Solo
painting & 3-dimensional art exhibition, Edwin Galeri, Jakarta, Indonesia,
February 2002
Jalan Kemang
Raya No. 21, Kemang, Jakarta 12730, Indonesia
Phone: (62-21) 7194721
Fax: (62-21) 71790278
Email address: edwingaleri@cbn.net.id
Homepages: www.info.batavianet.com/edwingallery
EXHIBITION CREDITS:
ASSISTANTS IN PRODUCTION:
EXHIBITION CATALOG:
Ide dasar dan
rancangan visual oleh/Visual design and basic idea by:
Bunga Jeruk
Pengantar kuratorial
oleh/Curatory preface by:
Jim Supangkat
Fotografer/Photographers:
Oblo Dwi Prasetyo, Bunga Jeruk, Edwin Rahardjo
Penyelaras
akhir/Copy editor:
Divisi Desain Edwin's Gallery
BJ'S PREFACE (in Indonesian & English)
Siapa
Takut?
oleh:
Bunga Jeruk
Saya mulai melukis sejak 1979, dan menjadikannya profesi sejak 1996. Seni tiga dimensi baru saya coba sejak 1998. Ini pameran tunggal saya yang keempat. Selama ini banyak orang membantu dan memberi dukungan kepada saya untuk terus berkarya. Dalam pameran ini pun saya tidak sendirian, melainkan didukung semacam tim kreatif. Terutama untuk pengerjaan karya-karya tiga dimensi, proses-proses digital dan olah kata. Secara umum pameran ini tidak ada usainya, berkat teknologi internet yang saya akrabi sejak 1997.
Tiap karya yang terpajang dalam pameran ini sama pentingnya buat saya, dan tidak ada yang saya kerjakan secara asal-asalan. Kalaupun hasilnya jelek, itu berarti saya gagal, bukan karena pengerjaan yang serampangan.
Meski demikian, untuk sekadar catatan saja yang paling memuaskan saya secara pribadi adalah Siapa Takut? (Dolphin's Kiss), beruang dan lumba-lumba. Saya merasa benar-benar bebas selama proses merancang dan mewujudkan karya 3 dimensi itu. Jika biasanya saya takut akan reaksi pengamat karya-karya saya, tak berani mengikuti kata hati, terlalu banyak pertimbangan dan selalu kuatir akan komentar orang, kali ini tidak lagi. Saya membebaskan diri dari 'keharusan' memasukkan pesan-pesan moral, pemikiran sosial, gagasan politis, dan sebagainya. Yang saya pentingkan hanyalah menciptakan karya yang saya inginkan, tanpa beban sama sekali. Keinginan ini terwujud selama proses pembuatan Siapa Takut?. Saya bisa jujur sepenuhnya kepada diri saya sendiri.
Kepuasan serupa, dengan sebab yang sama, juga saya peroleh dalam penciptaan Percaya Aja Deh (Just Trust the Driver), bus dan para penumpangnya di atas jembatan. Apa yang digarap oleh pengrajin logam dan apa yang saya kerjakan sendiri bisa berpadu dengan baik dalam karya ini; mereka membuat wujud tiga dimensinya dan saya menerapkan teknik lukis dalam pewarnaannya. Ini memberi kepuasan teknis pada saya.
Sementara Semua Anjing Juara (Every Dog is #1), monumen anjing dari batu, memberi keleluasaan secara konseptual. Memangnya monumen hanya boleh dibuat untuk sosok-sosok 'besar' saja? Saya menginginkan monumen yang mempribadi, monumen yang bukan milik umum, monumen yang jujur, tanpa pemuatan nilai-nilai luhur yang dipaksakan. Sebetulnya gagasannya juga berawal dari kebiasaan Orde Baru dulu, dalam membuat patung dan baliho pembangunan atau peringatan hari-hari besar nasional, setelah itu memusat dan menyempit menjadi pernyataan saya mengenai binatang piaraan.
Lukisan yang merupakan pembebasan saya adalah Wooly Bully, sekumpulan boneka dan tokoh-tokoh kartun Powerpuff Girls. Saya sadar betul pada waktu membuatnya, bahwa apa yang saya bawa ke atas kanvas kali ini mungkin tak sesuai dengan harapan atau perkiraan orang. Tapi saya ingin membuatnya, dengan gagasan yang sama dengan Siapa Takut?. Intinya adalah kejujuran terhadap diri sendiri.
