Every Dog Is #1

Solo painting & 3-dimensional art exhibition, Edwin Galeri, Jakarta, Indonesia,
February 2002

Jalan Kemang Raya No. 21, Kemang, Jakarta 12730, Indonesia
Phone: (62-21) 7194721
Fax: (62-21) 71790278
Email address: edwingaleri@cbn.net.id
Homepages: www.info.batavianet.com/edwingallery

 

EXHIBITION CREDITS:

 

ASSISTANTS IN PRODUCTION:

 

EXHIBITION CATALOG:

Ide dasar dan rancangan visual oleh/Visual design and basic idea by:
Bunga Jeruk

Pengantar kuratorial oleh/Curatory preface by:
Jim Supangkat

Fotografer/Photographers:
Oblo Dwi Prasetyo, Bunga Jeruk, Edwin Rahardjo

Penyelaras akhir/Copy editor:
Divisi Desain Edwin's Gallery

 

BJ'S PREFACE

 

ARTWORKS ON DISPLAY II

Patung & Instalasi Sculptures & Installation Works

 

Siapa Takut? (Dolphin's Kiss)
2001
Beruang dan lumba-lumba. A bear and a dolphin.
Fiberglass dicat, 160 x 110 x 40 cm. Painted fiberglass, 160 x 110 x 40 cm.

Banyak orang menganggap para penggemar boneka pasti kekanak-kanakan, manja dan bodoh. Saya kolektor boneka, jadi saya tak sepakat dengan anggapan ini. Saya buat boneka yang bukan betul-betul boneka, dengan ukuran besar, untuk meledek saja. Suka boneka? Siapa takut?
Many people think of others who love dolls as childish, spoiled and dumb. I am collecting dolls, so I disagree with them. I made a doll which is not really a doll, blown-up in size, simply to tease them. Loving dolls? Why not?

Hideaway
2001
Sebuah rumah dan para penghuninya. A house and its tenants.
Kayu, batu, 40 x 80 x 50 cm. Wood, stones, 40 x 80 x50 cm.
Rumah adalah tempat persembunyian bagi segala hal yang oleh penghuninya tak akan diperlihatkan kepada dunia luar. Kadang-kadang orangtua mengunci anaknya yang kurang waras di dalam kamar, atau menyembunyikan anak yang cacat. Kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga disembunyikan dari mata orang luar, suatu keluarga berkomplot menutup-nutupi hal-hal buruk seperti ayah yang suka menghajar anak-isterinya, perkosaan, kehamilan di luar nikah, perselingkuhan, kegilaan, dan lain-lain. Bukannya dibawa ke psikiater, orang yang mengalami gangguan mental hanya diurus oleh keluarganya sendiri, semuanya berpura-pura dia sehat wal-afiat dan kompak melawan orang luar yang berniat baik untuk menolong orang itu dengan bantuan ahli jiwa. Pecandu alkohol dan obat-obat terlarang dilindungi oleh keluarganya, di depan orang luar selalu dikatakan bahwa ia tak bermasalah. Bapak yang tak bertanggung jawab dan menerlantarkan keluarganya tetap dibela di luar rumah, keluarganya tetap tampil seolah-olah keluarga yang normal, meski di dalam rumah suasananya kelam dan menyedihkan. Gagasan ini saya dapatkan dari pengalaman pribadi dan pengamatan terhadap orang-orang lain. Bukan hanya konsep 'rumah' (dalam arti home) itu sendiri sebagai tempat berlindung, melainkan juga rumah sebagai wujud jasmaniah (house) menjadi wadah hal-hal yang hanya diketahui oleh para penghuninya sendiri saja.
A house is a hideaway for its tenants, to keep things they don't want the world to see. Sometimes parents lock their disabled children inside a room there. Violence and harassment in the household is hid from the outer world, the whole family conspires to hide bad things like a father who always beats his kids and wife up, rapes, pregnancies outside wedlock, infidelity, madness, and so on. Instead of taking him to a psychiatrist, a man with emotional troubles is hid by his family, everybody there pretends that he is all right and they fight other people from outside the family who has a good intention to help the man. An alcoholic and drug-addict is protected by his family, in front of other people they always claim that he is okay and has no problem at all. An irresponsible father who doesn't take care of his family is still defended when they face someone from outside the family, even though inside the house there is sadness and depression. The idea for this work came from my personal experience and observation of other people's lives. It's not only about a home, which contains the concept of sheltering its tenants, but also a house, a real building that functions as a container of things about which only the tenants know.

