Berdoa demi Alam Baka
"Lagi, Vasettha, jikalau seandainya sungai Aciravati ini penuh
dengan air bahkan sampai ke tepi sungai, dan meluap. Dan seseorang
dengan pekerjaan/bisnis pada tepi yang satunya, dalam perjalanan ke
tepi yang satunya, berusaha menuju ke tepi yang satunya, ingin tiba,
dan
mau menyeberang. Dan ia, sambil berdiri pada tepi yang sebelah
sini, memohon dengan khusuk pada tepi yang jauh itu, dan
berkata,'Datanglah kesini, O tepi yang jauh!datanglah ke tepi sini!'
"Sekarang apakah yang engkau pikir, Vasettha?Akankah tepi yang
jauh itu dari sungai Aciravati, oleh sebab permohonan khusuk dari
orang itu dan doanya dan pengharapannya dan pemujaannya, datang ke
tepi
yang ini?"
"Tentulah tidak, Gotama."
"Dengan cara yang sama pula, Vasettha, para Brahmana yang
mengetahui dengan baik Tiga Veda lakukan---menelantarkan praktek-praktek
dengan kualitas yang benar-benar membuat seseorang menjadi seorang
Brahmana, dan mengadopsi praktek-praktek yang kualitasnya membuat
seseorang menjadi Non-Brahmana---berkata demikian: 'Indra kami memanggil,
Soma kami memanggil, Varuna, Isana, Pajapati, Brahma, Mahiddhi, Yama
kami memanggil.'
"Dengan sesungguhnya, Vasettha, bahwa para Brahmana yang
mengetahui dengan baik Tiga Veda---menelantarkan praktek-praktek dengan
kualitas yang benar-benar membuat orang menjadi seorang Brahmana,
mengadopsi praktek-praktek dengan kualitas yang membuat yang benar-benar
membuat orang Non-Brahmana---boleh, karena alasan permohonan
khusuk
dan doa dan pengharapan dan pemujaan mereka, setelah meninggalkan tubuh
ini, setelah kematian, mencapai persatuan dengan Brahma, kondisi
hal-hal demikian adalah tidak akan bisa."
<Digha Nikaya No. 13:Tevijja Sutta ("Tiga Veda") terjemahan
oleh Prof. Rhys Davids>
AGAMA YANG TERUNGKAP
.....Lagi, Sandaka, disini beberapa guru bergantung pada kabar
angin, mengambil kabar angin sebagai kebenaran, ia mengajarkan
doktrinnya (bergantung pada) kitab dan adat/tradisi legendaris. Tetapi
bilamana, Sandaka, seorang guru bergantung pada kabar angin, mengambil
kabar angin sebagai kebenaran, hal ini telah didengarnya dengan baik
dan hal itu telah didengarnya dengan buruk, hal ini akan menjadi
demikian dan hal itu akan menjadi sebaliknya.
Dalam hal ini seorang yang bijak akan mempertimbangkan: 'Guru
yang baik ini bergantung pada kabar angin, mengambil kabar angin
sebagai kebenaran, ia mengajarkan doktrinnya (bergantung pada) kitab
dan tradisi legendaris. Tetapi bilamana seorang guru bergantung
pada kabar angin, mengambil kabar angin sebagai kebenaran, ini ia akan
sudah mendengar baik dan itu ia akan sudah dengar dengan buruk, ini
akan menjadi demikian dan itu akan menjadi sebaliknya.'
Jadi ketika ia menemukan bahwa jenis kehidupan religius
demikian tidak memuaskan, ia menjadi kecewa dan meninggalkannya.
Hal ini, Sandaka, adalah kehidupan religius yang tidak
memuaskan yang kedua yang dinyatakan oleh Tathagata, yang Arahat, yang
mencapai Penerangan Sempurna, dalam hal ini seorang yang bijak tentulah
tidak akan menjalani kehidupan religius itu, atau bilamana
menjalaninya, akan kehilangan ajaran-jalan yang benar (true path-teaching)
yang adalah menguntungkan/bermanfaat.