Sedangkan kepuasan teknis saya peroleh terutama dari 10 (Last Season Up Close), potret pemain sepakbola Italia Alessandro del Piero. Saya menemukan cara 'menciptakan' langit lewat lukisan ini. Dan kebetulan objeknya tokoh populer yang saya sukai.
Meski pameran ini hanya terselenggara berkat bantuan dan dukungan banyak orang, namun segala kekurangan yang berkaitan dengan karya-karya yang ditampilkan adalah kekurangan saya secara pribadi.
Semoga
di hari-hari mendatang saya bisa berkarya lebih baik lagi.
(Jogja, Desember 2001)
Every
Dog is #1
by: Bunga Jeruk
I started to paint when I was 7, in 1979, and took it up as a profession since 1996. I haven't created anything 3-dimensional before 1998. This is my fourth solo exhibition.
Throughout my career, many people have been helping and supporting me to go on. This exhibition is no exception. I am not by myself here, but with some kind of a creative team. Especially in the making of 3-dimensional works, verbal and digital processes. In a sense this exhibition will not end, thanks to the internet that I have been friendly with since 1997.
Every artwork exhibited now is important to me, and none was created carelessly. If the end result is bad, it only means that I have failed, but it doesn't mean that I did it without much care and thought.
Just a postscript, the work that satisfies me most, personally, is Siapa Takut? (literal translation: "Who's Scared?"), or Dolphin's Kiss, 3-dimensional work showing a bear and a dolphin. I really felt free in the process of creation. Usually I was afraid of people's reaction, I didn't dare pursuing my own wishes, I minded the public's possible appreciation too much. But it didn't happen as I created this work. I liberated myself from the 'obligation' to insert moral messages, social thoughts, political ideas, and so on here. What occupied my mind was only to create something that I love, no additional considerations. I am happy that I could, at last, be entirely honest to myself.
Similar satisfaction, with the same cause, also came from the making of Percaya Aja Deh (Just Trust the Driver), a bus and its passengers on a bridge. What was created by ironsmiths and what I have created by myself have been a good cooperation here; they made the 3-dimensional thing and I applied my painting techniques in coloring it. This gives me a technical satisfaction.
Meanwhile, Semua Anjing Juara (Every Dog is #1), the monument of a dog made of stone, has given me a conceptual freedom. Who says monuments are reserved for heroes and such? I want a personal monument, a monument that is not a public thing, a honest monument, without any false values forced into it at all. Actually my idea came from the New Order (Indonesian last regime until 1998) and its habit in making public statues and billboards depicting its heroes. Then this idea was focused and specialized into my statement about pets.
My liberation in painting comes from Wooly Bully, the 'ocean' of dolls and the Powerpuff Girls cartoon figures. When I made this painting, I was fully aware of the possible reaction and that my painting this time might stray from what people hope or expect me to present. But I made it anyway, based on the same thought that has given me Siapa Takut?. The essence is honesty to myself.
While some technical satisfaction comes from the painting 10 (Last Season Up Close), the Italian football player Alessandro del Piero's portrait. I found the way to 'create' the sky through this painting. Accidentally it also shows my favorite popular figure.
Even though this exhibition would have been impossible if not for the help, support, and contribution of many people, the artworks' deficiencies are mine.
I
just hope that I can do better next time.
(Jogja, Indonesia, December 2001)
ARTWORKS ON DISPLAY
Lukisan Paintings
"Hoki
& Hong Sui"
2001
Serial terdiri dari 6 lukisan cat minyak di atas kanvas, @ 20 x 20 cm.
A series consists of 6 oil paintings on canvas, 20 x 20 cm each.
Menggambarkan kegembiraan jika dua makhluk atau unsur berteman dan saling
menyayangi, seperti anak perempuan kecil dengan kucing besar dalam serial ini.
Hoki dan Hong Sui adalah bagian dari sistem keyakinan dan cara pandang dunia
Tionghoa, memuat harapan-harapan dasar manusia akan keberuntungan dan kesejahteraan.
Alangkah senangnya kalau keduanya berkawan. Tapi saya memberi judul ini hanya
main-main saja lho.
