oleh BHIKKHU PESALA
ALIH BAHASA:
Kaliyani Kumiayi, SE
Dra. Sujata Lanny Anggawati
Dra. Yasodhara Wena Cintiawati
EDITOR: Bhikkhu Uttamo
BIRO PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN
SANGHA THERAVADA INDONESIA
VIHARA SAMANGGI JAYA, JL Slamet Riyadi No. 21.
Blitar - 66113,
Telp./Fax.: 0342- 82616
KATA PENGANTAR
Agama Buddha di Indonesia semakin dikenal masyarakat.
Hal ini
menjadikan umat Buddha banyak memperoleh pertanyaan
dari
orang-orang di
sekitarnya mengenai Agama Buddha. Ada pertanyaan
yang dengan
mudah dijawab,
tetapi tentu saja banyak pula pertanyaan yang
cukup memusingkan
sehingga
kadang kala kita harus menunda memberikan jawaban
yang
memuaskan kepada si
penanya.
Kesulitan dalam menjawab pertanyaan dapat timbul
karena
kurangnya pengertian kita sendiri mengenai Agama
Buddha.
Buku PERDEBATAN RAJA MILINDA ini diterbitkan dengan
maksud
untuk membantu
umat Buddha menambah wawasan tentang Agama Buddha
dan
memberikan pokok-pokok
jawaban atas pertanyaan yang paling sering ditanyakan
mengenai
Agama Buddha.
Para simpatisan Buddhis juga dapat mempergunakan
buku ini
sebagai awal
perkenalan dengan Ajaran Sang Buddha.
Usaha penerbitan buku ini dapat terlaksana karena
bantuan para
sponsor dan
donator yang dengan rela memberikan sebagian
hasil jerih
payahnya untuk
pengembangan Buddha Dhamma di lndonesia serta
para penerjemah
yang telah
dengan tekun serta
hati-hati menerjemahkan buku ini dari bahasa
Inggris ke dalam
bahasa
Indonesia agar isi buku ini dapat dibaca dengan
enak dan lebih mudah dimengerti oleh segenap
lapisan pembaca.
Semoga dengan jasa kebajikan yang dilakukan oleh
semua pihak
yang terlibat
dalam persiapan, penerbitan dan juga penyebaran
buku ini
dapatlah membuahkan
kebahagiaan lahir dan batin untuk Anda dan seluruh
anggota
keluarga Anda.
Semoga semua mahluk berbahagia.
Blitar, Kathina 2539 / 1995
TTD
Uttamo Bhikkhu
Kepala Biro
PENDAHULUAN
Milinda Panha merupakan buku kuno muktabar tentang
Buddhisme
yang
benar-benar dianggap tinggi sehingga dimasukkan
oleh orang
Burma di dalam
kitab suci Pali Canon. Di dalam buku Palinya
dikatakan bahwa
percakapan
antara Raja Milinda dengan Nagasena terjadi 500
tahun setelah
Sang Buddha
parinibana. T.W. Rhys David, penerjemah yang
terhebat untuk
buku-buku Pali,
menganggap buku ini sangat bagus. Beliau mengatakan,
"Saya berani mengatakan bahwa 'Pertanyaan Milinda'
ini jelas
merupakan karya
terbaik untuk prosa India; dan benar-benar buku
terbaik di
kelasnya
dipandang dari sudut kesusastraan, yang telah
diproduksi di
negara manapun
juga."
Gaya Milinda Panha sangat mirip dengan dialog
Platonik, dimana
Nagasena
memainkan peran sebagai Socrates dan menang berdebat
dengan
Raja Milindia
dalam sudut pandang Buddhis, karena penalarannya
yang sehat dan
perumpamaannya yang pas. Si pengarang memang
tidak dikenal,
tetapi hampir
dapat dipastikan dia dahulu hidup di India barat
laut atau
di Punjab, karena dia sama sekali tidak menyebutkan
suatu
tempat di India
bagian selatan Sungai Gangga. Dan ini didukung
oleh keterangan
yang ada
tentang raja Menander, raja orang-orang Bactria
yang dikenal
sebagai Milinda.
Banyak yang diketahui tentang Raja Menander. Sejumlah
besar
mata uang
koinnya telah ditemukan di daerah yang luas di
bagjan India
utara, sampai
sejauh Kabul di sebelah Barat, Mathura di sebelah
Timur serta
Kashmir di
sebelah Utara. Gambar di koinnya seringkali merupakan
seorang
laki-laki
muda, atau kadang-kadang juga seorang laki-laki
yang sangat
tua. Plutarch mengatakan, "Menander adalah seorang
raja yang
terkenal karena
keadilannya, dan sangat dekat dengan rakyanya.
Sehingga pada
waktu dia
meninggal, yang terjadi, di suatu camp, berbagai
kota berebut
untuk memiliki
abunya. Pertengkaran itu diselesaikan dengan
kesepakatan semua
wakil dari
kota-kota itu untuk membagi reliknya, dan kemudian
mereka mendirikan monumen-monumen untuk mengenang
Sang Raja".
Satu penemuan yang diterbitkan belakangan ini
menulis tentang
harta kekayaan
Mir Zakah yang mengkonfirmasikan kepemimpinan
Menander di
Ghazni dan
daerah-daerah sekitarnya di lembah Kabul sebelah
utara (ada 521
mata uang
Menander dalam harta peninggalan itu). Penemuan
Attic
Tetradrachm Menander
akhirnya menyelesaikan spekulasi itu. Dia pasti
telah
memerintah di daerah
Kabul. Di sebelah utara dia menduduki Hazara
dan lembah Swat.
Jadi Menander
adalah satu dari raja-raja Yunani yang terus
berada di Bactria
melanjutkan
kekuasaan Yunani yang didirikan oleh Alexander
Agung, dan
Menander adalah
salah satu raja yang paling penting. Mungkin
dia bertahta dari
kira-kira 150
SM sampai 110 SM (jadi
percakapan ini terjadi tidak lebih dari 400 tahun
sesudah Sang
Buddha
parinibana). Strabo mengingatkan tentang kehebatan
cara
kerajaan Bactria
mengembang keluar dari batas mulanya, dan dia
secara kebetulan
juga
menyebutkan bahwa raja
yang terutama bertanggung jawab untuk perluasan
itu adalah
Demetrius dan
Menander .. Tetapi dibanding Demetrius, Menander
memberikan
tanda yang jauh
lebih dalam pada tradisi India.
Menander merebut Delta Indus, peninsula Surastra
(Kathiavar),
menduduki Mathura di Jumna, menyerbu Madyamika
(Nagari dekat
Chitor) dan
Saketam di selatan Oudh, serta mengancam ibukotanya,
Pataliputta. Tetapi
penyerbuan itu dipukul mundur dan Menander dipaksa
kembali ke
negaranya
sendiri. Karena rakyat Bactria kemudian menjadi
Buddhis maka
dapat
dipastikan bahwa raja Menander benar-benar adalah
King Milinda
yang
diacu di dalam buku itu. Namun ada juga kemungkinan
bahwa
percakapan itu
merupakan alat sastra yang digunakan oleh pengarang
untuk
menambahkan daya
tarik pada apa yang pada mulanya merupakan exposisi
doktrin
Buddhis, dan
merupakan sangkalan terhadap pandangan salah
yang selama itu
telah
disebarluaskan oleh mereka yang memusuhi Buddhisme.
Cerita pembukaan dalam Milinda panha yang berkenaan
dengan masa
muda
Nagasena juga hampir identik dengan cerita tentang
Mogaliputta
Tissa muda
yang diceritakan dalam Mahavamsa, Kronik Ceylon.
Mogaliputta
Tissa Thera
hidup kira-kira 100 tahun sebelum Menander dan
disebutkan dua
kali di dalam
teks (Miln. hal. 3,71) sehingga mungkin saja
cerita inilah yang
lebih tua. Tetapi, Mahavamsa ditulis jauh sesudahnya
oleh
Mahanama pada
permulaan abad ke 4 M, sehingga cerita itu mungkin
saja telah
dipinjam oleh
Mahanama dari buku Milinda Panha, yang pada waktu
itu merupakan
kitab suci
yang diedit oleh Buddhaghosa. (Dalam Milinda
Tika, uraian
tentang Milinda
Panha, dinyatakan bahwa beberapa syair dalam
prolog dan
epilog dalam Milinda Panha dikarang oleh Buddhaghosa).
Dari percakapan yang dianggap terjadi antara Milinda
dengan
Purana Kassapa,
Makkhali Gosala dan beberapa pertapa lain, jelas
terlihat bahwa
cerita
perkenalan ini hanya karangan belaka, karena
pertapa-pertapa
ini sejaman
dengan Sang Buddha. Cerita ini didasarkan pada
Samanna Phala
Sutta dari
Digha Nikaya. Tetapi ada satu perbedaan yang
patut dicatat.
Di dalam Samannaphala Sutta, Pangeran Ajatasattu
mengunjungi
Sang Buddha
tetapi tidak bisa mengenalinya; sementara dalam
pendahuluan di
Milinda
Panha, Raja Milinda berkata tentang Nagasena,
"Tidak perlu
menunjukkan dia
kepadaku". Jadi Raja Milinda tampak lebih tinggi
daripada
Pangeran Ajatasattu.
BANGKITNYA KERAJAAN MAGADA
Di dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha meramalkan
bahwa
kota
Pataliputta, yang dibangun persis sebelum kemangkatannya,
akan
menjadi kota
besar. "Ananda, dari antara kota dan kota besar
yang kini
merupakan pusat
komunikasi dan perdagangan suku Aria, kota yang
baru ini akan
menjadi kota
terbesar yang disebut Pataliputta, suatu tempat
di mana
barang barang dibongkar, dijual dan didistribusikan.
Tetapi
kota ini akan
mengalami bahaya banjir, api, dan pertikaian
dari dalam" ( D.
ii.87, 88 ).
Kerajaan Magadha, yang beribukota Pataliputta
(Patna modern),
lama-kelamaan
menjadi kota yang paling berkuasa di seluruh
India.
Di pertengahan abad ke 4 SM seorang Sudra bernama
Mahapadma
Nanda merampas
tahta kerajaan Magadha dan menguasai kerajaan
yang membentang
dari Sungai
Brahmaputra di sebelah timur sampai ke Beaz di
sebelah Barat.
Tetapi di
seberang sungai Beaz ada beberapa kerajaan kecil.
Pada periode yang sama itulah Alexander Agung
menguasai Persia
dan
menyeberangi Hindu Kush untuk masuk ke Bactria
(Afganistan
Utara).
Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk menaklukkan daerah
yang tidak
ramah ini,
tetapi waktu melakukan hal itu Alexander Agung
mendirikan juga
beberapa
kota yang menembus jauh ke utara sampai ke Samarkand
dan
Leninabad (di
USSR}. Ada juga kota lain yang telah diidentifikasikan
di
Charikar (sebelah
utara Kabul). Setelah mendengar tentang sungai
lndus, Alexander
Agung
kembali menyeberangi Hindu Kush pada tahun 327
SM dan terus
mendesak ke Taxila (Takkasila) di sebelah timur.
Tetapi ketika
dia sampai di
sungai Jhelum; dia dihadang raja Paurava yang
mempunyai
gajah-gajah perang.
Bahkan para veteran Macakadonia-pun tidak mampu
melawan musuh
seperti itu.
Maka Alexander terpaksa mundur sampai ke sungai
Indus untuk
kemudian kembali
melalui Persia dimana dia meninggal di Babylon
pada 323 SM.
Walaupun demikian dia telah meninggalkan fondasi
kerajaan
Bactria dan telah
menjelajah sungai Jhelum dan sungai lndus.
Setelah kematian Alexander, Chandragupta, pendiri
dinasti
Maurya, dapat
mengusir garnisun Yunani dari lembah Indus. Pada
tahun 321 SM
dia
mengalahkan Nanda dan menguasai kerajaan Magadha
dari
ibukotanya
Pataliputta. Penerus Alexander, Seleukos I Nikator,
memimpin
suatu expedisi
melawan orang-orang India pada tahun 311 SM dengan
harapan
merebut kembali daerah. Punjab. Tetapi dia terhalang
kekuasaan
Chandragupta.
Pada tahun 304 SM Seleukos dengan senang hati
menandatangani
suatu
persetujuan dengan Chandagupta, dan memberikan
anak
perempuannya untuk
dinikahi dan bahkan juga memberikan daerah-daerah
yang luas,
yang sekarang
menjadi Baluchistan dan Afganistan, sebagai
alat tukar untuk 500 gajah perang. Seleukos mengirimkan
duta
besarnya,
Magasthenes, ke Pataliputta. Dilihat dari peninggalan
tulisannya, kita
mengetahui tentang besarnya pasukan dan kekuatan
pertahanannya
di sana.
Chandragupta memerintah selama 24 tahun. Lalu
anaknya,
Bindusara, yang tidak
banyak kita ketahui, memerintah selama 28 tahun
sampai
meninggalnya di tahun
269 SM.
Pada saat kematian Bindusara, putra tertuanya
sudah menjadi
raja muda di
Takkasila, sedangkan putranya yang kecil, Asoka,
adalah raja
muda di Ujjeni
di sebelah selatan. Asoka bertempur dengan saudara
lelakinya
memperebutkan
hak untuk bertahta dan saudara lelakinya terbunuh
dalam
pertempuran itu.
Asoka kemudian menjadi penguasa kerajaan yang
besar, dari
Bengala sampai ke
Afganistan. Walaupun demikian dia
tetap masih belum puas. Tetapi setelah sembilan
tahun bertahta,
setelah
pertempuran berdarah merebut Kerajaan Kalinga
(Orissa), Asoka
meninggalkan
peperangan dan menjadi pengikut Buddhisme yang
taat. Kaisar
Asoka
mengirimkan utusan-utusan bhikkhu ke daerah tapal
batas
kekaisarannya yang
luas. Banyak prasasti Asoka yang telah diketemukan
di
Lembah Kabul yang ditulis dalam bahasa Yunani
dan Aramaik. Dan
dimana-mana,
prasastinya menyebutkan bahwa dia telah
berhasil menyebarkan Dhamma di Mesir, Siria,
Macadonia, Yunani,
Cyprus,
Bactria, Kashmir, Gandhara, dsb. Mahavamsa mengatakan
bahwa
banyak utusan
yang dikirimkan ke Kashmir, Gandhara, Bactria,
Himalaya, Sindh
(Gujarat).
Prasasti pada tempat penyimpanan relik yang diketemukan
dalam
stupa-stupa
Sanci menyatakan keberhasilan misi itu ke Pegunungan
Himalaya. Sungguh disayangkan bahwa catatan-catatan
stupa yang
lain telah
dirusak. Namun dapat kita pastikan keberhasilan
misi ke Kashmir
dan
Gandhara, karena bahkan dijaman Sang Buddha-pun
Takkasila
merupakan pusat
belajar yang terkenal. Mahavamsa juga mencatat
bahwa pada
peresmian Stupa
Agung di tahun 157 SM, para bhikkhu datang dari
Alasanda
(Charika) di Yona
(Bactria).
BANGKITNYA KERAJAAN BACTRIA
Setelah Asoka mangkat pada tahun 227 SM, kekaisaran
Maurya
mulai
terpecah-pecah. Pada tahun 250 SM meletus pemberontakan
dari
kekaisaran yang
didirikan oleh Seleukos, di bawah pimpinan gubernumya,
Diodutus
I.Kekaisaran
itu terus berkembang di bawah penggantinya, Diodotus
II dan
Euthymus. Pada permulaan abad 2 SM, para penguasa
Yunani dari
kerajaan
Bactria baru menyeberangi Hindu Kush dan mulai
menyerbu India
dari barat
laut. Di antara raja-raja Yunani yang berkuasa
sampai di
sebelah selatan
Kush, kelihatannya Apollodotus-lah raja yang
pertama. Dua kali
dia
disebutkan berhubungan dengan Menander. Kekuasaan
mereka
berkembang ke
barat daya sampai Ariana (Afganistan selatan)
dan ke selatan
sampai lembah
Indus.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Menander
pasti telah
berkuasa di
lembah Kabul dan Swat dan pada suatu saat dia
juga mencaplok
lembah Indus.
Sagala, kota yang disebutkan dalam Milinda Panha
sebagai tempat
dimana
percakapan itu terjadi adalah kota kuno orang-orang
Madra yang
sampai di
daerah itu kira-kira pada abad 6 SM. Sekarang
kota itu disebut
Sialkot, yang
terletak di antara sungai Chenab dan Ravi, dekat
perbatasan
Kashmir. Di buku
Milinda Panha halaman 83, disebutkan bahwa Kashmir
berjarak 12
Yojana (84
mil) dan bahwa tempat kelahiran Milinda adalah
di pulau
Alasanda, yang
jaraknya 200 Yojana dari situ. Ada banyak kota
yang didirikan
oleh Alexander
selama penaklukan itu, yang di antaranya mungkin
merupakan
tempat kelahiran
Menander. A.K. Narain telah menyarankan kota
yang didirikan di
Charikar,
tetapi jaraknya kurang dari 200 Yojana (1400
mil) dari
perkiraan lainnya.
Ataukah mungkin itu kota Alexandra yang terletak
di Leninabad
atau salah
satu dari kota-kota Alexandra yang
terletak lebih jauh lagi di barat?
Bagaimanapun juga, dari bukti-bukti yang ada dapat
kita
perkirakan bahwa
Menander lahir di Bactria tetapi dibesarkan di
Ariana (lembah
Kabul), dan
bahwa tahun-tahun pertama pemerintahannya dia
mengembangkan
kerajaan ayahnya
sampai ke lembah Indus dan lebih jauh lagi, untuk
kemudian
mungkin
mendirikan ibu kota di Sagala. Tidak seperti
Bactria
yang banyak sekali dipengatuhi oleh kebudayaan
Yunani,
daerah-daerah baru
ini sudah Buddhis. Pada waktu itu, Menander telah
banyak
dididik dalam
tradisi Yunani tetapi juga telah mengenal Buddhisme.
Tak pelak
lagi Menander
pasti sering menjumpai para bhikkhu yang hidup
di kerajaannya.
Walaupun demikian, kelihatannya agak tidak mungkin
kalau
pengetahuannya tentang doktrin Buddhisme cukup
untuk dapat
mengadakan dialog
seperti yang ditulis dalam Milinda Panha. Di
situ Milinda
tampak memiliki
pengetahuan yang luas tentang text yang ada.
Saya berpendapat
bahwa
pengarangnya paling-paling telah bertemu sebentar
dengan
Menander, dan
mungkin sekali dia mendasarkan karyanya ini pada
tradisi dialog
lisan.
Kemudian dia menggunakan pengetahuannya sendiri
yang luas untuk
mengembangkan dialog itu menjadi karya yang panjang,
yang dapat
kita nikmati
sekarang ini. Mungkin dia menggunakan dialog
sebagai alat untuk
menambah
daya tarik pada risalatnya. Dan untuk menyenangkan
hati raja
Yunani itu, dia
membuat Raja sebagai salah satu tokoh utamanya.
Hipotesis ini mendapat dukungan dari terjemahan
bahasa China
yang hanya
terdiri dari 3 bagian pertama yang hampir identik
dengan text
Pali dalam
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tetapi berbeda
dalam
cerita
pendahuluannya. Dalam hal ini, kedua-duanya tidak
tampak
otentik.
PERBANDINGAN DENGAN TEXT CHINA
Sebagaimana telah ditunjukkan oleh V. Trenchner
ketika dia
menyalin text
Pali di tahun 1860-an, dapat kita pastikan bahwa
Milinda Panha
yang asli
tertulis dalarn bahasa Sanskerta karena permulaannya
adalah
"Tam yatha
nusuyam" (demikianlah yang telah diturunkan),
dan bukannya
"Evam
me sutam" (demikianlah yang telah saya dengar).
Dan hal ini
dipastikan oleh
adanya terjemahan text ke dalam bahasa China,
yang menunjukkan
beberapa
perbedaan yang patut dicatat, walaupun jelas
sumbernya sama.
1. Dalam tiga bagian pertama, versi China sama
dengan versi
Pali, dan ini
menunjukkan bahwa empat bagian lain (Dilema,
Pertanyaan yang
Terjawab dengan
Kesimpulan, Praktek Pertapa, dan Perumpamaan)
merupakan
tambahan kemudian.
2. Karya bahasa China, Nagasena-bhikkhusutra,
mengambil nama
sang bhikkhu;
sementara karya bahasa Pali, Milinda Panha, mengambil
nama sang
raja.
3. Karya bahasa Pali mempunyai duabelas pertanyaan ekstra.
4. Cerita-cerita kehidupan lampau Nagasena dan
Milinda tidak
sama.
5. Versi China tidak menyebutkan Abhidhamma; sementara
hal itu
sering
disebutkan dalam versi Pali.
6. Pada klasifikasi Bodhipakkhiya Dhammas yang
sangat terkenal,
penerjemah
China melenceng dalam beberapa istilah, dan ini
menunjukkan
bahwa dia tidak
terbiasa dengan text Pali.
7. Versi Pali mengatakan bahwa binatang mempunyai
akal tetapi
tidak
mempunyai kebijaksanaan; versi China mengatakan
bahwa binatang
mempunyai
kebijaksaan tetapi hatinya berbeda.
Walaupun ada banyak perbedaan kecil di antara
dua text itu,
hubungan yang
erat antara perumpamaan-perumpamaan yang digunakan
untuk
menerangkan istilah
yang didefinisikan, serta urutan pertanyaannya,
membuat kita
yakin bahwa
keduanya adalah terjemahan karya yang lebih tua
(mungkin dalam
bahasa
Sanskerta).
Tetapi kita harus hati-hati menyimpulkan: yang
mana yang lebih
otentik.
Bhikkhu Thich Mihn Chau, dalam usahanya membuktikan
keantikan
karya asli
yang mendasari terjemahan China menyatakan bahwa
karya itu
ditulis segera
setelah Sang Buddha mangkat. Beliau menunjukkan
tidak adanya
klasifikasi
text ke dalam Vinaya, Sutta, Abhidhamma dan Nikaya,
yang
didefinisikan dengan
baik baru pada Konsili Ke Tiga, sementara Menander
baru lahir
lebih dari 100
tahun setelah konsili ini. Jadi, jelas bahwa
yang asli tidak
dibuat sebelum
abad pertama SM. Jangka waktu yang panjang sebelum
terjemahan-terjemahan itu
muncul pada sekitar tahun 400 M, merupakan waktu
yang cukup
lama untuk
melakukan berbagai penambahan dan amandemen,
atau penghilangan
dan
pengosongan.
Melihat alasan-alasan yang telah disebutkan di
atas dan fakta
bahwa
percakapan dalam Milinda Panha dikatakan terjadi
kira-kira 500
tahun setelah
Sang Buddha mangkat, sementara Menander hidup
paling tidak 100
tahun lebih
awal, maka kemungkinan besar Milinda Panha dikarang
beberapa
waktu setelah
kematian Menander. Mungkin saja karya itu berdasar
pada tradisi
lisan dari
percakapan yang benar-benar terjadi antara Menander
dengan satu
atau
beberapa bhikkhu.
Penerus Menander, Ratu Agathocleia dan Strato
I Soter,
melanjutkan tahta
kerajaan sampai setidak-tidaknya 40 tahun setelah
kematian
Menander. Tetapi
kehidupan mereka menyaksikan munculnya dinasti
baru di India
barat, yaitu
dinasti Saka (Scythia) dan Yueh-Chih dari Asia
tengah. Lalu era
Bactria
Yunanipun berakhir.
PENYUSUNAN BUKU PALI
Epilog mengatakan bahwa buku itu terbagi dalam
6 bagian dan 22
bab yang
berisi 262 pertanyaan, sementara 42 pertanyaan
lagi belum
diturunkan, jadi
semuanya sebenarnya berjumlah 304. Tetapi sungguh
sulit melihat
bagaimana
ini dihitung. Ada banyak ketidakcocokan hitungan
dalam berbagai
text,
walaupun hal itu mungkin sudah dapat diduga karena
karya itu
sudah sangat tua.
Sekarang ini hanya ada 237 pertanyaan. Dalam menomori
bab saya
mengikuti
urutan text Pali-nya. Hanya saja saya telah memasukkan
7 bab
terakhir ke
dalam bab 17.
Dalam edisi Milinda Panha ini, walaupun saya telah
mengikuti
susunan seperti dalam text Pali, banyak perumpamaan
yang saya
hilangkan.
Dan yang panjang-panjang (walaupun indah) saya
singkat, namun
saya harap hal
ini tidak merusak keindahan karya aslinya. Tujuannya
adalah
agar buku ini
cukup padat dan lebih menarik bagi pembaca negara-negara
barat
yang sibuk.
Buku ini adalah suatu ringkasan, bukan terjemahan,
dan karena
itu di sana
sini saya menggabungkan beberapa alinea menjadi
satu
agar menjadi ringkas. Walaupun demikian saya
tetap berusaha
menyesuaikan
maksud pengarang aslinya, yang merupakan penjelasan
ajaran Sang
Buddha dan
uraian tentang beberapa konsep salah yang mungkin
menyesatkan
Referensi yang diberikan dalam catatan kaki adalah
nomor
halaman text Pali
dari Pali Text Society. Dalam terjemahannya,
nomor-nomor
halaman ini
diberikan dalam tanda kurung di bagian atas kiri,
atau di dalam
tubuh text
pada buku Vinaya dan Jataka.
