Halaman Empat

ALTERNATIF

Edisi III/Minggu, 15 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA NOVEL

REFLEKSI

REDAKSI

SALAM SASTRA

CERPEN

GALERI PUISI

CERPEN PILIHAN I

PUISI PILIHAN

CERPEN  PILIHAN II

PUISI PILIHAN

 

MAGHFUR SAAN

MELIHAT MATAMU

melihat matamu, telaga yang dilayari puluhan musim
sederet perahu didayung angsa, mengabarkan tebing pualam
ke mana nyanyian, segala yang pernah tumpah
dalam persinggahan resah dan bibir yang mengunyah risau
kita bukan lagi menjadi penunggu pantai
untuk sebuah jiwa yang tak lagi terjebak
oleh perahu yang tersesat

di gelombang kesekian kau memintal rindu
dalam pusaran angin aku diam menunggu
berpuluh-puluh jalan penantian telah kautebari dupa
selalu dan selalu hutan bakau berbaris mengawasi
untuk seorang pengembara agar mau kembali

sudahlah, hujan tak akan lagi mengejar kita
langit terasa kosong. di depan kita cuma ada satu pelabuhan
tapi kita sama-sama tak punya keberanian untuk membuang sauh
padahal sebentar lagi perahu sang perampok harta karun tiba
merentang jala bersama ribuan pendurhaka
lalu di mana kita akan sembunyi
pada saat jalan pulang sudah habis dicuri?

mungkin tak ada yang perlu dicatat
segalanya bakal jadi pengubur bagi kematian yang tak terduga

batang  2003

TENTANG RUMAH

rumahku, batu berlumut yang mengeras oleh rindu
persinggahan cuaca, sisa gumam kekalahan setiap peperangan
ribuan hujan telah singgah sebelum berselingkuh dengan muara
kemudian lahir anak-anak mimpi tanpa nama

di negeri kegaiban anak cucu yang sudah dewasa
menunggu dengan mengecat rambut yang sudah memutih
memulas sejarah. buih yang sudah tidak punya lambang apa-apa

aku lebih suka memilih jadi domba
yang lehernya harus dipotong demi sepenggal rindu
ketika kapak ibrahim diayun-ayunkan untuk memotong cuaca
mata ismail yang sudah menjadi telaga
menimbuni tubuhku dengan lumpur
sedang hasratku mengapung
menunggu arus menghanyutkannya ke muara

IGAU ANGIN

kelak ketika awan menggumpal di mataku
dan ribuan nama telah kulupakan
mungkin tak ada bedanya antara muara dan pelabuhan
ribuan perahu telah singgah kemudian meninggalkan gumam
tentang arus yang bersilangan memutar-mutarkan lambung kapal
begini gampang arah berputar
angin tua yang rapuh, membaca lengkung cakrawala
seperti terpejam matanya:
“usunglah keranda ini, menuju rumah yang paling sangsi”.
batang 2003

 

BAKAUHUNI
bagi: isbedy stiawan z.s.

melintasi selat sunda,
serupa menciumi wajah putri halimun yang menggelombang
tubuhnya mengapung menunggu sang pengembara singgah
mendayung hasrat yang menggejolak.

rupanya kau yang mengirim ombak di keningku
dari rumah puisi, sisa-sisa kopi semalam, dan getah karet
yang kau sadap dari pasang surut usiamu

pelabuhan ini telah sedewasa perawan
dari bibirnya mengunyah gumam penantian
ribuan para peragu mencoba menanamkan anggur di mulutnya
sambil menebar dongeng tentang kota yang mengapung di laut
mungkin kita hanya bisa membaui desahnya

beberapa jengkal lagi aku dapat menginjakkan kaki
dan merengkuh bumi coklat tempat kau melinting ribuan puisi
dengan jampa-jampi daun lada yang kauambil dari dasar rawa-rawa bertuah
mengapa bukan asapnya yang kaukepulkan ke pantai
untuk merayu segala cuaca selagi tanganku menyibak angin yang membadai?

