|
|
|
|
|
|
|
|
A
Page to Rest -
Breathing Space |
Complete list of articles on this site |
Free Downloads |
Mahayana, sebagai suatu gerakan perlawanan thd Hinayana, secara alamiah mendorong pemberian tekanan pada pentingnya kualitas , dimana mengadung karakteristik berikut : (a) Progresif dan berpandangan luas, lebih memberikan perhatian pada
jiwa dari Naskah Suci daripada hurufnya, bahkan berharap utk menuliskan
yg segar kapan saja diperlukan penampilan baru bentuk Ajaran;
Mahayana disebut progresif dan berpandangan luas karena perhatian dan
pengakuannya yg terus-menerus atas kenyataan bahwa Kebenaran Tertinggi
itu terkatakan dan bahwa semua formulasi konseptual dan ekspresi verbal
yg mungkin, cuma merupakan simbol darinya. Di dalam Lankavatara Sutra,
Sang Buddha bersabda:
Alasan kedua atas keberhasilan Mahayana adalah pandangannya atas harapan dan kebahagiaan. Berbeda dgn kepercayaan umum, beberapa halaman tertentu dari Kitab Suci Pali bergetar dgn kegembiraan yg mendalam dan berkilau dgn kebahagiaan yg hikmat, dan ekspresi dari keyakinan dan bakti kepada Buddha sama sekali tidak hilang. Baik Naskah Suci Buddhis Pali maupun Sanskerta mendorong pengembangan yg harmonis dan seimbang antara akal sehat dan emosi, Kebijaksanaan dan Keyakinan. Emosi positif merupakan landaran dari upacara bentuk luar dari pemujaan Mahayana. Emosi ini terdiri dari tiga serangkai pengembangan Kasih Sayang, Welas Asih dan Bakti; yang pertama ditujukan kepada yg sederajat, yang kedua utk yg di bawah, dan yg ketiga utk yg di atas. Karena emosi dpt diraskan hanya oleh makhluk hidup, pengembangan bakti dgn sendirinya menghantar kepada bervariasinya obyek bakti, yaitu, Buddha dan Bodhisattva, sehingga dlm Mahayana kita temukan tak terhitung banyaknya makhluk transeden yg tidak dikenal dlm Ajaran bentuk awal. Secara alamiah, penghayatan Mahayana cenderung direfleksikan dlm penyaluran tindakan dan pemujaan sehingga tidak bisa terhindarkan, termasuk juga berbagai bentuk luar upacara puja bhakti. Positivisme Mahayana Positivisme Mahayana ada dua jenis : doktrinal dan metodologis. Yang pertama adalah doktrin kembar Mahayana mengenai Kebijaksanaan dan Welas Asih. Kebijaksanaan untuk perlindungan aspek positif dari agama Buddha dan demi perkembangan diri sendiri, sementara Welas Asih merupakan energi positif yg menyebarkan Dharma kepada yg lain. Dan latar belakang Mahayana merupakan konsepsi yg melingkupi semuanya dari Kesunyataan (sunyata), suatu keadaan yg mengatasi semua konsepsi. Landasan metodologis Mahayana terdiri dari suatu alam konsepsi positif. Pertama, kita melihat konsepsi abstrak seperti Kesadaran Absolut (citta) atau Batin Universal, dan Kebahagiaan Tertinggi (maha-sukha); selanjutnya konsepsi religus-kuasi seperti Tubuh Absolut di mana Kebijaksanaan dan Welas Asih secara spritual bersatu; setelah itu suatu kediaman yg tak terhingga dari Buddha, Bodhisattva, dan makhluk luhur lain, semua personifikasi dari berbagai tingkat dari Jalan; dan akhirnya, pasukan dewa, makhluk setengah dewa, roh penjaga, dan sebagainya, masing-masing mengujudkan, pada tingkatan yg lebih bawah dari keberadaan fenomenal, beberapa aspek dari ajaran. Mahkota kejayaan Mahayana tentu saja cita-cita Bodhisattva yg termasyhur, cita-cita