ALTERNATIF |
Edisi
III/Minggu, 15 Februari 2004 |
BERITA | NOVEL | GALERI PUISI |
PUISI PILIHAN |
PUISI PILIHAN
MAGHFUR
SAAN
BAKAUHUNI SKETSA
SUNGAI LILIN
MAGHFUR SAAN --- selain menulis puisi, penyair ini juga banyak menulis cerpen dan cerita anak. Karyanya tersebar di sejumlah buku antologi dan media cetak pusat daerah dan luar negeri, seperti majalah sastra "Bahana" Brunai Darussalam. Ia seorang guru bagi penulis muda di Batang, Jawa Tengah. |
CERPEN PILIHAN II
Ini
Tentang Mimpimu, Tayaka YETTI A.KA
Ini
tentang mimpimu, Tayaka: Peri kecil yang bermain hujan pada suatu
sore di akhir Oktober, kala langit tidak merah. Ingatkah kau Tayaka?
Itulah mimpi terindahmu, juga menjadi mimpi tiap perempuan sepanjang
zaman. Kau sering menceritakan tentang mimpimu itu, terlalu sering
bahkan. Ketika
itu Tayaka, sore masih benar-benar ada. Daun-daun bunga di tamanmu
selalu berkilau-kilau bila sehabis hujan. Beberapa ekor burung
berputar-putar di atas rumahmu,
menyambut langit yang mulai memerah setelah sekian jam diselimuti awan
tebal. Kupu-kupu hinggap pada bunga-bunga segar. Anak-anak berlari-lari
mengejar capung yang hinggap pada ujung rumput liar. Dan kau, Tayaka
selalu seperti ingin menyambut kedua peri kecilmu pulang dari bermain
hujan bersama teman-temannya di taman, dengan dada bergetar. Kau bahkan
terlalu gugup. Kau begitu gelisah. Saat kau menangkap hentakan kaki di
lantai rumahmu, kau ingin berteriak keras-keras, mengatakan pada dunia
bahwa kau akan menjadi ibu. “Lihatlah!” katamu, pada langit yang
telah sedikit merah, “... Peri kecil telah lelah bermain....”. Kau
lalu menjadi begitu sibuk Tayaka; memandikan peri kecilmu, memberinya
minyak penghangat dan memeluknya erat serta menidurkannya di pangkuanmu
sambil mendongeng tentang putri bungsu dan sinam-nam. Peri
kecilmu lalu akan tertidur dengan senyum tersisa di sudut bibir. Langit
lalu menjadi begitu kelam. Tanpa bintang. Di luar kau hanya mendengar
suara angin. Daun-daun jatuh di atap rumahmu... *** Ketika
itu rumah mungilmu masih bercat putih. Beberapa pot mawar putih berjejer
di teras. Juga kupu-kupu sering mampir ke taman bunga. Hampir tiap sore
sehabis hujan di akhir Oktober kau selalu saja ke luar dengan gaun putih
menyentuh lantai. Kau pergi ke taman. Menghampiri bunga-bunga,
menyentuhnya, dan menikmati kesegaran baunya. Lama kau akan terpaku.