<Majjhima Nikaya No. 76:Sandaka Sutta)>
PARA SUCI (ARAHAT) DAN PAHAM KETUHANAN (GOD IDEA)
Juga seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahat, yang suci,
yang sudah menjalani hidup suci, menyelesaikan tugasnya, meninggalkan
segala beban, mencapai tujuan benar/yang sesungguhnya, yang sudah
menghancurkan ikatan/belenggu roda kelahiran dan sudah
terbebaskan melalui pengetahuan akhir yang benar---ia, juga, mempunyai
pengetahuan penuh/benar tentang para dewa sebagai para dewa; dan setelah
mengetahui mereka dengan demikian, ia tidak lagi berimajinasi
(apapun) tentang para dewa, ia tidak berangan-angan/imajinasi dirinya
berada di antara para dewa, ia tidak berimajinasi dirinya sebagai
(berasal) dari seorang dewa, ia tidak berimajinasi "Milikku adalah
para dewa",
dan ia tidak menemukan kesenangan pada para dewa. Dan mengapa tidak?
Karena hal ini telah dipahaminya; dan sebab ia sudah bebas dari
kerakusan melalui pelenyapan kerakusan, bebas dari kebencian melalui
pelenyapan kebencian, bebas dari kegelapan batin melalui pelenyapan
kegelapan batin.
Juga seorang bhikkhu yang adalah Arahat, yang suci..., ia,
juga, mempunyai pengetahuan benar tentang Raja dari Para Makhluk,
sebagai Raja dari Para Makhluk; dan mengetahuinya secara demikian,
ia
tidak berimajinasi (apapun) Tentang Raja dari Para Makhluk,
ia tidak berimajinasi (tentang kualitas-kualitas) pada
Raja dari Para Makhluk, ia tidak berimajinasi
dirinya sebagai (berasal) dari Raja para Makhluk, ia tidak
berimajinasi "Raja para Makhluk adalah milikku", dan ia tidak
menemukan kesenangan pada Raja para Makhluk. Dan mengapa tidak?
Sebab hal ini telah dipahaminya; dan sebab ia telah terbebas dari
kerakusan melalui pelenyapan kerakusan, terbebas dari kebencian melalui
pelenyapan kebencian, terbebas dari kegelapan batin melalui
pelenyapan kegelapan batin.
Juga seorang bhikkhu yang adalah Arahat, yang suci, yang telah
menjalani kehidupan suci, menyelesaikan tugasnya, meninggalkan
segala beban, mencapai tujuan benar, yang telah menghancurkan
belenggu/ikatan roda kehidupan dan terbebaskan melalui pengetahuan
akhir yang
benar--- ia, juga, mempunyai pengetahuan penuh tentang Brahma sebagai
Brahma, dan mengetahuinya dengan demikian, ia tidak berimajinasi
(apapun) tentang Brahma, ia tidak berimajinasi (tentang
kualitas-kualitas) pada Brahma, ia tidak berimajinasi sebagai (berasal)
dari Brahma, ia
tidak berimajinasi "Brahma adalah milikku", dan ia tidak menemukan
kesenangan dalam Brahma. Dan mengapa tidak? Karena hal ini
telah dipahaminya; dan sebab ia telah terbebas dari kerakusan melalui
pelenyapan kerakusan, terbebas dari kebencian melalui
pelenyapan kebencian, terbebas dari kegelapan batin melalui pelenyapan
kegelapan batin.
<Majjhima Nikaya No. 1: Mula-pariyaya Sutta)
Catatan:
Raja para Makhluk(pajapati) dalam commentaries merujuk pada
Mara yang, alam Buddhis kosmologi, adalah penguasa di alam Dewa
Paranimmita-vasavatti,"mereka yang berkuasa atas ciptaan dari
yang lain (Dewa Nimmanarati)".
