Hubungan Islam-Kristen dari Masa
ke Masa
Mulanya rukun dan damai. Lalu perang.
Siapa yang memulai? Dan apa hubungannya kasus Maluku dan Ambon dengan
Perang Salib?
“Saya tidak tahu, apakah konflik ini bisa
terlupakan dalam satu-dua generasi. Permusuhannya sudah demikian
mendalam,” ujar Abdullah Soulissa, tokoh Partai Bulan Bintang Maluku,
dalam sebuah jumpa pers di Jakarta tahun silam. Dari wajahnya nampak
suasana prihatin yang mendalam, memikirkan api permusuhan Islam dan
Kristen yang tengah berkobar-kobar di tanah kelahirannya.
Abdullah dan jutaan penduduk Maluku memang layak
prihatin. Boleh jadi mereka setengah tak percaya, karena negeri
kepulauan yang semula termasyhur sangat rukun dalam tradisi
pela gandong, tiba-tiba terkoyak-koyak menjadi arena
saling bunuh seperti di Bosnia. Dan seperti mimpi rasanya, tetangga yang
dulu begitu ramah, saling bantu-membantu, tiba-tiba menjadi seperti
tentara Serbia yang dengan sadis membantai keluarga mereka.
Mitos selama ini, hubungan ummat Islam dan
Kristen di Maluku adalah yang paling harmonis sedunia. Konon dengan
tradisi pela gandong, ketika ummat Islam membangun masjid,
ummat Kristen turut serta bergotong-royong. Begitu pula saat ummat
Kristen membangun gereja, ummat Islam tak segan-segan menyingsingkan
baju membantunya. Sebuah situasi harmonis seperti di Desa Sukamaju,
tempat tinggal `almarhum' si Unyil yang dicita-citakan penguasa Orde
Baru.
Kini semua itu tinggal kenangan, disertai rasa
tanda tanya besar, mengapa api permusuhan antara ummat Islam dan Kristen
masih tersisa hingga ke abad ini? Bagaimana sejarah mulainya dan apa
pula solusinya?
Nabi dan Ahlul Kitab• Sejarah interaksi antara Islam-Kristen telah
terjadi sejak pertama risalah Islam turun ke bumi empat belas abad lalu.
Dalam riwayat disebutkan, ketika Rasulullah saw sedang gamang dan
gelisah setelah dijumpai pertama kali oleh malaikat Jibril as, sang
istri Khadijah ra mengajaknya pergi menemui saudara sepupunya Waraqah
ibnu Naufal yang menjadi rahib Nasrani, untuk meminta penjelasan apa
yang sebenarnya sedang terjadi.
Waraqah inilah yang pertama kali memberitahu
bahwa kedatangan Jibril menunjukkan Muhammad telah diangkat sebagai
Nabi, berdasar keterangan Injil yang dipelajarinya. Lalu Waraqah
berjanji, sekiranya ia masih hidup, ia akan menjadi salah seorang
pembelanya saat Muhammad saw diusir oleh kaumnya.
Muhammad saw, sebelum menjadi Rasul sudah
mendapat julukan Al Amin lantaran sifatnya yang mulia dan
sangat dipercaya. Sifatnya yang santun menjadikan ia berhubungan baik
dengan siapapun; dengan keluarga, sahabat dan musuh dakwahnya sekalipun.
Dalam hal interaksi dengan kelompok ahlul kitab,
ulama besar Syaikh Dr Yusuf Qardhawi dalam Hadyul Islam Fatwai
Mu'ashirah (Fatwa Kontemporer) menjelaskan betapa toleransi tampak
jelas dalam pergaulan Rasulullah terhadap ahlul kitab, baik Yahudi
maupun Nasrani. “Beliau mengunjungi mereka dan menghormati mereka,
menjenguk mereka yang sakit, menerima dan memberi sesuatu kepada
mereka.”
Sebelum orang di zaman kini biasa berdialog antar
agama, Nabi Muhammad sudah mendahului sejak dulu. Seperti dicatat oleh
Ibnu Ishaq dalam As-Shirah, para utusan dari negeri Najran
yang beragama Nasrani ketika menghadap beliau di Madinah, mereka
menemuinya di masjid setelah waktu ashar. Tatkala tiba waktu shalat,
mereka lantas hendak shalat di masjid beliau. Sehingga orang-orang
hendak mencegahnya, tetapi Rasulullah bersabda, “Biarkanlah mereka.”
Lantas mereka menghadap ke timur dan melakukan sembahyang mereka.
Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal
meriwayatkan teladan Nabi membantu kesusahan keluarga non Muslim. “Dari
Sa'id ibnu Al-Musayyab bahwa Rasulullah pernah bersedekah kepada
keluarga Yahudi, maka berlakulah hal itu atas mereka.”
Jadi, berbeda dengan kondisi di masa kini saat
kaum Muslim menerima derma dari non Muslim, Rasulullah memberi contoh
seharusnya orang Muslimlah yang berderma kepada sesama Muslim dan orang
non Muslim.