Untuk membantu mereka yang ingin mengetahui kata
Pali yang
diterjemahkan (yang kadang-kadang berbeda dengan
terjemahan
Rhys Davids atau
Miss Horner), saya sertakan kata-kata Pali di
bagian APPENDIX.
Saya juga
telah menyusun daftar kutipan kitab suci yang
diberikan
pengarang Milinda
Panha dan beberapa bacaan yang hanya terdapat
di Milinda Panha,
yang mungkin menarik untuk dipelajari lebih
lanjut.
Bagi mereka yang belum terbiasa dengan terminologi
Buddhis,
saya telah
menyertakan APPENDIX istilah-istilah Pali dengan
penjelasan
singkat mengenai
maknanya.
PROLOG
Di kota Sagala bertahta raja Milinda, orang yang
sangat pandai
dalam bidang
seni dan ilmu pengetahuan, dengan sifatnya yang
sangat ingin
tahu. Dia
pandai berdebat tetapi selama itu tak seorangpun
yang mampu
menghapus
keraguan-keraguannya mengenai persoalan keagamaan.
Raja telah
menanyai
guru-guru terkenal tetapi tak satupun yang memuaskan
hatinya.
Assagutta, salah satu dari sekian banyak Arahat
yang hidup di
pegunungan
Himalaya, dengan kekuatan kesaktiannya mengetahui
keraguan
raja. Maka dia
lalu mengadakan pertemuan untuk bertanya apakah
ada orang yang
dapat
menjawab raja. Karena tak seorangpun yang sanggup,
maka mereka
naik ke Surga
Tigapuluhtiga dan memohon pada Dewa Mahasena
agar lahir sebagai
manusia
sehingga agama dapat terlindungi. Salah satu
bhikkhu yang
bernama Rohana
setuju pergi ke Kajangala di mana Mahasena telah
lahir kembali
dan
menungguinya sampai besar. Ayah si anak, Brahmana
Sonuttara,
menyuruh agar
anaknya mempelajari tiga Kitab Veda, tetapi si
anak, Nagasena,
menyatakan:
"Ketiga kitab Veda ini kosong, bagaikan sekam!
Di dalamnya tak
ada realita,
kebenaran yang penting atau berharga."
Menyadari bahwa anak itu telah siap, Rohana lalu
muncul. Kedua
orang tua
Nagasena setuju bila anaknya menjadi samanera.
Maka Nagasena
mempelajari
Abhidhamma. Setelah menguasai dengan sempurna
pengetahuan dalam
tujuh buku
Abhidhamma, Nagasena diijinkan masuk ke Sangha
para
bhikkhu dan Rohana mengirimnya ke Pertapaan Vattaniya
untuk
belajar dari
Assagutta. Sementara menghabiskan musim penghujan
di sana,
Nagasena diminta
berkotbah pada seorang wanita saleh yang merupakan
pendukung
Assagutta.
Sebagai hasil dari percakapan ini, baik si wanita
maupun
Nagasena mencapai
dhammacakkhu: pengetahuan bahwa apapun yang mempunyai
awal juga
pasti
mempunyai akhir. Assagutta kemudian mengirim
Nagasena kepada
Dhammarakkhita
di Taman Asoka di Pataliputta. Di sana, dalam
jangka waktu tiga
bulan,
Nagasena menguasai kitab-kitab Tipitaka lainnya.
Dhammarakkhita
mengingatkan
muridnya agar tidak hanya puas dengan pengetahuan
dari buku.
Dan pada malam
harinya, Nagasena, si murid yang rajin itu, mencapai
tingkat
Arahat.
Kemudian dia pergi bergabung dengan para Arahat
lain yang masih
tinggal di
Himalaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya,
Nagasena siap
untuk berdebat
dengan siapapun.
Sementara itu, Raja Milinda terus melanjutkan
pencaharian
spiritualnya dengan cara mengunjungi bhikkhu
Ayupala di
Pertapaan Samkheyya
dan menanyainya mengapa para bhikkhu meninggalkan
kehidupan
duniawi. Bhikkhu
itu menjawab, "Agar dapat hidup dengan benar
dan berada dalam
ketenangan
spiritual."
Lalu rajapun bertanya, "Adakah, Yang Mulia, orang
awam yang
hidup sedemikian
itu?"
Sang bhikkhu mengakui bahwa ada banyak orang
awam seperti itu.
Maka rajapun
berkata dengan pedas: "Kalau begitu, Yang Sangat
Mulia Ayupala,
tidak ada
gunanya meninggalkan
kehidupan duniawi. Pastilah karena dosa-dosa
yang telah
dilakukan dalam
kehidupan sebelumnyalah maka para pertapa meninggalkan
kehidupan duniawi,
atau bahkan menjalani penyiksaan praktek-praktek
pertapa
seperti misalnya:
hanya mengenakan pakaian yang buruk, makan hanya
sekali sehari,
atau tidak
tidur berbaring. Di situ tidak ada nilai-nilai
luhur, tak ada penahanan nafsu yang bermanfaat,
tak ada
kebenaran kehidupan!"
Setelah raja berkata demikian, bhikkhu Ayupala
terdiam dan
tidak berkata
apapun. Lalu 500 orang Yunani Bactria yang menemani
raja
berkata: "Sang
bhikkhu itu terpelajar tetapi dia tidak berani,
jadi dia tidak
menjawab."
Mendengar ini, raja berseru: "Seluruh India ini
kosong,
bagai sekam! Tidak ada orang yang mampu berdebat
denganku dan
mampu mengusir
keraguanku!"
Tetapi orang-orang Yunani Bactria masih tidak
bergerak, maka
rajapun
bertanya lagi, "Hai para pengawalku yang setia,
adakah orang
terpelajar lain
yang mampu berdiskusi denganku dan dapat mengusir
keraguanku?"
Maka menteri Devamantiya berkata, "Ada, Baginda
yang agung,
seorang bhikkhu
bernama Nagasena yang terpelajar, bersifat tenang
namun penuh
keberanian.
Dia mampu berdiskusi dengan Baginda. Sekarang
ini dia tinggal
di Pertapaan
Samkheyya. Baginda harus pergi ke sana dan mengajukan
pertanyaan padanya."
Pada waktu nama 'Nagasena' disebut, raja menjadi
gelisah dan
bulu romanya
berdiri. Kemudian rajapun mengirim utusan ke
sana untuk
memberitahukan
kedatangannya. Diiringi 500 orang
Yunani-Bactria, raja menaiki kereta kencananya
dan pergi menuju
tempat
tinggal Nagasena.
BAGIAN SATU
JIWA
Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena dan
setelah saling
mengucapkan
salam persahabatan, raja duduk dengan hormat
di satu sisi.
Milinda mulai bertanya:
1. "Bagaimana Yang Mulia disebut dan siapakah
nama Anda?
"Baginda, saya disebut Nagasena tetapi itu hanyalah
rujukan
dalam penggunaan
sehari-hari, karena sebenarnya tidak ada individu
permanen yang
dapat
ditemukan."
Kemudian Milinda memanggil orang-orang Yunani
Bactria dan para
bhikkhu untuk
menjadi saksi: "Nagasena ini berkata
bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat
dalam namanya.
Apakah
mungkin hal seperti itu diterima?" Kemudian ia
berbalik kepada
Nagasena dan
berkata, "Jika, Yang Mulia Nagasena, hal tersebut
benar, lalu
siapakah yang
memberi Anda jubah, makan dan tempat tinggal?
Siapa yang
menjalani kehidupan
dengan benar ini? Atau juga, siapa yang membunuh
makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan
mabuk-mabukan?
Jika apa yang
Anda katakan itu benar maka tidak akan ada perbuatan
yang baik
atau
perbuatan yang tercela, tidak akan ada pelaku
kejahatan atau
pelaku
kebaikan, dan tidak ada hasil kamma. Jika, Yang
Mulia,
seseorang membunuh
Anda maka tidak akan ada pembunuh, dan itu juga
berarti bahwa
tidak ada
mahaguru atau guru dalam Sangha Anda. Anda berkata
bahwa Anda
disebut Nagasena; sekarang, apakah Nagasena itu?
Apakah
rambutnya?"
"Saya tidak mengatakan demikian, Raja yang Agung."
"Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya
atau bagian
tubuhnya yang lain?"
"Tentu saja tidak"
"Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau
pencerapannya,
atau
bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?
Ataukah semua tadi
digabungkan?
Ataukah sesuatu di luar semua itu tadi yang disebut
Nagasena?"
Dan masih saja Nagasena menjawab: "Bukan semuanya
itu"
"Kalau begitu Nagasena, kalau boleh saya berkata,
saya tidak
dapat menemukan
Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong.
Tetapi siapakah
yang kami
lihat di depan mata ini? Kebohonganlah yang telah
dikatakan
Yang Mulia."
"Baginda, tuan telah dibesarkan dalam kemewahan
sejak
dilahirkan. Bagaimanakah tadi Baginda datang
kemari, berjalan
kaki atau naik
kereta?"
"Naik kereta, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tolong jelaskan, apakah kereta
itu. Apakah
porosnya? Apakah
rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau
kuknya, yang
disebut kereta?
Atau gabungan semuanya itu, atau sesuatu di luar
semua itu?"
"Bukan semua itu, Yang Mulia."
"Kalau begitu, Baginda, kereta ini hanyalah
omong kosong.
Baginda berkata
dusta ketika berkata datang kemari naik kereta.
Baginda adalah
raja yang
besar di India. Siapa yang Baginda takuti sehingga
Baginda
berdusta?"
Dan Nagasena kemudian memanggil orang-orang Yunani
Bactria
dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: "Raja Milinda
ini telah
berkata bahwa
beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika
ditanya 'Apakah
kereta itu?'
beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal
ini diterima?
Kemudian secara serempak ke-500
orang Yunani Bactria itu
bersama-sama
berteriak kepada raja, "Jawablah bila Baginda
bisa!"
"Yang Mulia, saya telah berkata dengan
benar. Karena mempunyai
semua bagian
itulah maka ia disebut kereta."
"Bagus sekali. Baginda akhirnya sudah dapat menangkap
artinya
dengan benar. Demikian juga karena ke-32 jenis
zat organ materi
dalam tubuh
manusia dan 5 unsur makhluklah saya disebut Nagasena.
Seperti
yang telah
dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang
Buddha yang
Agung, 'Seperti
halnya ada berbagai bagian itu maka kata "kereta"
digunakan,
demikian juga
bila ada unsur-unsur makhluk maka kata "makhluk"
digunakan.'
"Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa menggagumkannya
penyelesaian teka-teki ini olehmu, meskipun sulit.
Seandainya
Sang Buddha
berada di sinipun Beliau pasti akan menyetujui
jawabanmu."
2. "Berapa musim penghujan (masa vassa) yang telah
Anda jalani,
Nagasena?"
"Tujuh, Baginda."
"Tetapi bagaimana dapat Anda katakan tujuh; apakah
Anda yang
tujuh atau
jumlahnya yang tujuh?"
Lalu Nagasena menjawab, "Bayangan Baginda sekarang
ada di
tanah. Apakah
Baginda rajanya atau bayangan itu rajanya?"
"Sayalah rajanya, Nagasena, tetapi bayangan itu
ada karena
saya."
"Demikian juga, O Baginda raja, jumlah tahunnya
tujuh, saya
tidaklah tujuh. Tetapi karena sayalah angka tujuh
itu ada dan
menjadi milik
saya, sama seperti bayangan itu menjadi milik
Baginda."
"Sungguh hebat, Nagasena, dan sangat luar biasa.
Dengan baik
teka-teki ini
telah Anda selesaikan, meskipun sulit."
3. Kemudian raja berkata, "Yang Mulia, maukah
Anda berdiskusi
dengan saya
1agi?".
"Jika Baginda ingin berdiskusi sebagai orang
terpelajar, saya
mau; tetapi
jika Baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak."
"Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?"
"Bila orang terpelajar berdiskusi akan
ada kesimpulan,
penyelesaian
kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya
dan ia mengakui
kesalahannya
tanpa marah."
"Dan bagaimana raja berdiskusi?"
"Bila raja mendiskusikan suatu masalah
dan beliau
mengemukakan suatu
pandangan, jika ada yang berbeda pendapat dengan
raja maka raja
akan
menghukum orang itu."
"Baiklah, kalau begitu sebagai orang
terpelajarlah saya akan
berdiskusi.
Silahkan Yang Mulia berkata-kata tanpa
rasa takut."
"Dengan senang hati, Baginda raja."
"Nagasena, saya akan bertanya", kata raja.
"Bertanyalah, Baginda."
"Saya telah bertanya, Yang Mulia."
"Kalau demikian saya telah menjawab."
"Apa yang telah Anda jawab?"
"Apa yang telah Baginda tanyakan?"
Dengan berpikir, "Bhikkhu ini benar-benar seorang
terpelajar
yang hebat, ia
cukup mampu mendiskusikan apapun juga denganku.",
sang raja
menyuruh
Devamantiya, menterinya, untuk mengundang Nagasena
ke istana
bersama dengan
para bhikkhu lainnya. Raja lalu pergi dengan
bergumam:
"Nagasena, Nagasena."
4. Maka Devamantiya, Anantakaya dan Mankura
pergi ke pertapaan
Nagasena
untuk menemani para bhikkhu pergi ke istana.
Ketika mereka
berjalan menuju
istana, Anantakaya berkata kepada Nagasena, "Yang
Mulia, bila
saya
mengatakan 'Nagasena', apakah sebenarnya Nagasena
itu?"
"Engkau pikir apa Nagasena itu?"
"Jiwa, nafas di dalam yang keluar dan masuk."
"Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali
masuk,
apakah orang itu
akan hidup?"
"Tentu saja tidak."
"Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya,
meniup
trompetnya, apakah
nafas mereka kembali pada mereka?"
"Tidak Bhante, tidak."
"Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?"
"Saya tidak mampu berbantahan dengan Bhante.
Tolong jelaskanlah
bagaimana."
"Tidak ada jiwa di dalam nafas.
Proses menarik dan
menghembuskan nafas ini hanyalah tenaga unsur
pokok dari
kerangka tubuh."
Kemudian bhikkhu Nagasena berbicara tentang Abhidhamma
dan
Anatakaya merasa
puas dengan penjelasannya.
5. Kemudian, setelah para bhikkhu tiba di istana
dan selesai
makan, sang
raja duduk di tempat rendah dan bertanya, "Apa
yang harus kita
diskusikan?"
"Marilah kita berdiskusi tentang Dhamma."
Dan sang raja berkata, "Apa tujuan Yang Mulia
meninggalkan
kehidupan
duniawi, dan apa tujuan akhir yang ingin dicapai?"
"Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan
agar
penderitaan lenyap
dan tidak ada penderitaan lain yang muncul; lenyapnya
nafsu
secara total
tanpa bekas adalah tujuan akhir kami."
"Yang Mulia, apakah setiap orang masuk Sangha
untuk tujuan yang
sangat mulia
tersebut?"
"Tidak. Ada yang masuk untuk menghindari kekejaman
raja, ada
yang agar bebas dari perampok, ada yang untuk
menghindari
hutangnya, dan ada
yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka yang
masuk dengan
tujuan yang benar
melakukan hal itu agar nafsu dapat sepenuhnya
terhenti."
6. Sang raja berkata,"Adakah orang yang tidak
dilahirkan lagi
setelah mati?"
"Ya, ada, orang yang tidak lagi mempunyai
kekotoran batin
tidak akan
dilahirkan lagi setelah mati; yang masih mempunyai
kekotoran
batin akan
dilahirkan lagi."
"Apakah Anda akan dilahirkan kembali?"
"Jika saya mati dengan membawa kemelekatan dalam
pikiran, ya;
tetapi kalau
tidak, tidak."
7. "Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran
kembali
melakukannya
karena kekuatan penalarannya?"
"Ia bisa terbebas karena penalaran dan juga karena
kebijaksanaan, keyakinan
nilai-nilai luhur, kewaspadaan, semangat, dan
konsentrasi."
"Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?"
"Tidak. Binatang memiliki penalaran tetapi tidak
memiliki
kebijaksanaan."
8. "Bhikkhu Nagasena, apakah ciri khas penalaran;
dan apakah
ciri khas
kebijaksanaan?"
"Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah
ciri
kebijaksanaan."
"Berilah saya ilustrasi."
"Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?"
"Mereka memegang batang-batang gandum dengan
tangan kirinya,
dan dengan
sabit di tangan kanannya, mereka memotong gandum
tersebut,"
"Demikian juga halnya, O Baginda raja, para pertapa
memegang
pikirannya dengan penalaran dan memotong kegelapan
batin dengan
kebijaksanaan."
9. "Bhikkhu Nagasena, apakah ciri khas nilai-nilai
luhur ( sila
)?"
"Menopang, O Baginda, karena nilai-nilai luhurlah
dasar dari
semua sifat
yang baik, yakni:
a. 5 faktor pengontrol dan 5 kekuatan moral (keyakinan,
semangat,
kewaspadaan, konsentrasi, dan kebijaksanaan),
b. 7 faktor penerangan ( kewaspadaan, penyelidikan,
semangat.
sukacita,
ketenangan, konsentrasi, dan keseimbangan batin
),
c. 8 faktor Jalan Tengah yang Mulia (pandangan,
pikiran,
perkataan,
tindakan, mata pencaharian, usaha, kewaspadaan,
dan konsentrasi
yang benar)
d. 4 dasar kewaspadaan (kewaspadaan pada tubuh,
perasaan,
pikiran, obyek
pikiran),
e. 4 usaha benar (usaha untuk mencegah dan menghilangkan
keadaan yang tidak
baik serta usaha untuk mengembangkan dan mempertahankan
keadaan
yang baik),
f. 4 dasar keberhasilan (semangat, enerji, keuletan,
kebijaksanaan),
g. 4 penyerapan (4 tahap keterpusatan atau jhana),
h. 8 kebebasan (8 tingkat dalam pelepasan pikiran
dengan
konsentrasi yang
sangat kuat),
i. 4 jenis konsentrasi (meditasi untuk cinta
kasih, welas asih,
sukacita
simpati, dan keseimbangan), dan,
j. 8 pencapaian yang agung (4 jhana arupa, dan
4 jhana rupa).
Semua sifat yang baik itu mempunyai nilai-nilai
luhur sebagai
pendukungnya. Dan dalam diri orang yang mengembangkan
diri,
bila dia
menggunakan nilai-nilai luhur sebagai fondasinya,
kondisi-kondisi yang baik
ini tidak akan berkurang."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya semua bentuk kehidupan hewan
dan tumbuhan
bergantung pada tanah sebagai pendukungnya, demikian
juga
seorang pertapa,
dengan nilai-nilai luhur sebagai pendukungnya,
mengembangkan 5
faktor
pengontrol dan sebagainya itu. Dan ini telah
disabdakan oleh
Sang Buddha:
"Bila seseorang yang bijaksana,
yang
nilai-nilai luhurnya telah terbentuk kokoh,
mengembangkan
konsentrasi dan pengertian,
maka
sebagai bhikkhu yang sangat rajin dan cerdik,
ia
berhasil menguraikan kekusutan ini."
10. "Apakah ciri khas dari keyakinan ( saddha
)?"
"Kejernihan dan inspirasi. Sementara keyakinan
muncul di
pikiran, cadar 5
kendala (panca nivarana ) tertembus, lalu pikiran
menjadi
terang, tenang dan
tidak terganggu. Dengan demikian keyakinan menjadi
jelas. Dan
inspirasi
adalah tanda ketika sang meditator, karena paham
bagaimana
pikiran orang
lain telah terbebas, kemudian terinspirasi untuk
mencapai apa
yang masih
belum dapat dicapainya, untuk mengalami apa yang
masih belum pernah dirasakannya, dan untuk merealisasikan
apa
yang masih
belum dimengertinya. Karena ini telah disabdakan
oleh Sang
Buddha:
'Dengan keyakinan ia menyeberangi
banjir,
Dengan
kewaspadaan melewati samudera kehidupan,
Dengan
ketetapan hati semua penderitaan ia tenangkan,
Dengan
kebijaksanaan ia dimurnikan.'
11. "Dan apa, Yang Mulia, sifat khas semangat
( viriya )?"
"Penguatan, O Baginda, sehingga semua sifat baik
yang ditopang
semangat
tidak menjadi pudar."
"Berilah saya ilustrasi."
"Sama seperti halnya ketika tentaranya telah
dipukul mundur
oleh pasukan
musuhnya yang lebih besar, seorang raja akan
mengingat-ingat
siapa sekutu
yang bisa diharapkan untuk menguatkan pasukannya
sehingga dapat
mengalahkan
pasukan musuh yang kuat itu. Dengan begitu penguatan
adalah
ciri semangat.
Karena ini telah disabdakan oleh Sang Buddha:
'Seorang murid mulia
yang penuh semangat, O bhikkhu,
Menyingkirkan
yang tidak baik dan menanam yang bajik,
Menghindari yang
salah dan mengembangkan yang tidak
salah,
Dengan begitu
dia menjaga agar pikirannya murni.'
12. "Nagasena, apakah ciri khas dari kewaspadaan
(sati)?"
"Mencatat dan menyimpan dalam pikiran. Sementara
kesadaran
timbul di dalam
pikiran para pertapa, secara berulang-ulang ia
mencatat apa
yang baik dan
apa yang tidak baik, apa yang tidak salah dan
apa yang salah,
apa yang tidak
penting dan apa yang penting, sifat-sifat pikiran
yang terang
dan gelap, dan
sebagainya.
Dia akan berpikir, 'Ini adalah 4 dasar kewaspadaan,
ini adalah
4 usaha yang
benar, ini adalah 4 dasar keberhasilan, ini adalah
5 faktor
pengontrol, ini
adalah 5 kekuatan moral, ini adalah 7 faktor
penerangan, ini
adalah 8 faktor
Jalan Mulia, ini adalah ketenangan, ini adalah
pandangan
terang, ini adalah
pengetahuan, dan ini adalah kebebasan.'
Dengan demikian ia akan mengembangkan semua sifat
yang baik dan
menghindari
sifat-sifat yang harus dihindari."
"Berilah saya ilustrasi."
"Sama halnya seperti bendahara raja yang mengingatkan
tuannya
tentang besarnya pasukan raja dan jumlah kekayaan
yang ada."
"Bagaimana 'menyimpan dalam ingatan' dapat menjadi
tanda
kewaspadaan?"
"Sementara kewaspadaan muncul di pikiran, orang
akan mencari
kategori tentang sifat-sifat yang baik dan sebaliknya.
Dia akan
berpikir,
'Sifat-sifat yang ini menguntungkan dan yang
ini merugikan.'
Dengan demikian
dia akan membuat apa yang jelek dalam dirinya
lenyap serta
menyimpan apa
yang baik."
"Berilah saya ilustrasi."
"Sama halnya seperti perdana menteri raja yang
memberi nasehat
tentang
tindakan yang benar. Dan ini telah disabdakan
oleh Sang Buddha:
"O, para bhikkhu, kewaspadaan,
saya katakan, sangatlah
membantu di
manapun."
13. "Dan apa, Nagasena, ciri khas dari konsentrasi
(samadhi)?"
"Menjadi pemimpin, O raja. Semua sifat yang bagus
mempunyai
konsentrasi sebagai pemimpinnya; sifat-sifat
baik mengarah
padanya, dan
menuju ke situ."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya kalau sebuah rumah yang miring
dan menuju ke
suatu titik,
yaitu titik yang tertinggi dari atap, demikian
juga semua sifat
yang baik
mengarah dan memusat pada konsentrasi. Dan ini
telah disabdakan
oleh Sang
Buddha:
"Bhikkhu, kembangkanlah
konsentrasi, seorang bhikkhu yang
terkonsentrasi melihat segala sesuatunya sebagaimana
adanya."
14. "Apa, Nagasena, ciri khas dari kebijaksanaan
(pannya)?"
"Penerangan, O Baginda. Ketika kebijaksanaan
timbul dalam
pikiran, ia mengusir kegelapan dari kebodohan
batin, membuat
radiasi
pandangan terang timbul, membuat sinar pengetahuan
memancar dan
membuat
Kesunyataan Mulia menjadi jelas. Demikian juga
sang meditator
mencerap
dengan kebijaksanaan yang paling terang: ketidakkekalan,
ketidakpuasan, dan
tidak-adanya-diri dalam segala bentuk."
"Berilah saya ilustrasi."
"Sama halnya seperti lampu, O Baginda, yang berada
di ruangan
yang gelap
akan menerangi dan membuat obyek yang ada menjadi
jelas
terlihat."
15. "Sifat-sifat yang sangat berbeda ini, Nagasena,
apakah
membuahkan hasil
yang sama?"
"Ya, yaitu penghancuran kekotoran batin dalam
pikiran. Sama
halnya seperti
berbagai bagian pasukan tentara seperti gajah,
kavaleri, kereta
perang dan
pemanah membuahkan satu hasil, yaitu penaklukan
tentara musuh."
"Penjelasan yang baik, Nagasena. Engkau pandai menjawab."
BAGIAN DUA
KELAHIRAN KEMBALI
1. "Orang yang terlahir kembali, Nagasena, apakah
dia orang
yang sama atau
berbeda?"