KEPERCAYAAN KETUHANAN DAN FATALISME
Ada terdapatlah para pertapa dan Brahmana yang mempertahankan
dan mempercayai bahwa apapun yang seorang alami, apakah itu
menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral, semuanya itu disebabkan
oleh
tindakan penciptaan dari Tuhan. Aku pergi pada mereka dan menanyai
mereka (apakah mereka memegang pandangan yang demikian), dan ketika
mereka membenarkannya, Aku berkata:"Jikalau hal itu demikian adanya,
tuan-tuan yang terhormat, lantas orang-orang yang melakukan
pembunuhan, pencurian dan benih-benih kejahatan disebabkan oleh
tindakan penciptaan dari Tuhan; mereka gemar berdusta,
memfitnah, berkata kasar dan bermalasan disebabkan oleh tindakan
penciptaan Tuhan; mereka bersifat tamak/iri hati, penuh kebencian dan
memegang pandangan salah karena tindakan penciptaan Tuhan."
Mereka yang bersandar atas tindakan penciptaan Tuhan sebagai
faktor penentu, akan kurang mempunyai dorongan hati dan usaha untuk
melakukan hal ini dan tidak melakukan hal yang lain itu. Sebab bagi
mereka, dalam kebenaran dan fakta, (suatu keperluan untuk) tindakan
atau tidak bertindak tidak menghasilkan, panggilan "pertapa" tidaklah
cocok pada mereka yang hidup tanpa penuh perhatian/kesadaran dan kontrol
diri.
<Anguttara Nikaya, Tika-nipata, No. 62)
Jikalau Tuhan adalah penyebab dari semua yang terjadi, apalah
gunanya usaha keras/pengorbanan manusia?
<Asvaghosa, Buddha-carita 9, 53>
SIFAT KETUHANAN YANG TIDAK KEKAL
Sejauh mana matahari-matahari dan bulan-bulan berevolusi dan
penjuru-penjuru langit bersinar dengan cemerlangnya, sejauh
mencakup Seribu-kali lipat sistem-Dunia. Dalam Seribu-kali lipat Sistem
Dunia itu, ada seribu bulan, seribu matahari, seribu Semeru, gunung
dari gunung-gunung, seribu dari keempat benua, seribu dari keempat
samudera, seribu dari dunia-dunia surgawi dari alam inderawi,
dan seribu dari dunia Brahma. Sejauh mencakup Seribu-kali lipat
Sistem Dunia ini, sejauh itu adalah Maha Brahma dianggap yang
tertinggi disana.
Tetapi bahkan pada Maha Brahma, O para bhikkhu, terdapatlah
transformasi, terdapatlah perubahan. Melihat hal ini, O para
bhikkhu,
seorang murid yang terlatih baik merasa muak bahkan dengan hal
itu.
Dengan menjadi muak dengan hal itu, lunturlah keterikatannya
bahkan
sampai yang tertinggi, apalagi pada yang rendah!
<Anguttara Nikaya, Dasaka Nipata, No. 29>
KEKECEWAAN DARI PARA DEWA
Sekarang muncullah di dunia ini seorang Tathagata, yang Suci,
yang
telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan dan
tindak
tandukNya, yang Mulia/Luhur, Pengenal segenap Alam, Pembimbing
manusia
yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, yang patut
dimuliakan.
Ia lantas mengajarkan Dhamma:"Ini adalah
kepribadian(personality); ini
adalah asal dari kepribadian; ini adalah akhir dari
kepribadian; ini
adalah jalan menuju akhir dari kepribadian."
Dan dewa-dewa itu yang berumur panjang, yang bergemerlapan
dengan
kecantikan, yang berdiam dengan penuh kesenangan dan untuk
waktu yang
lama berada dalam rumah-rumah surgawi yang megah, bahkan
mereka,
setelah mendengar Sang Bhagava mengajarkan Dhamma, tertimpa
ketakutan, kegelisahan dan tergetar:
"Aduh celaka, kita yang, sebenarnya, tidak permanen, percaya
bahwa
kita adalah permanen! Kita yang, sebenarnya, rapuh, percaya
bahwa kita
berkesinambungan!Kita yang, sebenarnya, tidak kekal, percaya
bahwa
kita kekal adanya!Tetapi, yang benar adalah bahwa, kita adalah
tidak
permanen, rapuh, tidak kekal, terpikat dalam kepribadian!"