Mengirup udara dalam-dalam. Meleburkan jiwamu pada sore yang ditinggal
hujan. Menyerahkan mimpimu yang tak pernah selesai. Mimpi yang hanya
menjadi milikmu, Tayaka. Milik Perempuan! Seperti
sore-sore sehabis hujan yang kau lalui, maka pada sore itupun kau
membangun harapanmu. Tak pernah tidak, Tayaka. Selalu. Perlahan tubuhmu
bergerak. Meliuk. Tanganmu mengembang. Kau seperti ingin terbang ke
udara. Sisa
hujan yang bersinggah pada kuntum-kuntum bunga di taman pun luruh kala
dadamu bergetar. Kau yang hanyut dalam pengharapan yang tak pernah
henti. Gemuruh yang tidak usai. Pengembaraan yang selalu membawamu pergi
dan kembali. Sebuah dunia yang kemudian tak pernah berhenti memberimu
impian. Maka
kaupun membumbung lebih tinggi, melewati awan-awan, terus bergerak
menuju dunia yang seolah tanpa batas. Menapakkan kaki di dunia para beteri
(dunia yang hanya ada dalam dongeng nenekmu). Di sana kau menemukan
sepasang peri kecil yang lucu. Kau terkesiap. Begitu tak percaya. Tapi
sesaat kemudian kau telah bermain bersama mereka di taman yang
bunga-bunganya berwarna putih. Kau berlari-lari kecil mengikuti sepasang
peri kecil mengelilingi bunga-bunga. Sesekali tawa pun pecah. Kau
berbagi cinta, berbagi harapan, dan juga mimpi. Saat sore hampir berlalu
kau berjanji akan bertemu lagi di sore yang lain. *** Ketika
hujan di suatu sore di akhir Oktober masih benar-benar ada, kembali kau
keluar dengan gaun putih menyentuh lantai. Tak lama setelah itu, secara
tiba-tiba dua peri kecil telah ada di sisimu. Peri-peri itu tersenyum.
Kau pun balas tersenyum. Sepasang peri kecil yang lucu segera kau ajak
ke taman. Bermain hujan di antara bunga-bunga. Mengukir kembali
saat-saat yang membuatmu ingin selalu hidup. Tiba-tiba saja kau telah
banyak sekali berbagi cerita di bawah lembutnya rinai hujan yang
melayang-layang terbawa angin. Salah satu peri kecilmu bercerita tentang
mimpinya semalam. Mimpi tentang teman-temannya yang nakal, yang suka
menarik-narik rambutnya yang dikuncir kuda. Sedangkan peri kecil yang
satunya lagi bercerita tentang keberaniannya membuka jendela di malam
hari, saat burung gagak hinggap di sebatang pohon dekat kamarnya,
padahal malam itu sangat gelap. Peri kecil bangga sekali atas
keberaniannya itu. Kau,
Tayaka, kemudian tertawa kecil. Kau seperti benar-benar menjadi ibu.
Menjadi perempuan. Menjadi begitu utuh. Sempurna. Matamu bersinar-sinar.
Wajahmu bersinar-sinar. Bibirmu bersinar-sinar. Penuh kasih kau mencium
kedua peri kecilmu. “Mimpi
itu tidak akan menjadi kenyataan, percayalah,” bujukmu pada peri kecil
yang rambutnya dikuncir kuda. Begitu tulus. Peri
kecil yang berkuncir kuda menatapmu. Lama sekali. “Dan
kau sangat hebat!” katamu pada peri yang bercerita tentang
keberaniannya. “Sungguh?”
tanya kedua peri kecil. Kau
mengangguk. Matamu masih bersinar-sinar “Ya. Kau tidak harus takut
pada mimpi seperti itu. Dulu ketika kecil, ibu sering bermimpi tentang
teman-teman yang nakal, dan tidak pernah terjadi keesokan harinya.”
Kau membelai rambut peri kecil berkuncir kuda. “Tapi,
tadi malam aku benar-benar menangis. Aku sedih sekali.” Tayaka,
kau memeluk peri kecil berkuncir kuda, berbisik pelan padanya “Kau
boleh saja menangis, itu tidak apa. Tapi setelah itu kau harus melupakan
mimpi itu.” “Apakah
menurut ibu aku sungguh-sungguh pemberani?” tanya Peri kecil yang
satunya. Kau tampak tersentak, Tayaka. Wajahmu bersemu merah. Ah, kau
merasa benar-benar telah menjadi seorang ibu. Kau
menarik napas dalam. Kemudian tersenyum kecil, berkata penuh harap.
“Kau benar-benar pemberani! Aku ingin kau menjagaku bila kau besar
nanti.” “Benarkah?” “Ya!” Kedua
peri kecil menghadiahimu ciuman di pipi. Sore
itu kau hilang di antara rinai hujan yang melayang-layang, yang tinggal
satu-satu, yang lalu menyisakan kelembutannya... *** Seperti
sore-sore yang diguyur hujan di akhir Oktober lainnya, di sore yang lain
lagi, kau berkejar-kejaran dengan kedua peri kecil di antara
rumpun-rumpun bunga. Lalu
dua ekor kupu-kupu hinggap pada sekuntum mawar putih. Peri-peri
kecilmu berteriak. Sore
berlalu. Kau kembali sendiri, Tayaka. Lalu
kau bertanya, entah pada siapa, “Mengapa harus ada pagi, siang, sore,
dan malam? ***
Selalu.