"Bukan yang sama dan bukan berbeda."
"Berilah saya ilustrasi."
"Sama halnya seperti susu yang pertama-tama berubah
menjadi
dadih, lalu
menjadi mentega dan kemudian menjadi ghee; tidak
benar bila
dikatakan bahwa
ghee, mentega dan dadih tersebut sama dengan
susu, tetapi
semuanya itu
berasal dari susu. Begitu juga tidaklah benar
bila dikatakan
bahwa ghee,
mentega dan dadih itu sesuatu yang bukan susu."
2. "Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali
tahu tentang
kenyataan ini?"
"Ya, Baginda."
"Bagaimana ia tahu?"
"Dengan lenyapnya semua yang menjadi penyebab
atau kondisi
dari kelahiran
kembali. Seperti halnya seorang petani yang tidak
membajak,
menabur atau
memanen akan tahu bahwa lumbungnya tidak akan
terisi."
3. "Di dalam diri seseorang, Nagasena, dimana
pengetahuan
(nyana) telah
timbul, apakah kebijaksanaan (panna) juga timbul?
"Ya, Baginda."
"Apakah pengetahuan sama dengan kebijaksanaan?"
"Ya, Baginda."
"Kalau begitu, apakah dengan pengetahuan dan
kebijaksanaan itu
ada
kemungkinan ia tidak tahu tentang suatu hal?"
"Ia akan tetap berada dalam ketidaktahuan tentang
hal-hal yang
belum
dipelajarinya. Akan tetapi mengenai hal yang
telah dicapai oleh
kebijaksanaan - yaitu pencerapan tentang ketidakkekalan,
ketidakpuasan, dan
tidak-adanya-diri, ia tidak akan tidak tahu."
"Kalau begitu, apa yang terjadi pada pandangan
kelirunya
tentang hal-hal itu
tadi?"
"Pada saat pengetahuan muncul, pandangan salahnya
lenyap.
Seperti ketika
sinar menyala, maka kegelapanpun hilang."
"Tetapi apa yang terjadi pada kebijaksanaannya?"
"Ketika kebijaksanaan telah melakukan tugasnya,
ia kemudian
lenyap; tetapi
pengertiannya tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan
dan
tidak-adanya-diri
tidak lenyap."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya orang yang ingin menulis surat
pada malam hari
akan
menyalakan lampu dan kemudian menulis surat
tersebut. Setelah
selesai ia
akan memadamkan lampu. Tetapi meskipun
lampu telah dipadamkan,
suratnya
tetap ada."
4. "Apakah orang yang tidak akan terlahir kembali
merasakan
kesakitan?"
"Mungkin ia merasakan kesakitan secara fisik,
O Baginda, tetapi
bukan
kesakitan mental."
"Jika ia merasakan kesakitan fisik, mengapa ia
tidak mati saja
dan mencapai
keadaan lenyapnya kemelekatan, dari menghentikan
penderitaan?"
"Para arahat tidak memiliki kesukaan atau kebencian
terhadap
kehidupan. Ia tidak menebang pohon agar buahnya
yang masih
belum matang
jatuh, melainkan menanti sehingga buahnya masak.
Karena ini
dikatakan oleh
Bhante Sariputta, murid utama Sang Buddha:
'Bukanlah kematian,
atau kelahiran yang saya nantikan;
Seperti orang sewaan
menanti gaji, saya menantikan
waktuku.
Bukan kematian dan kelahiran
yang saya rindukan,
Waspada dan dengan jelas
mengerti,
Beginilah saya menantikan
waktuku' ."
5. "Apakah perasaan yang menyenangkan itu bermanfaat,
tidak
bermanfaat, atau
netral?"
"Mungkin salah satu di antara tiga itu."
"Tetapi, Yang Mulia, tentunya jika
kondisi yang bermanfaat
itu tidak
menyakitkan, sedangkan yang menyakitkan itu tidak
bermanfaat,
maka tidak
akan mungkin ada keadaan yang bermanfaat yang
sekaligus
menyakitkan."
-
"Bagaimana pendapat Baginda jika ada orang yang
memegang bola
besi panas di
tangan kanannya, dan di tangan satunya menggenggam
bongkah es,
apakah
kedua-duanya akan menyakitkan orang itu?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu hipotesa Baginda pasti keliru.
Jika keduanya
tidak sama-sama
panas, tetapi rasa panas itu toh menyakitkan,
atau jika
keduanya tidak
sama-sama dingin tetapi rasa dingin itu toh menyakitkan,
maka
rasa sakit
yang menyerang itu tidak datang dari rasa panas
atau dingin."
"Saya tidak mampu berbantahan dengan Engkau.
Tolong jelaskan."
Kemudian Nagasena mengajar raja tentang Abhidhamma
- "Ada 6
rasa senang yang
berhubungan dengan kehidupan duniawi dan 6 yang
berhubungan
dengan kehidupan
orang yang telah meninggalkan keduniawian; 6
kesengsaraan dalam
kehidupan
duniawi dan 6 dalam kehidupan orang yang telah
meninggalkan
keduniawian; dan
6 perasaan netral pada kedua-duanya.
Semuanya ada 36. Kemudian ada 36 perasaan pada
masa lampau,,
pada masa kini,
dan pada masa yang akan datang. Jadi semuanya
ada 108
perasaan."
6. "Apakah yang terlahir kembali, Nagasena ?"
"Badan dan batin."
"Apakah badan dan batin yang ini yang terlahir
kembali?"
"Bukan, tetapi oleh karena badan dan batin inilah
maka
perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena
perbuatan-perbuatan itulah
maka badan dan batin yang lain terlahir kembali.
Walaupun
demikian, badan
dan batin itu tidaklah begitu saja terlepas dari
hasil
perbuatan yang lalu."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya api yang dinyalakan seseorang.
Setelah merasa
hangat, mungkin orang itu meninggalkan api dalam
keadaan
menyala dan pergi.
Kemudian, misalnya api tersebut menjalar dan
membakar ladang
orang lain lalu
pemilik kebun itu menangkapnya serta menuntut
orang yang
menyalakan api
tersebut di depan raja. Bila ia berkata, 'Yang
Mulia
Baginda, saya tidak membakar ladang orang ini.
Api yang saya
tinggalkan itu
berbeda dengan api yang membakar ladang orang
ini. Saya tidak
bersalah',
apakah dia patut dihukum?"
"Tentu saja, karena tak peduli apapun yang ia
katakan, api itu
berasal dari
api sebelumnya."
"Demikian juga, O Baginda, dengan badan dan batin
ini
perbuatan-perbuatan dilakukan, dan oleh karena
perbuatan-perbuatan itu maka
badan dan batin baru terlahir lagi; tetapi badan
dan batin
tersebut tidak
terlepas dari hasil perbuatan sebelumnya."
7. "Apakah Engkau, Nagasena, akan terlahir kembali?"
"Apa gunanya menanyakan hal itu lagi? Bukankah
telah saya
katakan bahwa jika
saya mati dengan kemelekatan di pikiran saya,
maka saya akan
terlahir
kembali? Jika tidak, ya tidak."
8. "Engkau tadi baru saja menjelaskan tentang
badan dan batin.
Apakah badan,
dan apakah batin itu?"
"Apapun yang kasar adalah materi (badan), apapun
yang halus,
dan pikiran
atau keadaan mental adalah mentalitas (batin)."
"Mengapa badan dan batin ini tidak dilahirkan
secara terpisah?"
"Kondisi-kondisi ini saling berhubungan seperti
halnya kuning
telur dan
kulitnya. Keduanya selalu timbul bersama dan
karenanya mereka
telah
berhubungan sejak waktu yang lama sekali."
9. "Nagasena, ketika Engkau mengatakan, 'waktu
yang lama
sekali', apa
artinya waktu itu? Apakah ada hal semacam itu?"
"Waktu berarti masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang.
Bagi beberapa
orang, waktu itu ada; bagi orang lain tidak.
Dimana ada makhluk
yang akan
dilahirkan kembali, maka bagi mereka waktu itu
ada; dimana ada
mahluk yang
tidak akan terlahir kembali, bagi mereka waktu
itu tidak ada."
"Bagus sekali, Nagasena, Engkau pandai menjawab."
BAGIAN TIGA
PERMULAAN WAKTU
1. "Nagasena, apakah akar dari masa yang lalu,
masa kini dan
masa yang akan
datang?"
"Kebodohan batin. Karena kebodohan batin maka
terkondisilah
bentuk-bentuk
pikiran; bentuk-bentuk pikiran mengait
kesadaran; karena bentuk-bentuk pikiran inilah
maka timbul
badan dan batin;
karena badan dan batin maka timbullah 6 landasan
indera; karena
6 landasan
indera maka timbullah kontak; karena kontak maka
timbullah
perasaan; karena
perasaan maka timbullah nafsu keinginan; karena
nafsu
keinginan maka timbullah kemelekatan; karena
kemelekatan maka
timbullah
dumadi; karena dumadi maka timbullah kelahiran;
karena
kelahiran maka
terkondisilah usia tua, kematian, kesedihan,
ratapan,
kepedihan,
kesengsaraan, dan keputusasaan."
2. "Engkau katakan bahwa asalmula yang pertama
dari segala
sesuatu adalah
tidak jelas. Berilah saya ilustrasi."
"Sang Buddha bersabda, 'Karena adanya landasan
indera dan obyek
indera maka
timbullah kontak; karena adanya kontak, timbul
perasaan; karena
adanya
perasaan, timbul nafsu keinginan; dan karena
adanya nafsu
keinginan, timbul
tindakan (kamma). Lalu dari tindakan ini sekali
lagi landasan
indera
dihasilkan.' Nah, apakah bisa terdapat akhir
dari
rangkaian ini?"
"Tidak."
"Demikian juga, O Baginda, maka asalmula yang
pertama dari
segala sesuatunya
itu tidak dapat dipahami."
3. "Apakah asalmula yang pertama dari segala hal
itu tidak
diketahui?"
"Sebagian dapat diketahui, sebagian lagi tidak.'
"Kalau begitu, manakah yang dapat diketahui dan
manakah yang
tidak?"
"Yang berkenaan dengan kondisi apapun yang mendahului
kelahiran
ini, bagi
kita tampaknya seolah-olah tidak ada pendahulunya.
Dalam hal
ini maka asal
mula pertamanya tidak diketahui. Sedangkan yang
berkenaan
dengan kondisi
apapun yang belum timbul, dan setelah timbul
segera menghilang
lagi, maka
asalmula pertamanya dapat dikenali."
4. "Apakah ada bentukan-bentukan yang dihasilkan
karena
proses?"
"Tentu saja, O Baginda. Dimana ada mata dan juga
bentuk maka
ada
penglihatan; dimana ada penglihatan maka ada
kontak; dimana ada
kontak maka
ada perasaan; dimana ada perasaan maka
ada nafsu keinginan;
dimana ada
nafsu keinginan maka ada kemelekatan; dimana
ada kemelekatan
maka ada
dumadi; dan dimana ada dumadi maka ada kelahiran;
usia tua,
kematian,
kesedihan, kesengsaraan, ratapan, kepedihan dan
keputusasaan.
Tetapi dimana tidak ada mata dan bentuk maka
tidak ada
penglihatan; tidak
ada kontak; tidak ada perasaan, tidak ada nafsu
keinginan,
tidak ada
kemelekatan, tidak ada dumadi; dan dimana tidak
ada dumadi maka
tidak akan
ada kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan,
kesengsaraan,
kepedihan dan
keputusasaan."
5. "Apakah ada bentukan-bentukan yang tidak dihasilkan
karena
proses?"
"Tidak ada, O Baginda raja, karena hanya dengan
proses
dumadilah mereka
dihasilkan."
"Berilah saya ilustrasi."
"Apakah rumah yang Baginda tempati ini dihasilkan
dari proses
dumadi?"
"Semuanya, tidak ada yang tidak. Kayu ini dahulu
berada di
hutan, dan tanah
liat ini ada di tanah. Hanya melalui usaha para
pekerjalah
rumah ini
terwujud."
"Demikian jugalah, O Baginda, tidak ada bentukan-bentukan
yang
tidak
dihasilkan karena proses."
6. "Adakah, Nagasena, sesuatu yang disebut 'Yang
Mengetahui'
(vedagu)?"
"Apakah itu?"
"Suatu prinsip atau inti yang hidup di dalam
diri, yang dapat
melihat, mendengar, mencicip, membau, merasakan
dan
membeda-bedakan segala
sesuatu; sama seperti halnya kita yang
saat ini duduk dapat
melihat keluar
lewat jendela manapun yang kita inginkan."
"Jika, O Baginda raja, inti yang hidup di dalam
diri itu dapat
melihat,
mendengar, mencicip, membau dan merasai benda-benda
seperti
yang Baginda
katakan, dapat jugakah ia melihat dari telinga
dan sebagainya?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Kalau demikian, Baginda, inti yang hidup yang
di dalam diri
itu tidak dapat
menggunakan indera semaunya sendiri seperti kata
Baginda. O
Baginda, hanya
karena adanya mata dan bentuklah, maka penglihatan
dan
kondisi-kondisi
lainnya timbul, yaitu: kontak, perasaan pencerapan,
niat,
keterpusatan,
vitalitas dan perhatian. Semuanya timbul secara
sekaligus bersama dengan penyebabnya, dan karena
itu 'Yang
Mengetahui' tidak
dapat ditemukan."
7. "Apakah kesadaran pikiran timbul tiap kali
kesadaran mata
timbul?"
"Ya, Baginda raja, bila yang satu ada maka ada
juga yang
lainnya"
"Yang manakah timbul terlebih dahulu?"
"Pertama kesadaran mata, baru kemudian kesadaran
pikiran:"
"Apakah kesadaran mata mengeluarkan perintah
kepada kesadaran
pikiran, atau sebaliknya?"
"Tidak, tidak ada komunikasi di antara keduanya
itu."
"Kalau begitu, Nagasena, mengapa kesadaran pikiran
timbul di
manapun ada
kesadaran mata?'
"Karena, O Baginda, ada kecenderungan, keterbukaan,
kebiasaan
dan hubungan."
"Berilah saya ilustrasi."
"Jika kota tapal batas raja memiliki tembok yang
kuat tetapi
hanya ada satu
pintu gerbang, lewat manakah orang yang
akan keluar?"
"Melalui pintu gerbang itu."
"Dan jika ada orang lain yang akan pergi, lewat
manakah ia?"
"Melalui gerbang yang sama."
"Apakah orang pertama tadi memerintah orang kedua
dengan
mengatakan
'Keluarlah dengan cara yang sama denganku', atau
apakah orang
kedua
mengatakan kepada orang pertama, 'Saya akan keluar
dengan cara
seperti kamu'?"
"Tidak Yang Mulia, tidak ada komunikasi di antara
mereka
berdua."
"Dengan cara seperti itulah kesadaran-pikiran
timbul di mana
ada kesadaran
mata, namun tidak ada komunikasi di antara mereka."
8. "Di mana ada kesadaran-pikiran, Nagasena, apakah
selalu ada
kontak dan
perasaan?"
"Ya, di mana ada kesadaran-pikiran, ada kontak
dan perasaan.
Juga
pencerapan, niat, pikiran terapan dan pikiran
yang menopang."
9. "Apakah sifat khas dari kontak?"
"Sentuhan."
"Berilah saya itustrasi."
"Bagaikan dua rusa bertubrukan kepala; mata adalah
merupakan
rusa yang satu,
sedangkan obyek yang kelihatan adalah merupakan
rusa yang
lainnya. Tubrukan
yang terjadi itu adalah kontak."
10. "Apakah sifat khas dari perasaan?"
"Yang dialami, 0 Baginda, dan dinikmati."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya seseorang yang telah melayani
rajanya dan
diganjar
kedudukan, sesudahnya akan menikmati keuntungan
karena
jabatannya."
11. "Apakah sifat khas dari pencerapan?"
"Pengenalan, 0 Baginda raja, tentang kebiruan,
kekuningan, atau
kemerahan."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya bendahara raja yang mengenali
barang-barang
milik rajanya
dengan cara melihat bentuk dan warnanya."
12. "Apakah sifat khas dari niat?"
"Dikandung, O Baginda, dan dipersiapkan."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya seseorang yang telah menyiapkan
racun dan
setelah meminumnya
ia akan menderita kesakitan, demikian pula seseorang
yang telah
memikirkan
suatu kejahatan dan kemudian melaksanakannya,
maka sesudahnya
ia akan
menderita di neraka."
13. "Apakah sifat khas dari kesadaraan?"
"Mengetahui, O Baginda."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya seorang penjaga di alun-alun
kota akan
mengetahui orang yang
datang dan dari mana arah datangnya; begitu pula
ketika
seseorang melihat
suatu obyek, mendengar suatu suara, mencium suatu
aroma,
mencicipi suatu
citarasa, merasakan suatu sentuhan atau mengenali
sebuah
gagasan; dengan
kesadaranlah ia mengetahuinya."
14. "Apakah sifat khas dari pikiran terapan?"
"Memasang, O Baginda."
"Berilah saya ilustrasi."
"Seperti halnya seorang tukang kayu memasang
kayu yang sudah
ditakik dengan sangat cermat ke dalam takik yang
lainnya agar
pas,
demikianlah pemasangan merupakan sifat pikiran
terapan."
15. "Apakah sifat khas dari pikiran yang menopang?"
"Memeriksanya berulang-ulang."
"Berilah saya ilustrasi."
"Pikiran terapan itu bagaikan pukulan pada gong;
sementara
pikiran yang
menopang bagaikan gaungnya."
16. "Apakah mungkin dapat memisahkan kondisi-kondisi
ini;
dengan
mengatakan,'Ini adalah kontak, ini perasaan,
ini pencerapan,
ini niat, ini
kesadaran, ini pikiran terapan, dan ini pikiran
yang menopang?"
"Tidak, Raja yang agung, itu tidak dapat dilakukan.
Jika
seseorang
menyiapkan sup yang terdiri dari dadih, garam,
jahe, dan lada,
dia tidak
dapat mengeluarkan citarasa dadih itu saja dan
menunjukkan
'Inilah citarasa
dadih' atau mengeluarkan citarasa garam dan mengatakan
'Inilah
citarasa garam'. Walaupun demikian semua citarasa
itu ada di
dalam sup
dengan ciri-cirinya sendiri."
17. Lalu bhikkhu Nagasena bertanya, "Apakah garam,
O Baginda,
dapat dikenali
oleh mata?"
"Ya, Yang Mulia."
"Berhati-hatilah, Baginda, pada apa yang Baginda
katakan."
"Kalau begitu, garam dikenali oleh lidah."
"Ya, itu betul."
"Tetapi, Nagasena, apakah hanya dengan lidah
saja setiap garam
dapat
dikenali?"
"Ya, tiap jenis."
"Kalau demikian, mengapa sapi membawa segerobak
penuh garam?'
"Karena tidak mungkin membawa garam itu sendiri.
Sebagai contoh
garam juga
mempunyai massa, tetapi garam tidak mungkin ditimbang.
Orang
hanya dapat
menimbang massanya.
"Nagasena, sungguh cekatan Engkau dalam perdebatan."
BAGIAN EMPAT
LANDASAN INDRIA
1. "Apakah 5 landasan indria dihasilkan oleh berbagai
kamma,
atau semuanya
berasal hanya dari satu kamma?"
"Dari berbagai kamma, O Baginda."
"Berilah saya ilustrasi."
"Jika kita menanam 5 jenis biji-bijian di ladang,
maka hasilnya
juga akan 5
macam."
2. "Nagasena, mengapa orang tidak semuanya serupa;
ada yang
berumur pendek
dan ada yang berumur panjang, ada yang sakit-sakitan
dan ada
yang sehat, ada
yang buruk rupa dan ada yang elok, ada yang kuat
dan ada yang
lemah, ada
yang miskin dan ada yang kaya, ada yang lahir
di keluarga
rendah dan ada
yang di keluarga terhormat, ada yang tolol
dan ada yang
bijaksana?"
"Mengapa tidak semua sayuran serupa?"
"Karena berasal dari bibit yang berbeda."
"Demikian juga, O Baginda, karena berbagai kamma-lah
maka
makhluk tidak
sama. Karena ini telah disabdakan oleh Sang Buddha,
'Semua
mahluk mempunyai
kamma sebagai harta kekayaannya sendiri. Semua
makhluk adalah
pewaris
darinya, dilahirkan karenanya, merupakan saudara
dari kammanya
sendiri, dan mempunyai kamma sebagai pelindungnya;
kamma apa
yang mereka
perbuat itulah yang membedakan mereka ada dalam
tingkatan yang
tinggi atau
rendah.'"
3. "Engkau katakan bahwa Engkau meninggalkan kehidupan
duniawi
agar supaya
penderitaan dapat dilenyapkan dan tidak ada lagi
penderitaan
yang muncul.
Apakah hal ini dihasilkan oleh usaha sebelumnya,
ataukah untuk
diperjuangkan
sekarang ini, saat ini?"
"Usaha sekarang ini berhubungan dengan apa yang
masih harus
dilakukan, usaha yang dahulu telah menyelesaikan
apa yang harus
dilakukannya."
"Berilah saya ilustrasi."
"Apakah ketika musuh menyerang baru Baginda memerintahkan
para
prajurit
menggali tempat perlindungan, mendirikan benteng,
membangun
menara
penjagaan, mendirikan kubu dan mengumpulkan
makanan?"
"Tentu saja tidak, Bhante."
"Demikian juga, usaha sekarang ini berurusan
dengan apa yang
masih harus
dilakukan, usaha yang lalu telah menyelesaikan
apa yang harus
dilakukannya."
4. "Engkau katakan bahwa api neraka dalam sekejab
dapat
menghancurkan batu
karang sebesar rumah; tetapi engkau juga mengatakan
bahwa
makhluk apapun
yang terlahir di neraka, meskipun terbakar selama
ratusan ribu
tahun, mereka
tidak akan hancur. Bagaimana saya dapat mempercayai
hal ini?"
"Meskipun makanan, tulang dan bahkan batu yang
dimakan oleh
berbagai makhluk
betina dihancurkan di dalam perut mereka, tetapi
embrionya
tetap tidak
hancur. Demikian juga makhluk di neraka tidak
dapat hancur
karena pengaruh
kammanya."
5. "Engkau katakan bahwa planet bumi ini terletak
di air, air
terletak di
udara, dan udara terletak di ruang. Ini juga
saya tidak
percaya."
Kemudian bhikkhu Nagasena menerangkan kepada
raja tentang daur
filter-air
yang ditopang oleh tekanan atmosfer dan raja
Milinda menjadi
yakin.
6. "Apakah berhentinya nafsu itu nibbana?"
"Ya, O Baginda. Semua makhluk yang tolol memanjakan
diri dalam
kenikmatan
indera dan obyeknya; mereka menemukan kesenangan
di dalamnya
dan melekat
padanya. Oleh karena itu mereka terhanyut oleh
arus nafsu dan
tidak terbebas
dari kelahiran dan kematian. Siswa yang bijaksana
tidak
menyenangi
kenikmatan indera dan obyeknya. Dan di dalam
dirinya
nafsu keinginan berhenti, kemelekatan berhenti,
dumadi
berhenti, kelahiran
berhenti, usia tua, kematian, kesengsaraan, ratapan,
penderitaan dan
keputusasaan berhenti dan tidak ada lagi hal
itu. Dengan begitu
berhentinya
nafsu adalah nibbana."
7. "Apakah semua orang mencapai nibbana?"
"Tidak semuanya, O Baginda; tetapi siapapun yang
bertingkah
laku dengan
benar, mengetahui apa yang seharusnya diketahui,
mencerap apa
yang
seharusnya dicerap, meninggalkan apa yang seharusnya
ditinggalkan,
mengembangkan apa yang seharusnya dikembangkan
dan menyadari
apa yang
seharusnya disadari; ia mencapai nibbana."
8. "Dapatkah orang yang belum mencapai nibbana
mengetahui bahwa
nibbana
benar-benar membahagiakan?"
"Ya tentu saja, O Baginda. Seperti halnya orang
yang belum
pernah merasakan
tangan dan kakinya putus dipotong dapat mengetahui
betapa
sakitnya kondisi
itu karena mendengar jeritan kesakitan orang
yang kehilangan
anggota
badannya; demikian .juga orang yang belum pernah
mencapai
nibbana mengetahui
betapa membahagiakannya kondisi itu karena
mendengar kata-kata yang penuh sukacita dari
mereka yang telah
mencapainya."
BAGIAN LIMA
SANG BUDDHA
1. "Pernahkah Engkau atau gurumu melihat Sang
Buddha?"
"Belum, Baginda raja nan agung."
"Kalau begitu Nagasena, tidak ada Buddha!"
"Tetapi apakah Baginda dan ayah Baginda sudah
pernah melihat
sungai Uha
(induk sungai Gangga - penerjemah) di Himalaya?"
"Belum, Yang Mulia."
"Kalau begitu, tepatkah kalau dikatakan bahwa
sungai Uha itu
tidak ada?"
"Nagasena, Engkau sangat cerdik menjawab."
2. "Apakah Sang Buddha tidak ada bandingnya?"
"Ya, ia tidak terbandingkan."
"Tetapi bagaimana Engkau dapat berkata demikian,
jika Engkau
belum pernah
bertemu Beliau?"