<Anguttara Nikaya, Cattuka nipata, No. 33>
BRAHMA MENGAKUI KETIDAKKEKALANNYA
Adalah seseorang (Maha Moggalana Thera) yang berpikiran untuk
mengajukan pada
Yang Bersifat Ketuhanan (Brahma) pertanyaan ini
Di Aula Sudhamma di Surga:
'Apakah masih ada dalam dirimu,
'Sobat, pandangan yang pernah muncul?
'Apakah gemerlapnya Surga
'Dengan jelas terlihat olehmu berlalu?'
Brahma memberi jawaban
Secara jujur terhadap pertanyaan bagi saya:
'Tidaklah lagi terdapat dalam diriku,
'Tuan, pandangan yang pernah muncul;
'Semua gemerlap Surga
'Saya sekarang dengan jelas melihatnya berlalu;
'Saya mengutuk/menyesalkan klaim saya yang dulu
'Sebagai yang permanen, kekal,.
<Majjhima Nikaya No. 50>
TANGGUNG JAWAB TUHAN
Jikalau ada suatu Raja yang adikuasa untuk memenuhi dalam
setiap
makhluk berkah atau celaan, dan tindakan baik atau buruk, Raja
itu
ternoda dengan dosa. Manusia bekerja melaksanakan keinginannya.
<Maha-Bodhi Jataka (No. 528); Jataka Stories, vol. V, p. 122)>
Ia yang memiliki mata bisa melihat pemandangan yang
memuakkan/menjijikkan itu;
Mengapakah Brahma tidak dapat mengatur dengan benar makhluk
ciptaannya?
Jikalau kekuatan luasnya tak terbatas,
Mengapakah tangannya begitu jarang terbentang untuk memberkati?
Mengapakah semua ciptaannya dikutuk pada kesakitan?
Mengapakah ia tidak memberi pada semuanya kebahagiaan?
Mengapakah penipuan, kebohongan, dan kegelapan batin
merajalela?
Mengapakah dusta mengalami kemenangan,---kebenaran dan keadilan
gagal?
Aku mempertimbangkanmu Brahma sebagai satu di antara yang tidak
adil,
Yang membuat sebuah dunia yang dalam mana tidak tepat untuk
dihuni.
<Bhuridatta Jataka (No. 543);Jataka Stories, Vol. VI, p. 110)>
PENCIPTAAN DAN SEBAB
Asumsi bahwa suatu Tuhan (isvara) adalah penyebab, dlsb. (dari
dunia),
bersandar atas kepercayaan salah dalam suatu diri yang kekal;
tetapi
kepercayaan itu haruslah ditinggalkan, jikalau seseorang sudah
dengan
jelas mengerti bahwa segala sesuatu adalah (tidak kekal, dan
oleh
sebab itu) tunduk pada penderitaan.
<Vasubhandu, Abhidharmakosa, 5, 8 (vol. IV, p. 19); Sphutartha
p. 445,
26.>
Sekolah-sekolah tertentu memegang pandangan bahwa ada suatu
Tuhan
Mahesvara yang adalah absolut, ada/hadir dimana-mana, dan
kekal; dan
bahwa ia adalah pencipta dari semua Dharma (yang dimaksud yaitu
fenomena).
Teori ini adalah tidak logis. Dan mengapa?
(a) Bahwa yang menciptakan tidaklah kekal; yang tidak kekal
tidaklah
hadir dimana-mana; yang tidak hadir dimana-mana tidaklah
absolut.
(b) Oleh karena ia adalah kekal dan hadir dimana-mana, dan
komplet
dengan semua kemampuan; ia seharusnya, dalam segala masa dan di
semua
tempat, menghasilkan secara tiba-tiba semua Dharma (fenomena).
