ALTERNATIF |
Edisi
III/Minggu, 15 Februari 2004 |
GALERI PUISI
Dina
Oktaviani LAKON
TUBUH kubentangkan
dada bagi sejarah lelaki tempat
jalarkan perih tempat
jalarkan kecemasan tapi
tak ada apa pun lagi di sana susu
dan dagingnya telah terjual di kamar pekat tinggal
kalimat-kalimat tanpa darah untuk
tak pernah mereka tanya "apa
yang kau pinta sesudah ini semua?" entah
bagaimana aku berbahagia dengan
selaksa luka mereka dan
bila setiap pagi tak kutemukan lagi selembar
makna (tubuhku) di
ranjang yang tersayat mati sempurnalah
aku sebagi dewi lampung,
oktober 2001
Putu Vivi Lestari MELANKOLIA
RASA 2 Mungkin
telah kau jelajahi tiap
milimeter tubuhku telah
kau petakan sumber
air panas semestamu di
liang-liang lukaku (meski
bukan si tua yang setia Yellowstone
yang jauh) atau
telah kau jejakkan bibirmu di
putingku yang
gelisah tetap
saja rasaku tak
mencair Sia-sia
menziarahiku jika
goresanmu cuma
menancap gugup ragu
menerka di
mana setia dan
cinta yang cair mesti
ditempatkan Jangan
katakan aku tak ingat pada
masa lalu sebab
rusuk yang
kau pinjamkan masih
kupanaskan bersama
potongan nangka
muda :
(serupa petak dadu dengan
seribu peluang) kudidihkan bersama
sesendok rempah-rempah agar
rasaku tak tawar Tapi
kau cuma
mengaduk sambil
menghitung keinginan membayangkan
Phidias pemahat
kerajaan Tuhan dengan
gerbang acropolisnya yang
bangkit di
450 sebelum Masehi Menjadi
jantung pelindung kota
tua dengan
Zeus yang
tak koyak di
bukit zaitun Sia-sia
menziarahiku jika
goresanmu menancap gugup ragu
menerka doa
atau dosa yang
bisa berharap.
Zakh
Syairum Majid MANUSKRIP
LUKA I noura
Kusam
katamu. Rintik hujan, mengabut matamu Seonggok kubur. Masa Silam.
Menggelombang Senja tak akan kita temui, bisikmuseorang tua memilin
jemarinya kereta api asap hitam, menghadirkan masa kanak kita juga
jericit hujan, yang kemudian menculikmu dari persenyawaan kita. Tak lagi
aku-kau. Tak lagi kau-aku
Bogor,
1424 MANUSKRIP
LUKA II noura
Rindu. Malam. Sajadah gigil beku. Korden dan jeruji jendela Serakan cinta. Tak sampai, tak sampai Dan memang kita menginginkan tak sampai Kita terpenjara dalam daging-daging masa lalu Aku ingin engkau menangis sekarang, katamu Kupelihara seekor belatung di hatiku Agar memakannya, agar aku merasakan sakit Dan merasakan bagaimana tak punya hati Agar tak ada yang bersemayam dalam hatiku, hatiku Sajadah gigil beku. Sepercik darah membiru Bogor,
1424
TENTANG
PENYAIR Dina
Oktaviani lahir di Tanjungkarang, Badarlampung, 11 Oktober 1985.
Sajaknya terkumpul dalam sejumlah buku kumpulan puisi. Mantan pengurus
komite sastra Dewan Kesenian Lampung ini kini tinggal di Jakarta. Putu Vivi Lestari, kelahiran Tabanan, Bali, 14 November 1981. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Udayana ini pada 2003 diundang membaca puisi pada Pesta Sastra Internasional di Bali. Puisi Vivi di atas dikutip dari Media Indonesia edisi 21 September 2003 Zakh Syairum Majid (Surono B Tjasmad), lahir di Pekalongan, 16 Mei 1980. Karya-karya Wakil Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Bogor ini, puisi dan cerpen, dimuat sejumlah media cetak dan masuk dalam beberapa kumpulan bersama. Puisi Zakh di atas dikutip dari Republika edisi 9 Nopember 2003 |
CERPEN PILIHAN I ALINA
SAIFUL BAHRI Adalah
Puisi “Perjalanan Kubur” Sutardji Calzoum Bachri berawal kisah ini. ..…………………….. Untuk
kuburmu Alina aku
menggali-gali dalam diri raja
dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera
hitam menyeka
matahari membujuk bulan teguk
tangismu Alina ……………………………. Alina!
