Bab 2. Pengawal Dari Dunia Lain
..........
Aku terbangun ketika kurasakan bis berbelok. Aku lihat papan nama di
tepi jalan mencari tahu bis sudah sampai kawasan mana. Ciawi. Tasikmalaya.
Tak lama kemudian, bis berbelok ke kiri, menyeberang jembatan Citanduy.
Langit di luar tiba-tiba mendung disusul hujan rintik beberapa menit
untuk kemudian berhenti, langit kembali cerah seperti sebelumnya. Ajaib!
Di tengah heranku, tiba-tiba aku lihat rombongan orang berpakaian jelek
bermunculan di bis. Mereka masuk begitu saja dari kaca dan atap bis
yang tengah melaju tanpa membuat kaca itu pecah atau atap bis rusak.
Anehnya lagi, ibu, ayah dan anggota rombongan lainnya tidak terganggu
dengan kehadiran mereka. Beberapa malah menembus tubuh orang dan jok
bis tanpa bersentuhan! Sepertinya dunia mereka terpisah atau berbeda.
Ibu, ayah, dan rombongan di dunia kasat mata, sedang rombongan ini di
dunia yang tidak terlihat mata orang biasa. Mungkin semacam dunia makhluk
halus. Aku hitung enam orang, sebagian duduk di atas sandaran jok bis,
persis di atas kepala anggota rombongan, kakinya menjuntai di depan
orang yang duduk di belakang, tanpa membuat orang yang duduk di situ
terganggu. Sebagian terbang melayang di atas gang lalu semuanya berdiri
berbanjar. Semuanya tersenyum berusaha ramah menunjukkan komposisi gigi
mereka yang hampir semuanya tampak tidak utuh lagi, membuatnya tampak
jenaka, meskipun semuanya berwajah orang dewasa.
Aku menatap orang yang berdiri paling dekat, sepertinya kepala rombongan
mereka karena tampak paling tua dan paling serius. Sebagian rambutnya
tertutup dudukuy, topi peladang dari anyaman bambu berbentuk kerucut
yang sudah sangat jelek dan dekil. Dua orang yang tadi berdiri paling
belakang tiba-tiba melayang ke depanku. Mereka mengenakan aseupan, alat
tradisional untuk tempat beras ditanak yang terbuat dari anyaman bambu
berbentuk sama dengan dudukuy tapi lebih panjang. Topi-topi aneh itu
dihiasi dengan garis cakra di bagian depannya. Aku menatap mereka satu
persatu sambil mencoba mengingat-ingat, barangkali pernah kenal wajah
mereka, teman ayah atau ibu. Tapi luput. Lalu rasa takut menyelinap
hatiku
"Selamat datang, Den. Jangan takut. Kami datang menyambut kedatangan
Aden dan akan menemani sampai Karang Kamulyan, kira-kira 16 km setelah
kota Ciamis." Si ketua bicara perlahan, suaranya hanya terdengar
olehku, tidak terdengar oleh ibu dan ayah yang duduk di sebelah. Kedunya
sibuk dengan kegiatan masing-masing: ibu tampak tertidur, ayah membaca
buku.
Aku lihat gigi orang yang bicara ini tinggal satu seperti Semar. Masih
mending dia, aku malah belum punya gigi satupun! Eh, aku dipanggil Aden?
Perasaanku ibu dan ayah belum pernah memberi nama yang resmi buatku.
Mereka hanya memanggilku Ade, panggilan ke anak kecil. Mereka baru mengumpulkan
beberapa calon nama untukku tapi belum pasti yang mana. Dua buku nama
anak ayah beli tapi setelah berulang-ulang dicari nama yang cocok, hanya
ditumpuk begitu saja di rak buku.
"Kok saya dipanggil Aden?" rasa penasaran membuatku memberanikan
diri bertanya.
"Oh
Aden itu dari Raden. Panggilan atau gelar untuk kaum menak
atau keluarga kerajaan. Tapi bisa juga panggilan sayang
"
Aku manggut-manggut dan setuju pada alasan kedua.
"Saya akan mengantar Aden sampai Banjar, sekalian pulang."
Orang bertopi dudukuy paling jelek menyambung.
"Siapa bapak-bapak ini?"tanyaku dalam hati setelah kaget dan
takutku berkurang. Mereka tidak menjawab. Ah, tentu saja, aku kan hanya
bicara dalam hati!
Sang ketua rombongan lalu berjalan ke samping ibuku. Lalu tangannya
bergerak ke atas perlahan. Aneh! Tiba-tiba tangan kananku bergerak sendiri
ke atas, menirukan gerakan tangan kepala rombongan makhluk aneh ini.