Percaya Aja Deh (Just Trust the Driver)
2001
Sebuah bus dan para penumpangnya di atas jembatan. A bus and its passengers on a bridge.
Seng dicat, 100 x 40 x 47 (bus). Painted iron sheets, 100 x 40 x 47 cm (bus).
Naik bus adalah kegiatan sehari-hari di perkotaan, untuk kalangan menengah ke bawah. Tidak lagi terpikir bahwa naik bus merupakan unjuk keberanian luar biasa mengingat nasib seluruh penumpang dan awak busnya dipercayakan sepenuhnya kepada sopir. Sopir ini mewakili 'nasib' karena bila ia mengantuk, mabuk, atau lalai, bisa membawa petaka bagi seisi busnya. Toh tidak ada pilihan bagi penumpang, karena mereka harus pergi atau pulang. Wajah pasrah yang nampak pada rata-rata penumpang bus menyiratkan bahwa mereka menyadari kenyataan ini, meski tak lagi mengganggu pikiran mereka.
Hitching a bus is a usual daily activity for the lower-middle class people in the urban areas. They no longer think of it as a manifested courage considering that the fate of the whole passengers and bus crew is entrusted to the driver. The driver represents 'fate', because if he is sleepy, drunk, or careless, the whole bus could perish. But the passengers have no other choice because they must get somewhere else. The look upon their faces, of submission, signifies their awareness of this fact, although it doesn't bother them anymore.

Duri-duri Ganda (Twice as Pricky)
2001
Kaktus bertanduk dan kaktus membawa mawar. A cactus with horns and one bearing roses. Seng dicat, @ 160 x 100 x 40 cm. Painted iron sheets, 160 x 100 x 40 cm each.
Kaktus, tanduk, dan mawar sama-sama mewujudkan duri yang bisa melukai. Penampilan visual ini yang memberi saya gagasan untuk menyatukan mereka.

A cactus, horns, and roses are all thorny and can hurt. This visual representation is the source of my idea to unite them all.

It's a Small World
2001 Apartemen dengan banyak jendela dan para penghuninya.
An apartment with many windows that show its tenants.
Kayu, 118 x 103 x 2 cm (partisi). Wood, 118 x 103 x 2 cm (partition).
Sebuah rumah adalah suatu jagat tersendiri. Bila rumah itu merupakan sebuah apartemen, maka di dalam jagat itu masih terdapat dunia-dunia yang lebih kecil lagi, masing-masing milik para penghuninya. Tiap jendela menunjukkan sekilas jagat kecil itu, karena penghuni yang berbeda-beda membangun dunia yang berlain-lainan pula.
A house is a world on its own. If the house is divided into apartments, then within the world there are still smaller worlds, each belongs to the tenants. Each window gives a glimpse of the smaller worlds, because different tenants build different worlds.