Alina! Alina! Siapakah Alina? Yang menggurat gairah, mengunyah sejarah,
getarkan tampuk semesta; adakah Alina? Alina di kesementaraan angan
menuju keabadian kenangan – yang entah dimana
akhirnya dan entah bagaimana jasad nisbinya. Alina yang punya
sejuta cinta dan sekeranjang dosa umat manusia tengah meronta-ronta di
liang kuburnya yang tua. Alina yang rahasia, yang berwujud kita,
berwujud budaya, berwujud apa saja; tengah menjalani siksa. Siksa Alina! “Jangan!
Jangan ingkari Alina. Jangan sakiti Alina. Jangan dipolitisir Alina.
Jangan agung-agungkan Alina. Jangan adakan dan tiadakan Alina. Jangan
apa-apakan Alina. Jangan apa-apakan Alina! Biarkan Alina tetap
Alina!”lengking saya dalam keadaan luruh yang meluruhkan kesenduan
pagi berkabut di sebuah perkampungan kumuh, di pinggiran kota saya yang
tertuduh. Ya,
kota saya merasa tertuduh telah merampas, membantai dan memperkosa
Alina. Kota saya merasa tersingkir, dileceh-lecehkan, diludahi dan
ditelanjangi, Kota saya gelagapan dan gemetar dalam amarah diamnya
yang mendidih. Kota saya melambai-lambai, menggapai-gapai dan
tidak mau tenggelam. Kota saya patah. Kota saya gerah. Wajahnya berlumur
darah. Darah-darah yang melimpah. Darah-darah yang beriak-riak,
berombak-ombak, bergulung-gulung melintasi
samudera hati diri-hati diri, hingga akhirnya terhempas di pantai liang
kubur Alina. Oh, kota saya yang berantakan! Dan
ketika liang kubur Alina mulai mereguk genangan darah demi genangan
darah yang memang bermuara ke sana, kesenduan pagi segera menyusut untuk
segera terbang ke alam panas. Pagi tiba-tiba membara. Pagi-pagi dalam
prahara. Pagi-pagi dalam huru-hara. Pagi-pagi jadi sangat berbahaya. Di
persimpangan-persimpangan, di pusat-pusat perbelanjaan, di salon-salon
kecantikan, di emperan-emperan kaki lima, di lorong-lorong sempit, di
depan kantor-kantor pemerintah dan swasta, di halaman-halaman sekolah ,
di pinggir kali, di pasar ikan, di pasar sayur, di pasar-pasar lelang
umur manusia, orang-orang ternganga sambil menatap pilu ke ufuk liang
kubur Alina. Mereka bertanya-tanya apa tanda ini semua? Apa makna ini
semua? Dengan
hati berdebar-debar mereka segera membentuk barisan. Tanpa aba-aba
mereka segera bergerak. Derap langkah menggemuruh, membungkamkan diam
mereka yang resah. Pagi terasa semakin panas! Parade mereka – penduduk
kota saya – semakin mantap berderap, semakin cepat bergerak. Peluh
mulai bercucuran. Amarah mulai terpancar dari muka mereka. Ada yang
merasa tersayat pedih. Ada yang merasa teriris perih. Tetapi mereka
semua berusaha diam, berusaha membungkam rasa, membungkus luka, menyeret
damba, menggapai semesta. Dan semua menuju ke saya. Mereka menuju ke
saya! Saya
terbeliak-beliak menyaksikan kerumunan orang yang begitu banyak.
