siapa membela abang-abang becak yang terusir dari jalan-jalan raya
siapa membela pedagang-pedagang kecil yang terusir dari kaki-lima
kita betul-betul tidak lagi kenal satu sama lain
kita betul-betul tidak lagi punya tetangga
kita sendiri-sendiri hanya
dan hampir-hampir tidak pernah saling bicara
begitu banyak yang terjadi setiap hari yang tidak kita ketahui
begitu banyak yang tersingkirkan oh tokoh-tokoh budipekerti
kita kehilangan setiap hari
kita kecurian setiap hari
kita dirampok setiap hari
tapi tetap kita sendiri-sendiri hanya
dan tak pernah juga mau saling bicara
siang ini di priok ada seorang kuli mati
tertusuk ganco temannya sendiri
tapi upacara bongkar gudang tak boleh berhenti, sayang
dan mayat itupun ditutupinya
dengan plastik-plastik bekas
di pinggir gudang, sayang, di pinggir gudang
sementara anak-anak istrinya berkeliaran
di jalan-jalan Jakarta
di bawah matahari
di
bawah
mendung menghalangi matahari yang sedih diam-diam
ketika beberapa orang menguburkan
mayat itu seolah mau bangkit, sayang, mau bangkit
mau menanyakan ikhwal anak-anaknya
mau menanyakan ikhwal istrinya
dan beberapa hal lainnya
tapi ia tidak punya lagi kekuatan
ia tidak lagi punya
dan kita pun diam saja
kita semua diam saja
apa yang dapat kita ceritakan kepada anak-anak kita
kalau kita tetap diam
dan takut kepada kata?
Rawamangun, 29 Agustus 1980
Arifin C. Noer, Nyanyian Sepi