Tak Kutuk Dadi Roti (Eat the Stone)
2001
Roti tawar di atas meja. A loaf of bread on a table.
Batu, logam, 48 x 18 x 21 (roti). Stone, metal, 48 x 18 x 21 (bread).
Keterpurukan ekonomi yang berlarut-larut bagi Indonesia sudah bukan krisis lagi, karena lama-lama terbiasa dengan ketidakenakan yang semula mengagetkan. Bila manusia mati rasa, ia membatu. Ini menakutkan. Kesadaran akan krisis mustinya dipiara terus sehingga kita masih terjaga dan berupaya keluar dari situ, bukannya menerima keadaan saja. Krisis ekonomi paling terasa bila persoalan ketahanan pangan mulai muncul. Kita masih bisa melupakan krisis bila 'hanya' politik, tapi bila sudah mengenai pangan mau tak mau kita terhantam juga. Di sini saya juga ingat pada salah satu cerita tentang pencobaan Yesus, yang ditantang Iblis untuk menyihir batu-batu menjadi roti untuk membuktikan bahwa Ia adalah Anak Allah. Yesus menolak. Sesudah Reformasi, Indonesia berganti-ganti pemerintahan, bongkar-pasang silih-berganti. Apakah pembuktian pemerintahan yang baik musti dengan kemampuan menyulap batu menjadi roti? Bila tidak, lantas apa? Saya bermain-main dengan berbagai gagasan semacam itu. Judulnya merupakan parodi judul karya S. Teddy D., Tak Kutuk Dadi Watu (1999).
The crisis that hit Indonesia around 1997 has become 'nothing' now, because we are getting used to it. If we get numb, we become stones. This is scary. The sense of crisis should be kept so we are still alert and awake, try to get out of it, not just accepting the way it has been. We can still pretend that there is no crisis if it is 'only' a political one, but when it comes to the scarcity of food, we can no longer avoid it. Here I also remember a story about Jesus when he was tempted by Satan to turn stones into bread, to verify his claim that he is the Child of God. Jesus refused it. After the Reform, Indonesia has been changing governments, ministers come and go. Is turning stones into bread an evidence that a government is a good one? If it isn't, what then? The title is a parody of S. Teddy D.'s title, Tak Kutuk Dadi Watu (Marking the Stones/I Curse You into Stones, 1999).

Kucing Kagol (Frustrated Feline)
2001
Kucing di atas bantal. A cat on a pillow.
Kayu, fiberglass dicat (kucing), 40 x 16 x 14 cm.
Wood, painted fiberglass (cat), 40 x 16 x 14 cm.
Visualisasi seekor kucing yang kemauannya tak dituruti. A visualisation of a cat whose wishes didn't come true.

The Opposite of Heroes
2001
Seorang gadis kecil. A little girl.
Kayu munggur, 50 x 40 x 20 cm. Munggur wood, 50 x 40 x 20 cm.
Ini adalah 'potret diri' saya sewaktu kecil. Seorang gadis kecil dengan rambut berkepang dua, tidak bahagia karena hidupnya tidak seperti yang ia inginkan. Saya ambil visualisasi patung dada karena biasanya patung seperti ini dibuat untuk para tokoh besar atau pahlawan. Saya ingin memakainya untuk menampilkan sesuatu yang merupakan kebalikannya: anak kecil (bukan orang dewasa), perempuan (bukan laki-laki), orang biasa (bukan tokoh masyarakat atau pahlawan). Saya membuatnya sebagai pengenang masa silam yang menyedihkan, yang kini menjadi cambuk buat saya.
This is my own 'self-portrait', showing myself when I was a little girl, wearing a pair of braids, unhappy because her life was not like what she wished to have. I take the visualisation of such a statue because usually this form is taken for heroes. I want to use the form to present something entirely the opposite: a small child (not an adult), female (not male), an 'ordinary person' (not a hero/heroine). I made it to remember my past and its glum that has whipped me in later life to achieve the best that I can.