Besar-kecil, tua-muda, lelaki dan wanita berdesak-desak mengerumuni
saya. Mereka semua menikam saya dengan pandangan matanya yang dingin,
sinis dan mengerikan. Ribuan mulut dikancip-kancipkan. Ribuan tangan
diancung-ancungkan. Ribuan kepala ditengadahkan. Ribuan dada
ditepuk-tepuk. Ribuan kenangan dirobek-robek, diremas-remas kemudian
dicampakkan ke muka saya. Mereka marah! Dan marahnya ditujukan kepada
saya! Mengapa harus ke saya? Mengapa saya? “Kau!”tuding
seorang nenek dengan bringasnya. “Kembalikan
aku! Kembalikan kau!”Jerit histeris seorang cukong bertubuh jangkung. “Bantai
saja kau! Sikat semua kau! Tunggu apa lagi kau!”terisak-isak seorang
bocah bergumam. Kemudian
semua bergumam-gumam, semua berbisik-bisik, semua mengerang-ngerang dan
semua mengerat-ngerat keberadaan saya. Saya terpelanting kesana-kemari
dalam keterkejutan yang patah-patah. Saya gerah, kecut dan lunglai. Saya
terabaikan. Saya merasa digorok-gorok, dicincang dan diiris tipis-tipis.
Habis! Habislah saya! Tapi saya tidak tahu apakah saya yang kehabisan
ataukah saya yang dihabiskan. Yang jelas saya jadi sangat merana,
menderita, terlunta-lunta akibat malapetaka Alina. Alina? Mengapa saya
terhina karena Alina? Begitu tegakah Alina? Mengapa saya ternoda karena
Alina? Begitu berkuasakah Alina? Pasrahkah saya demi Alina? Oh, ini
bencana apa? Ini bencana apa? “Keterlaluan
sekali! Saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Saya benci! Saya tak
mau mati dalam sekarat seperti ini. Kasihan Alina bukan berarti
kasihanilah saya. Alina tetap Alina! Saya bukan Alina! Biarkan saya
tetap saya. Saya tak tahan lagi, saya tak rela jika diganyang seperti
ini. Biarkan saya kembali kepada saya. Biarkan saya…….”ratap saya
dengan terhiba-hiba. Udara
mendadak gemetar. Daun-daun, batu-batu, dinding-dinding, tiang-tiang
listrik, jembatan-jembatan, perasaan-perasaan, kekecewaan-kekecewaan,
kebohongan-kebohongan, nista-nista, ambisi-ambisi, persepsi-persepsi,
kolusi-kolusi, imaji-imaji
…….…., bergetar-getar. Semua bergetar-getar. Begitu
asingnya suasana ini tercipta. Saya sedang diperdaya! Saya sedang
diperdaya! Suatu
ketika seraup hawa panas menyebar, menampar muka-muka penduduk kota saya
yang tercengang-cengang; pilu dalam tanda tanyanya masing-masing. Namun
mereka tetap saja menikam saya dengan ketercengangannya dan tanda tanya
yang menggelegak di benaknya. Mereka jadi sangat buas dan bringas dalam
katup gamangnya yang sukar diterjemahkan. Mereka sepertinya bukan lagi
mereka! “Oh,
Alina……mengapa mereka menghimpit-himpit saya dengan bala bencana
seperti ini? Apa salah saya, Alina? Tolonglah saya, Alina! Ah, tetapi
tidak! Tidak! Saya tak perlu dikasihani. Saya bukan jenis manusia banci.
