Petikan dari: Pidato Penerimaan
Hadiah Nobel untuk Kesusastraan 1999
Sumber versi Bahasa Indonesia: HORISON, majalah
Sastra, Jakarta: November 2000, hlm. 7-8, 10-11, dan 15.
Günter
Grass
[...]
Sejak awal mula manusia bercerita. Lama sebelum umat manusia
terlatih dalam tulis menulis, lalu lambat laun masuk dalam
keberaksaraan, manusia saling menceritakan dan saling mendengarkan.
Tidak lama kemudian ternyata bahwa di antara mereka yang belum
mengenal tulisan, ada orang-orang yang dapat bercerita lebih
banyak atau lebih baik, atau dapat mengibul lebih meyakinkan.
Di antara mereka ini, ada lagi orang-orang yang menguasai
seni menahan arus cerita yang mengalir tenang, lalu membiarkan
arus yang tertahan itu meluap dari daerah alirannya; sambil
mengalirkan arus deras itu menjadi bercabang, arus itu tidak
pernah mengering melainkan secara tiba-tiba dan mengejutkan
menemukan suatu daerah aliran sungai yang lebar; sambil membawa
banyak yang hanyut dan mengambang, arus itu tetap mengalir
- mengakibatkan terjadinya alur cerita sampingan. Para pencerita
zaman dulu itu tidak tergantung pada cahaya matahari atau
lampu; dalam kegelapan malam pun mereka masih mampu berkhayal
dan bercerita dengan baik, ya, bahkan mampu melibatkan kegelapan
malam atau keremangan senja untuk menambah dan mendukung ketegangan.
Mereka juga tidak segan mengadakan perjalanan jauh, tidak
takut tehadap bunyi air terjun yang menggelegar; paling-paling,
hanya disebabkan keletihan yang selalu dapat saja mengusik,
untuk sementara mereka memutus alur penceritaan dengan janji
"akan dilanjutkan" atau "bersambung",
maka itu banyak orang berkumpul untuk mendengarkan. Mereka
yang mendengarkan pun sebenarnya mampu bercerita, akan tetapi
tidak begitu menarik, dan tidak dengan tiada henti-hentinya.
Apakah yang diceritakan manusia
ketika mereka belum dapat menulis dan mencatat? Sejak awal
mula, sejak Kain dan Habil, kiranya banyak yang diceritakan
itu berkisar perihal bunuh-membunuh. Balas dendam, terutama
pembalasan atas kematian sanak saudara, menjadi bahan cerita.
Tidak lama kemudian perang antar suku dan pembasmian bangsa
menjadi bahan yang umum diceritakan. Namun, juga berita banjir
dan kekeringan, paceklik dan panen raya menjadi bahan cerita.
Kepemilikan ternak dan budak dirinci panjang lebar. Tidak
ada cerita yang mampu meyakinkan para pendengar kalau tidak
dilengkapi silsilah keluarga yang panjang dan teliti--siapa
anak siapa, siapa memperanakkan siapa. Kisah kepahlawanan
pun mirip silsilah keluarga dalam rincian keturunan dan kekerabatan.
Selain itu, dapat diperkirakan bahwa yang sejak dulu sudah
banyak diminati (bahkan sampai sekarang) adalah kisah cinta
segi tiga, juga cerita horor tentang makhluk jadi-jadian--campuran
manusia dan binatang--yang menguasai labyrinth atau
yang mengintai di antara ilalang air. Apalagi cerita dewa-dewi
dan manusia perkasa atau manusia setengah-dewa, kisah-kisah
pelayaran jauh penuh petualangan; semua cerita itu melalui
penuturan dari mulut ke mulut disebarluaskan, dikurangi, ditambah,
diubah, diputar balik, dan akhirnya dicatat oleh seorang pencerita
yang konon bernama Homerus atau--seperti dalam hal alkitab--oleh
beberapa orang pencerita. Sejak itulah ada kesusastraan. Di
Cina, di Persia, di India, di dataran tinggi Peru, dan di
berbagai daerah lain, tempat aksara mulai dipergunakan, para
pencerita itulah yang secara pribadi atau secara kolektif
mendapat nama sebagai pengarang--ataupun tetap tinggal anonim.