Matanya dengan tajam menatap ketiakku, lalu manggut-manggut dan tersenyum
puas. Yang lain tampak tersenyum lega melihat ketuanya manggut. Heranku
makin menumpuk. Kok tangan orang ini bisa menggerakkan tanganku tanpa
masuk ke dalam rahim ibu dan dengan enaknya bisa mengangkat tanganku
tanpa menyentuh? Yang norak, dia lakukan itu hanya untuk melihat ketiakku!
"Oh...ya, lupa memperkenalkan diri. Maaf, Den. Saking senangnya
kami bertemu Aden." Sang ketua rombongan sejenak menundukkan kepala
dengan khidmat -entah kenapa- lalu kembali menatapku. "Bangsa kami
disebut onom. Panggil saya Mang Kaning. Yang lain ngga usah diketahui
namanya. Karena jelek-jelek. Hanya saya yang namanya bagus!" Orang
itu menerangkan dengan mimik lucu. Sepertinya mereka bisa mendengar
kata-kataku meskipun hanya di hati.Aku mulai merasa tenang. Kagetku
berkurang.
Orang-orang lain yang disebut namanya jelek-jelek pada nyengir, beberapa
yang berada di belakang dan samping mengepalkan tinjunya pada wajah
Mang Kaning yang sepertinya tidak perduli sikap mereka.
Aku tertawa dan tanpa sadar menggerakkan kedua tangan di tempatku yang
segera di elus ibu. Aneh juga ibu, meskipun tertidur, kalau aku bergerak,
tangannya reflek membelai.
"Saya yang onom, den, saya Mang Juhe. Mang Kaning mah oncom!"
teriak orang paling belakang sambil melayang mendekat. Yang ini berperawakan
kecil dan gendut. Ya, cebol.
Mang Kaning dan yang lain tertawa ngakak. Aku juga ikut tertawa. Tapi
bukan karena mendengar oncom atau onom yang keduanya aku belum tahu.
Tapi tertawa melihat sikap orang cebol ini.
Mang Kaning menatap tajam orang cebol ini, sepertinya pura-pura marah.
Mang Cebol melayang ke atap bis lalu berputar, badannya masuk begitu
saja pada atap bis, tinggal kepalanya saja nongol.
"O ya, Den, kalau Aden mau -dan saya sangat berharap demikian-
Aden bisa memilih salah satu dari kami untuk dijadikan teman sampai
kapanpun Aden mau. Teman yang bisa Aden suruh. Bahasa dunia manusia
mungkin pelayan, Den."
"Merangkap pengawal, Den. Ya, seperti Kevin Costner di film Bodyguard,
dia jadi pengawal Mariah Carey, Den." salah seorang dari mereka
nyeletuk. Onom yang ini sepertinya suka nonton film!
"Tahu film Bodyguard segala, Yod?" tanya Mang Juhe.
"Aku kan onom gaul..!" jawab Yod.
"Ya, Den. Seperti Asisten pribadi." Mang Juhe menjelaskan.
"Tahu dari mana?" tanya Mang Kaning.
"Di tv
aku kan onom yang mengikuti kemajuan jaman manusia.
Di dunia manusia, ada asisten pribadi disingkat aspri; asisten menteri,
asmen..."
"Kalau asbak
?"
"Asisten
.martabak!" Mang Juhe tak mau kalah.
"Tukang pukul juga bisa, Den." Yod menambahi.
"Iya, Den, mukul meja, mukul batu, mukul kutu, disuruh mukul apa
saja mau, Den
" sela onom yang dari tadi seperti menunggu
kesempatan bicara dengan semangat.
"Waspi! Dasar agen rahasia amatiran, direkrut karena masih ada
hubungan kerabat sama Mang Kaning. Nefotisme!" Yod menatap Waspi.
"Pake p," kata Waspi dengan kalem.
"Iya, nevotisme.."
"Nepotisme."
"Iya, maksudku itu. Nefotisme.."
"Nepotisme, dodol
!" Waspi menatap Yod yang tidak bisa
membedakan p, f, dan v. "Semuanya harus menganut nepotisme. Karena
hidup kan harus mementingkan diri sendiri, keluarga dan golongan masing-masing.
Kalau tidak begitu, onom, manusia, kucing, sudah lama habis
"
"Pamannya Waspi adalah keponakan kerabat-adik tiri -kakak-ipar-kakeknya
paman Mang Kaning." Yod menjelaskan. Sepertinya dia ahli kekerabatan
atau pancakaki yang dalam bahasa di salah satu buku ayah namanya pa
eh family tree.
Waspi sendiri tidak perduli sedang jadi bahan pembicaraan. Kelihatannya
malah senang, jadi bahan gosip di antara mereka.
Mang Kaning menatap Yod sambil geleng-geleng kepala "Untuk makhluk
halus sekelas onom, kamu termasuk orang gila yang jenius
"