altruisme absolut pada bidang transeden tertinggi. Kadang-kadang disalahpahami bahwa Mahayana memberikan tempat yg terus bertambah penting kepada kehidupan berumah tangga yg berdedikasi dgn mengorbankan integritas dan kesucian tujuan vihara. Moralitas adalah, bagi pengikut Mahayana, tidak sekedar soal menjaga penampilan di mata umum, seperti yg sering terjadi di Theravada. Sekali diakui bahwa seorang Bodhisattva, bisa seorang bhikkhu atau seorang umat biasa, seterusnya menjadi tidak mungkin utk mengidentifikasi kehidupan spritual sebagai hak eksklusif kehidupan vihara. Sebelumnya dari Dhammapada (ayat 142) telah dikutip pernyataan bahwa bahkan seorang yang berpakaian mewah yg menjalani kehidupan spritual adalah sama baiknya dengan seorang bhikkhu. Lebih jauh lagi, menurut beberapa sutra (seperti Sutra Teratai), Bodhisattva dlm kegairahannya utk membabarkan kebajikan kepada orang lain, dapat melakukan tindakan yg secara umum dianggap sebagai menjunjung tinggi Welas Asih daripada mencemarkan persekutuan moral (misalnya perumpamaan tentang membakar rumah dlm Sutra Teratai di mana sang ayah menggunakan cara yg penuh tipu daya utk mengeluarkan anak-anaknya). Kontribusi budaya Mahayana Baik Theravada maupun Mahayana memberikan sumbangan kebudayaan dan peradaban yang banyak di negara-negara Asia di mana agama Buddha tersebut berkembang. Mahayana yang lebih dominan di sebagian besar negara Asia memperkaya bahasa dan kesusasteraan kebanyakan negara Asia Utara antara lain Tibet, China, Korea, dan Jepang. Tidak seperti Theravada yg menekankan kemurnian Pali Tipitaka, dimana Mahayana mampu melakukan adaptasi penyebaran Dharma melalui pemahaman bahasa dan dialek setempat. Mahayana juga mengembangkan praktek meditatif yg sangat kentara dlm agama Buddha ke dlm bentuk praktis, dan bahkan sampai ke dalam bentuk ilmu bela diri dan seni, seperti Vihara Sau Lin di China dan kaum Samurai di Jepang yang menempa diri mereka secara teknik kontemplatif Zen, sampai ke bentuk Judo yg lebih modern. Perkembangan tersebut menunjukkan aplikasi mental ke bentuk kesehatan fisik. Mahayana pada dewasa ini memperlihatkan suatu gerakan yg mengarah kepada kesejahteraan masyarakat pada umumnya dengan memainkan peranan yg penting di setiap kegiatan sosial. Sekolah mulai dari taman kanak-kanak, wisma, rumah sakit, dan berbagai proyek sosial tidaklah asing dlm gerakan Mahayana di seluruh dunia. Filosofi Mahayana yg dinamis menunjukkan harapan yg menggembirakan di Barat, khususnya karena sekarang landasan Judeo-Kristen sedang goyah. Semua itu menunjukkan perwujudan dari kata-kata Padmasambhava; "Pada saat burung-burung besi beterbangan, maka agama Buddha akan menyebar ke Barat." Akar-akar yang sama dari Theravada dan Mahayana Walaupun kaum Hinayana (dan Theravada) menganggap Mahayana sebagai ajaran yg dikorupsi dari ajaran asli atau merupakan suatu sekte yg menyimpang dan sesat, tetapi Mahayana tidak menganggap Hinayana sesat atau bertentangan dengan Ajaran Sang Buddha, melainkan kurang lengkap adanya, atau hanya merupakan sebagian kecil yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada siswaNya saat itu yang tidak mampu memahami Kebenaran yang dalam dari Mahayana. Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa kedua aliran ini memiliki akar persamaan dalam agama Buddha kuno pada masa awalnya. Lebih jauh lagi kelihatannya semua unsur yg merupakan ciri khas Mahayana, dapat juga ditelusuri dalam Kitab Suci Pali. (i) Hinayana menghadirkan suatu sosok Buddha historis yg dilahirkan,