Kita--yang begitu ketat terikat
pada tulisan hitam atas putih--masih mengingat dan mengakui
asal usul kesusastraan sebagai suatu tradisi lisan; namun,
seandainya kita sudah lupa bahwa semua cerita berawal dari
mulut yang bertutur--sekali waktu kurang jelas, lain kali
tersendat, lalu tergesa-gesa lagi, seperti didorong ketakutan--,
juga sambil berbisik-bisik, seolah-olah rahasia yang sedang
disingkap harus dilindungi dari pendengaran terlalu banyak
orang lain, berganti lagi dengan suara lantang--antara seruan
dan pertanyaan yang sudah sejak dulu menandakan reaksi pertama
dan pengaruh terakhir--,seandainya semua nuansa penceritaan
itu telah kita lupakan oleh keberaksaraan kita, maka semua
cerita kita hanya sekering kertas dan tidak dihidupi napas
hangat.
Sungguh beruntung kita bahwa dalam
perbendaharaan sastra yang kita miliki ada cukup banyak buku
yang mutunya bertahan, baik kalau dibaca dalam hati, maupun
kalau dibacakan bersuara. Karya-karya sastra itu menjadi teladan
dan acuan. Pengarang unggul seperti Melville atau Döblin,
juga bahasa Jerman yang dipergunakan Luther guna menerjemahkan
alkitab telah menyebabkan saya, waktu saya masih muda dan
ingin berlajar, mengarang sambil berbicara pada diri sendiri,
mengakibatkan tinta bercampur air liur. Keadaan ini tetap
begitu. Hingga kini, setelah 50 tahun menjadi pengarang, saya
menanggung beban kepengarangan penuh semangat, dan saya tetap
mengunyah kalimat-kalimat majemuk yang alot menjadi adonan
yang dapat dibentuk, menikmati kesepian ketika mengarang dan
bergumam dalam kesendirian, dan hanya menulis apa yang kalau
dibaca dengan bersuara, terbukti memiliki nada, bunyi, dan
gaung yang sesuai. [...]
[
]Dengan penerbitan kedua
novel pertama saya Die Blechtrommel ("Genderang Kaleng")
dan Hundejahre ("Tahun-tahun Anjing"), serta
novela Katz und Maus ("Kucing dan Tikus")
yang diselipkan di antara kedua novel itu, sebagai pengarang
yang relatif muda saya cepat belajar menghadapi kenyataan
bahwa buku dapat menyinggung perasaan orang lain, dapat menyulut
perasaan marah dan benci. Karangan yang dimaksudkan sebagai
ungkapan cinta pada tanah air, dapat dianggap penghinaan terhadap
negara.
Sejak itu saya dicap kontroversial.
Cap itu sebenarnya masih tidak
seberapa kalau dibandingkan dengan nasib pengarang-pengarang
yang dibuang ke Siberia atau neraka lain sejenisnya. Oleh
sebab itu saya tidak boleh mengeluh. Bahkan cap "kontroversial"
itu mestinya dianggap dorongan dan wajar sebagai risiko pekerjaan.
Memang sudah menjadi kenyataan bahwa penyair dan pengarang
suka memperolok kata-kata para penguasa, yang sebagai pemenang
selalu mempertahankan hak bicara mereka; sesudah mempertimbangkan
dan mengkaji segala sesuatunya dengan seksama, para penyair
dan pengarang memang juga suka membuang ludah di piring makan
para penguasa--salah satu sebab mengapa sejarah perkembangan
kesusastraan sejalan dengan perkembangan dan kecanggihan metode-metode
sensor.
Kejengkelan penguasa memaksa Sokrates
mereguk habis racun dalam cawan, mengusir Ovidius ke pembuangan,
menyebabkan Seneca mengiris urat nadinya. Judul-judul karya
sastra terindah yang dihasilkan akal budi dunia barat menghias
daftar bacaan terlarang Gereja Katolik--beratus-ratus tahun
lamanya, bahkan sampai sekarang. Sejauh mana Pencerahan Eropa
tertunda oleh sensor yang diadakan raja-raja yang memegang
kekuasaan mutlak? Berapa banyak pengarang Jerman, Italia,
Spanyol, dan Portugal telah diusir dari negeri mereka, dari
wilayah bahasa mereka. Berapa banyak pengarang telah menjadi
korban teror para penganut Leninisme dan Stalinisme? Dan tekanan
apa saja yang masih dialami pengarang-pengarang hingga saat
ini--baik di Cina, Kenya, maupun Kroasia?