Depicting joy when two creatures or elements befriend and care about each other,
just like the little girl and the big cat in this series. 'Hoki' and 'Hong Sui'
are parts of the Chinese system of belief and its worldview, containing the
basic human wishes of Fortune and Welfare. What a joy it brings if the two of
them become friends. But I don't intend to picture the Chinese way of thinking
or any other big theme. I use the words as the title only for fun.
"10
(Last Season Up Close)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 50 x 70 cm.
Oil on canvas, 50 x 70 cm.
Saya suka sepakbola Italia, dan penggemar olahraga ini pasti tahu siapa Alessandro
Del Piero. Dalam sepakbola, nomor punggung di seragam para pemain bukan sembarang
nomor, melainkan sesuatu yang bisa dibilang 'sakral' dan dimuati kepercayaan,
harapan, status, keyakinan. 10 adalah nomor Del Piero di tim nasional Italia
serta di klubnya, Juventus (Turin). Pemain yang bisa mendapatkan nomor yang
sama di mana pun ia berada hanya pemain yang diakui sebagai 'tak tergantikan';
pemain 'kesayangan' publik pecinta sepakbola. Del Piero seperti itu. 10 juga
melambangkan nilai yang saya berikan kepadanya karena dia menghormati fair play,
dan jarang kehilangan kesabaran di tengah permainan. Musim kompetisi yang lalu
Juventus kalah dari A.S. Roma, tapi status Del Piero tak terpengaruh naik-turunnya
posisi klub dan timnas Italia.
I love Italian football, and whoever likes this sport knows who Alessandro Del
Piero is. In football, the number put on the players' outfit is not just a number,
it is something 'sacred', symbolizing trust, hope, status, faith. 10 is Del
Piero's number in the Italian national squad and in his current club, Juventus
(Turin). Not every player can get the same number for their shirts everywhere.
The ones who get it only those who are considered 'untouchable', cannot be replaced
by any other player, the football public's 'sweetheart'. Del Piero is like that.
10 also symbolizes the score I give him, because he respects fair play and scarcely
losing his cool in the middle of a game. Last season Juventus was beaten by
A.S. Roma, but Del Piero's status isn't subject to changes of fortune of the
Italian national team and his club.
"Wooly
Bully"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 90 x 196 cm.
Oil on canvas, 90 x 196 cm.
Saya gambarkan tokoh-tokoh kartun Powerpuff Girls sedang menghajar lawan
mereka di atas sekumpulan boneka. Di antara boneka-boneka itu ada anjing betulan,
namanya Wooly Bully (saya ambil dari nama mantan anjing Agus Suwage). Powerpuff
Girls adalah serial yang luarbiasa populer, dan seperti serial lain yang laris,
ia juga menjadi merek dagang. Kecenderungan anak-anak untuk menggilai tokoh-tokoh
rekaan yang biarpun lucu tapi 'jagoan' dan menggunakan kekerasan, buat saya
memprihatinkan. Bagi yang tak suka boneka atau yang menganggapnya kekanak-kanakan,
saya juga ingin menyuguhkan lautan boneka, sehingga boneka berbulu (wooly) 'mengintimidasi'
(bully) mata mereka. Saya suka boneka, dan bagaimana pun juga sampai kini boneka
binatang masih bebas dari nuansa kekerasan.
I picture the Powerpuff Girls cartoon heroines in the act of fighting their
enemy above a bunch of dolls. Among the dolls there is a real dog named Wooly
Bully (I borrow Agus Suwage's missing dog's name). Powerpuff Girls is a very
popular series, and like others it also becomes a trademark. Children's tendency
to get addicted to cartoon heroes and heroines, which are, although cute, invincible
and using violence as their mode of action, is something that troubles me. To
those who don't like dolls or think that they are childish, I also want to present
an ocean of dolls, so that the wooly dolls bully their eyes. I love dolls, and
no matter what, until now they are still free from the nuances of violence.
"Ari
Ingin Anak Lagi (Ari Wants Another Kid)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 80 x 190 cm.
Oil on canvas, 80 x 190 cm.
