Sampai Kapan Konflik Akan Selesai?
Diperlukan aturan tentang tata cara
penyebaran agama. Mengapa pihak Kristen terus-menerus menolak aturan
itu?
Sebenarnya hubungan antara ummat Islam dan
Kristen di Indonesia dalam aktivitas sehari-harinya berjalan baik, tidak
ada masalah. Terutama dalam dunia muamalah, seperti perdagangan,
tidak jauh berbeda dengan hubungan antara sesama Muslim.
Friksi mulai muncul antara keduanya, tatkala
memasuki masalah persaingan penyebaran agama dan dalam kancah politik
dan ekonomi. Untuk kasus Indonesia, yang paling sering memicu konflik
horisontal di tengah masyarakat adalah penyebaran agama, seperti
pembangunan gereja dan missi Kristen di tengah pemukiman ummat Islam
tanpa izin Pemda dan masyarakat setempat, sehingga menimbulkan kemarahan
ummat Islam. Contoh paling mutakhir adalah pembakaran kompleks Yayasan
Doulos di Cipayung Jakarta beberapa saat lalu.
Problema ini sangat mudah meletup menjadi konflik
karena memang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Jika kedua belah
pihak bersikeras dengan kehendaknya masing-masing, kemudian ada
provokator yang memanas-manasi, maka jadilah konflik itu membesar hingga
menjadi kerusuhan massal.
Konflik Berlatar Politik• Konflik bernuansa politik dan ekonomi
biasanya hanya berada pada tataran elite, tidak sampai menjalar di
tingkat publik. Kalaupun terasa di tengah masyarakat luas, biasanya
hanya berupa ketidakpuasan yang terpendam (laten).
Fenomena ini bisa dilihat dalam percaturan
politik di era Orde Baru. Seperti telah sering diungkap banyak pihak,
ketika Soeharto baru berkuasa, yang mendapat posisi penting dalam
pemerintahannya adalah orang-orang dari kubu Islam-sekuler dan kalangan
Kristen. Kelompok Islam relatif terpinggirkan. Sehingga, hubungan antara
ummat Islam dengan pemerintah dipenuhi berbagai ketegangan, dengan
puncaknya kasus pembantaian di Tanjung Priok.
Baru di akhir pemerintahan Soeharto, kelompok
Islam mendapat tempat, sehingga banyak jabatan politis yang dipegang
oleh ummat Islam. Ormas-ormas Islam diberi `angin', termasuk ICMI.
Anggota DPR banyak dari kalangan Islam. Kalangan Kristen yang semula
banyak menempati jabatan strategis dalam kekuasaan tentu cemburu.
Untunglah friksi itu lebih banyak berkelindan di
tataran elite. Hanya di Maluku friksi elite ini kemudian menjalar ke
tingkat bawah hingga ke akar rumput. Seperti diungkap Ketua DPC PBB
Kodia Ambon Ustadz Ali Fauzi, semula hubungan ummat Islam dan ummat
Kristen di Maluku baik-baik saja.
Menurut tokoh Islam Maluku ini, sejak zaman
pemerintahan Hindia Belanda sampai pemerintahan lalu, tidak pernah ada
pertikaian. “Jadi toleransi antar ummat beragama di sana bisa dikatakan
cukup harmonis, tidak banyak masalah,” kata pria kelahiran Ambon 75
tahun lalu ini.
Masih menurut Ali Fauzi, masalah mulai muncul
ketika sedikit demi sedikit terjadi perubahan suasana di jajaran
birokrasi Pemda Maluku. Seperti diketahui, sejak zaman Belanda, orang
Maluku yang beragama Kristen mendapat keistimewaan untuk bersekolah,
sehingga yang menjadi pegawai negeri dari level bawah hingga atas adalah
kalangan Kristen.
Tapi sejak 1960-an, orang Islam Maluku mulai
berkesempatan mengenyam pendidikan lebih baik dan sebagian jabatan
birokrasi mulai diisi oleh Muslim Maluku, sehingga lambat laun terjadi
pergeseran. Muslim Maluku mulai menduduki jabatan penting pemerintahan,
bahkan sampai berhasil menduduki jabatan gubernur propinsi itu. Meski
pegawai negeri di Maluku masih lebih banyak dari kalangan Kristen
daripada pegawai Muslim, toh hal itu sudah menyebabkan orang-orang
Kristen merasa tersisih. “Ini salah satu faktor utama yang membuat
mereka iri hati dan melakukan aksi,” kata Ali Fauzi.