Saya warga negara Jerman; Jerman dikenal
sebagai negara yang pernah melancarkan pembakaran buku
besar-besaran (di zaman Nazi, ekg). Kita semua mengetahui
bahwa nafsu memusnahkan buku yang dibenci--entah dengan
cara begini atau begitu--masih tetap hidup atau dapat
kembali lagi--sesuai dengan Zeitgeist--dan sewaktu-waktu
direstui dan dibenarkan. Jauh lebih parah lagi ialah bahwa
di seluruh dunia jumlah pengarang yang dianiaya, diancam
akan dibunuh, atau bahkan memang dibunuh, semakin bertambah,
dan bahwa seluruh dunia telah terbiasa pada teror yang
menjadi-jadi ini. Bagian dunia yang menyebut dirinya pelopor
demokrasi dan kemerdekaan memang geger dan bangkit meneriakkan
protes gegap gempita, ketika--seperti pada tahun 1995--di
Nigeria pengarang Ken Saro-Wiwa, dan para aktivis yang
berjuang bersamanya menggugat para perusak alam dan lingkungan
hidup di negerinya, dijatuhi hukuman mati, dan akhirnya
hukuman ini juga dilaksanakan. Namun sesudahnya, bagian
dunia merdeka ini tenggelam lagi ke dalam rutine sehari-hari
dan bungkam, karena protes berdasarkan pertimbangan pemeliharaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan mungkin akan mengganggu
bisnis minyak raksasa Shell. |
|
Akan tetapi, apakah yang sebenarnya
menyebabkan buku--dan dengan demikian juga pengarang--dianggap
begitu berbahaya sehingga baik negara maupun gereja, gabungan
perusahaan media-massa, dan partai-partai politik menganggap
perlu mengadakan tindakan pencekalan buku?
Jarang pelanggaran terhadap ideologi
yang dianut penguasa setempat menjadi sebabnya; hal ini biasanya
langsung ditindaklanjuti dengan pembungkaman atau yang lebih
parah. Seringkali yang menyebabkan suatu temuan atau pembuktian
sastra dianggap sebagai ancaman bahaya, sebagai ancaman maut
untuk para penjaga kebenaran tunggal; petunjuk bahwa sesungguhnya
ada bukan satu, melainkan banyak kebenaran--seperti juga bahwa
ada bukan hanya satu kenyataan, melainkan banyak kenyataan-sudah
cukup untuk diangap menjadi ancaman. Juga bahwa para penyair
dan pengarang--sesuai panggilan dan tanggung jawab profesi
mereka--tidak dapat membiarkan masa lampau tidak terusik;
mereka membuka kembali luka-luka yang terlalu cepat menutup,
membongkar gudang-gudang yang disegel rapat-rapat karena menyimpan
tumpukan jenazah, menerobos masuk ke dalam ruang-ruang terlarang,
menyantap hewan-hewan terlarang atau--seperti telah dilakukan
Jonathan Swift (pengarang Gulliver's Travels, ekg)--menyarankan
para pekerja di dapur para penguasa kerajaan Inggris untuk
menghidangkan anak-anak Irlandia yang dipanggang.
Jadi, pada umumnya para pengarang
tidak tunduk kepada apapun, bahkan juga tidak pada kapitalisme.
Kesemuanya itu menyebabkan kaum pengarang memiliki reputasi
buruk dan oleh sebab itu mereka pantas dihukum. Pelanggaran
terberat para pengarang ialah bahwa mereka--dalam buku-buku
mereka--tidak mau berada di pihak orang-orang yang dinyatakan
sebagai pemenang menurut perkembangan sejarah setempat; mereka
bahkan lebih suka berada di tempat orang-orang yang disisihkan
dan dicampakkan oleh proses sejarah, orang-orang yang sebenarnya
dapat bercerita banyak, namun tidak diberi kesempatan berbicara.
Barang siapa memberi suara kepada orang-orang yang dikalahkan,
mempertanyakan kemenangan. Barang siapa bergaul dengan orang-orang
yang dikalahkan, dianggap satu komplotan dengan mereka. [
]
[
]Dengan demikian saya kembali
lagi pada awal pidato saya, dan sekali lagi membuka buku Die
Raettin ("Tikus Betina"); dalam bab kelima dikemukakan
perbincangan dan pertimbangan tentang kemungkinan memberi
Hadiah Nobel kepada tikus percobaan ini--sebagai wakil dari
jutaan binatang percobaan lain yang telah dikorbankan demi
penelitian ilmu pengetahuan.