Ada seorang penyanyi terkenal di Indonesia yang kerjanya hamil melulu, toh
masih bilang ingin punya anak lagi (namanya bukan 'Ari'!). Saya selalu tak habis
pikir kalau orang ingin atau sudah punya banyak anak, atas nama apa pun. Kalau
pun mampu membiayai mereka, apa tidak repot?
One of the Indonesian divas seems to be pregnant every year or so, and yet she
told everybody that she still wants another kid (her name is not 'Ari'). I can't
make sense of people who want or already have many children. Even if they are
able to finance their lives, isn't it troublesome?
"Sarang
(Nesting in Her)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 80 x 190 cm.
Oil on canvas, 80 x 190 cm.
Seorang perempuan hamil merupakan sarang bagi bayinya. Lalu ke mana perempuan
itu bersarang? Apa arti kehamilan itu, bagaimana rasanya, hanya dia sendiri
yang tahu, karena kalau diceritakan pun orang lain tidak mungkin ikut merasakan
yang sebenar-benarnya. Dilihat dari sini ia kesepian. Dan ada perempuan-perempuan
hamil yang tidak diurus sama sekali oleh suaminya, atau tidak mendapat cuti
dari tempatnya bekerja. Malah ada yang dipecat lantaran hamil. Dalam masyarakat
yang katanya memperhatikan kesejahteraan sosial, ini sewenang-wenang dan tidak
adil. Secara mental tidak ada pegangan, secara sosial dan ekonomis perempuan-perempuan
itu terabaikan dalam pengambilan keputusan menyangkut produksi dan pengaturan
masyarakat. Seringkali hal-hal seperti ini tak terlintas di benak perempuan-perempuan
itu sendiri, atau mereka menyadarinya tanpa bisa berbuat banyak dan hanya undur
ke dalam diri mereka sendiri, mencoba untuk menjadi sarang bagi diri mereka
sendiri.
A pregnant woman is a nest for her baby. Then where can she find her nest? What
the pregnancy means, how it feels like, she's the only who knows. Even if she
tells someone about it, the other person won't be able to emphatize. So she's
lonely. And there are pregnant women whose husbands don't care at all, or they
can't get a maternity leave from the workplace. There are working women who
got laid-off only because they got pregnant. In a society that claims to be
striving for its members' welfare, this is arbitrary and unfair. Mentally the
women don't have anything to cling on, socially and economically they are left
out of the decision-making processes about production and social order. These
things are often unthinkable by the women, or they are aware but can't do anything
about it and so they only retreat into themselves, trying to nest themselves.
"Minang
Barbie"
2000
Cat minyak di atas kanvas, 30 x 40 cm.
Oil on canvas, 30 x 40 cm.
Waktu itu menjelang peluncuran boneka Barbie seri 'Indonesia', diawali dengan
Barbie berbusana Minang (Sumatera Barat). Bagi saya yang seperti ini terasa
norak. Boneka Barbie itu sendiri, pada hakikatnya, merupakan manifestasi standar
kecantikan perempuan versi kulit putih. Ia mewujudkan sosok jasmaniah perempuan
'sempurna'. Setelah laris dan ingin memperluas pasar, dibidik pangsa Afro-Amerika.
Sesudah itu makin diperluas lagi mencakup berbagai ras dan suku bangsa di dunia,
seiring dengan pemekaran perusahaan-perusahaan multinasionalis. Ini bukan pengakuan
atas keanekaragaman atau kesetaraan ras bangsa-bangsa, melainkan strategi pemasaran
yang diglobalkan. Saya hanya ingin mengutarakan keprihatinan saya bila standar
kecantikan yang jelas-jelas impor ini diterima dan malah ditanamkan pada anak-anak
Indonesia pengoleksi boneka Barbie, sementara kesan keragaman budaya dan kesetaraan
itu tak disadari sebagai trik dagang dan karenanya semu, dangkal saja.
It was around the launching of the 'Indonesian' series of Barbie dolls, started
with one wearing the traditional Minang (West Sumateranese) dress. To me, this
kind of thing is ridiculous. The Barbie dolls themselves in essence were manifested
beauty standard for women as seen through the Caucasian eyes. It embodied the
physically 'perfect' woman. After the splash in the market, the scope was widened
to contain the African-American. Afterwards, it was widened even more, taking
many other races and nations worldwide, as multinational corporations expanded.