SKETSA SUNGAI LILIN

gebyar lampu-lampu perahu membuat kota persinggahan tak lagi beku
para bakul menghitung ikatan-ikatan lada yang dikeluarkan dari sarung malam
sudah lama mata terjaga, dan bau asap cuaca telah mengguyur sampanku
apakah dunia masih saja berjarak dalam persilangan jiwa dan waktu?
tapi aku tak lupa, dengan siapa aku berlayar semalam.          

 

MAGHFUR SAAN --- selain menulis puisi, penyair ini juga banyak menulis cerpen dan cerita anak. Karyanya tersebar di sejumlah buku antologi dan media cetak pusat daerah dan luar negeri, seperti majalah sastra "Bahana" Brunai Darussalam. Ia seorang guru bagi penulis muda di Batang, Jawa Tengah.                       

CERPEN PILIHAN II

 

Ini Tentang Mimpimu, Tayaka

 YETTI A.KA

 

Ini tentang mimpimu, Tayaka: Peri kecil yang bermain hujan pada suatu sore di akhir Oktober, kala langit tidak merah. Ingatkah kau Tayaka? Itulah mimpi terindahmu, juga menjadi mimpi tiap perempuan sepanjang zaman. Kau sering menceritakan tentang mimpimu itu, terlalu sering bahkan.

Ketika itu Tayaka, sore masih benar-benar ada. Daun-daun bunga di tamanmu selalu berkilau-kilau bila sehabis hujan. Beberapa ekor burung berputar-putar di atas

rumahmu, menyambut langit yang mulai memerah setelah sekian jam diselimuti awan tebal. Kupu-kupu hinggap pada bunga-bunga segar. Anak-anak berlari-lari mengejar capung yang hinggap pada ujung rumput liar. Dan kau, Tayaka selalu seperti ingin menyambut kedua peri kecilmu pulang dari bermain hujan bersama teman-temannya di taman, dengan dada bergetar. Kau bahkan terlalu gugup. Kau begitu gelisah. Saat kau menangkap hentakan kaki di lantai rumahmu, kau ingin berteriak keras-keras, mengatakan pada dunia bahwa kau akan menjadi ibu. “Lihatlah!” katamu, pada langit yang telah sedikit merah, “... Peri kecil telah lelah bermain....”. Kau lalu menjadi begitu sibuk Tayaka; memandikan peri kecilmu, memberinya minyak penghangat dan memeluknya erat serta menidurkannya di pangkuanmu sambil mendongeng tentang putri bungsu dan sinam-nam. Peri kecilmu lalu akan tertidur dengan senyum tersisa di sudut bibir. Langit lalu menjadi begitu kelam. Tanpa bintang. Di luar kau hanya mendengar suara angin. Daun-daun jatuh di atap rumahmu...

*** 

Ketika itu rumah mungilmu masih bercat putih. Beberapa pot mawar putih berjejer di teras. Juga kupu-kupu sering mampir ke taman bunga. Hampir tiap sore sehabis hujan di akhir Oktober kau selalu saja ke luar dengan gaun putih menyentuh lantai. Kau pergi ke taman. Menghampiri bunga-bunga, menyentuhnya, dan menikmati kesegaran baunya. Lama kau akan terpaku. Mengirup udara dalam-dalam. Meleburkan jiwamu pada sore yang ditinggal hujan. Menyerahkan mimpimu yang tak pernah selesai. Mimpi yang hanya menjadi milikmu, Tayaka. Milik Perempuan!

Seperti sore-sore sehabis hujan yang kau lalui, maka pada sore itupun kau membangun harapanmu. Tak pernah tidak, Tayaka. Selalu. Perlahan tubuhmu bergerak. Meliuk. Tanganmu mengembang. Kau seperti ingin terbang ke udara.

Sisa hujan yang bersinggah pada kuntum-kuntum bunga di taman pun luruh kala dadamu bergetar. Kau yang hanyut dalam pengharapan yang tak pernah henti. Gemuruh yang tidak usai. Pengembaraan yang selalu membawamu pergi dan kembali. Sebuah dunia yang kemudian tak pernah berhenti memberimu impian.