"Sama seperti orang yang belum pernah melihat
samudera dapat
mengetahui betapa luasnya samudera itu karena
5 sungai besar
mengalir
padanya tetapi permukaannya tidak naik; demikian
juga saya tahu
betapa tidak
terbandingkannya Sang Buddha bila saya memikirkan
guru-guru
hebat yang telah
saya temui, yang hanya merupakan murid Sang Buddha."
3. "Apakah orang lain dapat mengetahui bahwa Sang
Buddha tidak
ada
bandingannya?"
"Ya, tentu saja."
"Bagaimana caranya?"
"Jaman dahulu hidup Tissa Thera, seorang yang
ahli dalam
tulis-menulis. Bagaimana orang dapat mengetahui
tentang
beliau?"
"Dari tulisannya."
"Demikian pula halnya, Baginda, siapapun yang
melihat Dhamma
yang telah
diajarkan oleh Sang Buddha dapat mengetahui betapa
tidak
terbandingkannya
Beliau itu."
4. "Sudahkah kamu, Nagasena, melihat apa kebenaran
itu?"
"Kami, para siswa, O Baginda raja, harus mengatur
hidup kami
sesuai dengan
peraturan kebhikkhuan yang telah diberikan oleh
Sang Buddha."
(sehingga
tidak diperkenankan menceritakan tingkat pencapaian
batin yang
telah
diperoleh - penerjemah)
5. "Apakah mungkin ada kelahiran tanpa adanya
perpindahan?'
"Ya, mungkin saja. Sama seperti orang dapat menyalakan
lampu
minyaknya dari nyala lampu minyak yang lain tanpa
ada yang
berpindah dari
satu lampu ke lampu yang lain; atau seperti
seorang murid
dapat menghafal
sebuah syair dari gurunya tanpa syair itu berpindah
dari guru
ke muridnya."
6. Lalu Milinda bertanya kembali, "Apakah ada
sesuatu semacam
'Yang
Mengetahui' (vedagu)?"
"Tidak dalam artinya yang sebenar-benarnya."
7. "Apakah ada makhluk yang berpindah dari satu
tubuh ke tubuh
yang lain?"
"Tidak, tidak ada."
"Jika begitu, apakah tidak ada jalan agar terlepas
dari hasil
perbuatan
jahat?"
"Ya, ada jalan keluarnya jikalau mereka tidak
dilahirkan
kembali, tetapi
jika dilahirkan kembali maka tidak
akan ada jalan keluar.
Proses batin dan
badan ini menghasilkan perbuatan, yang suci maupun
yang tidak
suci, dan
karena kamma tersebut maka proses batin dan badan
lainnya
terlahir lagi.
Karena itulah batin dan badan ini tidak terbebas
dari perbuatan
jahatnya."
"Berilah saya ilustrasi."
"Jika seorang pencuri mencuri mangga orang
lain, apakah ia
patut dihukum?"
"Tentu saja."
"Tetapi mangga yang dicurinya bukanlah mangga
yang ditanam oleh
si pemilik;
mengapa ia patut dihukum?"
"Karena mangga yang dicuri itu berasal dari mangga
yang ditanam
orang itu."
"Demikianlah juga, 0 Baginda, proses batin dan
badan ini
melakukan
perbuatan, baik yang suci maupun yang tidak suci,
dan oleh
karena kamma
tersebut maka proses batin dan badan lainnya
terlahir lagi.
Karena itulah
maka batin dan badan ini tidak terbebas dari
perbuatan
jahatnya."
8. "Setelah perbuatan dilakukan oleh satu proses
batin dan
badan, di mana
perbuatan itu berada?"
"Perbuatan tersebut mengikutinya, O Baginda,
seperti bayangan
yang tidak
pernah pergi. Namun orang tidak dapat menunjukkannya
dan
mengatakan,
'Perbuatan itu di sini atau di sana', sama seperti
buah dari
sebatang pohon
tidak akan dapat ditunjukkan sebelum buah itu
muncul."
9. "Apakah orang yang akan dilahirkan kembali
tahu tentang hal
ini?"
"Ya, ia tahu, sama seperti seorang petani yang
menanam benih di
tanah,
setelah melihat bahwa hujan cukup banyak, tahu
bahwa panen akan
tiba."
10. "Apakah ada orang seperti Sang Buddha?"
"Ya."
"Apakah ia dapat ditunjukkan berada di sini atau
di sana?"
"Sang Buddha telah meninggal dunia dan tidak
ada yang tersisa
untuk membentuk individu lain. Beliau tidak dapat
ditunjukkan
berada di sini
atau di sana, sama seperti nyala api yang telah
padam tidak
dapat dikatakan
berada di sini atau di sana. Tetapi sejarah keberadaannya
dapat
dikenali
dari ajaran yang telah dibabarkan olehnya."
BAGIAN ENAM
KEMELEKATAN
1. "Apakah tubuh ini, Nagasena, berharga bagi
para pertapa?"
"Tidak, raja nan agung."
"Kalau begitu, mengapa para pertapa merawat dan
memberi
perhatian pada tubuh?"
"Kami merawat dan menjaga tubuh ini sama seperti
kalau kita
merawat luka.
Bukan karena luka itu berharga bagi kita, tetapi
hanya supaya
daging baru
dapat tumbuh kembali. Karena hal ini telah disabdakan
oleh Sang
Buddha:
"Tubuh ini berbau busuk
Seperti tinja, seperti
tempat kakus;
Tubuh yang oleh para
bijaksana
Dikutuk ini, adalah
sumber kesukaan bagi tolol.
Sebuah tumor dimana
9 lubang berdiam
Terbungkus dalam
mantel kulit yang berkeringat
Dan meneteskan
kotoran pada tiap sisinya,
Mencemari udara
dengan bau busuk kemana-mana.
Seandainya saja
secara kebetulan harus terjadi
Apa yang tersimpan
di dalam jadi keluar,
Tentu orang akan
membutuhkan cambuk
Untuk mengalahkan
dan mengusir anjing dan gagak."
(Visudhimagga 196)
2. "Jika Sang Buddha itu Maha Tahu mengapa Beliau
menetapkan
peraturan
Sangha baru setelah terjadi sesuatu peristiwa?"
"Beliau baru menetapkan peraturan ketika dibutuhkan,
sama
seperti seorang
dokter baru menuliskan resep bagi pasiennya ketika
dibutuhkan,
walaupun ia
telah mengetahui semua obat sebelum suatu penyakit
menyerang."
3. "Jika Sang Buddha dimuliakan dengan 32 tanda
manusia yang
luar biasa,
mengapa orangtuanya tidak memilikinya juga?"
"Sama halnya seperti bunga teratai yang terlahir
di lumpur dan
menjadi
sempurna di air tidak menyerupai lumpur dan air,
demikian juga
Sang Buddha
tidak sama dengan orangtuanya."
4. "Apakah Sang Buddha seorang Brahmacari, seorang
yang tidak
kawin?"
"Ya."
"Kalau begitu ia pengikut Brahma!"
"Meskipun suara gajah sama seperti suara bangau,
gajah bukanlah
pengikut
bangau. Katakan pada saya, raja nan agung, apakah
Brahma itu
mempunyai
kecerdasan (buddhi)?"
"Ya."
"Kalau begitu pastilah ia pengikut Sang Buddha!"
5. "Apakah penabhisan bhikkhu itu sesuatu yang
baik?"
"Ya."
"Tetapi apakah Sang Buddha menjalaninya, atau
tidak?"
"Raja nan agung, ketika Sang Buddha mencapai
Penerangan
Sempurna di kaki
pohon Bodhi, itulah penahbisan Beliau. Tidak
ada penganugerahan
pentahbisan
bagi Beliau dari orang lain seperti yang Beliau
berikan kepada
murid-muridnya."
6. "Bagi siapakah airmata itu merupakan kesembuhan:
bagi orang
yang menangis
karena kematian ibunya, atau bagi orang yang
menangis karena
cintanya pada
kebenaran?"
"Airmata yang pertama, O Baginda, ternoda dan
panas oleh
kemelekatan, tetapi airmata yang kedua itu tak
ternoda serta
sejuk. Terdapat
penyembuhan dalam kesejukan dan ketenangan, tetapi
dalam panas
dan nafsu
tidak akan mungkin ada penyembuhan."
7. "Apakah perbedaan antara orang yang dipenuhi
kemelekatan
dengan orang
yang telah terbebas dari kemelekatan?"
"Yang pertama diperbudak, O Baginda, sedangkan
yang kedua
tidak."
"Apa artinya?"
"Yang pertama dipenuhi keinginan, sedang yang
kedua tidak."
"Tetapi kedua-duanya menyukai makanan yang enak,
dan
kedua-duanya tidak suka
makanan yang tidak enak,"
"Orang yang melekat, O Baginda, memakan makanannya
dengan
merasakan baik
citarasanya maupun kemelekatan pada citarasa
itu, tetapi orang
yang tidak
melekat merasakan hanya citarasa makanan itu
dan tidak
merasakan kemelekatan
yang timbul dari citarasa makanan tersebut."
8. "Di manakah kebijaksanaan bertempat tinggal?"
"Tidak di manapun, O Baginda raja."
"Kalau begitu kebijaksanaan itu tidak ada."
"Di manakah angin bertempat tinggal?"
"Tidak di manapun."
"Kalau begitu angin itu tidak ada!"
"Engkau sangat cerdik dalam menjawab, Nagasena."
9. "Apa yang dimaksud dengan lingkaran kelahiran
kembali
(samsara)?"
"Siapapun yang dilahirkan di sini, mati disini
dan dilahirkan
di tempat
lain. Setelah dilahirkan di sana, mereka mati
dan dilahirkan di
tempat lain."
10. "Dengan apakah kita mengingat perbuatan yang
telah
dilakukan di masa
yang lalu?"
"Dengan ingatan (sati)."
"Apakah bukan dengan pikiran (citta) kita mengingat
kembali?"
"Apakah Baginda raja, ingat sesuatu urusan yang
pernah Baginda
lakukan
tetapi kemudian terlupakan?"
"Ya."
"Apakah waktu itu Baginda tanpa pikiran?"
"Tidak. Tetapi ingatan saya yang tak mampu."
"Kalau begitu mengapa Baginda katakan bahwa dengan
pikiran kita
mengingat
kembali?"
11. "Apakah ingatan selalu timbul dengan sendirinya,
atau
dipengaruhi oleh
saran dari luar?"
"Kedua-duanya, O Baginda raja."
"Tetapi apakah bukan berarti bahwa pada dasarnya
semua ingatan
itu bersifat
subyektif?"
"Jika, O Baginda, tidak ada bagian ingatan yang
ditanamkan maka
orang tidak
perlu berlatih atau bersekolah, dan guru
tidak akan ada
gunanya. Tetapi
keadaan sebaliknyalah yang terjadi."
BAGIAN TUJUH
INGATAN
1. "Dalam berapa cara, Nagasena, ingatan muncul?"
"17 cara, O Baginda. Yaitu:
1. karena pengalaman pribadi; seperti misalnya
ketika Yang
Ariya Ananda
dapat mengingat kembali kehidupannya
yang lalu (tanpa perkembangan khusus);
2. karena bantuan dari luar, seperti misalnya
ketika orang
mengingatkan
temannya yang pelupa;
3. karena keagungan suatu peristiwa, seperti
misalnya ketika
seorang raja
mengingat pentahbisannya atau seseorang mencapai
tingkat
sotapana;
4. karena kesan yang membawa manfaat, seperti
misalnya ketika
seseorang
mengingat hal-hal yang menyenangkan hatinya;
5. karena kesan yang merugikan, seperti misalnya
ketika orang
mengingat
hal-hal yang menyakitkan;
6. karena kemiripan penampilan, seperti misalnya
ketika
seseorang mengingat ayahnya, ibunya, atau saudaranya
setelah
melihat orang
yang mirip mereka;
7. karena ketidakmiripan, seperti misalnya ketika
orang
mengingat seseorang
setelah melihat orang yang sama sekali
berbeda dengan orang itu;
8. lewat bantuan perkataan, seperti misalnya
ketika seseorang
diingatkan
temannya;
9. lewat tanda, seperti misalnya ketika seseorang
mengenali
kereta waktu
melihat merknya;
10. lewat usaha untuk mengingat, seperti misalnya
ketika
seseorang terus
menerus disemangati;
11. lewat pengetahuan mengeja, seperti misalnya
ketika
seseorang yang melek huruf ingat bahwa huruf
ini mengikuti
huruf itu;
12. lewat ilmu hitung, seperti misalnya ketika
seorang akuntan
bekerja
dengan pengetahuannya tentang angka;
13. lewat hafalan, seperti misalnya ketika seorang
penyair yang
mengulang
sajak diluar kepala lewat meditasi, seperti ketika
seorang
bhikkhu mengingat
kehidupannya yang lalu;
15. lewat referensi buku, seperti ketika seorang
raja mengingat
kembali
peraturan yang telah dibuat sebelumnya dengan
referensi sebuah
buku;
16. lewat sumpah, seperti ketika seseorang mengingat,
dengan
melihat barang-barang yang menumpuk dan keadaan
barang-barang
tersebut
berada di bawah sumpah; atau ...
17. lewat hubungan, seperti ketika seseorang
melihat atau
mendengar sesuatu
ia teringat akan hal lain yang berhubungan dengannya."
2. "Engkau katakan bahwa seseorang yang telah
menjalani
kehidupan jahat
selama 100 tahun, hanya dengan memikirkan Sang
Buddha pada saat
kematiannya
dilahirkan di alam dewa; dan bahwa seseorang
yang baik, hanya
karena satu
tindakan jahat, dapat dilahirkan di neraka. Dua
hal ini saya
tidak percaya."
"Bagaimana pendapat Baginda, dapatkah batu kerikil
kecil
terapung di air
tanpa perahu?"
"Tidak"
"Tetapi bahkan batu sekereta penuh dapat terapung
bila di dalam
perahu.
Demikian juga Baginda harus memikirkan perbuatan
baik bagaikan
perahu."
3. "Apakah kalian, para bhikkhu, berjuang untuk
menghilangkan
penderitaan masa lalu, masa kini dan masa mendatang?"
"Tidak, kami berjuang agar penderitaan ini berakhir
dan tidak
ada
penderitaan lain yang muncul."
"Tetapi, Nagasena, apakah pada masa sekarang
ini terdapat
penderitaan di masa mendatang itu?"
"Tidak."
"Kalau begitu, para bhikkhu luar biasa pandai
mampu berjuang
untuk
menghilangkannya!"
"Apakah musuh Baginda pernah bangkit untuk menentangmu,
O
Baginda?"
"Ya."
"Apakah hanya ketika mereka bangkit saja maka
Baginda
bersiap-siap untuk
berperang?"
"Tidak, sama sekali. Semua telah dilakukan sebelumnya
untuk
menangkal bahaya yang akan terjadi di masa mendatang."
"Tetapi, O Baginda, apakah pada masa sekarang
ini terdapat
bahaya di masa
mendatang itu?"
"Tidak, Yang Mulia"
"Kalau begitu, Baginda luar biasa pandai mampu
berjuang untuk
menghilangkannya!"
"Jawaban yang baik, Nagasena. Engkau pandai menjawab."
4. "Seberapa jauhkah alam Brahma itu?"
"Sangat jauh, O Baginda; dari alam Brahma sebongkah
batu besar
membutuhkan
waktu 4 bulan unmk mencapai tanah meskipun batu
itu jatuh
48.000 league tiap
hari."
"Tetapi bagaimanakah seorang bhikkhu dapat begitu
cepat pergi
ke sana dengan
kekuatan kesaktiannya?"
"Dimanakah Baginda dilahirkan?"
"Ada sebuah pulau bernama Alasanda; saya dilahirkan
di sana."
"Berapa jauhnya dari sini?"
"Sekitar 200 league."
"Dapatkah Baginda mengingat apapun yang Baginda
lakukan di
sana?"
"Ya."
"Begitu cepatnya Baginda menempuh 200 league.
Sama seperti
itulah seorang
bhikkhu dapat mencapai alam Brahma dengan kekuatan
kesaktiannya."
5. "Jika seseorang meninggal dunia dan kemudian
terlahir di
alam Brahma,
serta pada saat yang sama seseorang lain yang
meninggal dunia
dan kemudian
terlahir di Kashmir, siapakah yang akan sampai
terlebih
dahulu?"
"
"Berapa jauhkan kota kelahiran Baginda dari sini?"
"200 league."
"Dan berapa jauhkah Kashmir?"
"12 league."
"Manakah di antaranya yang lebih cepat Baginda
ingat?"
"Keduanya sama, Yang Mulia."
"Demikian juga, O Baginda, orang-orang yang meninggal
pada saat
yang sama
itu akan terlahir pada saat yang sama pula."
6. "Ada berapakah faktor Penerangan Sempurna itu?"
"Tujuh, O Baginda."
"Dengan berapa banyak faktorkah seseorang mencapai
kesadaran
akan kebenaran?"
"Satu, yaitu penyelidikan kebenaran, karena tidak
ada apapun
yang dimengerti
tanpa adanya itu."
"Kalau demikian mengapa dikatakan ada tujuh?'
"Dapatkah pedang Baginda yang ada didalam sarungnya
memotong
apapun jika
tidak digenggam tangan?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Demikian jugalah, O Baginda, tanpa ada faktor-faktor
Penerangan lainnya,
penyelidikan kebenaran tidak mencapai kesadaran
akan
kebenaran."
7. "Manakah yang lebih hebat, perbuatan baik ataukah
perbuatan
tercela?"
"Perbuatan baik, O Baginda. Orang yang berbuat
salah kemudian
merasa
menyesal dan menyadari kesalahannya, dengan begitu
perbuatan
tercelanya
tidak akan bertambah. Tetapi orang yang melakukan
perbuatan
baik tidak
merasakan penyesalan; dan timbullah kebahagiaan
serta sukacita.
Maka karena
gembira itu ia akan merasa tenang, karena tenang
ia akan merasa
puas, karena puas lalu pikirannya mudah terkonsentrasi,
karena
terkonsentrasi ia dapat melihat segala sesuatunya
sebagaimana
adanya.
Dengan demikian kebaikannya akan bertambah. Jadi
perbuatan baik
selalu lebih
hebat. Perbuatan tercela secara relatif tidak
bermakna."
8. "Mana yang lebih jelek, perbuatan tercela yang
disadari atau
yang tidak
disadari?"
"Perbuatan tercela yang tidak disadari, Baginda."
"Kalau begitu kita harus menghukum dua kali lebih
berat
orang-orang yang
melakukan perbuatan tercela tanpa menyadarinya."
"Bagaimana menurut Baginda, apakah seseorang
akan terbakar
lebih parah jika
ia menggenggam besi yang merah membara tanpa
mengetahui bahwa
itu panas,
dibandingkan dengan orang yang mengetahuinya?"
"Ia akan terbakar lebih parah jika tidak tahu
bahwa besi itu
panas."
"Demikian juga, O Baginda, sama seperti orang
yang melakukan
perbuatan tercela tanpa menyadarinya."
9. "Apakah ada orang yang secara fisik dapat pergi
ke alam
Brahma?"
"Ya, Baginda, ada. Semudah kita melompati jarak
yang pendek
dengan tekad di
pikiran kita: 'Saya akan mendarat di sana', demikian
juga
seseorang yang
telah mengembangkan jhana dapat pergi ke alam
Brahma."
10. "Apakah ada tulang yang panjangnya 100 league?"
"Ya. Ada ikan di samudera yang panjangnya 500
league (kira-kira
3500 mil!)
yang mempunyai tulang semacam itu."
11. "Apakah mungkin untuk menekan pernafasan?"
"Ya. Sama mungkinnya seperti menghentikan dengkur
orang yang
pikirannya belum berkembang dengan cara menekuk
tubuhnya,
demikian pula
mungkin saja bagi orang yang pikirannya sudah
berkembang dengan
baik untuk
menekan pernafasannya."
12. "Mengapa samudera dinamakan demikian?"
"Karena ia adalah campuran yang merata dari air
dan garam."
('sama'=rata,
'uddha'=air, 'samudda'=samudera).
13. "Mengapa seluruh samudera itu hanya mempunyai
satu rasa?"
"Karena samudera telah ada sejak amat sangat
lama."
14. "Apakah mungkin untuk menggolong-golongkan
hal yang sudah
sangat halus?"
"Ya, O Baginda raja. Kebijaksanaan mampu menggolongkan
semua
hal yang halus."
"Apa yang dimaksud dengan semua yang halus?"
"Dhamma adalah semua yang halus. Tetapi tidak
semua dhamma itu
halus,
beberapa di antaranya kasar. Halus dan kasar
itu hanyalah
konsep.
Apapun yang masih dapat dibagi pasti dapat
digolongkan oleh
kebijaksanaan. Tidak ada yang dapat menggolongkan
kebijaksanaan."
15. "Ketiga hal ini, Nagasena, yaitu kesadaran
(vinnana),
kebijaksanaan
(panna) dan jiwa (bhutasmim jivo), apakah
berbeda pada intinya
atau hanya
berbeda sebutannya?"
"Mengetahui, O Baginda, adalah tanda kesadaran,
sedangkan
membeda-bedakan adalah tanda kebijaksanaan. Jiwa
tidak dapat
ditemukan."
16. Bhikkhu Nagasena berkata, "Sesuatu yang sulit
telah
dilakukan oleh Sang
Buddha; membedakan semua kondisi mental yang
bergantung pada
organ indera,
menunjukkan bahwa seperti ini dan itu adalah
kontak, seperti
ini adalah
perasaan, seperti ini adalah pencerapan, seperti
ini adalah
niat
dan seperti ini adalah pikiran (citta)."
"Berilah saya ilustrasi."
"Jika seseorang meraup air dari laut dan setelah
mencicipinya
dapat
mengatakan, 'Air ini dari Sungai Gangga,
yang ini dari Jumna,
yang ini dari
Gandak, ini dari Sarabhu, dan ini dari Mahi.'
Lebih sulit
daripada hal itu
adalah membedakan semua keadaan mental yang menemani
setiap
indera."
17. Karena telah tengah malam raja memberi persembahan
kepada
Nagasena dan
kemudian sang raja berkata "Seperti seekor singa
di kandang
emas yang hanya
merindukan kebebasan, demikian pula aku merindukan
kehidupan
sebagai
bhikkhu. Tetapi aku tidak akan hidup lama, karena
begitu banyak
musuhku."
Kemudian Nagasena, setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan oleh
Raja Milinda, berdiri dari tempat duduknya dan
kembali menuju
pertapaannya.
Tidak lama setelah Nagasena pergi, Raja Milinda
merenungkan
kembali
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban itu
dan menyimpulkan,
"Semuanya
telah aku tanyakan dengan benar dan semuanya
telah dijawab
dengan baik oleh
Nagasena."
Dan di pertapaannya, Nagasena pun merenung dan
menyimpulkan hal
yang sama.
BAGIAN DELAPAN
PENYELESAIAN DILEMA
Setelah merenungkan semalaman mengenai diskusinya
dengan
Nagasena, sang raja
bersumpah pada dirinya sendiri: "Selama 7 hari
mendatang ini
aku tidak akan
memutuskan masalah hukum apapun, aku tidak akan
menyimpan
pikiran yang
bernafsu, pikiran yang berisi kebencian atau
pandangan keliru.
Terhadap
semua pelayan dan pegawai aku akan rendah hati.
Aku akan
memperhatikan
setiap tindak tanduk tubuh dan enam inderaku.
Aku akan mengisi
pikiranku
dengan cinta kasih bagi semua makhluk."
Kemudian raja Milinda berbicara kepada Nagasena
seorang diri.
Raja
mengatakan, "Ada delapan tempat yang harus dihindari
oleh orang
yang ingin
berdiskusi secara mendalam:
1. tanah yang tidak rata di mana masalah yang
didiskusikan
menjadi
tercerai-berai, bertele-tele, menjadi kabur dan
tidak ada
hasilnya;
2. tempat yang tidak aman di mana pikiran menjadi
terganggu
oleh rasa takut
sehingga tidak dapat mencerap maksudnya dengan
jelas;
3. tempat yang berangin di mana suara menjadi
tidak jelas;
4. tempat terpencil di mana mungkin ada orang
yang mencuri
dengar;
5. tempat yang sakral di mana pokok pembicaraan
mungkin menjadi
terbelok ke
situasi sekitarnya yang khidmat;
6. jalanan di mana pembicaraan mungkin menjadi
dangkal;
7. jembatan di mana pembicaraan mungkin menjadi
tidak stabil
dan bergoyang;
dan ...
8. tempat mandi umum di mana pembicaraan akan
menjadi omongan
sehari-hari.
"Juga ada delapan jenis orang, Nagasena, yang
cenderung merusak
suatu diskusi:
1. orang yang penuh nafsu,
2. orang yang pemarah,
3. orang yang tertutup pandangan salah,
4. orang yang sombong,
5. orang yang iri hati,
6. orang yang malas,
7. orang yang fanatik, hanya punya satu ide,
dan ...
8. orang tolol yang patut dikasihani.
Delapan jenis ini adalah perusak perdebatan tingkat tinggi.