Kecemburuan itu kian menebal tatkala melihat
sektor niaga juga dikuasai oleh kalangan Muslim, baik Muslim Maluku
maupun para pendatang dari Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Untuk level
ekonomi lemah saja, seperti tukang becak, banyak diisi oleh orang Buton,
Sulawesi Tenggara.
Namanya persaingan, seharusnya diatasi dengan
upaya berlomba secara sehat. Kalau Kristen Maluku merasa mulai
tersingkir karena persaingan, seharusnya diatasi dengan peningkatan mutu
SDM mereka di Maluku. Tapi mereka tidak mencari solusi demikian,
melainkan memilih jalan kekerasan. “Sejak itu pula mereka melakukan
berbagai rencana untuk menyingkirkan ummat Islam,” kata Ali
Fauzi.
Parahnya, bagi sebagian kelompok Kristen yang
tidak sabaran, upaya penyingkiran itu disandingkan dengan gerakan
separatisme berupa keinginan mendirikan negara Republik Maluku Serani
(RMS). Maksudnya jelas, mereka ingin mendirikan negara sendiri di Maluku
yang pemerintahannya mutlak dikuasai oleh orang Kristen.
Jadi, kalau sekarang banyak tokoh yang menegaskan
bahwa kasus pertikaian di Maluku bukan perang agama, tetapi konflik
politik dan kecemburuan sosial-ekonomi, dalam satu hal bisa dibenarkan.
Namun jika ditilik lebih jauh, konflik politik dan kecemburuan itu
sendiri berlandas ketidaksukaan satu kelompok agama kepada kelompok
agama lain. Itu artinya, tanpa adanya momok Islamofobia di kalangan
Kristen Maluku, konflik politik yang kemudian berkembang jadi perang ini
tidak terjadi.
Identifikasi masalah seperti ini, haruslah jelas
terlebih dahulu, sehingga bisa dicari solusi yang tepat. Pernyataan
bahwa konflik itu bukan perang agama, melainkan hanya sebuah konflik
politik, meski nampak menenteramkan tapi malah mengaburkan masalah dari
persoalan sesungguhnya. Akibatnya, sulit dicari penyelesaian yang
tuntas.
SKB nan Tak Kunjung Usai• Konflik seputar masalah kristenisasi hingga
kini juga masih menjadi PR besar yang mengganjal hubungan antara orang
Islam dan orang Kristen di Indonesia. Karena, meski sudah ditengahi oleh
pemerintah dengan sejumlah peraturan, pelanggaran-pelanggaran masih
terus saja berlangsung, hingga tak jarang mencuat menjadi konflik
terbuka, baik yang berskala lokal hingga yang berskala nasional.
Menurut sejarawan Belanda BJ Boland dalam
Pergumulan Islam di Indonesia, pertikaian antara ummat
Islam dan ummat Kristen pasca-kemerdekaan RI mulai mencuat sejak tahun
1965. Intensitasnya menjadi kian besar pada 1 Oktober 1967 di Makassar,
berupa perusakan sebuah gereja oleh pemuda-pemuda Islam, lantaran ada
seorang guru agama Kristen yang melecehkan Nabi Muhammad. Tambahan lagi,
gereja itu dibangun tepat di depan masjid jami' di Makassar meski tidak
ada orang-orang Kristen yang berdiam di sekitar tempat itu.
Sejak itu hingga tahun 1969, insiden perusakan
gereja juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia seperti Meulaboh
(Aceh Barat), Jakarta, Jatibarang (Jawa Barat), dan Purwodadi (Jawa
Tengah). Sebaliknya, insiden serupa juga terjadi saat masyarakat Muslim
hendak mendirikan masjid di tengah masyarakat Kristen di Sangihe
(Sulawesi Utara).
Atas prakarsa pemerintah, pada 30 November 1967
diadakan Musyawarah Antar-Agama di Jakarta, untuk
memperbaiki hubungan yang menegang antara berbagai ummat beragama. Dalam
kesempatan itu Menteri Agama KH M Dachlan menyampaikan kehendak
pemerintah bahwa melalui forum musyarawah tersebut dapat tercapai dua
hal penting. Pertama, persengketaan di antara ummat beragama harus
diakhiri. Kedua, suatu ummat beragama dilarang menjadikan ummat beragama
lainnya sebagai sasaran missi agamanya.
Utusan agama Islam, Hindu, dan Budha sepakat
dengan rumusan itu. Bahkan Prof Rasjidi mengusulkan sebuah konsep
`Piagam' yang diharapkan akan menjadi asas toleransi agama. Isinya
menyangkut kesepakatan bahwa suatu ummat beragama tidak akan diizinkan
menjadikan ummat beragama lainnya sebagai sasaran propaganda.
