpuasan kaum muslim terhadap
globalisasi barat yang memihak (yang nota bene sebagian
besarnya beragama Kristen, paling kurang menurut
statistik) sering mendapatkan pelampiasannya pada
perlakuan ‘kasar’ terhadap kelompok minoritas di
tempat di mana mereka menjadi mayoritas. Penghancuran
gereja dan bangunan Kristen barangkali bisa ditafsir
dalam konteks ini, sambil tidak menyembunyikan kemungkinan
tentang provokasi (dari luar dan dalam) untuk semakin
memantapkan status quo di tengah ketidakamanan suatu
bangsa.
Peran Kristiani dan isyu
Fundamentalisme
Bagaimana orang Kristen menyingkapi problematik
di atas? Apa yang diharapkan dari orang Kristen
dalam menyingkapi problem fundamentalisme? Atau
sikap-sikap mana yang dapat ‘mendukung’ menjamurnya
fundamentalisme? Berikut beberapa tawaran tentang
sikap kristiani di tengah isyu fundamentalisme agama.
Pertama,
sebagai ‘tamu’ di tengah kaum muslim. Kaum
Kristen di negara-negara yang mayoritasnya beragama
bukan Kristen perlu menanamkan kesadaran akan ‘kekecilannya’.
Orang Kristen, demikian tulis pada uskup Filipina,
sebagaimana dikutip Julio Javier Labayen dalam ““Variety
in Social Action”, “To Be the Church of the poor”
(Metro Manila Publicación, 1986) dinamakan sebagai
‘tamu’ di rumah orang bukan Kristen. Mereka adalah
sebagian kecil yang hidup di tengah mayoritas orang
Islam.
Sikap seperti ini dapat menimbulkan kesan tentang
penyangkalan akan pengejawantahan prinsip-prinsip
hak-hak asasi manusia (Declaration of Humman Rights)
yang mengidealkan persamaan dalam segala aspek kehidupan.
Yang dimaksudkan sebenarnya hanyalah sebuah sentilah
akan bahaya arogansi dari tidak sedikit orang Kristen
lantaran bersembunyi di balik bayangan negara-negara
Eropa Kristen hingga memunculkan sikap tidak simpatik.Labayen
dalam tulisan yang sama menekankan bahwa kondisi
minoritas dari orang Kristen mengharuskan gereja
untuk menjadi sederhana. Ia hanyalah ‘tanda’ tanpa
harus menjadi penyebab dari keselamatan itu sendiri.
Dari sini muncullah alasan yang cukup tentang dialog
antar agama yang nota bene lebih didasarkan pada
alasan praksis (hidup bersama) ketimbang mencari
pertemuan intelektual yang hanya penting untuk para
cendekiawan.
Kedua,
tuntutan untuk menjadi gereja miskin dari dan bagi
kaum miskin. Bukanlah sebuah rahasia megatakan
bahwa Asia adalah benua miskin, dalamnya hidup tidak
sedikit kaum beragama seperti Islam, Hindu, Budha,
Khong Hu Chu, Shinto dan lain-lain dengan kemiskinan
sebagai identitas yang menyatukan. Hal ini seharusnya
juga mengkondisikan cara berada gereja. Dalam kenyataan,
ideal ini jauh dari yang diharapkan. Balasundaram
Franklyn, dalam bukunya: Teología Cristiana Asiática
Contemporánea, mensinyalir tentang keacuan gereja
dalam menjadikan dirinya miskin. Gereja Asia adalah
kaya dan triumfalistik. Ia bergandengan erat dengan
capitalisme dan struktur neokolonial, tidak menampilkan
wajah Yesus dalam praksisnya. Pada bagian lainnya,
Balasundaram mewakili banyak teolog Asia menulis:
Gereja ada di Asia tetapi bukan dari Asia. Ia merupakan
institusi feodal dan sistem kerajaan yang ditanamkan
di Asia.
Tanpa membenarkan semua yang disampaikan Balasundaram,
(karena tidak sedikit juga kesaksian hidup yang
menampilkan wajah Yesus yang miskin dan sederhana
di Asia), patutlah kita mengatakan bahwa kekayaan
fisik gereja dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Bukan tanpa alasan, kalau kaum beragama lain lantas
menilai gereja Asia lebih berpihak pada sistem ekonomi
global (oleh dana yang diperoleh) dari pada mengidentikkan
dirinya dengan sama saudaranya yang miskin dan menderita.