"Ada delapan penyebab, Nagasena, yang menyebabkan
berkembangnya
dan
matangnya kebijaksanaan:
l. berlalunya waktu,
2. bertumbuhnya reputasi,
3. seringnya bertanya,
4. bergaul dengan pembimbing spiritual,
5. penalaran dalam diri sendiri,
6. diskusi,
7. bergaul dengan orang-orang yang luhur budi,
dan ...
8. berdiam di tempat yang sesuai.
Tidak ada keberatan tentang tempat di sini ini,
jadi kita dapat
berdikusi,
dan aku adalah murid teladan; aku bisa memegang
rahasia dan
pandangan
terangku matang.
"Inilah, Nagasena, dua puluh lima tugas seorang
guru terhadap
muridnya yang baik:
1. Guru harus selalu melindungi muridnya;
2. memberitahukan apa yang harus dikembangkan,
dan ...
3. memberitahukan apa yang harus dihindari;
4. memberitahukan apa yang harus ditekuni, dan
...
5. memberitahukan apa yang harus diabaikan
6. Guru harus mengajar pentingnya tidur;
7. mengajar agar muridnya menjaga kesehatannya;
8. mengajar tentang makanan apa yang harus dimakan
atau
dihindari;
9. mengajar agar tidak makan berlebihan; dan
...
10. membagi apa yang diperoleh dalam mangkuknya
11. Guru harus membesarkan hati muridnya yang
lemah semangat;
dan ...
12. menasehatinya tentang teman yang cocok, serta
...
13. desa dan vihara mana yang patut dikunjungi.
14. Guru tidak boleh terseret dalam canda atau
percakapan tolol
yang tak
keruan dengan muridnya.
15. Bila guru melihat kelemahan muridnya, ia
harus sabar
terhadapnya.
16. Guru harus rajin;
17. harus hidup sesuai dengan sila;
18. harus patut dihormati; dan ...
19. harus berhati lapang.
20. Guru harus memperlakukan muridnya bagai anak
kandungnya;
21. berjuang untuk membuatnya maju;
22. menguatkannya dalam pengetahuan;
23. mencintainya dan tidak pernah meninggalkannya
saat
dibutuhkan;
24. tidak pernah melalaikan tugas apapun, dan
...
25. membawa muridnya kembali ke jalan yang benar
bila ia
khilaf."
"O, Baginda raja, untuk murid awam, ada sepuluh
sifat ini:
1. Ia harus berbagi suka dan duka Sangha,
2. memegang Dhamma sebagai pembimbingnya,
3. bersukacita dalam memberi sejauh ia mampu,
dan
4. harus berjuang untuk mengembangkan agamanya
jika mulai
pudar.
5. Ia memiliki pandangan benar, dan ...
6. setelah terbebas dari kesenangan akan ritual
(A.iii. 206),
ia tidak
mengejar guru yang lain sekalipun demi
kehidupannya.
7. Ia terus mengamati pikiran, perkataan dan
perbuatannya,
8. ia bersukacita dalam keselarasan, dan ..
9. tidak bias.
10.Dan karena tidak munafik, ia berlindung pada
Buddha, Dhamma,
dan Sangha.
Semua sifat ini ada dalam diri Baginda, dan karenanya
pantas
dan sesuailah
jika Baginda menginginkan agama tumbuh makmur.
Setelah melihat
kemunduran
agama Sang Penakluk ini, Baginda menginginkannya
untuk tumbuh
subur. Saya
ijinkan Baginda bertanya apapun yang Baginda
inginkan."
1. Tentang Penghormatan pada Sang Buddha
"Yang Ariya Nagasena, para pemimpin sekte lain
berkata, 'Jika
Sang Buddha
setuju akan penghormatan dan persembahan, itu
berarti Beliau
tidak
sepenuhnya terbebas dari dunia. Oleh karenanya,
semua pelayanan
yang
diberikan kepada Beliau menjadi kosong dan tidak
ada artinya.'
Uraikanlah kekusutan pandangan yang salah ini,
pecahkanlah
dilema ini dan
berilah pandangan terang bagi putra-putra Sang
Buddha yang akan
datang agar
dapat membuktikan bahwa lawannya itu berpandangan
salah."
"Sang Buddha, O Baginda, telah terbebas sepenuhnya
dan tidak
mempunyai kemelekatan, baik pada persembahan
maupun pada
penghormatan yang
diberikan kepada Beliau."
"Nagasena, seorang anak boleh memuji ayahnya,
atau ayahnya
boleh memuji
anaknya. Tetapi itu bukan dasar yang cukup kuat
untuk
membungkam orang-orang
yang mengkritiknya."
"Sang Buddha sekarang telah mangkat dan tidak
dapat dikatakan
telah menerima
penghormatan dan persembahan yang diberikan kepada
Beliau. Akan
tetapi
perbuatan baik yang telah dilakukan di dalam
nama Sang Buddha
tetap berharga
dan membuahkan hasil yang besar. Bagaikan angin
topan yang
dahsyat dan kuat
bertiup, begitu juga Sang Buddha telah menyapu
dunia dengan
cinta kasihnya
yang begitu melegakan, begitu lembut dan begitu
murni. Bagaikan
orang yang
tersiksa oleh panas dibuai oleh angin yang sejuk,
demikian pula
makhluk yang
tersiksa oleh panasnya nafsu keinginan, kebencian,
dan
kebodohan batin telah
ditentramkan oleh ajaran
Sang Buddha yang mulia. O, Baginda raja yang
mulia, meskipun
Sang Buddha
telah parinibbana, Beliau telah meninggalkan
ajarannya,
muridnya, dan
reliknya yang berharga, yang nilainya berasal
dari kebajikan
luhur,
konsentrasi, kebijaksanaan, dan kebebasan beliau.
Makhluk yang
masih terkena
penderitaan karena dumadi-pun dapat memperoleh
manfaat dari
hal-hal ini,
seperti halnya orang yang mempunyai
kipas masih dapat menikmati angin sepoi meskipun
angin tak lagi
bertiup.
Dan hal ini telah dilihat sebelumnya oleh Sang
Buddha ketika
beliau
bersabda, 'Mungkin Ananda, beberapa dari kalian
akan berpikir,
"Ajaran dari
sang guru telah berakhir; kita tidak lagi mempunyai
guru",
tetapi kamu tidak
boleh menganggap demikian. Dhamma yang telah
dibabarkan olehKu
dan
aturan-aturan yang telah Kugariskan, biarlah
mereka menjadi
gurumu setelah Aku pergi.' (D. ii. 154)
"Dan dengarlah alasan lainnya, O Baginda raja.
Apakah Baginda
pernah
mendengar tentang seorang raksasa bernama Nandaka
yang berani
memukul Bhante
Sariputta, lalu tertelan bumi?"
"Ya, Yang Mulia, itu telah menjadi pengetahuan
umum."
"Tetapi apakah Bhante Sariputta yang menyebabkannya?"
"Bhante Sariputta tidak akan pernah menyetujui
penderitaan
apapun dikenakan
pada semua makhluk hidup, karena beliau tidak
lagi mempunyai
kebencian di
hatinya."
"Tetapi jika Sariputta tidak menyetujuinya, mengapa
Nandaka
ditelan bumi?"
"Itu karena kekuatan perbuatan jahatnya."
"Berapa banyak, O Baginda, orang yang ditelan
bumi?"
"Ada lima, Yang Mulia. Cinca si wanita Brahmin
(Dh.A. iii. 178;
Comp. Dhp.v.
176), Suppabuddha orang Sakya (Dh.A. iii. 44
f; Comp. Dhp. v.
128),
Devadatta (Dh.A.147 f; Comp. Dhp. v. 17), Nandaka
sang raksasa
(Vism.380),
dan Nanda si Brahmana (Dh.A. ii. 49, Comp. Dhp.
69). Mereka itu
semua
ditelan bumi."
"Dan, kepada siapakah, O raja, mereka telah berbuat
salah?"
"Sang Buddha atau murid-murid Beliau."
"Oleh karena itu, O Baginda, suatu tindakan yang
ditujukan
kepada Sang
Tathagata, meskipun Beliau telah meninggal dunia,
tetap ada
nilainya dan
menghasilkan buah."
"Dengan baik pertanyaan yang dalam ini telah
dijawab olehmu,
Nagasena. Bhante telah mengungkapkan apa yang
tadinya
tersembunyi. Bhante
telah menguraikan kekusutannya, menjernihkan
yang pekat,
meluruskan
pandangan yang salah. Oleh Bhante orang-orang
yang picik telah
terselimuti
dalam kegelapan. Bhante memang pemimpin terbesar
dari segenap
pemimpin
aliran."
2. Kemahatahuan Sang Buddha
"Nagasena, apakah Sang Buddha mahatahu?"
"O ya, Baginda, tetapi pandangan terang untuk
pengetahuan tidak
selalu ada
bersama Beliau. Itu tergantung pada perenungan."
"Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha tidak mungkin
mahatahu
kalau
pengetahuannya didapat dari perenungan."
"Saya akan menjelaskan lebih lanjut. Ada tujuh
tingkat kckuatan
mental. Yang
pertama, orang biasa yang penuh dengan nafsu,
kebencian dan
kebodohan batin;
tidak terlatih dalam tindakan, perkataan, dan
pikirannya;
pemikiran mereka
berjalan dengan lambat dan sulit.
Yang kedua, para sotapana, yaitu yang telah masuk
ke Sang
Jalan, yang telah
mencapai pandangan benar, dan telah mengerti
ajaran Sang Guru
dengan benar.
Kekuatan pemikiran mereka berjalan dengan cepat
dan berfungsi
dengan mudah,
sejauh masih berhubungan dengan tiga belenggu
yang pertama
{nafsu, niat
jahat, kesombongan). Tetapi di luar itu,
kekuatan pemikiran mereka berfungsi dengan lambat
dan sulit.
Yang ketiga, para sakadagami, yaitu yang masih
terlahir sekali
lagi. Dalam
diri mereka nafsu dan kebencian telah hilang.
Kekuatan
pemikiran mereka
bekerja dengan cepat dan baik, sejauh masih berhubungan
dengan
lima belenggu
bagian bawah (nafsu, niat jahat, kesombongan,
kepercayaan
adanya diri,
keraguan). Di luar itu sulit dan lambat.
Yang keempat, para anagami, yaitu yang tidak
terlahir lagi.
Pada mereka
nafsu dan kebencian telah lenyap. Kekuatan pemikiran
mereka
berjalan dengan
cepat dan baik sejauh masih berhubungan dengan
sepuluh belenggu
(nafsu, niat
jahat, kesombongan, kepercayaan adanya diri,
keraguan, fanatik
terhadap
upacara dan tradisi, keinginan untuk dumadi,
keirihatian, pertentangan, kebodohan batin).
Tetapi di luar itu
sulit dan
lambat.
Kelima, para Arahat. Pada mereka banjir hawa
nafsu indria,
keinginan untuk kelahiran kembali, kepercayaan
adanya diri, dan
kebodohan
batin telah berhenti. Mereka telah menempuh kehidupan
suci dan
mencapai
tujuan akhir. Kekuatan pemikiran mereka bekerja
dengan cepat,
sejauh masih
berhubungan dengan lingkup murid. Tetapi di luar
itu sulit dan
lambat.
Walaupun mereka sudah amat bijaksana, tetapi
masih belum
mengetahui tentang
kehidupan-kehidupan sebelumnya dan belum mempunyai
pengetahuan akan kemampuan-kemampuan spiritual
para makhluk.
Keenam, para Pacceka Buddha, yang tergantung
pada diri mereka
sendiri saja
dan tidak memerlukan guru. Kekuatan pemikiran
mereka berjalan
dengan cepat,
sejauh masih berhubungan dengan
lingkup mereka sendiri. Tetapi dalam lingkup
yang khusus bagi
Yang Telah
Mencapai Penerangan Sempurna, pemikiran mereka
lambat dan
sulit. Seperti
halnya seseorang yang tak akan ragu menyeberangi
sungai kecil
di tanahnya
sendiri akan ragu bila menyeberangi samudera
luas.
Dan yang terakhir, para Buddha yang Mencapai
Penerangan
Sempurna. Mereka
mempunyai segala pengetahuan, memiliki 10 kekuatan,
4 macam
ketidaktakutan,
dan 18 ciri seorang Buddha. Kekuatan pemikiran
mereka bekerja
cepat tanpa
ada hambatan dalam pengetahuan apapun. Seperti
halnya sebatang
anak panah
akan dengan mudah menembus kain yang tipis, demikian
pula
pengetahuan mereka
tidak ada batasnya dan jauh melebihi 6
tingkat lainnya. Karena pikiran mereka sangat
jernih dan
cerdas, maka para
Buddha itu dapat melakukan Mujijat Kembar. Dari
situ kita hanya
dapat
membayangkan betapa jernih dan aktifnya kekuatan
mereka. Dan
melihat semua
keajaiban ini, tidak ada alasan lain yang dapat
dikemukakan,
kecuali karena
perenungan."
"Tetapi, meskipun demikian, Nagasena, perenungan
dilakukan
dengan tujuan
untuk mengetahui sesuatu hal yang masih belum
jelas sebelum
perenungan
dimulai."
"Seorang yang kaya tidak akan disebut miskin
hanya karena tidak
ada makanan
yang tersedia pada saat seorang kelana tanpa
disangka-sangka
tiba; tidak
juga sebuah pohon yang penuh buah dikatakan mandul
hanya karena
tak ada buah
yang jatuh di tanah. Demikian juga Sang Buddha
benar-benar
mahatahu meskipun
pengetahuannya diperoleh dari perenungan."
3. Pentahbisan Devadatta
"Jika Sang Buddha itu benar-benar mahatahu dan
sekaligus penuh
dengan welas
asih, mengapa Beliau mengijinkan Devadatta masuk
Sangha? Toh,
Devadatta
akhirnya masuk ke neraka selama satu kalpa karena
menyebabkan
perpecahan
Sangha? Jika Sang Buddha tidak tahu apa yang
akan dilakukan
oleh Devadatta
di kemudian hari berarti Beliau tidak mahatahu.
Sebaliknya jika Beliau tahu, berarti tidak penuh
welas asih."
"Sang Buddha benar-benar mahatahu dan sekaligus
penuh welas
asih. Karena
Beliau telah melihat terlebih dahulu bahwa penderitaan
Devadatta akan jadi
terbataslah, maka Beliau mengijinkannya memasuki
Sangha.
Seperti halnya seorang penguasa yang mempunyai
wewenang untuk
mengubah
hukuman mati menjadi hukuman potong tangan dan
kaki, tidak
bertanggung jawab
atas penderitaan dan kesakitan yang tetap harus
dirasakan. Atau
seperti
halnya seorang tabib yang pintar dapat mengurangi
penyakit yang
kritis
menjadi lebih ringan dengan memberikan pengobatan.
Demikian
juga Sang Buddha
mengurangi penderitaan yang akan datang bagi
diri Devadatta
dengan
mengijinkannya memasuki Sangha. Setelah menjalani
penderitaan
dalam neraka
selama satu kalpa, Devadatta kemudian akan bebas
dan menjadi
Pacekka Buddha
yang bernama Atthissara."
"Sungguh besar anugerah yang diberikan pada Devadatta
oleh Sang
Buddha,
Nagasena. Sang Tathagata menunjukkan jalan baginya
ketika
tersesat di rimba
belantara. Beliau memberikan tumpuan yang kokoh
ketika
Devadatta terjatuh.
Tetapi alasan dan maksud dari semuanya itu hanya
dapat
ditunjukkan oleh
orang sebijaksana Bhante!"
4. Penyebab-penyebab gempa bumi
"Sang Buddha berkata, Nagasena, bahwa ada delapan
penyebab
gempa yang hebat
(D. ii. 107; A.iv. 312). Tetapi kita dapatkan
ada sembilan yang
disebutkan
di dalam text. Ketika Bodhisatwa Vessantara memenuhi
kesempurnaan kemurahan
hatinya dengan memberikan isteri dan anaknya
sebagai pelayan,
maka bumi juga
bergetar. Jika pernyataan Sang Buddha itu
benar, berarti yang kedua itu salah."
"Kedua pernyataan itu benar, O Baginda. Persembahan
Vessantara
itu tidak
disebutkan sebagai penyebab ke sembilan, karena
hal itu
merupakan suatu
kejadian yang sangat langka. Seperti halnya sebuah
anak sungai
kering yang
biasanya tidak berair tidak akan disebut sungai,
tetapi pada
saat-saat hujan
ia menjadi sungai, demikian juga kebesaran hati
Vessantara
adalah sesuatu
yang amat sangat langka, dan karenanya
dibedakan dari delapan penyebab umum gempa."
"Pernahkah Baginda mendengar dalam sejarah agama
kita, tentang
suatu
tindakan pengabdian yang berbuah pada kehidupan
sekarang ini
juga?"
"Ya, Bhante Nagasena, ada tujuh macam kasus semacam
itu:
Sumana, si pembuat
karangan bunga (Dh.A.ii. 40 f; Dhp. v. 68), Ekasataka
sang
brahmana
(Dh.A.iii. 1; Dhp.v.ll 6), Punna si pekerja ladang
(Dh.A.iii.
302 f; Dhp. v.
223), Malika sang ratu (Ja. iii. 405; Dhp. v.
117), Ratu yang
dikenal
sebagai ibu dari Gopala (AA. i. 207.f), Suppiya
wanita yang
penuh pengabdian
(Vin.i. 217-218 : Setelah berjanji mempersembahkan
daging untuk seorang bhikkhu namun ia tidak berhasil
membelinya
maka ia
memotong pahanya sendiri untuk dipersembahkan
kepada bhikkhu
tersebut.
Ketika Sang Buddha menemuinya, luka tersebut
menjadi sembuh
langsung), dan
Punna si budak wanita (Dh.A. iii. 321; Dhp. v.226)."
"Tetapi sudah pernahkah Baginda mendengar bahwa
tanah ini
bergetar sekali
dua ketika suatu persembahan diberikan?"
"Belum, Yang Mulia, saya belum pernah mendengar
hal itu."
"Saya pun, Baginda raja, tidak pernah mendengar
hal seperti itu
meskipun
saya telah dengan sungguh-sungguh belajar dan
siap untuk
belajar, kecuali
dalam kasus persembahan luar biasa yang dilakukan
oleh
Vessantara.
Bukan hanya karena usaha yang biasa saja bumi
ini dapat
bergetar, O Baginda. Hanyalah ketika bumi terbebani
oleh
kekuatan kebajikan,
dikalahkan oleh kekuatan tindakan-tindakan yang
baik dan
terbukti sepenuhnya
murni, maka barulah bumi yang luas ini bergempa
dan bergetar,
karena tak
sanggup menahan beban kekuatan itu. Dan ketika
Vessantara
memberikan
persembahannya, O Baginda raja, ia memberikan
segala sesuatunya
bukan demi
kelahiran kembali yang mulia,
bukan demi kekayaan di masa mendatang, bukan
untuk mengharap
imbalan hadiah,
dan bukan untuk pujian atau keuntungan pribadi
lainnya. Hanya
demi
kebijaksanaan sejatilah ia memberikan semuanya
itu."
5. Pernyataan Kebenaran
"Raja Sivi memberikan matanya kepada seseorang
yang memintanya
dan kemudian
dia mempunyai mata baru yang muncul sebagai gantinya
(Ja. No.
499).
Bagaimana hal ini mungkin?"
"Karena kekuatan kebenaranlah hal itu terjadi.
Seperti halnya
ahli kebatinan
yang membaca kebenaran dapat membuat hujan
turun, mengusir api
atau
menetralkan racun."
"Ketika Asoka, penguasa yang jujur itu suatu
hari berdiri di
antara penduduk
kota Pataliputta, ia berkata kepada menterinya:
'Adakah orang
yang dapat
membuat sungai Gangga ini mengalir balik arah
dan melawan
arus?' Kemudian
seorang pelacur yang bernama Bindumati, yang
ada di antara
kerumunan itu,
melakukan tindakan kebenaran. Dan pada saat itu
juga sungai Gangga yang besar itu bergemuruh
dan bergelombang
membalik arah
di depan mata semua orang. Dan Sang Raja yang
terperangah
mencari wanita
yang menyebabkan hal itu terjadi dan bertanya
padanya 'Tindakan
kebenaran
apa yang telah kau lakukan untuk dapat melakukan
hal ini?' Si
wanita
menjawab, 'Siapapun yang membayar saya, tak peduli
apakah ia
seorang brahmana, ningrat, pedagang atau pelayan,
saya
perlakukan mereka
semua sama sederajat. Bebas dari bias saya melayani
mereka
sesuai dengan apa
yang telah dibayarkan kepada saya. Inilah dasar
dari tindakan
kebenaran yang
saya lakukan untuk dapat membalik aliran sungai
Gangga.'
"Tidak ada kekuatan biasa yang dapat menyebabkan
hal-hal
semacam itu
terjadi, hanyalah kekuatan kebenaran itu sendiri
yang merupakan
penyebabnya.
Dan tidak ada alasan untuk merealisasikan Empat
Kesunyataan
Mulia selain
dari kekuatan kebenaran itu sendiri."
6. Dilema seputar kehamilan
"Sang Buddha bersabda bahwa kehamilan terjadi
di rahim dengan adanya tiga
penyebab: persetubuhan yang dilakukan orang tua,
kesuburan sang ibu, dan
seorang makhluk untuk dilahirkan (M.i.265; M.
ii. 157). Tetapi Beliau juga
berkata bahwa ketika pertapa Dukala menyentuh
pusar seorang wanita pertapa
yang bernama Parika dengan ibujarinya, bayi Sama
terkandung (Ja. No. 540).
Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka
pernyataan yang kedua pasti salah."
"Kedua pernyataan itu benar, O Baginda raja,
tetapi Baginda jangan berpikir
bahwa ada pelanggaran dalam kasus kedua. Sakka,
raja para dewa, setelah
melihat terlebih dahulu bahwa para pertapa yang
luhur tersebut akan menjadi
buta, meminta mereka untuk mempunyai anak lelaki.
Tetapi kedua pertapa itu
tidak mau melakukan hubungan seksual sekalipun
untuk
menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Maka Sakka
turut campur tangan menyuruh
Dukala. Dengan demikian Sama terkandung."
7. Umur Agama
"Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha
bersabda bahwa ajaran yang
murni itu hanya akan bertahan selama 500 tahun.
Tetapi kepada Subaddha
Beliau bersabda, 'Selama para bhikkhu Sangha
masih menjalani kehidupan suci
maka dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.'
Pernyataan-pernyataan ini bertentangan."
"O Baginda, Sang Buddha memang membuat kedua
pernyataan itu, tetapi keduanya
berbeda dalam inti dan arti. Yang satu berhubungan
dengan umur ajaran yang
murni, sedangkan satunya lagi berhubungan dengan
praktek dari kehidupan
agama. Dan dua hal ini jelas sangat berbeda.
Pada saat bersabda tentang 500
tahun itu. Beliau memberikan batasan kepada agama.
Akan tetapi ketika
berbicara kepada Subaddha Beliau menyatakan tentang
apa yang terkandung
dalam agama. Jika murid-murid Sang Buddha terus
berusaha sekuat-kuatnya
dalam lima faktor perjuangan (Padhana: keyakinan,
kesehatan yang baik,
kejujuran, semangat, dan kebijaksanaan); mempunyai
keinginan murni untuk 3
latihan (sila, samadhi, panna); menyempurnakan
diri mereka dalam tindakan
dan nilai-nilai luhur; maka ajaran Sang Penakluk
yang mulia itu akan
bertahan lama dan akan semakin kuat dan kokoh
dengan berjalannya waktu.
Ajaran Sang Buddha, O Baginda raja, berakar pada
praktek. Prakteklah
intinya, dan ajaran itu akan tetap bertahan selama
praktek tidak kendur.
Suatu ajaran bisa lenyap karena tiga hal:
1. mundurnya pencapaian pandangan terang di dalam
ajaran itu,
2. mundurnya praktek yang berhubungan dengan
ajaran itu, dan
3. mundurnya bentuk luar ajaran itu.
Bila pengertian intelektual hilang, maka meskipun
orang yang sudah menjalani
hidup dengan benarpun tidak mempunyai pengertian
yang jelas tentang ajaran
itu. Dengan mundurnya praktek, penerapan aturan
Vinaya akan hilang dan hanya
bentuk luar agama itu saja yang tertinggal. Bila
bentuk luar itu lenyap maka
tradisi itu terputus dan tidak akan dapat
berlanjut."
8. Kemurnian Sang Buddha
"Jika Sang Tathagata telah menghancurkan semua
yang tidak baik didalam
dirinya saat mencapai kemahatahuan, mengapa Beliau
terluka oleh pecahan batu
yang dilemparkan oleh Devadatta? Jika Beliau
dapat terluka, maka Beliau
tidak dapat dikatakan telah terbebas dari segala
kejahatan, karena tidak
akan ada perasaan tanpa adanya kamma. Semua perasaan
berakar pada kamma dan hanya dengan pengaruh
kammalah perasaan timbul."
"Tidak, Baginda raja yang mulia, tidak semua
perasaan mempunyai akar pada
kamma. Ada delapan penyebab timbulnya perasaan:
1. angin yang berlebihan;
2. cairan empedu yang berlebihan;
3. lendir yang berlebihan;
4. campuran dari tiga cairan tubuh;
5. variasi temperatur;
6. stress lingkungan;
7. pengaruh luar; dan ...
8. kamma.
