PMKRI Cabang Denpasar Online Kririk dan Saran
 
PMKRI Cabang Denpasar
 
Tentang Kami
Buku Tamu
Foum Diskusi
Margasiswa
Struktur DPC
Alumni
Buletin Genta
Daftar Anggota Baru
  
   

 

OPINI

Peran Orang Kristen
Menyikapi Fundamentalisme Agama

Oleh: Robert Bala, SVD

KISAH TRAGIS Bali masih terlalu segar untuk dilupakan. Meninggalnya tidak lebih dari 190 orang dan luka yang diderita ratusan orang lainnya (yang sebagian besarnya adalah orang asing) telah menjadikan nama Indonesai sebagai ‘buah bibir’ di luar negeri. Dengan begitu cepat pula Amerika Serikat dan Australia (yang kemudian didukung oleh pernyataan pemerintahan Indonesia) memastikan tentang kemungkinan keterlibatan Al Qaeda dalam peristiwa tersebut (yang nota bene kebenarannya masih diperdebatkan). Di samping itu, tidak sedikit yang akhirnya menuding fundamentalisme Islam sebagai tersangka, bahkan mesinyalir Indonesia, sebagai ladang teroris. Di antara bimbang dan ragu, antara ya dan tidak saya hanya bisa menggabungkan diri dalam barisan Taufiq Ismail yang merasa ‘Malu (aku) jadi orang Indonesia.’

Tanpa pretensi membebaskan gerakan fundamentalisme dari tuduhan, tulisan berikut merupakan refleksi atas kaitan antara Fundamentalisme dan Globalisasi yang darinya dapat menjadi inspirasi tentang peran yang diharapkan dari umat Kristiani di tengah gejolak aktual.

 

Antara Fundamentalisme dan Globalisasi

Fundamentalisme (agama), demikian tulis J.J. Tamayo-Acosta dalam artikelnya: “Fundamentalismo y Diálogo Interreligioso” (Fundamentalisme dan Dialog Antar Agama) dicirikan sebagai sikap memaksakan (bahkan dengan kekerasan) kepercayaannya kepada seluruh umat manusia tanpa menghiraukan apakah orang yang dipaksa itu sudah dan belum beragama. Warta Kitab Suci sering diaplikasikan secara hurufiah (dengan menerapkan teks yang mentolerilkan kekerasan) tanpa menghiraukan konteks historis di mana ia ditulis dan lebih tidak lagi aplikasi hermeneutisnya untuk situasi aktual. Pengalaman agama Kristen pada masa silam merupakan sebuah contoh jelas tentang bagaimana agama menjadi ‘sumber kekerasan’ hal mana terbukti dengan perang salib yang berbenderakan agama. Dewasa ini, tanpa menyembunyikan kemungkinan tentang masih adanya kelompok fundamentalisme Kristen, kaum Islam menjadi kelompok ‘tertuduh’ (oleh dunia luar) sebagai kelompok fundamentalistas. Peristiwa “11 September” yang ‘katanya’ disponsori kelompol Al Queda telah mencoreng nama Islam hingga mengidentikkannya sebagai agama yang menyebarkan ‘virus’ fundamentalisme.

Kenapa munculnya fundamentalisme? Rupaya tidak mudah menjawabnya. Ia sudah berada di masa silam. Yang mengherankan, ia semakin bertumbuh di era globalisasi. Sebagian besar negara-negara miskin yang nota bene beragama bukan Kristen terjerumus dalam khaos krisis eknomi yang proses pemuliahannya belum menunjukkan titik cerah. Pertanyaannya: mengapa kelompok fundamentalisme muncul dan semakin ‘subur’ di era globalisasi yang nota bene mengagungkan kebebasan sebagai prinsip utamanya? Tidak sedikit negara yang oleh ketakberdayaannya (berlawanan dengan ‘adi daya’) justeru terpuruk secara ekonomis yang menjalar sampai ke bidang sosial, budaya dan politik.

Proses ‘pemiskinan’ yang terus menggerogoti negara miskin dan tertimbunnya kemakmuran di negara maju memunculkan dugaan (atau lebih tepat isyu) tentang berlakunya ‘fundamentalisme lain’ yang beroperasi dalam bidang ekonomi. Negara-negara maju, oleh keunggulan iptek, belum lagi didukung oleh propaganda menggugah, ‘memfungsikan’ sebuah sistem eknomi (baca: fundamentalisme lain) yang menyedot sisa-sia kekayaan yang sempat tersimpan di negara-negara miskin untuk menimbunnya di menara-menara pencakar langit. Bertolak pada proses tersebut, Tamayo-Acosta, teolog aliran Teologi Pembebasan mensinyalir tentang berlakunya dua ‘fundamentalisme’. Yang satu dicurigai sebagai biang keladi oleh prinsip-prinsip yang nota bene diwujudkan secara terbuka, (fundamentalisme Islam) yang lainnya bersembunyi dalam prinsip-prinsip abstrak meski mekanisme kerjanya juga tidak kalah kejamnya. Yang satu dipersalahkan sebagai dalang menjamurnya kekerasan, yang lainnya disinyalir sebagai virus yang semakin menggerogoti ketahanan negara-negara miskin.