Maka kaupun membumbung lebih tinggi, melewati awan-awan, terus bergerak menuju dunia yang seolah tanpa batas. Menapakkan kaki di dunia para beteri (dunia yang hanya ada dalam dongeng nenekmu). Di sana kau menemukan sepasang peri kecil yang lucu. Kau terkesiap. Begitu tak percaya. Tapi sesaat kemudian kau telah bermain bersama mereka di taman yang bunga-bunganya berwarna putih. Kau berlari-lari kecil mengikuti sepasang peri kecil mengelilingi bunga-bunga. Sesekali tawa pun pecah. Kau berbagi cinta, berbagi harapan, dan juga mimpi. Saat sore hampir berlalu kau berjanji akan bertemu lagi di sore yang lain.

*** 

Ketika hujan di suatu sore di akhir Oktober masih benar-benar ada, kembali kau keluar dengan gaun putih menyentuh lantai. Tak lama setelah itu, secara tiba-tiba dua peri kecil telah ada di sisimu. Peri-peri itu tersenyum. Kau pun balas tersenyum. Sepasang peri kecil yang lucu segera kau ajak ke taman. Bermain hujan di antara bunga-bunga. Mengukir kembali saat-saat yang membuatmu ingin selalu hidup. Tiba-tiba saja kau telah banyak sekali berbagi cerita di bawah lembutnya rinai hujan yang melayang-layang terbawa angin. Salah satu peri kecilmu bercerita tentang mimpinya semalam. Mimpi tentang teman-temannya yang nakal, yang suka menarik-narik rambutnya yang dikuncir kuda. Sedangkan peri kecil yang satunya lagi bercerita tentang keberaniannya membuka jendela di malam hari, saat burung gagak hinggap di sebatang pohon dekat kamarnya, padahal malam itu sangat gelap. Peri kecil bangga sekali atas keberaniannya itu.

Kau, Tayaka, kemudian tertawa kecil. Kau seperti benar-benar menjadi ibu. Menjadi perempuan. Menjadi begitu utuh. Sempurna. Matamu bersinar-sinar. Wajahmu bersinar-sinar. Bibirmu bersinar-sinar. Penuh kasih kau mencium kedua peri kecilmu.

“Mimpi itu tidak akan menjadi kenyataan, percayalah,” bujukmu pada peri kecil yang rambutnya dikuncir kuda. Begitu tulus.

Peri kecil yang berkuncir kuda menatapmu. Lama sekali.

“Dan kau sangat hebat!” katamu pada peri yang bercerita tentang keberaniannya.

“Sungguh?” tanya kedua peri kecil.

Kau mengangguk. Matamu masih bersinar-sinar “Ya. Kau tidak harus takut pada mimpi seperti itu. Dulu ketika kecil, ibu sering bermimpi tentang teman-teman yang nakal, dan tidak pernah terjadi keesokan harinya.” Kau membelai rambut peri kecil berkuncir kuda.

“Tapi, tadi malam aku benar-benar menangis. Aku sedih sekali.”

Tayaka, kau memeluk peri kecil berkuncir kuda, berbisik pelan padanya “Kau boleh saja menangis, itu tidak apa. Tapi setelah itu kau harus melupakan mimpi itu.”

“Apakah menurut ibu aku sungguh-sungguh pemberani?” tanya Peri kecil yang satunya. Kau tampak tersentak, Tayaka. Wajahmu bersemu merah. Ah, kau merasa benar-benar telah menjadi seorang ibu.

Kau menarik napas dalam. Kemudian tersenyum kecil, berkata penuh harap. “Kau benar-benar pemberani! Aku ingin kau menjagaku bila kau besar nanti.”

“Benarkah?”

“Ya!”

Kedua peri kecil menghadiahimu ciuman di pipi.

Sore itu kau hilang di antara rinai hujan yang melayang-layang, yang tinggal satu-satu, yang lalu menyisakan kelembutannya...

