Paras Indonesia, March, 17 2006 @ 09:35 am
Mencari Kambing Hitam Konflik Poso (1): Mengalihkan Tanggung
Jawab?
By: Lian Gogali
Siapa yang paling menjadi tertuduh setiap kali terjadi konflik kekerasan di Poso
bahkan di berbagai tempat lain di Indonesia? Mengikuti hegemoni wacana terorisme,
survei di media massa memberi gambaran Gerakan Islam Garis Keras adalah
'pemenangnya'.
Agak menggeser wacana dominan tentang konflik Poso sebagai konflik agama,
pemerintah pusat memutar ulang lagu-lagu tentang keterlibatan para teroris dunia
dalam peristiwa kekerasan di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Kabupaten
Poso dan sekitarnya. Tidak kurang dari Komandan Komando Operasi Keamanan
Poso, Paulus Purwoko mengemukakan pihaknya telah mengidentifikasi
kelompok-kelompok radikal yang "bermain" di Poso dan wilayah di Sulawesi Tengah
lainnya seperti Palu.
"Mereka adalah kelompok-kelompok yang memiliki kaitan dengan kelompok teroris di
Jawa,Ambon, Bali dan daerah lain di Indonesia, yang diduga sebagai kelompok
Jamaah Islamiyah," kata Purwoko.
Pernyataan ini melengkapi pernyataan Kapolri Jenderal Polisi, Sutanto bahwa
masyarakat Poso masih trauma sehingga pihak kepolisian kesulitan mencari data.
Masyarakat yang trauma dihubungkan dengan kesulitan mencari data sehingga para
teroris sulit ditangkap. Demikian logikanya.
Pertanyaan besar terhadap pernyataan ini adalah apa kepentingan Jamaah Islamiyah
di Kabupaten Poso dan mengapa Kabupaten Poso dan sekitarnya yang menjadi
pilihan kepentingan Jamaah Islamiyah? Sebuah kebetulan yang direncana karena
Poso daerah bekas konflik dengan wacana dominan adanya konflik agama dan
karenanya Jamaah Islamiyah punya kepentingan? Atau pilihan acak yang strategis?
Kalau pilihan acak, mengapa sebuah Pura di sebuah desa kecil dan sekolah yang
menjadi? Pertanyaan ini jika dikaitkan dengan pernyataan Komandan KOOPSKAM
akan menemukan hubungan logikanya karena begitu menghegemoninya wacana
terorisme sehingga segala pernyataan yang berhubungan dengannya hampir dengan
serta merta diyakini kebenarannya. Tetapi pola yang sama selalu berulang dimana
setiap peristiwa kekerasan diikuti oleh pernyataan siapa pelaku tetapi tidak berhasil
mencegah jatuhnya korban berikutnya. Karena itu memeriksa kembali pernyataan ini
menjadi penting, antara lain dengan melihat kembali apa yang telah dikerjakan oleh
pemerintah pusat dalam menangani berulangnya konflik kekerasan di Kabupaten
Poso dan sekitarnya.
Sejak tahun 2002, telah diberlakukan Operasi TNI "Cinta Damai", Operasi Kepolisian
"Sadar Maleo" diikuti operasi gabungan TNI dan Polri dalam Operasi Keamanan
"Sintuwu Maroso" I sampai VII disusul Operasi gabungan TNI / Polri "Lanto Dago"
termasuk terlibatnya Detasemen Khusus 88 dan ratusan intel ditempatkan di hampir
semua desa. Jenis operasi militer ini diikuti dengan dibentuknya berbagai Pansus,
Tim Advokasi, Satuan Tugas dan Komando Operasi Keamanan Sulawesi Tengah
(KOOPSKAM). Peristiwa bom di kompleks Pura Agung Jagad Nata Stana Marina di
Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir, 30 kilometer utara Kota Poso dan
ditemukannya lima bom aktif di SMU 1 Poso dan di Sekolah Dasar Negeri 3 Poso
Kota juga menghasilkan dibentuknya tim gabungan. Tim gabungan akan terdiri dari
anggota tim Poso sebelumnya ditambah tim dari pemerintah. Perwakilan pemerintah
berasal dari Kementerian Koordinator Hukum dan Keamanan, Departemen Sosial,
Departemen Agama, Kejaksaan Agung, TNI, dan Badan Intelejen Nasional. Bahkan,
seakan melengkapi antisipasi teror selanjutnya polisi dalam waktu dekat akan
memasang kamera pengintai atau closed circuit television (CCTV) di pusat-pusat
keramaian dan tempat ibadah yang rawan aksi teror di Palu dan Poso. Sungguh
suatu gerakan antisipasi teror yang luar biasa! Tujuannya adalah menangkap pelaku
teror, yang "katanya" bagian dari kelompok teroris dunia. Sejauh ini, sayangnya tidak
berhasil. Apa yang salah?
Berbagai wacana alternatif yang lahir dari ornop dan masyarakat korban menyebutkan
bahwa kekerasan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
politik, ekonomi dan sebagainya. Secara tegas, koordinator Poso Center Yusuf
Lakaseng menegaskan ada kaitan antara terjadinya bom dengan rencana
perpanjangan masa tugas Komando Operasi Keamanan (Koopskam) Sulteng untuk
menyediakan legitimasi dilakukannya operasi alternatif yang lebih ofensif di bekas
daerah konflik Poso.
Menyimak wacana-wacana alternatif ini dan usaha dari pemerintah pusat
menunjukkan fenomena lain dari berkelanjutannya konflik kekerasan di Poso.
Fenomena tersebut menunjukkan dua kepentingan; pertama, menegaskan
diperlukannya posisi TNI / Polri dengan semua jenis operasi militernya dalam
berbagai tindak kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. Penegasan ini sekaligus
menunjukkan kepentingan kedua, yakni mengalihkan perhatian, pembicaraan,
wacana tentang keterlibatan TNI / Polri dalam pelanggaran HAM di Indonesia
khususnya peristiwa kekerasan di Poso. Pengalihan perhatian ini mematahkan
wacana alternatif yang muncul dari Ornop dan masyarakat korban tentang
kepentingan militer (dalam lingkaran kepentingan yang rumit) dalam konflik
kekerasan. Alhasil ini menguatkan hegemoni terorisme sebagai pelaku segala tindak
kekerasan dan juga bahwa masyarakat korban "terlibat" didalamnya. Indikasi kedua
fenomena tersebut tidak saja terlihat dari dimunculkannya wacana terorisme, tetapi
juga dihubungkannya peristiwa bom dengan orang dari "kelompok lama" yang dulu
terlibat konflik Poso terdahulu seperti yang dikatakan oleh Kapolda Sulawesi Tengah,
Oegroseno.
Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada teror dan atau kepentingan lain diluar fenomena
tersebut di atas, tetapi sudah semestinyalah setiap konflik kekerasan tidak hanya
menghasilkan terbentuknya tim advokasi, pansus dengan tugas-tugas pengamanan
yang bombastis, tapi juga dan terutama menghasilkan berhentinya teror dan konflik
kekerasan yang menambah daftar panjang korban.
Lihat Kambing Hitam (2)
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|