Ketika Sore dengan hujan di akhir Oktober masih benar-benar ada, Kau,
Tayaka bermain bersama sepasang peri kecil di taman bunga. Seperti
biasa. Kau dan peri kecilmu menikmati rinai hujan yang tersisa. Juga
aroma mawar putih. Juga sepasang kupu-kupu yang selalu saja hinggap pada
kuntum-kuntum mawar. Juga daun-daun yang berkilau-kilau. Kau
lalu bernyanyi, Tayaka; Lihat
kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah Setiap
hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah
Sepasang
peri kecil mengerjap-ngerjapkan matanya. “Wow!
Indah sekali,” teriak kedua peri kecil. Seperti
biasa kau hanya tersenyum. Matamu bersinar. Lalu kau bertanya, apakah
kau telah benar-benar bahagia? Anehnya setelah itu kau malah
menangis tersedu. Tayaka, kau menyesal telah bertanya tentang
kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan tidak seharusnya dipertanyakan? *** Hari
ini. Di rumah mungil yang dulu bercat putih. Kau yang selalu memakai
gaun warna putih menyentuh lantai, tidak lagi menemukan mimpi tentang
sore yang diguyur hujan di akhir Oktober. Juga peri-peri kecil. Juga
bunga-bunga. Tapi
kau pernah memiliki mimpi itu, Tayaka. Mimpi yang menjadikanmu seperti
seorang ibu. Sudah ingatkah kau Tayaka? Setiap sore kau selalu bercerita
dengan mata bersinar-sinar; tentang hujan, tentang peri-perimu yang
berlari-lari di antara bunga-bunga berwarna putih, juga tentang burung
yang menantikan langit memerah setelah begitu lama kelam. Ah,
Tayaka mimpimu itu impian suci seorang ibu. Dan kau tak perlu
menguburnya. Jangan pernah,Tayaka. Biarkan ia tetap ada untuk mengisi
ruang kosong dalam dirimu. Lalu mengapa kau harus melupakannya? “Kau
selalu saja tidak mengerti aku. Aku kehilangan cinta ...” katamu,
suatu kali dengan nada sendu. Aku
begitu terkejut. “Kau
pikir, aku benar-benar telah memiliki sore itu, bunga-bunga itu, hujan
itu, peri-peri kecil itu? Tidak Wim. Aku telah kehilangan cinta...”
Tangismu pecah. Bagaimanapun
Tayaka, impianmu adalah mimpi terindah sepanjang zaman. Dan kau tidak
harus menangis karenanya. ***
Tayaka
sejak kau kehilangan mimpi, aku juga telah kehilangan dirimu yang sering
menghabiskan sore dengan sisa hujan satu-satu di akhir Oktober. Aku
kehilangan cinta! Dan
pada November ini, hujan masih saja turun. Tapi
bunga-bunga tidak lagi berkembang. Kupu-kupu telah mencari taman lain.
Anak-anak tak lagi bermain hujan-hujanan di tamanmu. Atau
mungkin saja mereka tak pernah ada. Mungkin
saja! Seperti
waktu yang selalu berulang. Semua itu hanya perulangan dari mimpi. Mimpimu
Tayaka! Mimpi Perempuan...*** Padang,
12 Maret 2002
Yetti
A. KA, lahir
dan besar di Bengkulu. Menulis Cerpen dan puisi pada beberapa media
massa daerah dan nasional. Beberapa cerpen tergabung dalam antologi
bersama. Sekarang sedang sibuk menyelesaikan skripsi di Univ Andalas
Padang. Cerpen
di atas diambil dari antologi “Para Penari” diterbitkan oleh
Lingkaran Komunikasi, 2002. . |
HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. |