berjuang dlm Kebenaran, mencapai Pencerahan Tertinggi, membabarkan Ajaran
dan Parinibbana. Mahayana bagaimanapun juga menganggap Buddha itu merupakan
Kekuatan Abadi atau Kebenaran Universal yg mengatasi ruang dan waktu, yang
memanisfetasikankan diriNya dari waktu ke waktu dalam wujud yg sesuai dgn
kebutuhan umat manusia. Kekuatan Buddha berulang kali diisyaratkan, misalnya
dalam Maha Parinibbana Sutta
(ii) Sewaktu seorang bhikkhu bernama Vakkali tergila-gila pada bentuk fisik Sang Buddha, ia dinasehati bahwa "Ia yang melihat Dharma melihat Aku; ia yang melihat Aku melihat Dharma." (S 3:120; ltv 91). Suatu uraian mengenai pernyataan ini dalam doktrin Mahayana adalah konsepsi mengenai Dharmakaya (secara harafiah berarti, 'Tubuh Kebenaran'), yaitu Kebenaran Tertinggi yang muncul sendiri. Lebih jauh lagi : "Karena seorang Tathagata, bahkan meskipun benar-benar hadir, Ia tidaklah dapat dipahami, adalah tidak mungkin untuk mengatakan tentang Ia... bahwa setelah wafat Tathagata itu ada, atau tiada, atau ada dan tiada, atau bukan ada maupun bukan tiada." (S 3:118; cf. M 1:488) Sutra Intan menguraikan suatu aspek yg penting dari sudut pandang tersebut
di atas,
Dari Dharma orang harus melihat Buddha,
(iii) Maha Parinibbana Sutta memiliki pesan menarik lain yang mengungkapkan hakikat dari keahlian seorang Buddha : "Sekarang , Ananda, terdapat delapan jenis kumpulan, yaitu: kumpulan dari para suci, brahmana, perumah-tangga, petapa, Empat Raja Surgawi, Tiga Puluh Tiga Dewa, Mara, dan Brahma. Dan Aku ingat, Ananda, bagaimanapun Aku telah mengunjungi delapan perkumpulan ini, ratusan kali. Dan sebelum duduk dan memulai wejangan atau diskusi, Aku membuat penampilan-Ku seperti mereka, suara-Ku seperti mereka. Dan karenanya, Aku mengajar mereka Ajaran, dan membangunkan, memajukan, dan membahagiakan mereka. Meskipun Aku berbicara seperti itu kepada mereka, mereka tidak mengenali-Ku, dan mereka akan saling bertanya satu sama lain, 'Siapakah gerangan Ia, yang berbicara kepada kita? Apakah ia seorang manusia atau seorang dewa?'" (D 2:109) ......bersambung....Karenanya cukup jelas.... The One Way - Ven. Piyasilo (16b) (iv) Karenanya cukup jelas bahwa usaha apapun untuk membicarakan hakikat sejati Buddha dalam istilah duniawi akan terbukti rapuh adanya, atau paling hanya merupakan suatu simbol saja. Untuk tujuan kita saat ini bagaimanapun juga semestinya cukup memadai jika Ia membolehkan istilah 'Buddha' mewakili semua Kebenaran transeden. Ini cuma untuk mengikuti jawaban yang diberikan Sang Buddha atas pertanyaan brahmana Dona apakah Ia 'seorang dewa, makhluk surgawi, suatu roh, atau seorang manusia". Sang Buddha menjawab bahwa semua kondisi yang akan membuatnya dilahirkan sebagai semua yang ia sebutkan itu, telah dimusnahkan olehNya , dan karenanya adalah paling baik untuk menyebutnya 'Buddha'. (A 2:38) (v) Persamaan lain yang mengejutkan antara aliran Mahayana dan Hinayana adalah konsepsi mereka mengenai pikiran, yaitu, 'pabhassara-citta' (batin luhur) dalam Kitab Suci Pali dan Tathagata-garbha (embrio Buddha) dalam Mahayana. Ini didukung oleh dua ayat dalam Angutara Nikaya : "Wahai bhikkhu, pikiran ini suci, tapi dinodai oleh kekotoran sebelah luar." "Wahai bhikkhu, pikiran ini suci dan bebas dari kekotoran sebelah luar." (vi) Salah satu persamaan dari ajaran Hinayana dan Mahayana yang paling penting adalah doktrin mengenai Kekosongan (sunyata). Terdapat beberapa referensi bahkan di dalam bagian Kitab Suci Pali yg paling tua, misalnya dalam Sutta Nipata, Sang Buddha memberitahu Mogharaja utk melihat dunia ini sebagai 'kosong' (sunna) dengan membuang gagasan diri (Sn 1119; of S 3:142, 167, 4:54; M 3:245). Nagarjuna, genius Mahayana, mengembangkan doktrin ini hingga ke puncaknya dalam aliran Madhyamaka (Jalan Tengah). "Cahaya lampu menyala tergantung kepada minyak dan sumbu; demikian juga halnya, tidak pada yang satu atau yang lain, tidak juga dalam dirinya sendiri fenomena itu muncul, tidak ada sesuatu dalam dirinya. Segala sesuatu itu tidak nyata; dimana semu adanya; Nibbana satu-satunya kebenaran." (M 3:245) Nagarjuna berkata :
(vii) Kedua aliran menerima tiga Yana atau Bodhi namun menganggap cita-cita Bodhisattva sebagai yang tertinggi. Mahayana mengajarkan bahwa terdapat banyak Bodhisattva mistik sementara Theravada menganggap Bodhisattva sebagai seorang manusia di antara kita yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi pencapaian kesempurnaan, hingga pada akhirnya menjadi Buddha Yang Sempurna bagi kesejahteraan dan kebahagiaan dunia. (viii) Istilah tunggal yang paling penting yang menyatukan semua aliran dalam agama Buddha barangkali adalah ekayana ('jalan tunggal') yang ditemukan baik dalam Kitab Suci Pali (dalam Satipatthana Sutta, D 2:290) dan Mahayana (Sutra Teratai, bab 3). Jika Mahayana mendefinisikan 'Jalan Tunggal' sebagai 'Kendaraan Buddha' (kadang-kadang disebut Mahayana), Kitab Suci Pali memberikan definisi metodologis seperti Empat Landasan Perhatian (satipatthana), dua-duanya paling tinggi dalam hal mempunyai tujuan yang sama. Praktek-praktek yang sama dalam Theravada dan Mahayana Sangha memegang peranan penting dalam menjaga kontinuitas agama Buddha, dimana dijaga dengan baik tradisi Theravada maupun Mahayana. Anggota sangha pada umumnya melakukan praktek religius yang sama, antara lain mempelajari kitab suci, meditasi, ceramah, upacara, dan termasuk juga seni dan musik Buddhis. Disamping pembacaan sutra/sutta, Theravada juga membaca paritta (syair perlindungan) dengan cara sebagaimana juga dilakukan oleh Mahayana yang lebih spesifik dengan mantra dan dharani. Kedua tradisi memiliki kebiasaan kegiatan spitual harian yang sama seperti puja bhakti pagi dan malam hari. Theravada yang menekankan tentang usaha pengolahan diri sendiri juga melakukan praktek pattidana (persembahan jasa) yang mana merupakan suatu doktrin dan praktek yang penting dalam Mahayana. Salah satu persamaan yang penting dalam hal pelayanan spritual adalah khamavaca (pengakuan kesalahan), namun Theravada lebih menekankannya sebagai suatu aspirasi bagi kemajuan diri sendiri daripada penyelesaian terhadap kesalahan yg telah dilakukan dimana dalam hal lebih condong dilakukan oleh Mahayana. Persamaan lainnya adalah sama sama memunculkan patung Buddha , dimana sebenarnya hal ini sangat berlawanan dengan praktek agama Buddha pada awalnya yang hanya memunculkan Sang Buddha dgn simbol-simbol non-personal seperti Pohon Bodhi, jejak kaki, stupa, atau Roda Dharma. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani yang berkembang di Barat Laut India (Gandhara). Sehingga pada dewasa ini apabila kita melihat suatu vihara baik Theravada ataupun Mahayana tanpa kehadiran patung Buddha akan terasa janggal sekali. Masing-masing negara memliki ciri khas tersendiri dalam menghadirkan patung Buddha tersebut, kalau di Thailand kebanyakan bhikkhu yg fanatik memasukkan jimat dan hiasan dari masa pra-Buddhis yg umumnya berbentuk batu atau metal dengan jampi yg tertulis ataupun dibacakan ke dalam berbagai patung Buddha yang kecil dan indah. Umat Buddha di Burma melakukan hal yang sama dengan lethpwe-nya. Pemujaan terhadap makhluk suci dan bahkan setan tidak saja merupakan ciri khas Mahayana dan Vajrayana, tetapi juga ditemukan dalam praktek Theravada. Sebagai contoh agama Buddha Theravada di Burma masih memuja roh-roh (nat) dan umat di Thailand belum lengkap kalau belum menghadirkan penjaga rumah (sal phra phum), semacam dewa bumi. Umat Buddha Sinhala memuja berbagai dewa seperti Sakra, Maha Brahma, Vishnu, dan Kataragama yg kesemuanya dikenal dalam agama Hindu. Pemujaan kepada sembilan planet (nava-graha) juga berkembang luas di antara umat Buddha Sinhala. Umat Buddha pada umumnya tidak mengerti hal ideal seperti ini dimana menunjukkan suatu keraguan akan kemurnian yang dibicarakan. Manusia duniawi yang masih condong kepada takhayul, magis, dan materialistik baik dari masa lalu maupun masa sekarang adalah merupakan suatu tantangan terberat yang harus dihadapi oleh agama Buddha dalam usaha perkembangannya. Mahayana mencoba menjawab kebutuhan perlindungan dan pelestarian diri yang primitif dengan menciptakan berbagai cara yang inovatif yang diasosiakan dengan Buddha, Bodhisattva, dewa-dewa dan setan-setan yang tak terhitung banyaknya dimana lebih merupakan suatu simbol belaka dalam pelaksanaan upacara bhakti bagi umat pada umumnya. Cara bhakti seperti ini seperti memberikan boneka kepada anak-anak dengan harapan setelah bertambah dewasa maka mereka akan mulai mengurangi kesenangan terhadap boneka tsb dan mulai mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang lebih tinggi khususnya dalam pengolahan diri sendiri untuk mencapai pencerahan. Sepuluh Prinsip Unversal dalam Agama Buddha Sejumlah daftar telah dibuat oleh para cendekiawan Buddhist yg mencerminkan kepercayaan umum dari berbagai aliran dlm agama Buddha. Dua diantaranya yg paling terkenal adalah dari H.S. Olcott (1891: empat belas 'Kepercayaan Buddhist yg Fundamental') dan Christmas Humphreys (1945: 'Dua Belas Prinsip Agama Buddha'). Dalam dunia sistem desimal sekarang ini, cukup rapi jika daftar lain seperti itu juga dimunculkan, seperti Sepuluh Prinsip Universal Agama Buddha berikut ini : (1) SANG BUDDHA - baik sebagai guru historis Sakyamuni maupun sebagai
prinsip spritual Pencerahan - yang merupakan inspirasi, Cara dan Tujuan
kita; dimana dalam Mahayana diwujudkan dalam berbagai Buddha, Bodhisattva,
dan makhluk suci lainnya.