(c) (Jikalau mereka katakan)bahwa ciptaannya bergantung pada
nafsu dan
kondisi-kondisi, kalau begitu mereka bertentangan dengan
doktrin
mereka sendiri tentang "sebab yang unik". Atau dengan kata
lain, kita
boleh katakan bahwa nafsu dan kondisi-kondisi seharusnya juga
secara
tiba-tiba muncul semua, karena sebab (yang menghasilkan mereka)
selalu
ada disitu.
<Vijnaptimatrata Siddhi Sastra (suatu karya standar dari
sekolah
Buddhis Idealistik) terjemahan dari versi Chinese oleh Wong Mow
Lam
("The Chinese Buddhist", Vol. II, No. 2; Shanghai 1932)>
SANTIDEVA
Suatu sifat kreatif alami dari seseorang yang tidak dapat
dipahami
tentulah juga tidak dapat dipahami. Kalau begitu mengapa harus
membicarakannya?
<"Bodhicaryavatara" IX, 121>
Jikalau sebab (Tuhan) tidak mempunyai awal, bagaimana mungkin
kalau
begitu efek/akibat (ciptaan Tuhan) mempunyai awal?
<ib., IX, 123>
Mengapa (Tuhan) tidak selalu memproduksi/menghasilkan
(maksudnya
menghasilkan seluruh ciptaannya serentak)? Tidaklah ada seorang
pun
atau benda yang perlu ia pertimbangkan. Sebab tidak ada satupun
orang
atau benda yang ia belum ciptakan. Mengapakah, kalau begitu,
harus ia
pertimbangkan?
<ib., IX, 124>
Jikalau ia harus mempertimbangkan kesempurnaan kondisi-kondisi
dulu,
kalau begitu Tuhan bukanlah penyebab (dari dunia). Sebab ia
jadinya
tidak bebas untuk berhenti menciptakan bilamana kesempurnaan
kondisi-kondisi itu hadir; pun ia tidak bebas untuk menciptakan
bilamana kesempurnaan kondisi-kondisi itu tidak hadir.
<ib., IX, 125>
Jikalau Tuhan bertindak tanpa mengingininya, ia menciptakan
dengan
ketergantungan pada sesuatu yang lain; tetapi jikalau ia
mempunyai
keinginan itu, kalau begitu ia menjadi tergantung pada
keinginan itu.
Kalau demikian dimanakah letak kedaulatan dari sang pencipta?
<ib., X, 126>
SANTARAKSITA
Ekstrak dari Tattva-Sangraha, The"Compendium of Truth" dengan
penjelasan oleh Kamalasila.
Dari Bab II: Doktrin tentang Tuhan.
1. Yang Satu dan Yang Banyak (Argumen dari Paley)
Keberadaan dari suatu Makhluk yang kekal, tunggal, dasar dari
kesadaran kekal yang terangkul,---tidak akan pernah bisa
terbukti...(Text 72)
...untuk suatu alasan yang sederhana bahwa Kejadian Nyata
apapun yang
mungkin disebutkan dalam bentuk Kendi dan benda-benda demikian,
akan
memiliki kekurangan dalam elemen kemiripan yang adalah sangat
penting
(pembuat kendi itu tidak memiliki semua karakter yang
dipredikatkan
pada Tuhan). (Penjelasan untuk 72)
Sebagai contoh, semua produk-produk demikian seperti
rumah-rumah,
anak-anak tangga, pintu-pintu gerbang, menara-menara dan
sejenisnya
secara pasti diketahui sudah didandani oleh pembuat-pembuatnya
yang
adalah banyak, dan dengan ide-ide yang berlalu dengan cepat.