This was not an acknowledgement of diversity among races and nations, but a
globalized marketing strategy. I only want to say that I don't like it if the
imported standard of beauty is accepted and even socialized to Indonesian children
who collect the Barbie dolls, while the impression of cultural diversity and
equality among races and nations are not understood as just a marketing trick,
and therefore artificial and shallow.
"Perempuan
Berwajah Merah (She's Rouge)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 90 x 150 cm.
Oil on canvas, 90 x 150 cm.
Tiap kali melewati perempatan Wirobrajan, Jogja,
saya selalu melihat seorang perempuan mencegat bus kota. Dandannya seperti pekerja,
pakai rok di bawah lutut, sepatu pantofel, bawa tas. Rambutnya poni menutupi
dahi. Tapi yang mencolok adalah, bedaknya merah, benar-benar merah, dan ini
aneh karena biasanya perempuan memilih warna bedak yang masuk akal, sesuai warna
kulit masing-masing, karena toh tersedia dalam berbagai merek dan harga. Saya
selalu kepikiran sesudah ketemu dia. Mau ke mana dia, mencegat bus di sana?
Apa dia sengaja pakai bedak merah? Mengapa? Siapa dia?
Every time I pass the Wirobrajan crossroad, Jogja,
I always see a woman waiting for the bus. She dresses like a working woman,
wearing long skirt, sensible shoes, carrying a bag. She wears bangs on her forehead.
But what strikes me as strange is, her face-powder is red, really red, unlike
women in general who usually pick up face-powders that match their own skin
color. They can get it in any brand and price anyway. She stays in my mind.
Where does she go? Does she pick the red face-powder on purpose? Why? Who is
she?
"Krim
Ajaib (Wonder Cream)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 48 x 48 cm.
Oil on canvas, 48 x 48 cm.
Yang ditawarkan dalam iklan-iklan di teve dan majalah tak lain dan tak bukan
adalah 'krim ajaib', 'kecantikan dalam botol' (atau kemudaan, kehalusan kulit,
dan sebagainya). Dan ada saja yang percaya bahwa setetes krim seperti ini mampu
'mengubah kehidupan'! Konyol.
What ads offer on TV and in magazines is a wonder cream, beauty (or youth) in
a bottle. And there's always someone who buys the notion that a drop of the
cream could 'change a life'! Ridiculous.
"Mencuri
Buah Pir (Pearnapping)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 48 x 48 cm.
Oil on canvas, 48 x 48 cm.
Buah-buahan ada kelasnya sendiri-sendiri, dan pir termasuk buah 'kelas atas'
yang tidak murah harganya. Waktu saya kecil, kakak saya pernah mencuri sebutir
jeruk untuk saya karena kami tidak mampu beli. Mencuri barang sebutir dari buah-buahan
mahal ini adalah salah satu cara untuk mendapatkannya bila tak punya uang. Tidak
ada subsidi untuk buah-buahan mahal agar terbeli oleh masyarakat kurang mampu.
Bila subsidi BBM dicabut, harganya malah akan tambah mahal karena ongkos angkutnya
naik. Sementara itu kita membeli peralatan militer canggih seperti pesawat F-16
yang harganya jika dibandingkan buah pir tentu luar biasa, padahal hanya dipakai
untuk pertunjukan dirgantara!
There are classes within the fruit 'kingdom', and pear is among the expensive
ones. When I was a kid, my older sister stole an orange for me because we couldn't
afford it. Stealing is one of the ways we can do if we don't have any money.
Fruit is not subsidized to make it affordable to the less fortunate people.
Moreover, if the government no longer subsidizes fuel, fruit prices will be
even higher because the transportation cost will be more expensive. Meanwhile,
we buy sophisticated military equipments like the F-16 warplane which price
is, compared to pears, unbelievable, and we've never used it in real combat,
we only fly it in air shows!
"Tender
Tails I Love"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 50 x 50 cm.
Oil on canvas, 50 x 50 cm.
Saya suka boneka. Tender Tails ('Buntut Lembut') adalah nama salah satu seri
boneka binatang keluaran sebuah pabrik. Saya membayangkan bagaimana ya, rasanya,
tiduran di atas perut anjing laut yang lucu?
I love dolls. Tender Tails is the name of a series of animal dolls. I imagine
how does it feel like, to lay down on a cute seal's belly?