Kebutuhan akan Remitologisasi Pada pendangan pertama, dari apa yg telah kita kumpulkan, memperlihatkan bahwa agama Buddha yang terlalu akomodatif terhadap berbagai kepercayaan dan praktek luar, kelihatannya telah merusak sendi-sendi agama Buddha itu sendiri karena bertoleransi. Umat Buddha memasukkan animisme kepercayaan lokal terhadap persentuhan Dharma karena berpendapat bahwa agama Buddha merupakan agama yang misonaris (Ling 1979, 42 f.). Daripada menghancurkan suatu kebudayaan, agama Buddha berjalan harmonis dengannya : "Jika itu yang engkau percaya, dan jika itulah caramu melihat hidup ini, ayo kita mulai dari sana" Untuk dapat sampai kepada masyarakat, misionaris Buddhis memanfaatkan beragam cara yang terampil sebagai 'jembatan' antara cara berpikir yang populer dan Dharma. Satu jembatan penting seperti itu adalah simbol Mara dalam agama Buddha, sang kejahatan. Figur mitologis yang khas Buddhis ini menyediakan cara untuk untuk mengalihkan gagasan animisme ke dalam analisis keberadaan yang mendalam. Para umat lokal, yang untuk pertama kali mengenal agama Buddha, akan segera menerima figur yang tidak asing dari Mara. Mereka akan belajar melihat Mara tidak sebagai siluman kampung, melainkan sebagai musuh dari kehidupan suci lewat pandangan Buddhis, seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha: "Apa sebenarnya Mara itu? Bentuk adalah Mara.....perasaan adalah Mara....persepsi adalah Mara....bentukan-bentukan mental adalah Mara......kesadaran adalah Mara." (S 3:188 f.) Dengan kata lain, Mara sang kejahatan muncul sebagai sesuatu wujud yang lebih luas tidak hanya sekedar siluman atau setan yang dimunculkan untuk memperdaya. 'Wahana Peralihan' seperti ini yang lain adalah kisah-kisah Jataka dari Theravada, dewa dan setan dalam Vajrayana, dan ekspresi kultural agama Buddha lainnya. Sehingga sebaiknya kita sebagai umat Buddha, tidaklah terburu-buru menolak mitologi (demitologi) dalam agama Buddha, karena konsepsi seperti itu asing dalam sejarah Buddhis, sebaliknya kita semestinya bersifat toleransi terhadap mitologi (remitologi) Buddhis yang penuh inspirasi atas pemikiran yang populer. Ini karena mitologi (menurut C.G. Jung) merupakan produk abadi dari bawah sadar universal dan kolektif dalam mana semua manusia berbagi, dan yang dilihat dan dipercayai oleh kebanyakan orang sebagai suatu mitologi kuno dan kasus historis psikologi modern. Bahkan, kebenaran keramat harus dikomunikasikan dalam berbagai bentuk cerita jika memang perlu dimengerti dan diterima secara benar, dan seandainya hal itu memang diperuntukkan bagi umat awam dalam bentuk yang dapat diterima maka haruslah diikuti sedemikian rupa sehingga dapat mengaruhi keseluruhan diri mereka. Alasan bagi Sektarianisme Sektarianisme dapatlah diartikan sebagai tidak terdapatnya toleransi terhadap ajaran dan praktek dari berbagai aliran dan sekte lainnya yg ada dalam agama Buddha, selain sekte/aliran sendiri. Alasan pertama bagi sikap seperti itu tentu saja bersifat historis, yaitu penerimaan suatu aliran tunggal yang dipercayai sendiri tanpa mau memahami hubungan yang berkaitan ataupun perkembangan yang saling dimiliki oleh masing-masing aliran. Kita mesti sadar bawah setiap pembaharuan religius sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak, pembaharu dan yang ditentang pembaharu tsb (misalnya reformasi Kristen memunculkan Reformasi Balasan Katolik yg paling tidak memacu yang belakangan untuk berintrospeksi dan memperaiki diri sendiri). Sudah merupakan suatu kecenderungan psikologis pada umumnya bahwa penerimaan religius yang pertama adalah merupakan ajaran yang paling baik dan benar. Ini terutama benar untuk orang yang dilahirkan dalam keluarga yang telah beralih kepada suatu keyakinan atau aliran. Kemudian juga terdapat suatu bias linguistik, misalnya di Malaysia dan Singapura dimana kebanyakan umat yang berbahasa Inggris punya kecenderungan mimilih Theravada Sinhala dan umat yang merupakan etnis China lebih menyukai Mahayana (atau dalam kasus Theravada Thailand, umat Thai lokal cepat menyerap dialek