Menguatkan pendapat Rasjidi, Mohammad Natsir
menyatakan optimismenya bahwa hubungan Islam dan Kristen akan membaik
seperti hubungan membaiknya Protestan dan Katolik. “Setelah melalui masa
perang agama yang lama, sekarang golongan Tambunan (nama utusan
Protestan -red) dan golongan Kasimo (nama utusan Katolik -red) terang
tidak lagi terpanggil untuk memprotestankan orang Katolik Roma atau
mengkatolikromakan orang Protestan. Mengapa perkembangan ini tidak dapat
diterapkan juga dalam hubungan ummat Islam dan ummat Kristen?” kata
Natsir.
Namun pihak utusan Kristen menolak mentah-mentah
usulan itu. Salah seorang utusannya, Dr Tambunan, menegaskan bahwa
pihaknya tidak dapat menerima pembatasan penyebaran agama kepada
kelompok tertentu dengan alasan bertentangan dengan suruhan Bibel. Dalam
Sidang Dewan Gereja-gereja se-Indonesia (DGI) di Salatiga Juli 1976,
sikap penolakan oleh pihak Kristen itu ditegaskan kembali.
Kalangan Katolik pun bersikap senada. Mereka
menolak aturan yang hanya membolehkan penyebaran agama kepada mereka
yang belum beragama. “Mengagamakan orang yang belum beragama adalah
munafik,” kata Kardinal Darmoyuwono.
Menanggapi hal itu, para tokoh Islam
mengingatkan, dalam Islam pun ada suruhan untuk berdakwah kepada segenap
ummat manusia di seluruh penjuru bumi. Tetapi demi kerukunan antar ummat
beragama di Indonesia, ummat Islam bersedia menahan diri untuk tidak
mendakwahkan agamanya kepada orang lain yang sudah beragama.
Namun, apapun argumen yang disampaikan wakil
pemerintah dan wakil kelompok Islam, pihak Kristen tetap saja konsisten
menolak sehingga mengecewakan banyak kalangan Islam. Penolakan itu
dinilai sebagai sikap intoleran kalangan Kristen. “Tanpa toleransi, tak
akan ada kerukunan,” kecam Mohammad Natsir.
Sikap demikian masih berlanjut ketika Menteri
Agama mengeluarkan Surat Keputusan No 70 Th 1978 tentang Pedoman
Penyiaran Agama dan Surat Keputusan No 77 Th 1978, tentang Bantuan Luar
Negeri kepada Lembaga Keagamaan. Badan Pekerja Harian DGI dan Majelis
Agung Waligereja Indonesia (MAWI) segera membentuk satu tim penyusun
kertas telaah (study paper) untuk membahas kedua aturan
itu. Hasilnya, mereka tegas-tegas menolak kedua SK Menteri Agama
tersebut. Alasannya, kedua SK itu dianggap bertentangan dengan UUD'45
dan hak-hak asasi manusia.
Pemerintah kemudian menyempurnakan SK Menag itu
dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No 1 Th 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Tapi lagi-lagi pihak Kristen menolak. “SKB itu
lebih banyak merugikan kami. SKB No 1 tahun 1979 itu tidak jelas. Siapa
yang menentukan, bukan rakyat di sekelilingnya tapi pemerintah,” ujar
Sekreataris Jendkelihatannya tidak sejalan. Dia juga bolak-balik ke luar
negeri untuk meyakinkan para investor. Tapi situasi keamanan tidak
mereda, bagaimana investor mau datang ke sini?
Mungkin perlu oposisi untuk menekan?
Itu salah satu cara. Saya sangat setuju kalau oposisi dilembagakan.
Partai-partai yang tidak duduk di pemerintah, jadilah oposisi. Tentu
yang oposisi di sini selalu dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar.
Kalau salah ya disalahkan, kalau benar ya harus dipuji dan didukung. s,
memang akhirnya protes mereda. Tapi itu artinya `bom waktu' sedang
mereka tanam di tengah masyarakat. Hingga kemudian meledak suatu saat
dengan faktor pemicu yang mungkin tidak bersangkut paut dengan masalah
SARA. Dari kasus kerusuhan di Situbondo yang merusakkan 21 gereja dan
kerusuhan di Tasikmalaya yang merusakkan delapan gereja beberapa saat
lalu, diketahui sebagian gereja yang rusak itu memang dibangun tanpa
IMB.