Semua Anjing Juara (Every Dog is #1)
2001
Monumen anjing. A monument of a dog.
Batu, 110 x 50 x 40 cm. Stone, 110 x 50 x 40 cm.
Saya suka anjing, dan para penggemar anjing biasanya rewel mengenai rasnya, keadaan jasmaniahnya, dan sebagainya, serta memuja anjing yang mendapat gelar juara dalam kontes-kontes. Saya tidak seperti itu. Bagi saya semua anjing adalah juara. Mereka seharusnya menjadi anggota keluarga pemiliknya, bukan sekadar barang koleksi. Tidak ada 'anjing reject' karena mereka makhluk hidup, dan pembedaan seperti ini melecehkan kehidupan itu sendiri! Model untuk patung ini adalah anjing bernama Pony, kini tinggal bersama Yani Halim.
I love dogs, and people who love dogs usually fuss about their condition, the breeds, and so on, and they adore dogs that won contests. I am not like that. To me, every dog is a champion. They should be our family members, not our collection. There is no such a thing as a 'reject dog' (like a product of a factory, which is not fit into the standard of exported goods), because all dogs are alive, and we harass life itself by assigning this kind of differentiation to some dogs! My model for this sculpture is a dog named Pony, now lives with Yani Halim.

Go Away
2001
Keset. Doormats.
Kain dan plastik, @ 60 x 40 x 1 cm. Fabric and plastic, 60 x 40 x 1 cm each.
Tetangga depan rumah saya tidak suka pada siapa pun, dan tak ingin rumahnya dimasuki siapa pun. Tapi keset di depan pintunya bertuliskan Welcome ('Selamat Datang'), sehingga tampak sebagai lelucon pribadi. Ini memberi saya gagasan untuk membuat keset satiris yang jujur, karena keset adalah benda pertama yang menandai rumah atau kamar sebagai milik dan kediaman kita. Keset yang baik menyatakan siapa penghuni tempat itu.
The neighbor right in front of my house is a misanthrope, and she doesn't want anybody to enter her house. But the doormat says 'Welcome', so it looks like a private joke. It gave me the idea to make satyrical 'honest doormats', because doormats are the first things that mark our house or room as ours and where we belong. A good doormat states who the tenant is.

Commitments
2001
Cincin. A ring.
Logam disepuh perak. Silver-plated metal.
Cincin bukan sekadar barang perhiasan tapi dimuati makna sosial berupa komitmen. Ini bukan hanya soal cincin kawin, tapi cincin secara umum sebagai lambang komitmen. Profesor yang baru dilantik, Rektor yang baru pensiun, lulusan universitas tertentu, kepala kantor, anggota DPR yang memasuki masa purnabakti, biasanya mendapat cincin sebagai kenang-kenangan yang bermakna seperti itu. Ayah saya adalah pelatih silat, dari perguruannya ia juga mendapat cincin yang menandakan statusnya di dalam perguruan itu. Saya hanya ingin memvisualisasi semua itu dalam satu karya.
Rings are not just jewelries, but they are filled with a social meaning, namely commitments. I don't mean wedding rings only, but rings in general as symbols of commitments. A new Professor, a Rector or head of an office, a Parliamentarian who is about to retire, graduates of certain universities, all get rings as meaningful keepsakes. My father is a martial art master, and from his institution he also got a ring signifying his status there. I only want to present all of those in one work.

Mobile Home
2001
Kopor-kopor. Suitcases. Fiberglass.
Orang yang pergi ke luar negeri membawa serta 'rumah'nya. Bila ia kembali, ia bawa pulang juga 'rumah' itu, yang sudah mengalami perubahan karena pernah di'tinggali' di tempat lain. Saya sengaja membuat karya ini untuk menyindir mereka yang ke luar negeri hanya sebagai 'bagasi' orang asing, 'dicangking' ke sana tanpa modal apa pun dan tanpa tujuan apa pun selain hanya membonceng si orang asing itu saja.
People who travel abroad carry their 'homes'. When they come back, they take the 'homes' back as well. I made this work as a story with tongue in cheek, about those who go abroad only as a 'luggage' of a foreigner, 'taken' there without any business there, without any destination of their own, but just as the foreigner's 'tail'.

 

NEXT PAGE