"Little
Boy Blue"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 45 x 55 cm.
Oil on canvas, 45 x 55 cm.
Menyewakan payung adalah salah satu mata pencaharian yang banyak dilakukan
anak-anak pada musim hujan. Bila ada yang menyewa payungnya, si anak harus berjalan
atau berlari mengikutinya, tanpa berpayung sendiri bila ia hanya punya satu
payung. Ini bukan pekerjaan yang menyenangkan, anak itu mudah terserang flu
dan bisa menunggu berjam-jam tiap hari sampai biru kedinginan tanpa ada jaminan
akan ada yang menggunakan jasanya. Saya terharu melihatnya.
Renting umbrellas is one of the occupations kids take during the monsoon. If
someone rents the umbrella, the kid must walk or run behind the person, unprotected
if he or she only has one umbrella for rent. This is not a good job, the kids
can catch a flu easily and sometimes they must wait for hours every day until
the cold makes them blue without any guarantee that somebody will use their
service for that day. It touches me.
"Jago
Karate (The Karate Champ)"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 68 x 68 cm.
Oil on canvas, 68 x 68 cm.
Menjadi laki-laki tidak selalu enak, atau enaknya bukan untuk semua lelaki,
karena sejak kecil sampai tua secara sosial diharapkan bisa berkelahi, meskipun
'aturan' ini mungkin tidak terucapkan. Perempuan juga mengharapkan suami, pacar,
atau teman laki-lakinya bisa menang berkelahi, sehingga ia merasa aman bersama
laki-laki itu, aman dari kemungkinan serangan fisik seperti copet, rampok, pemerkosa,
dan sebagainya di jalanan terutama pada malam hari dan di tempat sepi. Anak
laki-laki di sekolah, kalau jasmaninya tidak mendukung (misalnya terlalu pendek,
terlalu kurus, berkacamata, dan sebagainya), akan mengalami kesulitan dalam
pergaulan dengan teman-teman sesama jenisnya, malah bisa menjadi bulan-bulanan
para 'jagoan' di lingkungannya. Saya sendiri juga mengharapkan laki-laki bisa
berkelahi, dan menang!
Being male is not always fun, or the fun is reserved for the exclusive few,
because from childhood to adult they are socially expected to be able to fight,
physically, although maybe this 'rule' is unspoken. Women also expect their
husbands, boyfriends, or male buddies to be able to employ some martial art
and win the fight, so they can feel safe and secure being with the men, safe
from possible physical harm especially in remote streets at night. A boy at
school, if his physical characteristics are 'wrong' (too short, too skinny,
wearing glasses, etc.) will get difficulties in mingling with their peers, and
they can end up being bullied by the 'champs' in the area. I also expect men
to be able to fight, and win!
"You
Monkey Me"
2001
Cat minyak di atas kanvas, 100 x 100 cm.
Oil on canvas, 100 x 100 cm.
Topeng monyet adalah salah satu kesenian tradisional Indonesia yang menimbulkan
rasa tak enak dalam hati saya, selain adu jago, karapan sapi, dan sebagainya
yang melibatkan kekerasan atau eksploitasi terhadap binatang. Satu 'tim' topeng
monyet biasanya terdiri dari satu atau sepasang manusia, seekor monyet, dan
seekor anjing, kadang ada yang disertai ular, yang dilatih beratraksi. Ini hiburan
untuk masyarakat kelas bawah, sementara yang kaya bisa pergi menonton sirkus.
Tim topeng monyet berjalan kaki keliling kota mencari orang yang mau membayar
tontonan ini, hujan maupun panas. Saya kasihan pada mereka dan binatang-binatangnya.
Judul lukisan ini saya pinjam dari S. Teddy
D.
Topeng monyet is one of the traditional Indonesian arts that cause uneasy feeling
in me, like cock-fights and bull-races, that involve violence against, or exploitation
of, animals. A topeng monyet team consists of one or two humans, a monkey, a
dog, and sometimes a snake, trained like circus animals. This is an amusement
for poor people while the rich can take their kids to the circus. They walk
around the town, rain or dry, seeking someone who is willing to pay for the
attraction. I feel sorry for them and the animals. The title of this painting
is borrowed from S. Teddy D.