Khusus dengan kaum Kristen, sejak masih di Makkah
kaum Muslimin sudah menunjukkan kedekatannya dengan memberikan dukungan
kepada pasukan Romawi yang Kristen ketika mereka berperang dengan
pasukan Persia yang beragama Majusi (penyembah api). Bahkan mereka turut
bersedih ketika mendengar dalam satu pertempuran pasukan Romawi kalah,
sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam al-Quran Surat Ar-Rum.
Solidaritas orang Kristen kepada kaum Muslimin
pernah terjalin dengan baik di zaman itu ketika sebagian sahabat
diperintah oleh Nabi untuk hijrah ke negeri Habsyi yang penduduk dan
rajanya beragama Kristen. Di negeri itu sang Raja Negus memberikan suaka
kepada kaum Muslimin yang dikejar pasukan penguasa Makkah. Raja Negus
sangat terkesan dengan ayat-ayat al-Quran yang memuliakan Nabi Isa as
dan ibunya.
Begitu pula dengan kaum Yahudi. Sebelum kaum
Yahudi mengkhianati perjanjian, hubungan antara Nabi dan para sahabatnya
dengan komunitas Yahudi di Madinah berjalan baik. Seperti sering
diceritakan orang, di Madinah ada seorang Yahudi sering mengganggu Nabi
jika beliau lewat di muka rumahnya. Suatu hari ia absen karena sakit.
Mendengar itu Nabi menjenguknya. Si Yahudi itu demikian terkejut dan
terharu, tak menyangka dijenguk orang yang sering diganggunya. Hingga
akhirnya ia masuk Islam.
Konflik Pertama• Hubungan dengan Yahudi mulai memburuk sejak mereka
melakukan konspirasi bersama pasukan kafir Makkah, memusuhi kaum Muslim
di Madinah. Hingga akhirnya mereka diusir dari Madinah dan Khaibar.
Peristiwa Khaibar di kemudian hari menjadi satu peristiwa paling
traumatis dan mewariskan dendam kesumat orang Yahudi hingga
berabad-abad.
Sedangkan konflik pertama kali dengan kaum
Nasrani terjadi pada Perang Mu'tah dan Perang Tabuk, melawan tentara
Romawi (Bizantium). Perang Mu'tah terjadi karena Al Harits ibnu Umair
Al-Azady yang diutus Nabi untuk membawa surat kepada Raja Romawi Hiraqla
(Heraklius), dibunuh oleh seorang pejabat Romawi.
Perang Tabuk adalah lanjutan dari Perang Mu'tah,
karena Hiraqla penasaran pasukannya tidak berhasil mengalahkan pasukan
Muslim pada Perang Mu'tah.
Maka Hiraqla menyiapkan pasukan besar-besaran
untuk menyerbu Madinah. Mendengar hal itu Rasulullah juga menyiapkan
pasukan besar lalu pergi menyambut mereka di Tabuk, perbatasan Jazirah
Arab dengan Syam.
Karena terdengar kabar oleh pasukan Romawi bahwa
pasukan Muslim datang dengan kekuatan berlipat ganda, maka mereka
mengurungkan niatnya, lalu mundur teratur dari perbatasan, tak jadi
bertempur.
Pertempuran ketiga dengan pasukan Kristen Romawi
adalah pada Perang Yarmuk, di masa kekhalifahan Abu Bakar ra. Pada
perang ini pasukan Islam dipimpin oleh panglima Khalid ibnu Walid,
sedangkan pasukan Romawi dipimpin oleh para pendeta dengan membawa
palang salib. Atas izin Allah, pasukan Islam menang telak sehingga
Hiraqla melarikan diri ke Konstantinopel (Istanbul) sambil berlinang air
mata.
Masa setelah itu juga terdapat sejumlah
peperangan sehubungan dengan perlawanan negeri-negeri di Asia Tengah,
Eropa dan Afrika Utara terhadap gerakan dakwah Islam. Dalam rangkaian
ini ummat Islam berhasil membebaskan Baitul Maqdis (Jerusalem) dari
kekuasaan Kristen Romawi, pada masa kekhalifahan Umar ibnu
Khatthab.
Perang Salib• Jatuhnya Jerusalem, yang merupakan tanah kelahiran Nabi
Isa as, membuat masyarakat Kristen marah dan selalu berusaha merebut
kembali. Apalagi kemudian pasukan Islam Neo Bani Umayyah berhasil
menaklukkan wilayah Balkan di Eropa Timur serta semenanjung Iberia
(Spanyol) yang kemudian dinamakan Andalusia di Eropa Barat pada awal
tahun 700-an M.
Berabad-abad lamanya orang Kristen Eropa berupaya
merebut kembali wilayah Jerusalem dari tangan penguasa Islam. Upaya
mereka mulai menampakkan hasilnya di awal milenium kedua ketika seruan
Paus Urbanus II (1088-1099) untuk merebut kembali Jerusalem berhasil
menggerakkan pasukan di berbagai negara Eropa membentuk aliansi besar.