Pergumulan antara ‘dua fundamentalisme’ cepat atau lambat bermuara pada konflik antar agama. Xavier Pikaza-Ibarrondo, (fenomenolog agama Spanyol) dalam buku terbarunya: Monoteísmo y Globalización yang diterbitkan setelah ’11 September’ (Monoteisme dan Globalisasi), tidak menyembunyikan rumor tentang pergumulan antara globalisasi liberal yang berinspirasi Kristiani dan monoteisme fundamentalistis Islam. Agama Kristen yang mengagung-agungkan kebebasan (‘Anak Allah’) disinyalir sebagai pendukung globalisasi. Bukan mustahil kalau akhirnya fundamentalisme Islam merasa beralasan untuk memaksakan sistemnya sebagai alternatip, terlepas dari strategi kekerasan yang sangat tragis. Ketidakpuasan kaum muslim terhadap globalisasi barat yang memihak (yang nota bene sebagian besarnya beragama Kristen, paling kurang menurut statistik) sering mendapatkan pelampiasannya pada perlakuan ‘kasar’ terhadap kelompok minoritas di tempat di mana mereka menjadi mayoritas. Penghancuran gereja dan bangunan Kristen barangkali bisa ditafsir dalam konteks ini, sambil tidak menyembunyikan kemungkinan tentang provokasi (dari luar dan dalam) untuk semakin memantapkan status quo di tengah ketidakamanan suatu bangsa.

 

Peran Kristiani dan isyu Fundamentalisme

Bagaimana orang Kristen menyingkapi problematik di atas? Apa yang diharapkan dari orang Kristen dalam menyingkapi problem fundamentalisme? Atau sikap-sikap mana yang dapat ‘mendukung’ menjamurnya fundamentalisme? Berikut beberapa tawaran tentang sikap kristiani di tengah isyu fundamentalisme agama.

Pertama, sebagai ‘tamu’ di tengah kaum muslim. Kaum Kristen di negara-negara yang mayoritasnya beragama bukan Kristen perlu menanamkan kesadaran akan ‘kekecilannya’. Orang Kristen, demikian tulis pada uskup Filipina, sebagaimana dikutip Julio Javier Labayen dalam ““Variety in Social Action”, “To Be the Church of the poor” (Metro Manila Publicación, 1986) dinamakan sebagai ‘tamu’ di rumah orang bukan Kristen. Mereka adalah sebagian kecil yang hidup di tengah mayoritas orang Islam.

Sikap seperti ini dapat menimbulkan kesan tentang penyangkalan akan pengejawantahan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (Declaration of Humman Rights) yang mengidealkan persamaan dalam segala aspek kehidupan. Yang dimaksudkan sebenarnya hanyalah sebuah sentilah akan bahaya arogansi dari tidak sedikit orang Kristen lantaran bersembunyi di balik bayangan negara-negara Eropa Kristen hingga memunculkan sikap tidak simpatik.Labayen dalam tulisan yang sama menekankan bahwa kondisi minoritas dari orang Kristen mengharuskan gereja untuk menjadi sederhana. Ia hanyalah ‘tanda’ tanpa harus menjadi penyebab dari keselamatan itu sendiri. Dari sini muncullah alasan yang cukup tentang dialog antar agama yang nota bene lebih didasarkan pada alasan praksis (hidup bersama) ketimbang mencari pertemuan intelektual yang hanya penting untuk para cendekiawan.

Kedua, tuntutan untuk menjadi gereja miskin dari dan bagi kaum miskin. Bukanlah sebuah rahasia megatakan bahwa Asia adalah benua miskin, dalamnya hidup tidak sedikit kaum beragama seperti Islam, Hindu, Budha, Khong Hu Chu, Shinto dan lain-lain dengan kemiskinan sebagai identitas yang menyatukan. Hal ini seharusnya juga mengkondisikan cara berada gereja. Dalam kenyataan, ideal ini jauh dari yang diharapkan. Balasundaram Franklyn, dalam bukunya: Teología Cristiana Asiática Contemporánea, mensinyalir tentang keacuan gereja dalam menjadikan dirinya miskin. Gereja Asia adalah kaya dan triumfalistik. Ia bergandengan erat dengan capitalisme dan struktur neokolonial, tidak menampilkan wajah Yesus dalam praksisnya. Pada bagian lainnya, Balasundaram mewakili banyak teolog Asia menulis: Gereja ada di Asia tetapi bukan dari Asia. Ia merupakan institusi feodal dan sistem kerajaan yang ditanamkan di Asia.