Pada saat ini juga saya menyadari
betapa sedikit telah diberikan oleh semua lembaga--bahkan
yang telah dianugerahi penghargaan tertinggi sekali pun--guna
mengatasi wabah kelaparan di berbagai tempat di dunia. Memang,
tiap orang yang sanggup membayar dapat memperoleh ginjal baru.
Jantung dapat ditransplantasi. Tanpa menggunakan kabel kita
dapat menilpon ke seluruh dunia. Satelit buatan dan stasiun
ruang angkasa mengelilingi bumi kita sebagai sarana pemantauan
dan perlindungan. Sebagai hasil penelitian yang juga memenangkan
penghargaan, telah dikembangkan dan diproduksi berbagai sistem
persenjataan yang berkemampuan membantu penguasa yang memilikinya
melindungi diri dari kematian yang berlipat ganda. Apa saja
yang telah dapat diperoleh berkat akal budi dan nalar manusia
telah diterapkan dengan membuahkan hasil yang luar biasa dan
menakjubkan. Hanya kelaparan yang tidak dapat diatasi.
Kelaparan bahkan bertambah. Wilayah-wilayah
yang tampaknya dari awal mulanya memang miskin, kini berubah
menjadi daerah-daerah penuh penderitaan nista. Di seluruh
dunia ada berbagai arus pengungsi; di sepanjang perjalanan
mereka diiringi kelaparan. Tidak ada satu golongan politik
pun yang--sesuai kemampuan berdasarkan pengetahuan ilmiah--bertekad
mengakhiri penderitaan yang semakin merajalela di mana-mana.
Pada tahun 1973, ketika Amerika
Serikat secara aktif mendukung teror yang merajalela di Chili,
Willy Brandt adalah Kanzler
(perdana menteri) Jerman pertama yang mengucapkan pidato keanggotaan
di hadapan Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam pidato
itu dia menyinggung masalah kelaparan yang semakin merajalela
di seluruh dunia. Pernyataannya "Kelaparan pun adalah
suatu bentuk perang (yang harus dihindari-ekg)!" begitu
meyakinkan sehingga para hadirin langsung memberi sambutan
tepuk tangan sebagai tanda persetujuan.
Saya hadir ketika pidato itu diucapkan.
Waktu itu saya sedang menulis novel Der Butt ("Ikan
Pari"); karangan ini mengolah tema tentang kebutuhan
dasar eksistensi manusia, tentang makanan--jadi, berkisah
tentang kekurangan dan kelimpahan, mengenai orang rakus dan
mengenai penderita kelaparan yang tidak terhitung banyaknya,
perihal menikmati makanan yang menggoyang lidah dan perihal
remah-remah yang jatuh dari meja makan orang-orang kaya.
Masalah ini belum kita tanggulangi.
Kekayaan yang terus menerus ditimbun, ditantang oleh kemiskinan
dengan angka-angka pertambahan penduduk yang melonjak terus.
Utara dan Barat boleh saja memisahkan dirinya dengan segala
macam bentuk perlindungan sebagai benteng pertahanan terhadap
Selatan yang miskin--namun arus-arus pengungsi suatu waktu
toh akan sampai pada benteng itu. Tidak ada yang dapat mempertahankan
diri terhadap serangan orang-orang yang kelaparan.
Perkara itulah yang akan dikisahkan
dalam masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, cerita bersambung
kita harus dilanjutkan. Meskipun pada suatu hari tidak ada
lagi yang menulis atau mencetak, meskipun barangkali bahkan
tidak diperbolehkan lagi menulis atau mencetak, pada waktu
buku-buku tidak lagi dapat diperoleh sebagai penyelamat hidup,
tetap saja akan ada pencerita. Mereka itu orang-orang yang
menghembuskan nafas kehidupan dari mulut mereka ke telinga
kita. Mereka akan memberi ilham dan semangat hidup baru dengan
cara menceritakan kembali kisah-kisah lama: keras dan lembut,
terengah-engah dan terbata-bata, terkadang mirip tawa, terkadang
mirip tangis.
-----------------
Penerjemah: E. Korah-Go
Copyright: 1999 The Nobel
Foundation (Yayasan Nobel)
Photo: Hans Mehlin, Nobel e-Museum,
sumber: http://www.nobel.se/literature/laureates/1999/