***

Seperti sore-sore yang diguyur hujan di akhir Oktober lainnya, di sore yang lain lagi, kau berkejar-kejaran dengan kedua peri kecil di antara rumpun-rumpun bunga.

Lalu dua ekor kupu-kupu hinggap pada sekuntum mawar putih.

Peri-peri kecilmu berteriak.

Sore berlalu. Kau kembali sendiri, Tayaka.

Lalu kau bertanya, entah pada siapa, “Mengapa harus ada pagi, siang, sore, dan malam?

    ***

Selalu. Ketika Sore dengan hujan di akhir Oktober masih benar-benar ada, Kau, Tayaka bermain bersama sepasang peri kecil di taman bunga. Seperti biasa. Kau dan peri kecilmu menikmati rinai hujan yang tersisa. Juga aroma mawar putih. Juga sepasang kupu-kupu yang selalu saja hinggap pada kuntum-kuntum mawar. Juga daun-daun yang berkilau-kilau.

Kau lalu bernyanyi, Tayaka;

Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah

Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah

Sepasang peri kecil mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Wow! Indah sekali,” teriak kedua peri kecil.

Seperti biasa kau hanya tersenyum. Matamu bersinar. Lalu kau bertanya, apakah kau telah benar-benar bahagia? Anehnya setelah itu kau malah menangis tersedu. Tayaka, kau menyesal telah bertanya tentang kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan tidak seharusnya dipertanyakan?

***

Hari ini. Di rumah mungil yang dulu bercat putih. Kau yang selalu memakai gaun warna putih menyentuh lantai, tidak lagi menemukan mimpi tentang sore yang diguyur hujan di akhir Oktober. Juga peri-peri kecil. Juga bunga-bunga.

Tapi kau pernah memiliki mimpi itu, Tayaka. Mimpi yang menjadikanmu seperti seorang ibu. Sudah ingatkah kau Tayaka? Setiap sore kau selalu bercerita dengan mata bersinar-sinar; tentang hujan, tentang peri-perimu yang berlari-lari di antara bunga-bunga berwarna putih, juga tentang burung yang menantikan langit memerah setelah begitu lama kelam.

Ah, Tayaka mimpimu itu impian suci seorang ibu. Dan kau tak perlu menguburnya. Jangan pernah,Tayaka. Biarkan ia tetap ada untuk mengisi ruang kosong dalam dirimu. Lalu mengapa kau harus melupakannya?

“Kau selalu saja tidak mengerti aku. Aku kehilangan cinta ...” katamu, suatu kali dengan nada sendu.

Aku begitu terkejut.

“Kau pikir, aku benar-benar telah memiliki sore itu, bunga-bunga itu, hujan itu, peri-peri kecil itu? Tidak Wim. Aku telah kehilangan cinta...” Tangismu pecah.

Bagaimanapun Tayaka, impianmu adalah mimpi terindah sepanjang zaman. Dan kau tidak harus menangis karenanya.

***  

Tayaka sejak kau kehilangan mimpi, aku juga telah kehilangan dirimu yang sering menghabiskan sore dengan sisa hujan satu-satu di akhir Oktober. Aku kehilangan cinta!

Dan pada November ini, hujan masih saja turun.

Tapi bunga-bunga tidak lagi berkembang. Kupu-kupu telah mencari taman lain. Anak-anak tak lagi bermain hujan-hujanan di tamanmu.

Atau mungkin saja mereka tak pernah ada.

Mungkin saja!

Seperti waktu yang selalu berulang. Semua itu hanya perulangan dari mimpi.

Mimpimu Tayaka! Mimpi Perempuan...***  

Padang, 12 Maret 2002

 

 

 

Yetti A. KA, lahir dan besar di Bengkulu. Menulis Cerpen dan puisi pada beberapa

media massa daerah dan nasional. Beberapa cerpen tergabung dalam antologi bersama. Sekarang sedang sibuk menyelesaikan skripsi di Univ Andalas Padang. Cerpen di atas diambil dari antologi “Para Penari” diterbitkan oleh Lingkaran Komunikasi, 2002. 

.

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail