Suara Hidayatullah : Februari 2000/Syawal-Dzulqa'dah 1420  

Sampai Kapan Konflik Akan Selesai?

Diperlukan aturan tentang tata cara penyebaran agama. Mengapa pihak Kristen terus-menerus menolak aturan itu?

Sebenarnya hubungan antara ummat Islam dan Kristen di Indonesia dalam aktivitas sehari-harinya berjalan baik, tidak ada masalah. Terutama dalam dunia muamalah, seperti perdagangan, tidak jauh berbeda dengan hubungan antara sesama Muslim.

Friksi mulai muncul antara keduanya, tatkala memasuki masalah persaingan penyebaran agama dan dalam kancah politik dan ekonomi. Untuk kasus Indonesia, yang paling sering memicu konflik horisontal di tengah masyarakat adalah penyebaran agama, seperti pembangunan gereja dan missi Kristen di tengah pemukiman ummat Islam tanpa izin Pemda dan masyarakat setempat, sehingga menimbulkan kemarahan ummat Islam. Contoh paling mutakhir adalah pembakaran kompleks Yayasan Doulos di Cipayung Jakarta beberapa saat lalu.

Problema ini sangat mudah meletup menjadi konflik karena memang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Jika kedua belah pihak bersikeras dengan kehendaknya masing-masing, kemudian ada provokator yang memanas-manasi, maka jadilah konflik itu membesar hingga menjadi kerusuhan massal.

Konflik Berlatar Politik• Konflik bernuansa politik dan ekonomi biasanya hanya berada pada tataran elite, tidak sampai menjalar di tingkat publik. Kalaupun terasa di tengah masyarakat luas, biasanya hanya berupa ketidakpuasan yang terpendam (laten).

Fenomena ini bisa dilihat dalam percaturan politik di era Orde Baru. Seperti telah sering diungkap banyak pihak, ketika Soeharto baru berkuasa, yang mendapat posisi penting dalam pemerintahannya adalah orang-orang dari kubu Islam-sekuler dan kalangan Kristen. Kelompok Islam relatif terpinggirkan. Sehingga, hubungan antara ummat Islam dengan pemerintah dipenuhi berbagai ketegangan, dengan puncaknya kasus pembantaian di Tanjung Priok.

Baru di akhir pemerintahan Soeharto, kelompok Islam mendapat tempat, sehingga banyak jabatan politis yang dipegang oleh ummat Islam. Ormas-ormas Islam diberi `angin', termasuk ICMI. Anggota DPR banyak dari kalangan Islam. Kalangan Kristen yang semula banyak menempati jabatan strategis dalam kekuasaan tentu cemburu.

Untunglah friksi itu lebih banyak berkelindan di tataran elite. Hanya di Maluku friksi elite ini kemudian menjalar ke tingkat bawah hingga ke akar rumput. Seperti diungkap Ketua DPC PBB Kodia Ambon Ustadz Ali Fauzi, semula hubungan ummat Islam dan ummat Kristen di Maluku baik-baik saja.

Menurut tokoh Islam Maluku ini, sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai pemerintahan lalu, tidak pernah ada pertikaian. “Jadi toleransi antar ummat beragama di sana bisa dikatakan cukup harmonis, tidak banyak masalah,” kata pria kelahiran Ambon 75 tahun lalu ini.

Masih menurut Ali Fauzi, masalah mulai muncul ketika sedikit demi sedikit terjadi perubahan suasana di jajaran birokrasi Pemda Maluku. Seperti diketahui, sejak zaman Belanda, orang Maluku yang beragama Kristen mendapat keistimewaan untuk bersekolah, sehingga yang menjadi pegawai negeri dari level bawah hingga atas adalah kalangan Kristen.

Tapi sejak 1960-an, orang Islam Maluku mulai berkesempatan mengenyam pendidikan lebih baik dan sebagian jabatan birokrasi mulai diisi oleh Muslim Maluku, sehingga lambat laun terjadi pergeseran. Muslim Maluku mulai menduduki jabatan penting pemerintahan, bahkan sampai berhasil menduduki jabatan gubernur propinsi itu. Meski pegawai negeri di Maluku masih lebih banyak dari kalangan Kristen daripada pegawai Muslim, toh hal itu sudah menyebabkan orang-orang Kristen merasa tersisih. “Ini salah satu faktor utama yang membuat mereka iri hati dan melakukan aksi,” kata Ali Fauzi.

Kecemburuan itu kian menebal tatkala melihat sektor niaga juga dikuasai oleh kalangan Muslim, baik Muslim Maluku maupun para pendatang dari Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Untuk level ekonomi lemah saja, seperti tukang becak, banyak diisi oleh orang Buton, Sulawesi Tenggara.

Namanya persaingan, seharusnya diatasi dengan upaya berlomba secara sehat. Kalau Kristen Maluku merasa mulai tersingkir karena persaingan, seharusnya diatasi dengan peningkatan mutu SDM mereka di Maluku. Tapi mereka tidak mencari solusi demikian, melainkan memilih jalan kekerasan. “Sejak itu pula mereka melakukan berbagai rencana untuk menyingkirkan ummat Islam,” kata Ali Fauzi.

Parahnya, bagi sebagian kelompok Kristen yang tidak sabaran, upaya penyingkiran itu disandingkan dengan gerakan separatisme berupa keinginan mendirikan negara Republik Maluku Serani (RMS). Maksudnya jelas, mereka ingin mendirikan negara sendiri di Maluku yang pemerintahannya mutlak dikuasai oleh orang Kristen.

Jadi, kalau sekarang banyak tokoh yang menegaskan bahwa kasus pertikaian di Maluku bukan perang agama, tetapi konflik politik dan kecemburuan sosial-ekonomi, dalam satu hal bisa dibenarkan. Namun jika ditilik lebih jauh, konflik politik dan kecemburuan itu sendiri berlandas ketidaksukaan satu kelompok agama kepada kelompok agama lain. Itu artinya, tanpa adanya momok Islamofobia di kalangan Kristen Maluku, konflik politik yang kemudian berkembang jadi perang ini tidak terjadi.

Identifikasi masalah seperti ini, haruslah jelas terlebih dahulu, sehingga bisa dicari solusi yang tepat. Pernyataan bahwa konflik itu bukan perang agama, melainkan hanya sebuah konflik politik, meski nampak menenteramkan tapi malah mengaburkan masalah dari persoalan sesungguhnya. Akibatnya, sulit dicari penyelesaian yang tuntas.

SKB nan Tak Kunjung Usai• Konflik seputar masalah kristenisasi hingga kini juga masih menjadi PR besar yang mengganjal hubungan antara orang Islam dan orang Kristen di Indonesia. Karena, meski sudah ditengahi oleh pemerintah dengan sejumlah peraturan, pelanggaran-pelanggaran masih terus saja berlangsung, hingga tak jarang mencuat menjadi konflik terbuka, baik yang berskala lokal hingga yang berskala nasional.

Menurut sejarawan Belanda BJ Boland dalam Pergumulan Islam di Indonesia, pertikaian antara ummat Islam dan ummat Kristen pasca-kemerdekaan RI mulai mencuat sejak tahun 1965. Intensitasnya menjadi kian besar pada 1 Oktober 1967 di Makassar, berupa perusakan sebuah gereja oleh pemuda-pemuda Islam, lantaran ada seorang guru agama Kristen yang melecehkan Nabi Muhammad. Tambahan lagi, gereja itu dibangun tepat di depan masjid jami' di Makassar meski tidak ada orang-orang Kristen yang berdiam di sekitar tempat itu.

Sejak itu hingga tahun 1969, insiden perusakan gereja juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia seperti Meulaboh (Aceh Barat), Jakarta, Jatibarang (Jawa Barat), dan Purwodadi (Jawa Tengah). Sebaliknya, insiden serupa juga terjadi saat masyarakat Muslim hendak mendirikan masjid di tengah masyarakat Kristen di Sangihe (Sulawesi Utara).

Atas prakarsa pemerintah, pada 30 November 1967 diadakan Musyawarah Antar-Agama di Jakarta, untuk memperbaiki hubungan yang menegang antara berbagai ummat beragama. Dalam kesempatan itu Menteri Agama KH M Dachlan menyampaikan kehendak pemerintah bahwa melalui forum musyarawah tersebut dapat tercapai dua hal penting. Pertama, persengketaan di antara ummat beragama harus diakhiri. Kedua, suatu ummat beragama dilarang menjadikan ummat beragama lainnya sebagai sasaran missi agamanya.

Utusan agama Islam, Hindu, dan Budha sepakat dengan rumusan itu. Bahkan Prof Rasjidi mengusulkan sebuah konsep `Piagam' yang diharapkan akan menjadi asas toleransi agama. Isinya menyangkut kesepakatan bahwa suatu ummat beragama tidak akan diizinkan menjadikan ummat beragama lainnya sebagai sasaran propaganda.

Menguatkan pendapat Rasjidi, Mohammad Natsir menyatakan optimismenya bahwa hubungan Islam dan Kristen akan membaik seperti hubungan membaiknya Protestan dan Katolik. “Setelah melalui masa perang agama yang lama, sekarang golongan Tambunan (nama utusan Protestan -red) dan golongan Kasimo (nama utusan Katolik -red) terang tidak lagi terpanggil untuk memprotestankan orang Katolik Roma atau mengkatolikromakan orang Protestan. Mengapa perkembangan ini tidak dapat diterapkan juga dalam hubungan ummat Islam dan ummat Kristen?” kata Natsir.

Namun pihak utusan Kristen menolak mentah-mentah usulan itu. Salah seorang utusannya, Dr Tambunan, menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat menerima pembatasan penyebaran agama kepada kelompok tertentu dengan alasan bertentangan dengan suruhan Bibel. Dalam Sidang Dewan Gereja-gereja se-Indonesia (DGI) di Salatiga Juli 1976, sikap penolakan oleh pihak Kristen itu ditegaskan kembali.

Kalangan Katolik pun bersikap senada. Mereka menolak aturan yang hanya membolehkan penyebaran agama kepada mereka yang belum beragama. “Mengagamakan orang yang belum beragama adalah munafik,” kata Kardinal Darmoyuwono.

Menanggapi hal itu, para tokoh Islam mengingatkan, dalam Islam pun ada suruhan untuk berdakwah kepada segenap ummat manusia di seluruh penjuru bumi. Tetapi demi kerukunan antar ummat beragama di Indonesia, ummat Islam bersedia menahan diri untuk tidak mendakwahkan agamanya kepada orang lain yang sudah beragama.

Namun, apapun argumen yang disampaikan wakil pemerintah dan wakil kelompok Islam, pihak Kristen tetap saja konsisten menolak sehingga mengecewakan banyak kalangan Islam. Penolakan itu dinilai sebagai sikap intoleran kalangan Kristen. “Tanpa toleransi, tak akan ada kerukunan,” kecam Mohammad Natsir.

Sikap demikian masih berlanjut ketika Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No 70 Th 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Surat Keputusan No 77 Th 1978, tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan. Badan Pekerja Harian DGI dan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) segera membentuk satu tim penyusun kertas telaah (study paper) untuk membahas kedua aturan itu. Hasilnya, mereka tegas-tegas menolak kedua SK Menteri Agama tersebut. Alasannya, kedua SK itu dianggap bertentangan dengan UUD'45 dan hak-hak asasi manusia.

Pemerintah kemudian menyempurnakan SK Menag itu dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1 Th 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

Tapi lagi-lagi pihak Kristen menolak. “SKB itu lebih banyak merugikan kami. SKB No 1 tahun 1979 itu tidak jelas. Siapa yang menentukan, bukan rakyat di sekelilingnya tapi pemerintah,” ujar Sekreataris Jendkelihatannya tidak sejalan. Dia juga bolak-balik ke luar negeri untuk meyakinkan para investor. Tapi situasi keamanan tidak mereda, bagaimana investor mau datang ke sini?

Mungkin perlu oposisi untuk menekan?

Itu salah satu cara. Saya sangat setuju kalau oposisi dilembagakan. Partai-partai yang tidak duduk di pemerintah, jadilah oposisi. Tentu yang oposisi di sini selalu dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar. Kalau salah ya disalahkan, kalau benar ya harus dipuji dan didukung. s, memang akhirnya protes mereda. Tapi itu artinya `bom waktu' sedang mereka tanam di tengah masyarakat. Hingga kemudian meledak suatu saat dengan faktor pemicu yang mungkin tidak bersangkut paut dengan masalah SARA. Dari kasus kerusuhan di Situbondo yang merusakkan 21 gereja dan kerusuhan di Tasikmalaya yang merusakkan delapan gereja beberapa saat lalu, diketahui sebagian gereja yang rusak itu memang dibangun tanpa IMB.

Karena itu, seperti dijelaskan Sekjen Dewan Da'wah, Husein Umar, MUI Pusat dalam beberapa rapat kerja mendesak supaya SK dan SKB menteri itu ditingkatkan menjadi Keputusan Presiden (Keppres) atau berupa Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu).

“Sehingga ada sanksi hukum yang jelas,” kata Husein yang juga pengurus MUI Pusat ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah setelah ditingkatkan menjadi Kepres, ada jaminan kalangan Kristen mau menaati aturan itu?

 

Simak juga:
  • Islam-Kristen, Konflik yang Tak Pernah Selesai
  • Hubungan Islam-Kristen dari Masa ke Masa
  • Mega Proyek Kristenisasi
  • Sampai Kapan Konflik Akan Selesai?