(Text 73)
2. Yang Kekal tidak dapat bersifat produktif.
Hal-hal yang kekal tidak dapat menghasilkan akibat/efek-efek
apapun,
sebab tindakan "yang bertalian/berurutan" dan tindakan "yang
berbarengan" adalah kedua-duanya bertentangan; dan jikalau
objek-objek
adalah berurutan, mestilah ada keberurutan yang sama dalam
pengertian-pengertian mereka pula. (Teks 76)
....Hanyalah hal-hal non-eternal yang bisa menjadi sebab-sebab
yang
produktif; sebab hal-hal inilah sendiri yang secara terus
menerus tak
hentinya mengubah rangkaian karakter mereka---dari menjadi saat
ini
sekarang dan menjadi lampau pada detik berikutnya. Dengan
demikian
telah dibuktikan bahwa suatu Pembuat Yang Intelijen tentulah
selalu
berubah dan banyak. (Penjelasan untuk 76)
Pengertian-pengertian milik Tuhan mestilah berurutan, sebab
mereka
berhubungan dengan hal-hal berturutan yang dapat
dimengerti...(Teks
77)
...Jikalau pengertian Tuhan memanifestasikan dirinya sendiri,
dihasilkan oleh objek-objek yang adalah berurutan, lantas
terbuktilah
bahwa hal itu haruslah berurutan;---jikalau ia tidak dihasilkan
dengan
cara begitu, lantas, karena tidak akan ada kontak yang terdekat
(dengan objek dan pengertian itu), Tuhan tidak bisa mengerti
atau
memahami objek itu sama sekali...(Penjelasan untuk 77)
3. Suatu Penyebab yang bersifat Ketuhanan yang tak Terganggu
gugat
memerlukan penciptaan yang serentak
Tuhan tidak dapat menjadi Penyebab dari Benda-benda yang
Terlahir,
sebab ia sendiri tidak terlahirkan, seperti
'Teratai-langit(Sky-lotus)'. Atau sebaliknya semua benda akan
muncul
secara serentak. (Teks 81)
...Jikalau Penyebab itu adalah sesuatu yang kecakapanya tidak
pernah
tergoyahkan, kalau begitu semua benda akan muncul secara
serentak...
...Kemustahilan/absurdity (yang terlibat dalam posisi seorang
Theis)
akan terlihat dalam hal berikut: --- Ketika Penyebab itu hadir
dalam
bentuknya yang komplit/penuh, kalau begitu efek/akibat itu
mestilah
muncul sebagai sesuatu yang sudah selayaknya; sama seperti yang
ditemukan dalam kasus kecambah yang muncul sesegera setelah
tahap
akhir telah dicapai oleh kondisi-kondisi penyebab yang kondusif
untuk
hal itu. Sekarang di bawah doktrin dari Theis, sebagai Tuhan,
penyebab
segala sesuatu, akan selalu berada disana dan bebas dari segala
cacat,
segala benda, seluruh dunia, seharusnya muncul sekaligus
bersamaan.
Argumen berikut boleh diluncurkan:---"Tuhan bukanlah penyebab
tunggal
(dari segala sesuatu); malahan, apa yang ia lakukan ia lakukan
melalui
bantuan dari penyebab-penyebab pembantu seperti Jasa Kebaikan
dan
lainnya,---Tuhan sendiri karena menjadi satu-satunya 'Penyebab'
yang
Efisien (Pengatur) dari segalanya tidak bisa dikatakan hadir di
sana
dalam bentuk efisiennya."
Hal ini tidaklah benar. Jikalau ada pertolongan yang mesti
diberikan
kepada Tuhan oleh Penyebab-penyebab Pembantu itu, lantas ia
pastilah
dianggap bergantung pada bantuan-bantuan mereka. Akan tetapi,
sesungguhnya Tuhan adalah (dikatakan sebagai) kekal dan karena
tidak
ada sesuatupun yang bisa memperkenalkan ke dalamnya suatu
kecakapan
yang belum terdapat disitu, tidak akan ada suatu bantuan yang
ia
seharusnya terima dari penyebab-penyebab pembantu itu.
Mengapakah
kalau demikian, ia memerlukan bantuan-bantuan demikian yang
seharusnya
tidak berguna baginya?....
Uddyotakara telah berargumen sebagai berikut:---'Walaupun
penyebab
dari segala sesuatu yang dinamani 'Tuhan' adalah kekal dan
sempurna
dan selalu hadir, namun penciptaan/produksi dari segala benda
tidaklah
serentak, sebab Tuhan selalu bertindak dengan intelijen dan
bertujuan.