Siapapun yang berkata, 'Hanyalah kamma yang mengatur
makhluk', berarti dia
tidak mengikutsertakan tujuh penyebab lainnya.
Dan karena itu, pernyataannya
itu salah.
Bila unsur angin dalam diri seseorang terganggu,
gangguan itu dapat terjadi
karena salah satu dari 10 penyebab:
1. karena dingin;
2. karena panas;
3. karena lapar;
4. karena haus;
5. karena terlalu banyak makan;
6. karena berdiri terlalu lama;
7. karena pengerahan tenaga yang berlebihan;
8. karena berlari;
9. karena pengobatan medis; atau ...
10. karena akibat dari kamma.
Empedu dapat terganggu karena tiga hal: karena
dingin; karena panas; atau
karena makanan yang tidak tepat. Lendir dapat
terganggu karena tiga hal:
karena dingin; karena panas; atau karena makan
dan minum. Bila
ketiga-tiganya yang terganggu ini bercampur,
terjadi rasa sakit tersendiri.
Kemudian ada rasa sakit yang timbul dari variasi
temperatur, stress
lingkungan, dan pengaruh-pengaruh luar. Kemudian
ada juga rasa sakit yang
disebabkan oleh kamma.
Jadi rasa sakit yang disebabkan oleh kamma jauh
lebih sedikit
daripada rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyebab-penyebab
lainnya.
Orang yang salah pandangan sudah keterlaluan
bila mengatakan bahwa segala
sesuatu yang dialami itu disebabkan oleh kamma.
Tanpa pandangan terang dari
seorang Buddha, tidak ada yang dapat menentukan
jangkauan dari kamma. Dan
ketika kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan
batu, rasa sakitnya berasal
dari pengaruh luar. Tetapi meskipun Sang Buddha
tidak pernah menderita rasa
sakit yang disebabkan oleh kamma Beliau sendiri,
atau karena stress
lingkungan, Beliau tetap menderita rasa sakit
yang disebabkan oleh salah
satu dari enam penyebab rasa sakit yang lain.
Dan, O Baginda, seperti yang
disabdakan oleh Sang Buddha, 'Ada beberapa rasa
sakit yang timbul di dunia ini, Sivaka, dari
humor yang menyakitkan. Dan
engkau harus tahu apa humor itu karena
itu hanyalah persoalan pengetahuan biasa saja.
Para pertapa dan Brahmana
yang berpendapat dan menyatakan pandangan bahwa
semua perasaan yang dialami
itu disebabkan oleh tindakan yang lalu, mereka
sudah melewati batas
kepastian dan pengetahuan, dan karenanya Aku
katakan bahwa mereka itu
salah."' (S. iv. 230 f, Moliya Sivaka Sutta)
9. Kesempurnaan Sang Buddha
"Jika Sang Tathagata telah mencapai segalanya
di bawah pohon bodhi, mengapa
Beliau menghabiskan waktu 3 bulan lagi dalam
kesendirian?" (Comp. Dhp. v. 6)
"O Baginda raja, meditasi kesendirian mempunyai
banyak manfaat. Semua
Tathagata mencapai kebuddhaan dan kemudian mempraktekkannya
pada umat
manusia dengan tujuan untuk berterimakasih atas
manfaat yang didapat. Ada
dua puluh delapan keuntungan dari kesendirian:
1. kesendirian membimbing seseorang;
2. meningkatkan usia kehidupannya;
3. memberikan semangat;
4. menyembunyikan kelemahannya;
5. menghilangkan semua reputasi yang jelek, dan
...
6. membawa kemasyuran;
7. menghancurkan ketidakpuasan, dan ...
8. menumbuhkan kepuasan;
9. menghapuskan ketakutan, dan ...
10. memberi keyakinan;
1 1, menghilangkan kemalasan, dan ...
12. memenuhinya dengan semangat;
13. mengusir nafsu,
14. mengusir kebencian, dan ...
15. mengusir pandangan salah;
16. mengurangi kesombongan;
17. menghalau pikiran yang bercabang-cabang,
dan ...
18. membuat pikiran terpusat;
19. melembutkan pikirannya, dan ...
20. membuatnya ringan hati;
21. membuatnya serius;
22. membawa keuntungan materi;
23. membuatnya patut dihormati;
24. memberikan kegembiraan;
25. mengisinya dengan sukacita;
26. menunjukkan padanya sifat semua bentuk-bentuk
pikiran;
27. menghentikan kelahiran kembali; dan ...
28. memberikan padanya semua buah dari kehidupan
meninggalkan duniawi.
Karena Sang Tathagata mempunyai pemikiran tentang
berbagai
keuntungan inilah maka Beliau mengikuti praktek
kesendirian.
Dan seluruhnya ada empat alasan mengapa Sang Tathagata
mengabdikan diri pada
kesendirian:
1. agar supaya dapat berdiam dalam ketenangan;
2. karena sifat kesendirian yang sama sekali
tak tercela;
3. karena kesendirian merupakan jalan bagi segala
yang luhur tanpa kecuali;
4. karena hal itu telah dipuji dan dimuliakan
oleh semua Buddha.
Bukan karena masih ada yang harus dicapai oleh
para Buddha itu, dan bukan
pula karena masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan
pada apa yang telah
mereka capai, melainkan hanya karena manfaat-manfaat
yang luar biasa itulah
maka mereka berlatih kesendirian."
10. Keseimbangan Sang Buddha
"Sang Buddha bersabda bahwa jika diinginkan, Beliau
dapat hidup sampai satu
kalpa habis (D.ii.103 - Kappa disini berarti
usia manusia rata-rata yaitu
sekitar 100 tahun pada jaman kehidupan Sang Buddha).
Tetapi Beliau juga bersabda bahwa Beliau
akan meninggal 3 bulan kemudian
(D. ii. 119). Bagaimana kedua pernyataan ini
dapat benar semuanya?"
"Kalpa, O raja, dalam hal itu adalah jangka waktu
lamanya
kehidupan seseorang. Dan apa yang disabdakan
oleh Sang Buddha adalah untuk
menunjukkan hebatnya kekuatan kesaktian. Sang
Buddha sudah terbebas
sepenuhnya dari keinginan akan bentuk kehidupan
mendatang apapun. Beliau
bahkan mencelanya dan bersabda, 'Aku tidak menemukan
keindahan sama sekali
dalam bagian terkecil pun dari kehidupan mendatang
sama halnya bahwa bagian
terkecil dari kotoran pun tetaplah berbau busuk."
(A.i.34)
BAGIAN SEMBILAN
11. Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'O, bhikkhu,
dari pengetahuan yang lebih
tinggilah Saya mengajarkan Dhamma.' (A.i.276;
M.ii.9) Tetapi Beliau juga
berkata: 'Setelah Saya tidak ada lagi, Ananda,
bila diinginkan oleh Sangha,
biarlah Sangha menghapus peraturan yang kecil
dan tidak begitu penting.' (D.
ii;154; Vin.ii.287) Apakah itu berarti
bahwa peraturan-peraturan itu ditetapkan secara
salah dan tanpa sebab yang
tepat?"
"O, Baginda, ketika Sang Buddha berkata,"Biarlah
Sangha menghapus peraturan
yang minor dan tidak begitu penting', itu dikatakan
untuk menguji para
bhikkhu. Seperti halnya seorang raja pada waktu
akan mangkat akan menguji
putra-putranya dengan berkata: 'Daerah-daerah
di luar kerajaanku akan
berada dalam bahaya keruntuhan setelah aku mangkat.'
Nah, setelah
ayahandanya mangkat, apakah para putra raja itu
akan begitu saja mau kehilangan daerah-daerah
di luar kerajaan?"
"Tentu saja tidak, Bhante. Para raja mempunyai
keinginan
menguasai. Karena nafsu akan kekuasaan, para
pangeran mungkin justru akan
melebarkan daerah kekuasaannya dua kali lipat
dari apa yang telah mereka
miliki, tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu
saja kehilangan apa yang
telah mereka miliki."
"Begitu pula, Baginda, para putra Sang Buddha,
karena semangat akan Dhamma
mereka mungkin akan mempertahankan bahkan lebih
dari seratus lima puluh
peraturan (diluar 75 peraturan kecil terdapat
152 peraturan kebhikkhuan -
Patimokkha), tetapi mereka tidak akan pernah
mau begitu
saja kehilangan apa yang telah ditetapkan."
"Bhante Nagasena, ketika Sang Buddha mengacu
pada 'Peraturan yang Kecil dan
Tidak Begitu Penting' orang mungkin merasa ragu-ragu,
yang mana peraturan
yang dimaksud itu."
"Tindakan yang berkenaan dengan salah-melakukan
(Dukkata-pelanggaran 75
latihan dan peraturan lainnya yang relatif kecil)
merupakan peraturan yang
tidak begitu penting, dan salah-berucap (Dubbhasita)
mengacu pada peraturan
minor. Para tetua yang bertemu dalam Konsili
Buddhis Pertama juga tidak satu
pendapat mengenai hal ini."
12. Ajaran Rahasia
"Sang Buddha berkata kepada Ananda, 'Sehubungan
dengan Dhamma, Sang
Tathagata bukanlah seorang guru yang merahasiakan
sesuatu dalam genggamannya
sendiri.' (D. ii. 100; S.v. 153) Tetapi ketika
Beliau ditanya oleh
Malunkyaputta, Beliau tidak menjawab (M. ii.
Sta. 63).
Apakah Beliau tidak menjawab karena ketidak-pedulian,
ataukah Beliau hendak
menyembunyikan sesuatu?"
"O, Baginda, bukan karena ketidak-pedulian dan
juga bukan karena ingin
menyembunyikan sesuatu maka Beliau tidak menjawab.
Suatu pertanyaan dapat
dijawab dengan satu dari empat cara:
1. secara langsung,
2. dengan analisa,
3. dengan pertanyaan balik, dan
4. dengan mengabaikannya."
"Dan pertanyaan macam apa yang harus dijawab
secara langsung?"
'Apakah materi itu kekal? Apakah perasaan tubuh
itu kekal? Apakah pencerapan
itu kekal?' Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab
secara langsung."
"Dan apa yang harus dijawab dengan analisa?"
'Apakah yang tidak kekal itu materi?'
"Dan apa yang harus dijawab dengan pertanyaan
balik?"
'Apakah mata dapat mencerap segala sesuatu?'
"Dan apa yang harus diabaikan?"
'Apakah dunia itu abadi? Apakah dunia itu tidak
abadi? Apakah Sang Tathagata
ada setelah kematiannya? Apakah Sang Tathagata
tidak ada setelah
kematiannya? Apakah jiwa sama dengan tubuh? Apakah
tubuh itu satu hal dan
jiwa itu hal lain?' Pada pertanyaan-pertanyaan
demikianlah maka Sang Buddha
tidak memberi jawaban pada Malunkyaputta. Tidak
ada alasan untuk
menjawabnya. Para Buddha tidak berbicara tanpa
alasan."
13. Rasa Takut terhadap Kematian
"Sang Buddha bersabda, 'Semuanya gemetar karena
hukuman, semuanya takut akan
kematian.' (Dhp. v. 129) Tetapi Beliau juga berkata,'
Arahat telah melewati
semua rasa takut.' (A.ii. 172) Jadi bagaimana?
Apakah para Arahat juga
gemetar karena ketakutan akan kematian? Atau
apakah para makhluk di neraka
takut akan kematian padahal lewat itu mereka
mungkin
dapat terbebaskan dari siksaan?"
"0, Baginda, tidaklah menyangkut para Arahat
ketika Sang Buddha berkata,
'Semuanya gemetar karena hukuman, semuanya takut
akan kematian.' Seorang
Arahat merupakan perkecualian dari pernyataan
itu karena semua penyebab rasa
takut telah dihilangkan olehnya. Misalnya saja,
O Baginda, seorang raja
mempunyai empat menteri utama yang setia dan
dapat dipercaya; apakah mereka
akan merasa takut bila raja mengeluarkan perintah
yang mengatakan, 'Semua
orang di daerahku harus
membayar pajak?"
"Tidak, Bhante Nagasena. Mereka tidak akan merasa
takut karena pajak tidak
berlaku untuk mereka. Mereka berada di luar perpajakan."
"Begitu juga, O Baginda, prnmyataan, 'Semuanya
gemetar karena
hukuman, semuanya takut akan kematian', tidak
berlaku untuk para Arahat
karena mereka berada di luar rasa takut akan
kematian. Ada lima cara, O
Baginda, di mana arti suatu pernyataan harus
ditegaskan:
1. Membandingkannya dengan text yang dikutip;
2. Lewat 'selera', yaitu apakah sesuai dengan
text-text lain?;
3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?;
4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu,
apakah sesuai dengan
pengalamanku sendiri?;
5. Dengan gabungan semua cara itu.
"Baiklah, Bhante Nagasena, saya menerima bahwa
para Arahat merupakan
perkecualian bagi pernyataan itu, tetapi tentunya
semua makhluk di neraka
tak mungkin merasa takut akan kematian karena
lewat itu maka mereka akan
terbebas dari siksaan."
"Mereka yang berada di neraka merasa takut akan
kematian, O Baginda, karena
kematian merupakan kondisi di mana mereka yang
belum melihat Dhamma merasa
takut. Seandainya, O Baginda, seorang tawanan
yang ditaruh di ruang bawah
tanah harus menghadap raja yang berkehendak akan
membebaskannya, apakah
tawanan itu merasa takut menghadap raja?"
"Ya, dia akan merasa takut."
"Begitu juga, O Baginda, semua makhluk di neraka
merasa takut akan kematian
walaupun mereka akan memperoleh kebebasan dari
siksaan."
14. Perlindungan dari Kematian
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Tidak di langit,
tidak di tengah samudera,
tidak di celah gunung yang paling terpencil,
tidak di seluruh dunia yang
luas ini dapat ditemukan tempat di mana orang
dapat lolos dari jerat
kematian." (Dhp. v. 128) Tetapi syair perlindungan
(paritta) diberikan oleh
Sang Buddha untuk melindungi mereka yang berada
dalam bahaya. Jika tidak ada
jalan untuk menghindari kematian, maka upacara
Paritta itu tidak ada gunanya."
"Syair-syair Paritta, O Baginda, dimaksudkan
bagi mereka yang
masih mempunyai sisa porsi kehidupan. Tidak ada
upacara maupun sarana buatan
yang bisa memperpanjang kehidupan seseorang yang
jangka waktu kehidupannya
telah habis."
"Tetapi, Bhante Nagasena, jika orang yang faktor-faktor
kehidupannya masih berjalan akan tetap hidup,
dan orang yang tidak memiliki
faktor-faktor itu tadi akan mati, maka baik obat
maupun Paritta sama-sama
tidak ada gunanya."
"Tetapi, telah pernahkan Baginda melihat
atau mendengar kasus suatu
penyakit yang dapat disembuhkan oleh obat?"
"Ya, ratusan kali."
"Kalau demikian, pernyataan Baginda tentang ketidakmujaraban
Paritta dan obat pastilah salah."
"Bhante Nagasena, apakah Paritta merupakan perlindungan
bagi
setiap orang?"
"Hanya bagi beberapa, tidak bagi setiap orang.
Ada tiga alasan di mana
Paritta tidak bekerja:
1. halangan karena kamma masa lampau;
2. halangan karena kekotoran batin masa kini,
dan
3. halangan karena kurangnya keyakinan.
Paritta yang merupakan perlindungan bagi para
makhluk akan kehilangan
kekuatannya karena cacat mereka sendiri."
15. Kekuatan Mara
"Walaupun Bhante mengatakan bahwa Sang Tathagata
selalu mendapat makanan
waktu pindapata(A.ii. 87), tetapi ketika memasuki
desa Pancasala Beliau
tidak menerima apa-apa karena adanya gangguan
Mara.(S.i. 113 f; Dh.A.iii.
257) Apakah kekuatan Mara lebih besar daripada
kekuatan Sang Buddha, ataukah
kekuatan kebatilan lebih kuat daripada kekuatan
kebajikan?"
"Raja yang Agung, walaupun apa yang Baginda katakan
itu benar
adanya, tetapi itu belum cukup kuat untuk menegaskan
pernyataan Baginda.
Umpamakan seorang penjaga gerbang di suatu
kerajaan yang besar. Dia mungkin
mencegat orang yang akan membawakan hadiah untuk
raja karena dia iri, tetapi
toh sang raja tidak akan menjadi kalah berkuasa
dibandingkan
dengan penjaga gerbang itu. Ada empat cara menghalangi
suatu pemberian:
1. Menghalangi pemberian yang belum dimaksudkan
untuk satu orang tertentu;
2. Menghalangi pemberian yang sudah disisihkan
untuk orang tertentu;
3. Menghalangi pemberian yang sudah disiapkan
untuk seseorang, dan
4. Menghalangi rasa gembira yang timbul karena
memberi seseorang.
Dalam hal yang Baginda sebutkan, pemberian itu
bukanlah dimaksudkan khusus
untuk Sang Buddha, karena bila memang sudah ditujukan
khusus, tak ada
seorangpun yang dapat menghalanginya."
"Ada empat hal, O Baginda, sehubungan dengan
Tathagata dimana tak seorangpun
dapat melakukan hal yang merugikan:
1. pemberian makanan yang sudah dimaksudkan untuk
Beliau;
2. sinar yang mengelilingi Beliau sejauh sedepa;
3. kemahatahuan Beliau; dan
4. kehidupan Beliau.
Hal-hal itu terbebas dari cacat dan tidak dapat
diserang makhluk lain dan
tidak dapat diganggu. Ketika Mara menguasai para
perumah tangga di desa
Pancasala, itu bagaikan perampok-perampok yang
mengepung jalan besar sambil
bersembunyi di tempat-tempat yang tidak dapat
dicapai. Tetapi jika raja
melihat mereka, menurut Baginda apakah mereka
akan
selamat?"
"Tidak, Bhante. Raja mungkin menyuruh agar mereka
dipotong hancur."
"Begitu pula, O Baginda, jika Mara menciptakan
penghalang bagi makanan yang
telah dikhususkan untuk Sang Buddha, kepalanya
akan hancur menjadi ribuan
keping."
16. Pengetahuan akan Kelakuan yang Salah
"Disabdakan oleh Sang Buddha, "Siapa pun yang
karena kebodohannya
menghilangkan kehidupan makhluk lain, berarti
dia menumpuk karma buruk yang
besar.' Tetapi di dalam peraturan latihan untuk
para bhikkhu, Beliau
mengatakan, 'Tidak ada pelanggaran kalau dia
tidak tahu.' (Vin.iii. 78; iv.
49) Bagaimana mungkin kedua pernyataan ini benar?"
"Ada pelanggaran-pelanggaran dimana tidak ada
jalan keluarnya
walaupun orang tidak tahu, dan ada pelanggaran-pelanggaran
yang memiliki
jalan keluar. (Bandingkan, Pacittiya 51 minum
minuman keras adalah
pelanggaran walaupun tidak diketahui; Pacittiya
62 - mempergunakan air yang
mengandung mahluk hidup di dalamnya adalah pelanggaran
bila telah diketahui
sebelumnya) Pelanggaran yang kedualah yang dimaksudkan
Sang
Buddha ketika Beliau berkata bahwa tidak ada
pelanggaran jika dia tidak tahu."
17. Sang Buddha tidak memiliki sifat ingin memiliki
"Sang Buddha mengatakan, "Sang Tathagata tidak
berpikir bahwa
Beliau seharusnya memimpin Sangha atau bahwa
Sangha tergantung kepada
Beliau. '(D. ii. 100; M.i. 459) Tetapi mengenai
Buddha Metteyya Beliau
mengatakan, 'Dia akan menjadi pemimpin suatu
Sangha yang terdiri dari
beberapa ribu seperti halnya Saya sekarang pemimpin
Sangha beberapa
ratus'."(D. iii. 76)
"Oh, Baginda, suatu pengertian kadang-kadang
sudah tercakup dalam satu
bagian, sedangkan dalam bagian yang lain tidak.
Bukan Sang Tathagata yang
mencari pengikut, tetapi para pengikutlah yang
mencari Beliau. 'Ini milikku'
hanyalah merupakan pendapat umum, itu bukanlah
kebenaran tertinggi.
Kecintaan adalah bentuk pikiran yang sudah disingkirkan
oleh Sang Tathagata.
Beliau telah menyingkirkan sifat memiliki, Beliau
telah terbebas dari
pandangan salah 'Ini milikku '.
Beliau hidup hanya untuk membantu orang lain.
Seperti halnya awan besar yang
membawa hujan, O Baginda; ia mencurahkan hujan
dan memberikan makanan kepada
rumput dan pohon, kepada ternak dan manusia,
dan semua makhluk hidup
bergantung kepadanya. Tetapi awan itu tidak memiliki
perasaan rindu akan ide
"Ini adalah milikku". Begitu juga Sang Tathagata
mengajarkan kepada semua makhluk mengenai sifat-sifat
baik dan
mempertahankan mereka dalam kebajikan, dan semua
makhluk bergantung kepada
Beliau, tetapi Beliau tidak memiliki konsep kepemilikan
karena Beliau telah
meninggalkan semua pandangan-pandangan salah
mengenai diri."
18. Kesatuan Sangha
"Bhante katakan bahwa Sangha Sang Tathagata tidak
akan pernah bisa
dipecahbelah (D. iii. 172). Tetapi Devadatta
dapat membawa pergi lima ratus
orang bhikkhu dari Sang Buddha" (Vin.ii. 198).
"Perpecahan itu terjadi karena kekuatan memecah-belah.
Seorang ibu pun dapat
terpisah dari anaknya bilamana ada orang yang
membuat keretakan. Tetapi
bahwa Sangha Sang Tathagata tidak dapat dipecahkan
itu dikatakan dalam
pengertian khusus.Belum pemah terdengar bahwa
pengikut
Beliau dapat dipecah-belahkan oleh sesuatu yang
dilakukan Sang Tathagata,
atau oleh kata yang tidak baik, tindakan yang
salah atau ketidakadilan dari
Sang Tathagata sendiri. Dalam pengertian itulah
pengikutnya tidak
tergoyahkan."
BAGIAN SEPULUH
19. Dhamma-lah yang Terbaik
"Dikatakan oleh Sang Buddha, 'Karena Dhamma-lah, O Vasettha,
yang terbaik di
dunia ini' ( D. iii. 93 ). Tetapi Bhante mengatakan bahwa
seorang umat awam
yang saleh yang telah memasuki tingkat sotapana harus
menghormat kepada
seorang samanera, meskipun samanera itu belum mencapai tingkat
spiritual
yang sedemikian. Jika memang Dhamma-lah yang terbaik, maka
kebiasaan seperti
itu tidaklah tepat."
"O Baginda raja, ada alasan bagi kebiasaan semacam itu. Ada 28
sifat
kepribadian dan 2 tanda luar yang membuat seorang pertapa patut
dihormati.
1. Ia bersukacita dalam Dhamma yang luar biasa,
2. Ia mempunyai kontrol diri yang sangat tinggi,
3. Ia mempunyai tingkah laku yang baik, karena cara hidupnya
dengan
pindapatta,
4. Ia tidak minum minuman keras,
5. Ia mengendalikan indrianya,
6. Ia sabar,
7. Ia lembut,
8. Ia hidup sendiri,
9. Ia menikmati kesendirian,
10. Ia bersukacita dalam meditasi,
11. Ia memiliki rasa malu untuk berbuat salah,
12. Ia memiliki rasa takut akan akibat perbuatan salah,
13. Ia bersemangat,
14. Ia tekun,
:
15. Ia menjalankan peraturan,
16. Ia membaca kitab suci,
17. Ia bertanya kepada yang mengerti tentang apa yang
dipelajarinya
18. Ia bersukacita dalam nilai-nilai luhur,
19. Ia tidak berumah tangga dan karena itu terbebas dari
kemelekatan
duniawi,
20. Ia melaksanakan peraturan.
Dan dia mempunyai 2 tanda luar - yaitu kepala yang tercukur
bersih dan
berjubah kuning. Dalam latihan dan perkembangan seperti inilah
seorang
pertapa hidup. Dengan berlatih dan mengembangkan nilai-nilai
luhur sebagai
pertapa ia maju menuju tingkat Arahat. Karena itu, melihat
samanera sebagai
orang yang berkawan dengan mereka yang sangat patut
dihormati, maka orang awam yang saleh berpikir bahwa benar dan
patutlah
tindakannya menghormat seorang pertapa meskipun mungkin ia
hanyalah orang
biasa. Apalagi, O Baginda, juga karena melihatnya sebagai orang
yang
memegang aturan vihara, maka seorang umat awam menghormati
pertapa.
Dan jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, hanya dua
tujuan yang
menantinya: ia harus masuk Sangha pada hari itu juga, atau ia
harus mencapai
parinibbana. Tidak tergoyahkan, O Baginda, keadaan meninggalkan
kehidupan
duniawi, dan hebat serta sangat mulia kondisi masuk dalam
Sangha Sang Buddha."
20. Cinta Kasih Sang Buddha
"Bhante mengatakan bahwa Sang Tathagata melindungi makhluk
hidup dari bahaya
dan memberkati mereka dengan kebaikan. Akan tetapi ketika Sang
Buddha sedang
membabarkan Dhamma pada para bhikkhu tentang kiasan api yang
membara ( A.
iv. 128 - 135 ), darah panas tersembur dari mulut 60 orang
bhikkhu. Dengan
pembabaran ajaran ini mereka mengalami hal yang mencelakakan
dan tidak baik.