Dalam catatan sejarah, pada 27 November 1095,
Paus Urbanus II memproklamasikan Perang Salib (Crusade)
dalam sebuah pidato yang berapi-api di Dewan Clermont. Dalam kesempatan
itu Paus mengemukakan maksud-maksudnya atas nama Kristen untuk,
“Mempercepat pembasmian ras terhina dari daerah-daerah kita dan
sekaligus membantu penduduk Kristen.”
Untuk mengobarkan semangat perang Paus berseru,
“Kristus memerintahkan hal ini.” Sehingga para tentara Kristen kemudian
biasa meneriakkan “Deus le volt” (Tuhan menghendaki hal ini) ketika
menyerang kota-kota Muslim tanpa ampun.
Tak lupa ia mengatakan, “Siapa yang ikut serta
dalam peperangan akan diampuni dan dihapus dosa-dosanya.” Uskup kemudian
memberi pengampunan dosa bagi siapa saja yang mau bergabung dalam
`perang suci' ini, sehingga menambah kebengisan tentara salib. Fucher
dari Charres dalam bukunya A History of the Expedition to
Jerusalem, seperti dikutip Ayoub, menceritakan bahwa pada
tahap-tahap awal peperangan Salib, kota-kota yang ditaklukkan
benar-benar dibumihanguskan.
Perang Salib kemudian berlangsung berabad-abad
hingga mereda di abad ke-16. Tapi sebenarnya tak pernah berhenti benar.
Karena sesudah itu ada Perang Salib gaya baru berupa ekspedisi
kolonialisme bangsa Eropa ke daerah Timur yang diprakarsai Portugis dan
Spanyol.
Dengan semboyan gold, glory, and
gospel, mereka mencari kekayaan dari negeri-negeri di dunia Timur
seraya melakukan upaya kristenisasi dengan jalan paksa pada penduduk
setempat yang dijumpai. Semboyannya adalah “Katolik atau mati!” Sampai
abad ke-20, semangat seperti itu tak pernah padam. Bagi orang Indonesia
yang dijajah 3,5 abad, kolonialisme Belanda di negeri ini tak lepas dari
nuansa penaklukan orang Kristen Eropa ke dunia Islam.
Satu bukti lebih jelas adalah ketika Jenderal
Gouraud memadamkan pemberontakan Syria yang melawan Perancis, 1919-1920,
ia pergi ke makam Shalahudddin Al-Ayyubi di Damaskus, lalu menyepaknya
sambil berkata, “Kami telah kembali, Hai Saladin!”
Begitu pula ketika Perang Dunia I terjadi
penaklukan Jerusalem oleh kekuatan Eropa yang dipimpin Jenderal Allenby,
sang jenderal ini berkata,”Sekarang Perang Salib telah berakhir.” Sebuah
teriakan yang menunjukkan, dendam Perang Salib belum hilang benar dari
benak orang Kristen.
Maka, pada peperangan di Maluku setahun ini,
patutlah orang bertanya-tanya pula, apakah ini lanjutan dari Perang
Salib di masa lalu?
Kebanyakan tokoh seperti Sekjen PGI Dr JM
Pattiasina menolak anggapan demikian. “Perang Salib itu kan sejarah yang
lama. Padahal kita tidak lagi berpatok pada sejarah yang lama,” tegasnya
kepada Sahid. Alasan lain menurutnya, kekerasan yang
terjadi di Maluku itu bukan konflik agama. “Dan tidak pernah ada konflik
agama di Indonesia. Itu menurut saya adalah rekayasa-rekayasa politik.
Agama dijadikan sebagai alat untuk membenarkan tindakan-tindakan
politik.”
Cendekiawan Muslim seperti Dr Azyumardi Azra dan
Dr Kautsar Azhari Noor, keduanya dari IAIN Jakarta, juga menepis
hubungan konflik di Maluku dengan Perang Salib. “Saya kira tidak sejauh
itu,” kata Azyumardi.
Tapi Rektor IAIN Jakarta ini bisa memahami
kemunculan sentimen demikian bila kristalisasi konflik di Maluku itu
jadi kian mengeras. “Bila kristalisasi konflik itu, sebagaimana telah
terjadi di Maluku, kian mengeras maka mau tak mau simbol-simbol seperti
itu akan muncul,” tandasnya.
Nah, tinggal dinilai, kalau ratusan wanita, anak
kecil dan orang tua yang tak mengerti perang telah tewas dibantai di
Maluku, apakah belum terjadi kristalisasi?
Simak juga:
Islam-Kristen,
Konflik yang Tak Pernah Selesai
Hubungan Islam-Kristen dari Masa ke Masa
Mega Proyek
Kristenisasi
Sampai
Kapan Konflik Akan Selesai?