Jikalau Tuhan telah menciptakan benda-benda dengan kehadirannya
semata, tanpa intelijen/kecerdasan (dan tujuan), lantas
keberatan yang
dinyatakan akan sudah diaplikasikan pada doktrin kita. Akan
tetapi
sesungguhnya, Tuhan bertindak secara intelijen; dengan demikian
keberatan itu tidaklah diterima; khususnya sebab Tuhan
beroperasi
menuju Produk-produk hanyalah secara tunggal melalui
keinginannya.
Dengan demikian alasan kita adalah 'tidak meyakinkan'."
Hal ini tidaklah benar. Aktivitas dan inaktivitas dari segala
sesuatu
tidaklah terbebas dari keinginan dari Penyebab itu; kecuali
bila hal
itu adalah demikian, penampilan dari semua Akibat/Efek-efek
tidak akan
menjadi mungkin bahkan dengan kehadiran secara konstan dari
Penyebab
yang tak terhalangi itu dalam bentuk Tuhan, semata-mata karena
ketidakhadiran keinginannya. Fakta dari permasalahan adalah
bahwa
kemunculan dan ketidakmunculan dari segala benda adalah
terbebas dari
kehadiran dan ketidakhadiran dari kecakapan penyebab dari
Penyebab
itu. Sebagai contoh, walaupun seseorang boleh mempunyai
keinginan,
benda-benda tidaklah bermunculan, jikalau ia tidak mempunyai
ketangkasan atau daya untuk menghasilkan mereka; dan ketika
Penyebab
itu adalah dalam bentuk benih-benih mempunyai kecakapan atau
kemampuan
untuk menghasilkan kecambah, kecambah itu benar muncul,---
walaupun
benih itu tidak mempunyai keinginan sama sekali. Lantas jikalau
Penyebab yang disebut 'Tuhan' adalah selalu berada diberkati
secara
penuh dengan kecakapan yang tak terhalangi itu---sementara ia
berada
pada saat akan menciptakan suatu benda tertentu--- lantas
mengapa
segala sesuatu harus berdasarkan keinginannya, yang mana tidak
bermanfaat atau tidak berkaitan sama sekali? Dan sebagai hasil
dari
hal ini seharusnya bahwa segala sesuatu mestilah muncul secara
serentak, pada saat yang sama dengan kemunculan suatu benda
lain
apapun. --- Dengan demikian dengan sendirinya kemampuan
penyebab yang
tak terhalangi dari Tuhan bisa ditunjukkan, jikalau segala
benda
dihasilkan secara serentak. Bahkan Tuhan pun tidak bisa, yang
tidak
bisa dibantu oleh benda-benda lain, bergantung pada apapun,
kepada
mana ia memerlukan keinginannya.
Lebih jauh lagi, dengan ketidakhadiran Kecerdasan/Intelijen,
tidak
akan mungkin ada nafsu akan apapun juga,---dan Kecerdasan dari
Tuhan
dipegang sebagai yang secara kekal seragam; sehingga, bahkan
jika
Tuhan bertindak secara intelijen, mengapakah tidak adanya
penciptaan
benda-benda secara serentak? Sebab seperti Tuhan sendiri,
kecerdasannya selalu berada disitu.---Kalau begitu jika,
Kecerdasannya
dianggap sebagai abadi, begitu juga kecerdasan itu mestilah ada
secara
bersama-sama dengan Tuhan, dan kehadirannya haruslah sama
konstannya
seperti Tuhan sendiri; sehingga keberatan atas hal itu tetaplah
berlaku.
...Dan namun penciptaan dari benda-benda itu tidak ditemukan
serentak;
dengan demikian kesimpulannya mestilah bertentangan pada apa
yang
diingini oleh para Theist.