Jadi pernyataan Bhante itu salah."
"Apa yang terjadi pada diri mereka itu disebabkan oleh
perbuatan mereka
sendiri."
"Tetapi, Bhante Nagasena, seandainya saja Sang Tathagata tidak
membabarkan
ajaran tersebut, apakah mereka akan muntah darah panas?"
"Tidak. Ketika mereka menerima secara salah apa yang
dibabarkan, maka api
itu menyala dalam diri mereka."
"Kalau begitu berarti Sang Tathagata-lah yang menjadi penyebab
utama yang
menghancurkan mereka. Seandainya ada seekor ular yang sedang
melata di
sarang semut, dan ada orang yang memerlukan tanah datang untuk
mengambil
tanah. Lalu sebagai akibatnya ular itu mati karena terpendam
dan tidak dapat
bernafas, tidakkah hal itu berarti bahwa sang ular mati
karena ulah orang tersebut?"
"Ya, Baginda. Tetapi ketika Sang Tathagata membabarkan ajaran,
Beliau tidak
melakukannya dengan kebencian. Beliau membabarkan dengan
keadaan yang sama
sekali bebas dari kedengkian. Mereka yang berlatih dengan benar
akan
mencapai penerangan, tetapi mereka yang salah, akan jatuh.
Seperti halnya, O
Baginda, ketika sebatang pohon mangga digoncang, maka buah yang
tangkainya
kuat tetap bertahan tak terganggu,
sedangkan yang tangkainya busuk akan jatuh ke tanah."
"Kalau begitu, tidakkah para bhikkhu tersebut jatuh karena
ajaran tersebut?"
"Dapatkah seorang tukang kayu yang membiarkan kayu tergeletak
saja tanpa
melakukan apapun mengharapkan kayu tersebut lurus dan dapat
bermanfaat?"
'Tidak, Yang Mulia."
"Demikian juga, O Baginda, dengan hanya mengamati para muridnya
saja Sang
Tathagata tidak dapat membuka mata mereka yang sudah siap untuk
melihat,
Tetapi dengan menyingkirkan mereka.yang salah menangkap ajaran,
Beliau
menyelamatkan mereka yang sudah siap untuk diselamatkan. Dan
karena
kesalahan diri sendirilah maka mereka yang berpikiran jahat
terjatuh."
21. Kerendahan Hati Sang Buddha
"Ini juga telah disabdakan oleh Sang Buddha:
'Mengendalikan badan
adalah baik,
Baik pula mengendalikan ucapan,
Mengendalikan pikiran adalah baik,
Baik pula mengendalikan segala hal.'
(S.i.73; Dhp. v. 361)
"Tetapi ketika Sang Tathagata duduk di antara 4 kelompok
(bhikkhu,
bhikkhuni, umat awam pria, umat awam wanita) Beliau menunjukkan
kepada
Brahmana Sela sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di
depan umum,
yaitu alat
vital pria yang tersembunyi dalam selaput tipis (M.ii.Sta. 92;
Sn. 103).
Jika Beliau melakukan hal itu, berarti pernyataan yang pertama
tersebut
salah."
"Sang Buddha memang menunjukkan pada Sela si Brahmana sesuatu
yang tidak
boleh dipertontonkan di depan umum. Tetapi hal itu Beliau
lakukan dengan
kekuatan kesaktian dalam bentuk bayangan; dan hanya Sela yang
dapat
melihatnya. Pada Sela yang masih ragu terhadap Sang Tathagata,
Sang Guru
menunjukkan gambar alat vital pria yang tersembunyi dalam
selaput tipis tersebut untuk menyadarkannya terhadap kebenaran.
Sang
Tathagata, O Baginda, sangat pandai dalam hal sarana. 'Untuk
mencemooh
kecantikan jasmani, Sang Guru membawa Bhante Nanda ke alam dewa
untuk
melihat wanita-wanita yang cantik di sana (Ja. ii. 92-94), dan
dengan
sehelai kain putih Beliau menyadarkan Bhante Culapanthaka
terhadap
kekotoran tubuh" (Ja. i. 116ff)
22. Perkataan Sang Buddha yang Sempurna
"Yang Mulia Sariputta siswa utama berkata, 'Sang Tathagata itu
sempurna
dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan dalam perkataan Sang
Tathagata.
Mengenai perkataanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati
dengan tujuan
agar orang lain tak akan melihat kesalahannya.' ( D. iii. 217
). Jadi
mengapa Sang Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan keras
terhadap
Sudinna si Kalanda dan menyebutnya orang bodoh?" (Vin. iii. 20)
"Itu semua bukan dengan kekasaran, O Baginda raja, tetapi
semata-mata untuk menunjukkan kepadanya, dengan cara yang tidak
merugikan
dia, tentang sifat tingkah lakunya yang tolol dan ceroboh. Jika
orang dalam
kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman tentang Empat
Kesunyataan
Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka. Sang Buddha menggunakan
kata-kata
kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan mengingatkan orang
lain semata-mata
untuk menghancurkan penyakit ketidakbajikan. Kata-kata Beliau,
meskipun
dengan nada yang keras, melunakkan kesombongan orang dan
membuat mereka
rendah hati. Kata-kata
Beliau penuh dengan kasih sayang dan dimaksudkan agar
bermanfaat. Sama
seperti kata-kata seorang ayah pada anaknya."
23. Pohon yang Berbicara
"Sang Tathagata bersabda:
'Brahmana! Mengapa engkau bertanya, pada benda yang tak sadar
yang tidak
dapat mendengarmu ini, bagaimana keadaan hari ini? Engkau yang
aktif, pandai
dan penuh dengan kehidupan, bagaimana kamu dapat berbicara
kepada benda yang
tidak mempunyai indria, pada pohon Palasa liar ini?' (Ja. iii.
24)
"Tetapi pada kesempatan lain Sang Tathagata berkata:
'Dan kemudian pohon aspen tersebut menjawab, "Aku, Bharadvaja,
dapat
berbicara juga. Dengarkanlah aku".' (Ja. iv. 210)
"Jika, Yang Mulia Nagasena, sebatang pohon merupakan sesuatu
yang tidak
punya kesadaran, maka pernyataan yang kedua ini pasti salah."
"Ketika Sang Buddha menyebut 'pohon aspen', itu hanyalah. cara
berbicara
konvensional, karena meskipun sebatang pohon adalah sesuatu
yang tidak
sadar, kata 'pohon' tersebut ditujukan bagi dewa yang bertempat
tinggal di
situ. Dan ini adalah suatu konvensi yang sudah banyak dikenal.
Seperti
halnya, O Baginda, sebuah kereta yang penuh jagung disebut
'kereta-jagung'
meskipun kereta tesebut tidak terbuat
dari jagung, melainkan dari kayu. Sang Tathagata, ketika
membabarkan Dhamma,
menggunakan juga alat bantu cara percakapan sehari-hari."
24. Santapan Terakhir
"Dikatakan oleh para tetua yang berkumpul pada Konsili Buddhis
Pertama,
'Setelah makan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda si tukang
besi,
demikian yang telah saya dengar, Sang Buddha jatuh sakit.
Beliau merasakan
rasa sakit sampai wafatnya.' ( D. ii. 128 ) Tetapi Sang Buddha
juga
bersabda, 'Dua persembahan makanan ini, Ananda, mempunyai
kebajikan
yang sama dan jauh lebih tinggi nilainya dari pada yang lain:
yaitu makanan
yang sesudah dimakan lalu Sang Tathagata mencapai Penerangan
Sempurna; dan
makanan yang sesudah dimakan lalu Sang Tathagata mencapai
Parinibbana.' (D.
ii. 135)
Tetapi jika rasa sakit yang amat sangat itu menimpanya setelah
makan
persembahan makanan terakhir itu, maka pernyataan yang terakhir
itu pasti
salah."
"Persembahan makanan yang terakhir itu besar manfaatnya karena
Sang
Tathagata lalu mencapai Parinibbana. Bukan karena makanan itu
maka Sang
Buddha jatuh sakit, melainkan karena tubuhnya sangat lemah dan
karena
bertepatan dengan waktu mangkatnya. Dua persembahan makanan ini
merupakan
jasa yang baik dan tidak tertandingi karena adanya pencapaian
sembilan tingkat jhana berturut-turut, dengan urutan maju dan
mundur, yang
terjadi setelah Sang Tathagata makan makanan tersebut."
25. Pemujaan terhadap Relik
"Sang Buddha bersabda, 'Jangan menghalangi dirimu sendiri,
Ananda, dengan
menghormati apa yang tersisa dari Sang Tathagata.' (D. ii.
141).
Tetapi pada kesempatan lain Beliau bersabda, 'Hormatilah relik
dari mereka
yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan
pergi dari dunia
ini ke surga.'(Vv. 75 v 8).
Pernyataan manakah yang benar?"
"Nasihat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O Baginda,
melainkan
hanya kepada para putra Sang Penakluk (para bhikkhu).
Menghormati relik
bukanlah tugas mereka. Memahami hakekat alami dari segala yang
berbentuk,
penalaran (memperhatikan ketidakkekalan dll.), meditasi
pandangan terang,
mengerti inti obyek meditasi, pengabdian kepada kesejahteraan
spiritual
mereka, itulah tugas-tugas bhikkhu.
Seperti halnya, O Baginda, adalah merupakan urusan para
pangeran untuk
belajar seni perang dan hukum wilayah; sementara berternak,
berdagang dan
mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga."
26. Kaki Sang Buddha Terluka
"Bhante berkata bahwa bila Sang Buddha berjalan, bumi ini,
meskipun tidak
sadar, mengisi lubang-lubang yang kosong dan meratakan tanah
yang akan
Beliau pijak (DA. 45). Akan tetapi Bhante mengatakan bahwa ada
pecahan batu
karang yang melukai kakiNya.(Vin. ii. 93) Mengapa pecahan batu
tersebut
tidak minggir dari kakiNya?"
"O Raja, pecahan batu karang itu tidak jatuh dengan sendirinya.
Batu itu
dilemparkan oleh Devadatta. Lalu dua batu karang bersatu untuk
menghentikannya, tetapi ada pecahan yang melesat dan melukai
kaki Sang
Buddha. Sesuatu yang dihentikan dapat dengan mudahnya meleset,
seperti
halnya air yang ditampung di dua tangan dapat dengan mudahnya
mengalir
melalui jari-jari."
27. Pertapa yang Sebenarnya
"Sang Buddha bersabda, 'Orang bisa benar-benar menjadi pertapa
dengan cara
menghancurkan banjir (nafsu indria, keinginan untuk lahir
kembali,
kepercayaan adanya diri dan kebodohan).' (A. ii. 238, Pug. 63).
Tetapi
Beliau juga bersabda, 'Orang dikenal sebagai seorang pertapa
bila mempunyai empat sifat: sabar, sederhana dalam hal makan,
besifat
melepas, dan bebas dari kepemilikan.' (Ku. 5p 204). Nah, ke
empat sifat ini
juga terdapat pada orang-orang yang belum sempurna, pada
orang-orang yang
akar kekotoran batinnya belum seluruhnya tercabut. Ini juga
merupakan
masalah yang bersisi dua."
"Kedua pernyataan ini, O Baginda, memang dibuat oleh Sang
Buddha. Tetapi
yang pertama adalah pernyataan dengan pengertian khusus,
sedangkan yang
kedua adalah tentang ciri-ciri pertapa pada umumnya.'
28. Kesombongan Sang Buddha
"Sang Buddha bersabda, 'Jika ada seseorang yang memuji Aku,
ajaranKu atau
Sangha, kalian tidak boleh menjadi sangat gembira karena pujian
itu.' (D. i.
3; M. i.140). Tetapi, begitu gembiranya Beliau ketika Sela si
Brahmana
memujinya sehingga Beliau membesar-besarkan nilai-nilai
luhurnya sendiri dan
bersabda, 'Aku, Sela, adalah seorang raja, raja
dengan kebenaran tertinggi. Roda kebenaran yang mulia telah
Kuputar - roda
yang tidak akan dapat diputar balik oleh siapapun.' (M. ii.
Sta. 92; Sn.v.
554). Ini juga merupakan masalah bersisi dua."
"Kedua pernyataan itu, O Baginda, betul adanya. Tetapi
pernyataan yang
pertama dibuat untuk menegaskan dan menjelaskan dengan pasti
sifat hakiki
ajaranNya. Yang kedua tidak dikatakan untuk memperoleh
keuntungan, atau
kemasyuran. Juga tidak diucapkan dengan cara yang bercabang,
atau untuk
memperoleh pengikut. Itu dikatakan dengan penuh welas asih dan
merupakan
pengetahuan, yang menyebabkan 300 brahmana
mencapai pengetahuan tentang kebenaran."
29. Siapakah yang Patut Dihukum?
"Sang Buddha bersabda, 'Janganlah melukai siapapun, hiduplah di
dunia ini
dengan penuh cinta kasih dan kebajikan.' (Ja. iv. 71 v 9).
Tetapi Beliau
juga bersabda, 'Kendalikanlah orang yang patut dikendalikan dan
doronglah
semangat orang yang patut didorong.' (Ja. v. 116). Nah,
mengendalikan
berarti memotong tangan dan kaki, memasukkan dalam penjara, dan
sebagainya.
Jika pernyataan yang pertama itu benar,
maka yang kedua tidak mungkin benar."
"O, Baginda, tidak melukai siapapun adalah ajaran semua Buddha.
Akan tetapi,
yang kedua itu digunakan secara kiasan. Hal itu berarti
mengendalikan
pikiran yang resah, menyemangati pikiran yang malas;
mengendalikan pikiran
yang jahat, mendorong pikiran yang baik; mengendalikan
perenungan yang tidak
bijaksana, mendorong perenungan yang bijaksana; mengendalikan
latihan yang
salah, mendorong latihan yang
benar; yang tidak mulia harus dikendalikan, yang mulia harus
didorong; si
pencuri [bhikkhu yang menginginkan kemahsyuran, pujian dan
keuntungan] harus
dikendalikan, dan orang yang jujur [bhikkhu yang tulus yang
semata-mata
berkeinginan untuk menyingkirkan kegelapan batin] harus
didorong."
"Sekarang Bhante telah sampai pada inti permasalahan saya. Lalu
bagaimana,
Yang Mulia Nagasena. seorang perampok harus diatasi?"
"Begini. O Baginda: jika patut dimarahi maka biarlah dia
dimarahi; jika
patut didenda biarlah dia didenda; jika patut diasingkan
biarlah dia
diasingkan, jika patut dihukum mati biarlah dia dihukum mati."
"Kalau begitu, Bhante Nagasena, apakah hukuman mati menjadi
salah satu
bagian dari Ajaran yang dibabarkan oleh Sang Tathagata?"
"Tentu saja tidak, O Baginda raja. Siapapun yang dihukum mati,
tidaklah
menderita hukuman mati tersebut karena pendapat yang telah
dikatakan oleh
Sang Tathagata.Ia menderita karena perbuatan yang telah
dilakukannya sendiri."
30. Pengusiran Bhikkhu Sangha
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Aku tidak mempunyai
kemarahan ataupun
kekesalan hati'. (Sn. v. 19). Tetapi Beliau mengusir Yang Mulia
Sariputta
dan Yang Mulia Moggallana beserta murid-murid mereka. (M. ii.
Sta. 67)
Tidakkah dengan kemarahan Beliau melakukan hal itu?"
"Sang Tathagata memang mengusir para bhikkhu, tetapi tidak
dengan kemarahan.
Karena perbuatan yang mereka telah dilakukan sendirilah maka
mereka diusir.
Sama halnya seperti bumi ini tidak merasa marah bila ada orang
yang
tersandung dan jatuh. Adalah kesalahan orang itu sendiri maka
ia jatuh. Demikian juga Sang Buddha tidak mempunyai sakit hati
macam apapun.
Ia menyuruh mereka pergi karena mengetahui, 'Adalah demi untuk
kebaikan,
kebahagiaan, pemurnian dan kebebasan mereka dari penderitaan."
BAGIAN SEBELAS
31. Terbunuhnya Yang Aria Moggallana
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Di antara para muridKu yang mempunyai
kekuatan kesaktian, Moggallana adalah yang paling hebat'(A.i. 23).
Akan
tetapi beliau dipukuli sampai mati dengan tongkat.(DhA. iii. 65f komentar
Dhp. vv. 137 140). Mengapa kesaktiannya tidak berfungsi?"
"Itu, O Baginda, disebabkan karena pada waktu itu beliau berada dalam
kekuatan kamma yang lebih hebat. Bahkan di antara hal-hal yang tidak
dapat
dibayangkanpun, satu hal mungkin lebih kuat dari yang lain. Dan di
antara
yang tidak dapat dibayangkan itu, kammalah yang terkuat. Tepatnya,
akibat
kammalah yang mengalahkan dan mengatur hal-hal lainnya.
Tidak ada pengaruh lain pada manusia yang dapat menghalangi kamma yang
telah
saatnya berbuah. Ini tidak dapat dihindari. Sama halnya seperti orang
yang
telah terbukti bersalah karena melakukan tindakan kriminal akan dihukum.
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh sanak-saudaranya untuk mencegahnya."
32. Kerahasiaan Vinaya
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, Dhamma dan Vinaya yang telah dinyatakan
oleh Sang Tathagata bersinar terang kalau ditunjukkan, dan tidak akan
bersinar kalau tidak diungkap' (A. i. 283). Nah, mengapa pembacaan
Patimokkha dilakukan hanya di hadapan para bhikkhu,(Vin. i. 115, 135)
dan
mengapa Vinaya Pitaka tertutup dan hanya khusus untuk bhikkhu saja?"
"O Raja, alasan mengapa Patimokkha hanya terbuka bagi bhikkhu saja
adalah
karena begitulah kebiasaan semua Buddha. Alasan kedua adalah
untuk
menghormati Vinaya, dan alasan ketiga adalah untuk menghormati para
bhikkhu.
Seperti halnya, O Baginda, tradisi prajurit hanyalah diajarkan turun-temurun
di antara para prajurit, demikian juga Patimokkha harus berada hanya
di
antara para bhikkhu juga. Vinaya itu patut dihormati dan sangat mendalam.
Mereka yang telah mencapai penguasaan Vinaya mungkin berpesan
dengan
sungguh-sungguh demikian ini,
'Jangan biarkan Ajaran yang sangat mendalam ini jatuh ke tangan mereka
yang
tidak bijaksana yang kemudian mungkin akan menghina dan mengutuknya,
memperlakukannya dengan mencemoohkannya dan mencari-cari kesalahan
di
dalamnya'. Sama halnya seperti kekayaan raja yang sangat berharga tidak
boleh digunakan oleh sembarang orang, demikian juga latihan dan tradisi
Sang
Buddha adalah kekayaan yang tak ternilai
harganya bagi para bhikkhu. Dan itulah sebabnya mengapa pembacaan Patimokkha
hanya dilakukan di antara para bhikkhu."
33. Kebohongan yang Disengaja
"Telah disabdakan olch Sang Buddha, 'Kebohongan yang disengaja adalah
suatu
pelanggaran yang berakibat bhikkhu dikeluarkan secara paksa' (Hn. iii.
94ff). Tetapi Beliau juga bersabda, 'Kebohongan yang disengaja adalah
pelanggaran
ringan yang harus diakuii di hadapan bhikkhu lain' (Vin. iii. 59, 66;
Vinn.
iv. 2). Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar?"
"Jika ada orang yang memukul orang lain dengan tangannya, hukuman apa
yang
akan Baginda berikan padanya?"
"Jika si korban menolak berdamai dalam masalah ini, maka kami akan
mendenda
si penyerang."
"Tetapi jika ada orang yang memukul Baginda, hukuman apa yang akan
Baginda
berikan padanya?"
"Kami akan memotong tangan dan kakinya, menbeset kulit kepalanya, menyita
seluruh kekayaannya dan menghukum keluarganya sampai 7 turunan."
"Demikian juga, O Baginda, pelanggaran bisa ringan atau berat
tergantung dari pokok masalahnya. Kebohongan dengan sengaja tentang
pencapaian keadaan di luar kemampuan manusia biasa, seperti misalnya
pencapaian jhana, kekuatan kesaktian atau pencapaian Sang Jalan, adalah
pelanggaran yang berakibat si bhikkhu dikeluarkan dengan paksa. Tetapi
kebohongan dengan sengaja tentang masalah-masalah lainnya hanya merupakan
pelanggaran yang berakibat harus mengakuinya."
34. Penyelidikan Bodhisatta
"Disabdakan oleh Sang Buddha dalam ajaranNya tentang hukum alam, 'Semenjak
dahulu kala, orang tua Bodhisatta, para murid utama bagi Sang Bodhisatta
dsb. telah ditentukan terlebih dahulu' (D. ii. 17-20).
Tetapi disabdakan juga, 'Ketika masih di surga Tusita, Sang Bodhisatta
melakukan delapan penyelidikan: apakah sudah tiba waktu yang tepat
baginya
untuk dilahirkan kembali, tentang benuanya, negaranya, keluarganya,
ibunya,
waktu di dalam rahim, bulan kelahirannya, dan waktu untuk meninggalkan
kehidupan duniawi' (Ja. i. 48; DA. 428). Jika orangtuanya telah ditentukan
sebelumnya, mengapa Sang Bodhisatta perlu
mempertimbangkan hal-hal tersebut'?"
"Kedua pernyataan itu, O Baginda, adalah benar. Berkenaan dengan delapan
hal
itu, masa depan harus diselidiki terlebih dahulu sebelum masa itu datang
untuk berlalu. Seorang pedagang harus memeriksa barang sebelum membelinya,
seekor gajah harus menjajagi jalan dengan belalainya sebelum dia melewati
jalan itu, seorang sais kereta harus menyelidiki
arungan sebelum menyeberanginya, seorang pemandu harus mempelajari
daratan
yang belum pernah dia lihat sebelumnya, seorang tabib harus menafsirkan
sisa
usia pasiennya sebelum mulai merawatnya, seorang pengembara harus memeriksa
jembatan sebelum ia berjalan melaluinya, seorang bhikkhu harus tahu
waktu
sebelum mulai makan, dan seorang Bodhisatta harus menyelidiki keluarganya
sebelum ia dilahirkan."
35. Bunuh diri
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Seorang bhikkhu tidak boleh mencoba
untuk bunuh diri [terjun dari ngarai]; siapapun yang melakukan hal
seperti
itu akan ditindak sesuai dengan aturan yang ada' (Vin. iii. 74, 82)
Tetapi
sebaliknya Bhante katakan bahwa dalam topik apapun yang ditujukan pada
para
bhikkhu, dengan berbagai perumpamaan Sang Buddha selalu mendorong mereka
untuk mengusahakan lenyapnya kelahiran,
usia tua, penyakit dan kematian. Dan pada siapapun yang melakukan hal
itu,
Beliau memberikan pujian yang tinggi."
"O Baginda, karena seorang Arahat mempunyai banyak manfaat bagi makhluk
hidup, maka Beliau menentukan larangan itu. Orang yang telah mencapai
tujuan
adalah bagaikan perahu yang dapat membawa penumpang melampaui banjir
nafsu
indria, bebas dari keinginan untuk dilahirkan kembali, bebas dari
kepercayaan adanya diri, dan bebas dari kebodohan batin. Bagaikan awan
hujan
yang luar biasa, seorang Arahat mengisi
pikiran mereka dengan rasa puas, dan ia membimbing orang yang tersesat.
Karena kasih sayang terhadap makhluk hiduplah maka Sang Buddha bersabda,
'Seorang bhikkhu tidak boleh bunuh diri.' Dan apa alasan Sang Buddha
mendorong kita untuk mengakhiri kelahiran, usia tua dan kematian?
Karena tidak terbatasnya sifat alami penderitaan yang disebabkan oleh
lingkaran kelahiran, maka Sang Buddha yang begitu besar welas asihnya
terhadap makhluk hidup mendorong mereka, lewat banyak cara dan banyak
perumpamaan, agar membebaskan diri dari lingkaran kelahiran."
36. Perlindungan dari Cinta Kasih
"Telah disabdakan oleh Sang Buddha, 'Sebelas keuntungan ini boleh diharapkan
oleh orang yang telah berlatih dan mempunyai kebiasaan memberikan metta
(
Cinta Kasih ) terhadap semua makhluk:
1. Ia tidur dalam kedamaian;
2. Ia bangun dalam kedamaian;
3. Ia tidak bermimpi buruk;
4. Ia disayangi oleh sesama manusia;
5. Ia disayangi oleh makhluk yang bukan manusia;
6. Ia dilindungi para dewa;
7. Ia tidak dapat terluka baik oleh api, racun, atau senjata;
8. Pikirannya mudah terkonsentrasi;
9. Airmukanya tenang;
10. Ia mati dalam keadaan tidak bingung;
11. Dan ia akan terlahir setidak-tidaknya di alam Brahma, jika tidak
mencapai yang lebih tinggi lagi.'
(A. v. 342, Ja. ii. 61; Vism. 311f)
Kalau begitu mengapa si pemuda Sama yang hidup dengan penuh metta terluka
oleh panah beracun yang dilepaskan oleh Raja Piliyakkha?" (Ja. vi.
