The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Paras Indonesia


Paras Indonesia, March, 17 2006 @ 09:36 am

Mencari Kambing Hitam Konflik Poso (2): Rekonstruksi Identitas Komunitas Korban Dalam Wacana Konflik Kekerasan

By: Lian Gogali

"Dimana" korban dan atau para pengungsi ketika peristiwa kekerasan kembali terjadi? Mereka berada di lokasi pengungsian dan atau di sudut – sudut rumah, mata tidak lepas dari televisi, mencari informasi terbaru; memasang telinga pada dering telepon; mendata dan mencari tahu dimana sanak keluarga berada, bahkan sebagian lagi tergesa-gesa membungkus pakaian, bersiap-siap untuk mengungsi lagi. Tetapi, lagi - lagi, perdebatan tentang siapa pelaku dan atau siapa yang berkepentingan dalam peristiwa peledakan bom di Kabupaten Poso yang "mengambil alih" ruang pembicaraan terbanyak di media massa.

Fenomena ini melengkapi adagium sejarah bahwa kematian satu orang adalah tragedi dan kematian sejuta orang hanyalah statistik. Lalu, pasca konflik kekerasan dibeberkan daftar panjang korban.

Pembicaraan yang demikian tidak berarti tidak penting (terutama pembicaraan – pembicaraan alternatif dari yang mainstream), tetapi cenderung menutup ruang bagi narasi-narasi korban dan atau pengungsi yang masih sedang menata kembali kehidupannya di daerah pengungsian. Narasi-narasi yang lebih bersifat psikologis, terutama yang hidup dalam ingatan di kalangan korban. Pembicaraan yang demikian seringkali mengabaikan hal-hal yang sulit ditangkap secara faktual-ilmiah seperti perasaan kehilangan, kepedihan yang tak terkatakan, penyesalan, kenangan, kebencian, dendam bahkan trauma yang muncul kembali dalam diri korban dan atau para pengungsi setiap kali peristiwa kekerasan terjadi, sehingga perdebatan tentang siapa yang berkepentingan menjadi agak tidak relevan. Bahkan, tanpa disadari pengalaman - pengalaman tersebut mengendap dalam memori, membentuk perilaku dan citra seseorang, dan dalam skala yang lebih besar mengkonstruksi identitas suatu komunitas lintas generasi (Butalia 2002).

Konstruksi identitas ini berkaitan erat dengan produksi wacana tentang apa yang dianggap sebagai penyebab atau akar konflik Poso. Wacana ini memproduksi gagasan, konsep atau efek (Foucault 1972) dalam masyarakat konflik. Dengan kata lain, wacana tersebut ditafsirkan , dimaknai oleh korban dan selanjutnya mempengaruhi bagaimana korban merespon dan memberi makna berbagai peristiwa kekerasan di Poso. Pemberian makna ini "melengkapi" ingatan masyarakat korban dalam mengkonstruksi identitasnya.

Beragamnya wacana tentang konflik Poso tidak serta merta menunjukkan pilihan alternatif korban dalam memaknai wacana, karena kekuasaan memilih dan mendukung bahkan mengontrol wacana tertentu hingga menjadi wacana yang dominan. Dengan demikian wacana-wacana lain menjadi wacana yang "terpinggirkan". Wacana yang dominan, selanjutnya akan mendesakkan memori kolektif masyarakat korban. Dalam konflik Poso, wacana konflik antar agama adalah hal yang dominan. Tuduhan keterlibatan teroris melengkapi wacana ini. Hal ini menjelaskan mengapa hampir setiap saat peristiwa kekerasan menggunakan simbol-simbol yang dekat dengan agama.

Peristiwa dua bom terakhir mungkin saja bisa dianalisis dengan mencari keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain, antar kebijakan, antar aktor, antar lembaga dan sebagainya. Sayangnya, ada semacam pola yang terus berulang dalam setiap peristiwa kekerasan di Kabupaten Poso dimana hampir semua analisis yang mengisi ruang media massa selalu kurang berhasil mencegah jatuhnya korban berikutnya. Sebaliknya analisis-analisis tersebut, terutama analisis pemerintah, memperkuat wacana dominan dalam ingatan kolektif masyarakat korban tentang konflik Poso.

Alih-alih berbicara upaya untuk menciptakan keharmonisan antar dua komunitas pasca konflik, kenyataannya kehadiran ribuan aparat keamanan; silih bergantinya jenis operasi keamanan; dibentuknya berbagai pansus, tim advokasi; diulangnya komentar nyaris kalimat yang sama tentang pelaku peristiwa kekerasan di Poso menyebabkan korban dan atau pengungsi selalu tidak punya ruang untuk menata, mengkonstruksi identitasnya tanpa bias kebencian dan dendam tertentu. Bayangkan komunitas seperti apa yang dimiliki generasi Poso selanjutnya? Siapa yang sanggup merekonsiliasi memori kolektif masyarakat korban yang terus menerus dibombardir peristiwa dan atau pernyataan kekerasan? Kenyataannya, jangankan trauma center yang akan dibentuk pemerintah, wacana alternatif yang muncul untuk mengurai bias tersebut masih perlu dievaluasi pengaruhnya dalam memori kolektif masyarakat korban. Yang dibicarakan bukanlah sekedar upaya untuk memungkinkan duduk bersama, berbicara seakan-akan paham lalu berjabat tangan dan "klik" kedamaian tercipta. Itu semua adalah bohong besar.

Memberi ruang bagi narasi korban adalah juga sama pentingnya seperti upaya untuk memberi ruang bagi wacana alternatif yang muncul dari masyarakat. Sehingga "damai itu jahat" tidak perlu terucap dari seorang ibu yang suami dan anak laki-laki pertamanya dibunuh, sementara anak laki-laki keduanya menjadi gila.

Lihat Kambing Hitam (1)

Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/lokkie2005
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044