Argumennya bolehlah disusun demikian:---'Ketika suatu benda
tertentu
tidak ditemukan diciptakan pada waktu tertentu, hal itu
haruslah
dianggap sebagai satu benda yang Sebabnya pada saat itu
tidaklah tidak
terhalangi dalam kecakapannya (dengan kata lain kecakapannya
terbatas/terhalangi), seperti halnya yang ditemukan dalam kasus
kecambah yang tidak muncul pada saat benihnya masih dalam
lumbung;
adalah ditemukan bahwa pada kemunculan suatu benda keseluruhan
dunia
tidaklah dihasilkan. Dengan demikian apa yang telah dinyatakan
sebagai
suatu dalil universal (oleh Pihak Lawan) ditemukan sebagai
sesuatu
yang tidak benar.
(Penjelasan untuk 87)
Dari Bab VI: Doktrin dari 'Purusha' (Jiwa/Roh, Kepribadian)
sebagai
Penyebab dari Dunia
Akan tetapi, orang-orang lain mempostulatkan Purusha
(Jiwa/Roh)---
mirip secara karakter dengan 'Tuhan'---sebagai penyebab dari
dunia
...(Teks 155). Pembuktian kesalahan dari hal ini juga diajukan
dengan
cara yang sama seperti pembuktian kesalahan terhadap konsep
'Tuhan':
Dengan tujuan atau dasar apakah 'Roh/Jiwa' ini melakukan
tindakan
demikian (seperti menciptakan, dsb., dari dunia)?
(Teks 155)
Jikalau ia melakukannya karena ia disarankan oleh makhluk lain,
lantas
ia tidaklah bisa dikatakan berdiri sendiri (independen).
Jikalau ia
melakukannya melalui belas kasihan, lantas ia seharusnya
menjadikan
dunia bahagia secara mutlak. Ketika ia ditemukan menciptakan
orang
tertimpa dengan kesengsaraan, kemiskinan, penderitaan dan
berbagai
masalah-masalah lainnya,---dimanakah belas kasihannya bisa
dirasakan?
(Teks 156-157)
Lebih jauh lagi, sejauh mana, menjelang penciptaan, objek-objek
dari
belas kasihan tidak berada disana,--- tidak akan dapat ada
bahkan
belas kasihan itu melalui kehadiran dari yang dianggap si
Pentakdir.
(Teks 158)
Pun tidak seharusnya ia menyebabkan
terputusnya/berhentinya/gagalnya
makhluk-makhluk yang sebenarnya selalu sejahtera. Jikalau
dengan
bertindak demikian, ia dianggap sebagai bergantung pada
'Kekuatan yang
Tak Terlihat' (dari Nasib), maka 'kemandiriannya'
musnah/hilang. (Teks
159)
Hal itu bolehlah diperdebatkan bahwa --- "Ia membuat orang
bahagia dan
tidak bahagia sesuai dengan Nasib mereka masing-masing, dalam
bentuk
Jasa Kebaikan dan Kekurangan/Celaan."---Hal itu tidaklah bisa
benar
adanya; sebab dalam kasus itu kemandiriannya---yang sudah
didalilkan---akan hilang/musnah. Seseorang yang dirinya sendiri
diberkati/dipenuhi dengan kekuatan/daya tidaklah bergantung
pada hal
lain apapun; jikalau ia kekurangan dalam kekuatan, lantas
penciptaan
dunia itu sendiri boleh didiatributkan yang mana ia bergantung
padanya; dan dalam kasus itu ia akan berhenti dikatakan sebagai
Penyebab. (Penjelasan pada 159)
Lantas lagi, mengapakah harus ia membuat dirinya bergantung
pada Nasib
itu, yang mana adalah kondusif bagi penderitaan dan kesakitan?
Sebenarnya, jika seperti penuh dengan belas kasihan ia adanya,
tindakan yang benar darinya sesungguhnya adalah mengabaikan
Nasib itu.
(Teks 160)
Orang-orang yang penuh belas kasih tidak akan mencari
sebab-sebab
demikian yang hanya membawa pada penderitaan: sebab
satu-satunya motif
yang melatarbelakangi tindakan-tindakan mereka mencakup dalam
keinginan untuk membebaskan orang lain dari penderitaan.