76)
"O Baginda, ke sebelas nilai luhur metta ini tergantung pada metta
itu
sendiri, dan bukan pada watak orang yang mempraktekkannya. Pemuda Sama
memang berlatih meditasi metta setiap saat. Akan tetapi ketika ia sedang
mengambil air, pikirannya melenceng dari meditasi. Pada saat itulah
Raja
Piliyakkha memanahnya, sehingga panah itu dapat melukainya."
37. Mengapa Devadatta Makmur?
"Bhante mengatakan bahwa perbuatan baik akan membawa kelahiran di surga
atau
kelahiran sebagai manusia yang beruntung, serta bahwa perbuatan jahat
membawa penderitaan atau kelahiran sebagai manusia yang tidak beruntung.
Akan tetapi, Devadatta yang penuh dengan sifat-sifat jahat, sering
terlahir
dengan kedudukan yang lebih baik dibanding Sang
Bodhisatta, yang penuh dengan sifat-sifat yang baik. (Ja. Nos. 122,
474,
514, 516)
"Begitulah, Yang Mulia Nagasena, ketika Devadatta menjadi pendeta keluarga
Brahmadatta, raja Benares, pada waktu itu Sang Bodhisatta adalah kasta
yang
tersingkir. Ini adalah salah satu kasus dimana Sang Bodhisatta lebih
rendah
dibandingkan dengan Devadatta, baik dari segi kelahiran maupun reputasi.
"Begitu juga, ketika Devadatta menjadi seorang raja yang berkuasa di
dunia
ini, pada waktu itu Sang Bodhisatta menjadi gajah. Dalam kasus itu,
lagi-lagi Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta.
Demikian juga di banyak kasus lainnya."
"Memang benar apa yang Baginda katakan itu."
"Kalau begitu, berarti kebajikan dan kejahatan menghasilkan buah yang
sama."
Tidak, bukan demikian, O Baginda. Devadatta dimusuhi oleh siapa saja,
tetapi
tidak ada yang jahat terhadap Sang Bodhisatta. Dan ketika menjadi raja,
Devadatta melindungi dan melayani rakyatnya serta memberikan persembahan
kepada para pertapa dan para brahmana sesuai dengan tekadnya. Tidak
dapat
dikatakan tentang siapapun, O Baginda, bahwa tanpa kemurahan hati,
pengendalian diri, melaksanakan peraturan dan nilai-nilai luhur lain,
maka
ia dapat mencapai kemakmuran. Meskipun
demikian, semua makhluk yang terhanyut dalam arus lingkaran kelahiran
yang
tidak berkesudahan selalu akan bertemu dengan pengalaman, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sama halnya seperti air
yang
mengalir di sungai selalu akan menemui benda yang bersih maupun yang
tidak
bersih. Tetapi perbandingan antara Sang Bodhisatta dan
Devadatta harus dipertimbangkan dari sudut panjangnya putaran kelahiran
kembali yang tak terbayangkan, dan juga harus diingat bahwa Sang Bodhisatta
berada dalam surga selama kurun waktu berkalpa-kalpa, sementara Devadatta
mendidih di neraka."
38. Kelemahan Wanita
"Dikatakan bahwa wanita akan selalu melakukan penyelewengan seksual
bila ia
mendapat kekasih yang sesuai (Ja. v. 435). Tetapi istri Mahasodha menolak
melakukan tindakan yang salah, meskipun ia ditawari seribu keping emas"
(Ja.
vi. 367).
"Amaradevi adalah wanita yang luhur. Dia takut dikecam di dunia ini.
Dia
takut menderita dalam api neraka. Dia juga mencintai suaminya. Dan
dia
memandang rendah pelanggaran susila dan menghargai nilai luhur. Karena
semua
alasan itulah maka kesempatan itu tidak tampak cocok baginya. Dan suaminya,
Mahasodha, adalah laki-laki ideal. Maka bagi Amaradevi tidak ada orang
yang
dapat dibandingkan dengan Mahasodha. Jadi
karena alasan ini pulalah maka Amaradevi tidak melakukan tindakan yang
salah."
39. Keberanian Ananda
"Disabdakan oleh Sang Buddha bahwa para Arahat telah menyingkirkan segala
rasa takut (Dhp. v. 351; Sn. 621). Akan tetapi ketika Dhanapalaka (
=
Nalagiri ) si gajah mabuk akan menyerang Sang Buddha, lima ratus Arahat
lari
meninggalkan Ananda sendirian untuk melindungi Sang Buddha (Vin. ii.
194;
Ja. v. 333f). Jika para Arahat sudah terbebas dari rasa takut, mengapa
mereka lari?'
"Mereka tidak lari karena rasa takut, O Baginda. Para Arahat sudah
bebas
dari rasa takut. Tetapi mereka minggir agar pengabdian Yang Mulia Ananda
pada Sang Buddha dapat terwujud. Mereka menyadari bahwa jikalau mereka
tidak
minggir maka gajah itu tidak akan bisa mendekat. Bhante Ananda, yang
pada
waktu itu belun menjadi Arahat, tetap berada di samping Sang Buddha.
Dengan
demikian maka keberanian dan pengabdiannya
terlihat. Oleh karena kejadian ini, banyak sekali orang yang terbebas
dari
belenggu kekotoran batin. Karena telah melihat manfaat-manfaat itulah,
maka
para Arahat minggir."
40. Perubahan Hati Sang Buddha
"Bhante mengatakan bahwa Sang Buddha itu mahatahu. Akan tetapi setelah
Sang
Buddha mengusir serombongan bhikkhu yang dipimpin oleh Yang Aria Sariputta
dan Yang Aria Moggallana, orang-orang Sakya dari Catuma dan Brahma
Sahampati
menenteramkan Sang Buddha melalui perumpamaan-perumpamaan. Apakah Beliau
tidak mengetahui tentang perumpamaan tersebut? (M. ii. Sta. 67). Jika
tahu,
mengapa Beliau perlu
ditenteramkan?"
"Sang Tathagata, O Baginda, adalah mahatahu. Akan tetapi toh Beliau
tetap
merasa ditenteramkan oleh perumpamaan-perumpamaan itu. Dengan memakai
perumpamaanlah Beliau pertama kali membabarkan ajarannya, dan merasa
damai
karenanya. Dan karena diambil hatiNya itulah maka Beliau menyatakan
restunya. Seperti halnya, O Baginda, ketika seorang samanera
melayani gurunya dengan makanan yang diperoleh sang guru sendiri dari
pindapatanya, demikianlah dia menyenangkan sang guru dan mengambil
hatinya."
BAGIAN DUA BELAS
41. Mengenai Tempat Tinggal
"Disabdakan oleh Sang Buddha:
'Rasa takut lahir dari keintiman,
Debu berasal dari rumah yang didirikan.
Tidak berumah, bebas dari keintiman,
Inilah pemahaman orang bijak.' (8n.v. 207)
"Tetapi Beliau juga bersabda:
'Biarkanlah orang bijak membangun. tempat tinggal
dan menampung orang terpelajar di situ.'
(Vin. ii. 147;S.i. l00)
"Jika pernyataan yang pertama diucapkan oleh Sang Buddha, maka yang
kedua
pasti salah."
"Kedua pernyataaan itu memang diucapkan oleh Sang Tathagata, O Baginda,
tetapi pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus berkenaan
dengan
sifat alami dari segala hal, dan berkenaan dengan apa yang patut diinginkan
oleh seorang pertapa. Sedangkan pernyataan yang kedua dikatakan hanya
mengenai dua persoalan. Pemberian berupa tempat
tinggal telah mendapat pujian tinggi dari para Buddha karena mereka
yang
telah memberikan persembahan semacam itu akan terbebas dari kelahiran,
usia
tua, penyakit dan kematian. Dan yang kedua, jika ada tempat tinggal
maka
akan lebih mudah bagi mereka yang ingin mendengarkan Dhamma untuk
mengunjungi para bhikkhu, dibandingkan jikalau para bhikkhu tinggal
di
hutan. Tetapi hal ini tidak lalu diikuti oleh keinginan para
bhikkhu untuk mempunyai tempat tinggal."
42. Kontrol atas Perut
Sang Buddha bersabda, 'Jangan kehilangan perhatian sewaktu
pindapatta, milikilah kontrol atas perutmu.' (Dhp. v. 168) Tetapi Beliau
juga bersabda,' Ada kalanya, Udayi, Aku makan semangkuk penuh atau
bahkan
lebih' (M. ii.7). Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua."
"Kedua pernyataan ini benar, O Raja, tetapi pernyataan yang pertama
mempunyai pengertian khusus dan tidak akan terbukti salah. Orang yang
tidak
mempunyai kontrol diri atas perutnya akan membunuh makhluk hidup atau
mencuri demi perutnya. Dengan dasar pemikiran seperti inilah Sang Buddha
bersabda, 'Jangan kehilangan perhatian sewaktu pindapatta, milikilah
kontrol
atas perutmu.' Sedangkan orang yang mempunyai kontrol
diri mendapatkan pandangan terang terhadap Empat Kesunyatan Mulia,
dan
memenuhi kehidupan sebagai pertapa. Bukankah seekor beo biasa, O Baginda,
melalui kontrol atas perutnya mengguncang Surga ke 33 dan membuat Sakka
turun untuk melayaninya? (Ja. No. 429). Tetapi ketika 'Sang Buddha
bersabda,
'Ada kalanya, Udayi, Aku makan semangkuk penuh atau
bahkan lebih', hal itu berhubungan dengan diri Beliau sendiri yang
telah
mencapai apa yang harus dicapai dengan kontrol diri. Dan seperti permata
sempurna yang tidak lagi perlu digosok, Beliau tidak memerlukan latihan
lagi."
43. Orang Yang Terbaik
"Sang Buddha bersabda, 'Aku, 0 para bhikkhu, adalah seorang
Brahmana, tempat orang meminta tolong, yang selalu siap memberi; tubuh
yang
Kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter yang
agung'
(Iti. 101). Tetapi pada kesempatan lain Beliau bersabda, 'Di antara
muridku,
Bakkula-lah yang paling baik kesehatannya' (A.i.24).
Telah diketahui bahwa Sang Buddha beberapa kali terkena penyakit sedangkan
Bakkula selalu sehat. Jika pernyataan yang pertama benar, mengapa Sang
Buddha kalah sehat dibandingkan Bakkula?"
"Memang benar bahwa Bakkula melebihi Sang Buddha di bidang
kesehatan, dan beberapa murid lain juga melebihi Beliau di bidang lain.
Akan
tetapi Sang Buddha melebihi mereka semua dalam hal nilai-nilai kemoralan
(Sila), konsentrasi (Samadhi), dan kebijaksanaan (Panna). Dan mengenai
hal-hal inilah Beliau bersabda, 'Aku, 0 para bhikkhu, adalah
seorang Brahmana, tempat orang meminta tolong, yang selalu siap memberi;
tubuh yang Kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan
dokter
yang agung."
"Sang Buddha, O Baginda, baik ketika sakit ataupun tidak; baik ketika
sedang
berlatih sebagai pertapa atau tidak - tak tertandingi oleh makhluk
lain. Hal
ini, O Baginda, disabdakan dalam Samyutta Nikaya, '0, para bhikkhu,
dari
semua makhluk: baik yang tidak berkaki atau yang mempunyai dua atau
empat
atau banyak kaki; yang mempunyai bentuk maupun yang tidak; yang sadar,
atau
yang tidak, atau yang bukan-sadar-dan-bukannya-tak-sadar; dari semuanya
ini
Sang Tathagata,
Sang Arahat, Sang Yang Mencapai Penerangan Sempurna, diperhitungkan
sebagai
yang utama...."' (S.v.41)
44. Jalan Kuno
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang
tidak
diketahui sebelumnya' (S. iii. 66; S.i. 190). Tetapi Beliau juga bersabda,
'Sekarang Aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah
ditempuh
oleh para Buddha sebelumnya.' (=Jalan menuju Nibbana, S. ii. 105) Ini
juga
merupakan masalah yang bersisi dua."
"Karena jalan kuno yang ditunjukkan oleh para Buddha sebelumnya itu
telah
lama hilang dan tidak diketahui oleh siapapun, baik manusia maupun
dewa,
maka Sang Buddha bersabda, 'Sang Tathagata adalah penemu jalan yang
tidak
diketahui sebelumnya.' Dan meskipun jalan tersebut telah
hancur, tidak lagi dapat dilalui dan hilang dari pandangan - tetapi
Sang
Tathagata, setelah memperoleh pengetahuan yang mendalam, melihat dengan
mata
kebijaksanaanNya bahwa itulah jalan yang juga digunakan oleh para Buddha
sebelumnya. Dan karena itulah Sang Buddha berkata, 'Sekarang, Aku
telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh
para
Buddha sebelumnya.' Sama seperti jika ada orang yang telah membuka
rimba dan
membebaskan sebidang tanah, tanah itu disebut tanahnya meskipun ia
tidak
membuat tanah itu."
45. Kelemahan Sang Bodhisatta
Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Dalam kelahiran-kelahiranKu
sebelumnnya ketika Aku terlahir sebagai manusia, Aku telah memiliki
kebiasaan tidak menyakiti makhluk hidup' (D. iii. 166). Tetapi ketika
Beliau
menjadi seorang pertapa yang bernama Lomasa Kassapa, Beliau menyuruh
membunuh ratusan ternak untuk dipersembahkan sebagai korban.(Ja. iii.
30 ff,
514 ff : Dalam cerita Jataka, Kassapa memerintahkan membawa banyak
binatang
untuk dibantai namun ketika semua binatang itu telah diikat pada tiang,
ia
sadar dan kemudian
membebaskannya semua) Mengapa waktu itu Beliau tidak penuh welas asih?"
"Persembahan itu, O Baginda raja, dilakukan ketika Lomasa Kassapa kehilangan
ingatannya karena tergila-gila pada Putri Candavati; pada waktu itu
dia
tidak sadar pada apa yang diperbuatnya. Seperti halnya orang gila,
yang
kehilangan akal sehatnya, akan menapak di api, atau menangkap ular
berbisa,
atau berlari-lari telanjang bulat di jalanan. Begitulah, persis ketika
Sang
Boddhisatta sedang hilang ingatan maka
Beliau melakukan persembahan korban itu. Nah, suatu kejahatan yang
dilakukan
orang gila tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran yang serius, begitu
juga
mengenai buah yang dihasilkan dalam kehidupannya yang akan datang.
Misalkan
saja, O Baginda, seseorang yang gila bersalah karena melakukan pelanggaran
besar, hukuman apakah yang akan Baginda jatuhkan padanya?"
"Hukuman apa yang patut bagi orang gila? Kami akan memerintahkan agar
dia
dipukuli dan kemudian membebaskannya, itu saja."
"Demikian jugalah, O Baginda, sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh
orang
gila dapat dimaafkan (Vin. iii. 32, tidak ada pelanggaran bila pelakunya
gila). Demikian juga dengan kasus Lomasa Kassapa. Setelah sadar kembali,
dia
meninggalkan kehidupan duniawi untuk kemudian terlahir di
alam Brahma."
46. Rasa Hormat pada Jubah
"Bahkan ketika Sang Boddhisatta terlahir sebagai seekor gajah, Beliau
mempunyai rasa hormat pada jubah kuning. (Ja..v. 49) Tetapi Bhante
juga
mengatakan, bahwa ketika Beliau terlahir sebagai seorang Brahmana muda
yang
bernama Jotipala; meskipun terlahir sebagai manusia dengan tanda-tanda
khusus, Ia mencerca dan mencaci maki Buddha Kassapa,
menyebutnya bhikkhu gundul yang tidak berguna.(M. ii. 47, Sta. 81)
Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar adanya?"
"O Baginda raja, kekasaran Sang Boddhisatta ketika menjadi Brahmana
muda
Jotipala itu disebabkan oleh karena kelahiran dan cara dia dibesarkan.
Semua
keluarganya adalah orang yang tak percaya, yang memuja Brahma. Dan
mereka
berpikir bahwa kaum Brahmana adalah manusia tingkat tertinggi. Seperti
halnya, O Baginda, air yang sangat dinginpun akan menjadi hangat bila
kena
api, demikian juga Jotipala. Meskipun penuh
dengan nilai-nilai luhur, tetapi karena dilahirkan dalam keluarga yang
tidak
percaya, ia menjadi seakan-akan buta dan mencerca Sang Tathagata. Walaupun
demikian, ketika pergi menghadap Sang Buddha Kassapa, Jotipala menyadari
nilai-nilai luhurnya dan menjadi muridnya yang setia."
47. Kebajikan Si Pembuat Barang Tembikar
"Disabdakan oleh Sang Buddha, 'Selama tiga bulan penuh, tempat tinggal
Ghatikara si pembuat barang tembikar tetap berada di alam terbuka,
tetapi
air hujan tidak akan turun di situ'(M. ii. 53). Tetapi dikatakan bahwa
air
hujan membasahi pondok Buddha Kassapa (M. ii. 54).
Mengapa pondok Sang Buddha basah? Jika hujan turun di pondok Buddha
Kassapa
yang mempunyai banyak kebajikan, maka pastilah bohong jika dikatakan
bahwa
hujan tidak turun di pondok Ghatikara karena perbuatan baiknya." .
"O Baginda, Ghatikara adalah orang baik yang penuh dengan
nilai-nilai luhur dan kaya akan kebajikan. Dia merawat orangtuanya
yang buta
dengan segala kerendahan hati. Ketika Gathikara sedang pergi, karena
yakin
akan kemurahan Gathikara, beberapa bhikkhu mengambil sejumlah lalang
dari
atap rumahnya untuk memperbaiki pondok Buddha Kassapa. Waktu Gathikara
kembali, dia tidak marah maupun kecewa. Dia
bahkan merasa sangat gembira karena telah melakukan kebajikan yang
besar
dengan memberi sesuatu pada Sang Tathagata. Dia berpikir dengan amat
gembira, 'Sang Tathagata menaruh kepercayaan yang besar kepadaku.'
Begitu besar kebajikannya sehingga buahnya langsung dapat dipetik dalam
kehidupannya waktu itu. Sebaliknya, Sang Tathagata tidak kekurangan
kebajikan karena hujan membasahi pondok Beliau. Sang Tathagata telah
mempertimbangkan, 'Biarlah orang-orang tidak mencari-cari kesalahan
dengan mengatakan bahwa para Buddha menjalani kehidupan dengan menggunakan
kekuatan kesaktiannya.' Maka dari itu hujan turun di pondok Beliau,
sama
seperti di tempat-tempat lain, kecuali pondok Gathikara."
48. Raja atau Brahmana?
"Sang Buddha bersabda, 'Aku, O para bhikkhu, adalah seorang
Brahmana, tempat orang meminta tolong' (Iti. 101). Tetapi pada kesempatan
lain Beliau bersabda, 'Sela, Aku adalah seorang raja' (Sn.v. 554).
Nagasena jika Beliau adalah seorang raja, maka Beliau pasti berbohong
ketika
mengatakan bahwa diriNya adalah seorang Brahmana. Beliau pastilah seorang
Khattiya (prajurit), atau seorang Brahmana. Tidak mungkin Beliau termasuk
dalam dua golongan kasta."
"Bukan karena kelahiranNya maka Beliau menyebut diriNya sebagai Brahmana,
melainkan karena Beliau sudah bebas dari kegelapan batin, dan telah
mencapai
kepastian pengetahuan. Juga karena Beliaulah yang menjaga tradisi kuno
dalam
hal mengajar dan belajar luar kepala, dalam hal kontrol diri, dan dalam
hal
disiplin (Baca Dhp. Brahmanavagga). Dan seperti halnya seorang raja
mengatur
rakyatnya dengan hukum, Sang Buddha mengatur para muridNya dengan
mengajarkan Dhamma, membawa sukacita bagi mereka yang hidup dengan
benar,
serta mencela mereka yang melanggar hukum yang mulia itu. Dan seperti
halnya
seorang raja yang memerintah dengan adil akan bertahan lama, demikian
juga
Sang Buddha dengan sifat-sifat kebenaranNya yang khusus membuat agamaNya
bertahan lama.".
49. Cara Hidup yang Benar
"Bhante mengatakan bahwa Sang Buddha tidak menerima persembahan makanan
yang
diberikan karena membacakan paritta (S.i. 167, Sn.v. 81). Tetapi ketika
mengajar umat awam, Beliau pertama-tama biasanya berbicara tentang
manfaat
yang didapat dari berdana dan menerima persembahan yang diberikan (D.i.
Sta.
5). Jika yang pertama benar, mengapa Beliau menerima persembahan yang
diperoleh karena membabarkan ajaran?"
"Adalah kebiasaan Sang Tathagata untuk terlebih dahulu membabarkan
tentang
manfaat berdana, dengan tujuan untuk melembutkan hati orang-orang,
sebelum
mulai membabarkan tentang moralitas;(Sila) dan hal-hal yang lebih tinggi.
Tetapi bukan karena itu lalu para bhikkhu bisa dituduh memberi isyarat
menginginkan persembahan. Ada isyarat yang
tidak layak, dan ada isyarat yang tidak salah. Dalam hal ini jika seorang
bhikkhu yang melakukan pindapatta berdiri di tempat yang tidak tepat
atau
memberi isyarat, itu merupakan isyarat yang salah (Vism. 28).
Tetapi jika seorang bhikkhu berdiri di tempat yang layak dimana ada
orang-orang yang ingin memberi dan dia berjalan terus ketika mereka
tidak
memberinya, ini tidak salah dan bukan berarti pengisyaratan. Makanan
dari si
pembajak tanah itu dipersembahkan sebagai usaha membuktikan kesalahan
paritta yang diucapkan, dan karena itulah maka Sang Tathagata menolaknya.
50. Keengganan Sang Buddha
"Bhante mengatakan bahwa selama empat Asankheya kalpa dan 100.000 siklus
dunia (kalpa) ini Sang Boddhisatta telah melatih keSempurnaan agar
mencapai
kemahatahuan. Akan tetapi ketika telah mencapai tahap mahatahu itu
pikiranNya berubah tidak ingin mengajarkan Dhamma (Vin.i. 5; S.i. 136).
Bagaikan seorang pemanah yang telah berlatih berhari-hari mungkin ragu-ragu
ketika hari peperangan tiba, demikian juga Sang Buddha ragu-ragu untuk
mengajarkan Dhamma. Apakah hal itu disebabkan oleh rasa takut, atau
kurangnya kejernihan, atau kelemahan, atau karena Beliau tidak mahatahu
sehingga keraguan itu timbul?"
"Tidak, raja yang agung, hal itu bukan disebabkan oleh alasan-alasan
tersebut. Karena sifat Dhamma yang mendalam, dan karena begitu kuatnya
kemelekatan serta kegelapan batin para makhluklah maka Sang Buddha
menjadi
ragu-ragu dan mempertimbangkan kepada siapa Beliau harus mengajarkan
Dhamma,
serta bagaimana caranya agar mereka dapat mengerti.
Seperti halnya, O Baginda, ketika seorang raja mengingat-ingat betapa
banyaknya orang yang kehidupannya tergantung padanya - para pengawal,
anggota istana, pedagang, prajurit, pesuruh, menteri dan para bangsawan
-
sang raja mungkin gelisah dan berpikir, 'Bagaimana saya dapat mendamaikan
mereka semua?' Demikian juga, ketika Sang Tathagata
mengingat bagaimana kuatnya kemelekatan dan kegelapan batin para makhluk,
maka Beliau cenderung untuk tidak bertindak dari pada membabarkan ajaranNya.
Dan juga memang sudah menjadi aturan alami bahwa Sang Buddha harus
membabarkan Dhamma atas permohonan Brahma, karena pada saat itu semua
orang adalah pemuja Brahma dan sangat bergantung pada Brahma. Maka
dari itu,
jika dewa yang begitu tinggi dan berkuasa seperti Brahma ingin mendengarkan
Dhamma, maka seluruh alam dewa dan manusia cenderung akan begitu juga.
Karena alasan itu jugalah maka sebelum membabarkan Dhamma, Sang Buddha
menunggu agar diminta"
51. Guru-guru Sang Buddha
"Sang Buddha bersabda, 'Aku tidak mempunyai guru. Tidak ada yang seperti
Aku. Di dunia ini, dengan dewa-dewanya, tidak ada yang sama seperti
Aku'
(Vin.i. 8;M.i. 171). Tetapi Beliau juga berkata, 'Dengan cara inilah,
O para
bhikkhu, Alara si Kalama yang menjadi guruKu, menempatkan Aku, muridnya,
pada tingkat yang sama seperti dirinya dan menghormati Aku dengan kehormatan
tertinggi'(M.i. 165). Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua,"
"O Baginda, ketika Sang Buddha berbicara mengenai Alara si Kalama sebagai
gurunya, Beliau mengacu pada saat Beliau masih menjadi Boddhisatta
dan belum
mencapai ke-Buddha-an. Alara si Kalama semata-mata hanyalah guru untuk
kebijaksanaan duniawi. Adalah mengenai masalah-masalah yang luar biasa
tingginya, seperti pengetahuan tentang Empat Kesunyatan Mulia dan
Nibbana-lah maka Sang Buddha bersabda, 'Aku tidak mempunyai guru. Tidak
ada
yang seperti Aku. Di dunia ini, dengan
dewa-dewanya, tidak ada yang sama seperti Aku' ."