Tanpa membenarkan semua yang disampaikan Balasundaram, (karena tidak sedikit juga kesaksian hidup yang menampilkan wajah Yesus yang miskin dan sederhana di Asia), patutlah kita mengatakan bahwa kekayaan fisik gereja dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Bukan tanpa alasan, kalau kaum beragama lain lantas menilai gereja Asia lebih berpihak pada sistem ekonomi global (oleh dana yang diperoleh) dari pada mengidentikkan dirinya dengan sama saudaranya yang miskin dan menderita. Gereja perlu memikirkan kemandiriannya bukan saja karena semakin melemahnya bantuan luar negeri, melainkan ia perlu mengidentikkan dirinya dengan realitas yang melingkupinya. Di tengah dunia yang miskin, kita ketiadaan alasan untuk membangun gereja yang megah yang selain kontras dengan realitas umatnya tetapi lebih lagi akhirnya menjadi sumber kecemburuan sosial. Bukan sebuah rahasia untuk mengatakan bahwa di masa lampau (dan juga masa sekarang) kehidupan gereja secara spiritual dan pembangunan fisik masih bergantung pada dana yang datang dari luar negeri. Menjamurnya kekerasan yang berlatarbelakang agama hendaknya menjadi ‘tanda zaman’ (Gaudium et Spes no 4) yang menuntut satu cara baru dalam berada dan berevangelisasi.

Ketiga, gereja yang mendengarkan (ecclesia discens). Menjamurnya kekerasan yang berlaberlabel agama hendaknya menjadi ‘tanda zaman’ yang meminta dari orang Kristen (dan gereja sebagai institusi) satu jawaban. Pada level yang paling dasar gereja perlu memasang ‘telinga’ untuk menangkap sinyal yang di dalamnya termaktub pesan ‘Yang Ilahi’ tentang renovasi dan instrospeksi diri yang perlu dilalui untuk menjadi bentara Sabda yang terpercaya. Ia perlu beralih dari arogansi masa silam sebagai pemonopoli keselamatan kepada kerendahan hati untuk belajar dari kekeliruan masa lalu sambil meretas satu mekanisme baru dalam tata tindak. Tissa Balasurya, OMI, dalam artikelnya “Towards the Liberation Theology in Asia”, Theology in Struggle in Asia (1981) mengatakan bahwa di masa silam gereja telah bersikap kurang hormat terhadap kebudayaan dan agama-agama di Asia. ¿Apa yang telah Gereja belajar dari agama-agama seperti Budha, Islam, Confutze dalam lima ratus tahun terakhir?, demikian tanya teolog Sri Langka ini. Secara rohani, kita telah menjadi begitu puas dengan diri lagi angkuh hingga tidak belajar dari mereka.

Pengalaman pahit di atas merupakan tanda dalamnya Tuhan ingin agar gerejaNya lebih konsekuen dengan panggilan dasarnya. Teolog Aloysius Pieris, SJ A. Pieris, dalam bukunya: “Towards an Asian Theology of Liberation”, misalnya menekankan bahwa dalam konteks Asia, gereja harus duduk di kaki para ‘gurú’, bukan dalam kapasitasnya sebagai pengajar (docens), melainkan mendengarkan (ecclesia discens). Ia harus melebur di tengah kaum religius miskin di Asia, (sebagaimana orang miskin pada umumnya) yang berguru pada kaum bijak Asia guna mencari kesucian, keadilan dan perdamaian. Andaikata Gereja tidak berani melewati tahap ini kini, ia akan kehilangan keredibilitas kelak hingga tidak tertutup kemungkinan untuk kehilangan pamor suatu saat, demikian tulis teolog asal Sri Langka tersebut.

Keempat, menyuburkan globalisasi solidaritas. Menjalarnya arus globalisasi yang menelan tidak sedikit korban pada pihak lain hendaknya menjadi acuan untuk melansirkan model globalisasi lain yang meski tidak bergerak secepat dan setragis globalisasi ekonomi tetapi bertumpu pada tujuan luhur: membantu sesama yang miskin dan menderita. Orang Kristen perlu semakin menghidupi dalam dirinya falsafah garam yang hadir di tengah dunia yang hambar dengan misi luhur: memberi makna. Kerasulan sosial dan karitatip perlu menjadi media di mana orang Kristen memperoleh santifikasi Keterlibatan dalam studi-studi sosial-politik, ekonomi dan budaya perlu ditingkatkan hingga dapat menghasilkan kaum politisi dan ekonomis yang dilandasi oleh prinsip-prinsip Kristen ingin membangun satu masyarakat tanpa pengkotak-kotakkan, jauh dari dengki dan dendam. Pendidikan Kristen pada gilirannya hendaknya perlahan beralih dari kecemasan mengamankan pamor dan institusi kepada pembentukan nilai-nilai dalam mana pelakon utamanya sering lahir dari golongan menengah dan miskin. Tanpa usaha ekstra untuk perwujudan nilai-nilai tersebut di atas (kini dan di sini), cepat atau lambat gereja akan menjadi terdakwa, penyalur bibit globalisasi ekonomi yang nota bene melahap sesamanya sendiri yang miskin dan menderita.

[Penulis saat ini belajar di Universitas Salamanca, Madrid, Spanyol

 

 
 
© Copyright 2000-2003 PMKRI Denpasar. All Rights Reserved.