Lupakan saja saya. Biarkan saya tetap saya. Acuhkanlah saya supaya saya
segera merdeka. Ya, merdeka!” Tetapi
semua jadi percuma. Saya merasa tersia-sia tanpa jiwa, tanpa rasa, tanpa
apa-apa. Saya jadi ringan polos-telanjang, melayang-layang dan membentur
ruang batas yang tak berbatas. Kemudian perlahan-lahan saya meluncur,
meraup bayang bayang dan sisa angan-angan yang menyekat di ubun-ubun
penduduk kota saya. Penduduk kota saya semakin terperangah dan terus
saja marah-marah. Mereka blingsatan kesana-kemari, sibuk dalam
mencari-cari. Agaknya penduduk kota saya telah kehilangan sesuatu yang
entah apa, yang pernah jadi miliknya, yang paling dicintainya. Mereka
semakin sibuk mencari-cari, menyusup ke riol-riol, mengais-ngais bak
sampah, membongkar-bongkar arsip negara, mengaduk-aduk gudang beras,
gudang tepung, gudang hati, gudang mimpi, gudang sepi, memilah-milah
sejarah, mengabrak-abrik gairah, melesat ke semesta! Mereka terus
mencari-cari. Mereka larut dalam pencariannya sendiri-sendiri. Meresapi
makna malapetaka ini saya jadi sakit sekali. Mengapa semua harus
berakhir seperti ini? Adakah ini dendam Alina? Adakah ini kutuk Alina?
Mengapa semua harus merasakan siksa? Siksa! Oh, terlalu purba makna yang
tersirat dari siksa yang tersiksa dirimu Alina. Alina, adakah engkau
rindu? Mungkin kami yang tertipu! Sebuah
kekuatan menyerap tubuh saya mendekati liang kubur Alina. Saya terkesiap
dan segera bergerak-gerak, menghentak-hentak untuk melepaskan diri dari
cengkraman kekuatan laknat ini. Seluruh kekuatan saya kerahkan. Sebuah
kehormatan saya pertaruhkan. Tetapi semua jadi sia-sia. Saya harus
mengaku kalah. Tubuh saya semakin lemah. Saya merasakan lelah. Oh,
mengapa harus ada kekalahan? Udara
semakin membara. Pagi kehilangan rupa. Angin merah menderu-deru
menciptakan suasana neraka. Kata-kata mengalir begitu cepat dan
tersaruk-saruk dalam perjalanannya yang mendidih, meng- gelegak,
berbuncah-buncah, meleleh di dinding-dinding kusut kota saya.
Jalan-jalan protokol dan lorong-lorong dingin terlipat-lipat. Pepohonan
menguap. Taman kota membusuk. Wajah kota saya terkelupas dan
bopeng-bopeng. Kota saya terluka! Kota saya terluka! Sedikit
demi sedikit tubuh saya digiring ke tepi liang kubur Alina untuk dibenam
di sana. Saya mencoba untuk berbuat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa
karena saya sudah dicekam untuk tidak berbuat apa-apa. Saya relakan saja
jika ini memang akhir yang harus saya terima. Perlahan-lahan tubuh saya
mulai dibenamkan ke liang kubur Alina. Saya juga tidak tahu harus
bersedih atau bersuka ria. Saya diam saja, menerima apa adanya. Tubuh
saya semakin terbenam, semakin tenggelam dalam liang merah membara
milikmu Alina! Milikmu Alina! Lambaian
terakhir sempat saya ancungkan, sebagai ucapan selamat tinggal kepada
seluruh penduduk kota saya yang semakin sibuk mencari-cari. Saya tidak
tahu apa yang mereka cari. Adakah mereka mencarimu Alina? Oh, Alina,
terimalah saya seutuhnya. Seutuhnya di keabadianmu, Alina! Sekali
mata saya terbeliak. Kemudian perlahan menjadi sendu, sayu dan terasa
begitu syahdu. Udara
kian membara. Tapi,
dimanakah Alina?! Dimana Alina?! ……………………….. Saya
dibohongi lagi! Saya
dibohongi lagi!
Saiful
Bahri, lahir di Banda Aceh, 29 Juli 1969. Alumnus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP)
Depdagri Jakarta, Jurusan Politik Pemerintahan (1998) ini kini sebagai
pegawai kecil pada Bagian Humas Pemda Kota Banda Aceh. Pengurus Dewan
Kesenian Banda Aceh ini menulis cerpen dan novel serta tulisan budaya
lainnya di media lokal dan nasional. Sebuah novelnya diterbitkan Balai
Pustaka Terrbuai Mimpi (1991).
Cerpen-cerpennya termuat dalam sejumlah buku kumpulan cerpen yang terbit
di Indonesia dan Malaysia. |
HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. |