Gereja perlu memikirkan kemandiriannya bukan saja
karena semakin melemahnya bantuan luar negeri, melainkan
ia perlu mengidentikkan dirinya dengan realitas
yang melingkupinya. Di tengah dunia yang miskin,
kita ketiadaan alasan untuk membangun gereja yang
megah yang selain kontras dengan realitas umatnya
tetapi lebih lagi akhirnya menjadi sumber kecemburuan
sosial. Bukan sebuah rahasia untuk mengatakan bahwa
di masa lampau (dan juga masa sekarang) kehidupan
gereja secara spiritual dan pembangunan fisik masih
bergantung pada dana yang datang dari luar negeri.
Menjamurnya kekerasan yang berlatarbelakang agama
hendaknya menjadi ‘tanda zaman’ (Gaudium et Spes
no 4) yang menuntut satu cara baru dalam berada
dan berevangelisasi.
Ketiga, gereja yang
mendengarkan (ecclesia discens). Menjamurnya
kekerasan yang berlaberlabel agama hendaknya menjadi
‘tanda zaman’ yang meminta dari orang Kristen (dan
gereja sebagai institusi) satu jawaban. Pada level
yang paling dasar gereja perlu memasang ‘telinga’
untuk menangkap sinyal yang di dalamnya termaktub
pesan ‘Yang Ilahi’ tentang renovasi dan instrospeksi
diri yang perlu dilalui untuk menjadi bentara Sabda
yang terpercaya. Ia perlu beralih dari arogansi
masa silam sebagai pemonopoli keselamatan kepada
kerendahan hati untuk belajar dari kekeliruan masa
lalu sambil meretas satu mekanisme baru dalam tata
tindak. Tissa Balasurya, OMI, dalam artikelnya “Towards
the Liberation Theology in Asia”, Theology in Struggle
in Asia (1981) mengatakan bahwa di masa silam gereja
telah bersikap kurang hormat terhadap kebudayaan
dan agama-agama di Asia. ¿Apa yang telah Gereja
belajar dari agama-agama seperti Budha, Islam, Confutze
dalam lima ratus tahun terakhir?, demikian tanya
teolog Sri Langka ini. Secara rohani, kita telah
menjadi begitu puas dengan diri lagi angkuh hingga
tidak belajar dari mereka.
Pengalaman pahit di atas merupakan tanda dalamnya
Tuhan ingin agar gerejaNya lebih konsekuen dengan
panggilan dasarnya. Teolog Aloysius Pieris, SJ A.
Pieris, dalam bukunya: “Towards an Asian Theology
of Liberation”, misalnya menekankan bahwa dalam
konteks Asia, gereja harus duduk di kaki para ‘gurú’,
bukan dalam kapasitasnya sebagai pengajar (docens),
melainkan mendengarkan (ecclesia discens). Ia harus
melebur di tengah kaum religius miskin di Asia,
(sebagaimana orang miskin pada umumnya) yang berguru
pada kaum bijak Asia guna mencari kesucian, keadilan
dan perdamaian. Andaikata Gereja tidak berani melewati
tahap ini kini, ia akan kehilangan keredibilitas
kelak hingga tidak tertutup kemungkinan untuk kehilangan
pamor suatu saat, demikian tulis teolog asal Sri
Langka tersebut.
Keempat, menyuburkan
globalisasi solidaritas. Menjalarnya arus
globalisasi yang menelan tidak sedikit korban pada
pihak lain hendaknya menjadi acuan untuk melansirkan
model globalisasi lain yang meski tidak bergerak
secepat dan setragis globalisasi ekonomi tetapi
bertumpu pada tujuan luhur: membantu sesama yang
miskin dan menderita. Orang Kristen perlu semakin
menghidupi dalam dirinya falsafah garam yang hadir
di tengah dunia yang hambar dengan misi luhur: memberi
makna. Kerasulan sosial dan karitatip perlu menjadi
media di mana orang Kristen memperoleh santifikasi
Keterlibatan dalam studi-studi sosial-politik, ekonomi
dan budaya perlu ditingkatkan hingga dapat menghasilkan
kaum politisi dan ekonomis yang dilandasi oleh prinsip-prinsip
Kristen ingin membangun satu masyarakat tanpa pengkotak-kotakkan,
jauh dari dengki dan dendam. Pendidikan Kristen
pada gilirannya hendaknya perlahan beralih dari
kecemasan mengamankan pamor dan institusi kepada
pembentukan nilai-nilai dalam mana pelakon utamanya
sering lahir dari golongan menengah dan miskin.
Tanpa usaha ekstra untuk perwujudan nilai-nilai
tersebut di atas (kini dan di sini), cepat atau
lambat gereja akan menjadi terdakwa, penyalur bibit
globalisasi ekonomi yang nota bene melahap sesamanya
sendiri yang miskin dan menderita.
[Penulis saat ini belajar
di Universitas Salamanca, Madrid, Spanyol