China). Kenyataannya kecenderungan umum tersebut tidak begitu bersifat doktrinal melainkan lebih merupakan bias linguistik. Ini membawa kita kepada alasan berikutnya bagi sektarianisme karena kurangnya literatur berbahasa Inggris yang berkaitan dengan Mahayana di tempat tersebut. (Tidak seperti Theravada yang cenderung cuma membaca dan terlibat dalam ajaran mereka sendiri, Mahayana memiliki kelebihan literatur yg berkenaan dgn kedua aliran tersebut). Kurangnya eksposisi literatur ini merupakan salah satu sebab utama terjadinya bias sektarian. Kurangnya eksposisi sosial juga berperan banyak dalam masalah ini, dan jika saja umat Buddha dari satu aliran mau mengadakan kunjungan baik ke vihara dan pusat dari aliran lainnya (khususnya kunjungan studi), akan terdapat pengertian yang lebih baik di antara berbagai aliran Buddhis. Suatu prakonsepsi mungkin akan muncul jika umat cenderung menghakimi aliran lain dengan standarnya sendiri dimana malah berakibat suatu kondisi hubungan yg memburuk. Untuk memahami tradisi lain selain tradisi sendiri, orang harus memulai dengan cara berpikir tradisi tersebut. Kita hidup dalam dunia konvensional dimana apa saja yang sah di suatu tempat bisa saja ditabukan di tempat lainnya. Dalam tata cara Barat yang sopan (dan Vinaya Pali) , meminum atau meneguk sup dengan cara diseruput bukan merupakan masalah, akan tetapi adat istiadat Jepang mengharapkan kita melakukannya dengan cara yg lebih lembut. Metode-metode untuk Mempromosikan Non-Sektarianisme Kembalinya agama Buddha di Malaysia dan Singapura adalah relatif baru, sehingga dalam kesempatan awal ini akan sangat bijak jika sektarianisme bisa mulai dihentikan. Suatu disiplin Buddhis yg penting harus diperkenalkan dan dikembangan seperti studi perbandingan dalam agama Buddha dimana termasuk penelitian sejarah Buddhis pada masa awalnya, doktrin-doktrin dasar dan praktek-praktek umum. Dalam hal ini harus juga dapat dimasukkan berbagai aspek yang berkaitan termasuk aspek psikologis, filosofis dan disiplin agar terjalin suatu peningkatan pengertian terhadap hakikat dan masalah-masalah yang timbul baik dari pengalaman ataupun ungkapan keagamaan. Identitas nasional Buddhis cenderung penting dan wajar pada saat ini. Misionaris di luar negeri telah menjalankan peranan mereka dengan sangat baik, dan sekarang saatnya buat umat lokal untuk memainkan peranannya dimana sepanjang agama Buddha tidak diungkapkan melalui kebudayaan lokal (bahasa, seni, arsitektur, musik dsb), maka Dharma tidak dapat dikatakan sudah menjadi suatu bagian kesatuan dari hidup kita. Misionaris asing harus berhenti untuk menganggap mereka sebagai orang 'Burma', 'Sinhala', 'Thai', 'Tibet', 'Jepang, dsb, melainkan sebagai 'orang Malaysia (lokal)'. Sehingga kita hanya perlu memandang bagaimana agama Buddha telah bersatu ke dalam masyarakat Burma, Sri Lanka, dan Thailand untuk memahami perlunya 'Malaysianisasi (lokalisasi)' agama Buddha. Jika tidak , agama Buddha yang kita miliki di sini akan cuma menjadi tanaman eksotis dalam sebuah rumah kaca tropis dan kita cuma akan menjadi sumber kebudayaan asing. Cara praktis untuk mengembangkan kesatuan di antara aliran adalah dengan penggunaan suatu kantor atau pelayanan religius secara umum. Vihara Buddhis Damansara telah berhasil menggunakan 'Puja Tujuh Tingkat' yg terutama dilakukan dlm bahasa Inggris, dengan Perlindungan dan Sila dalam bahasa Pali, Mantra-mantra yg lebih sederhana dalam bahasa Sanskerta. (Puja ini telah juga diterjemahkan dan dijalankan dalam bahasa Malaysia). Musisi dan komposer Buddhis lokal telah juga menciptakan dan mengilhami hymne Buddhis Malaysia yang berjalan selaras dengan Puja Tujuh Ruas. Ini merupakan tanda datangnya sesuatu yang lebih besar. Faktor paling penting dalam mempromosikan keharmonisan non-sektarian tentu saja adalah pikiran yang terbuka dan hati yang toleran. Jika orang tidak mengerti sesuatu, atau berpikir bahwa sesuatu itu bertentangan dgn prinsipnya, maka dia seharusnya dengan semangat Buddhis yg sejati, mengusahakan untuk menyelidiki dan menemukan sebabnya. Pikiran yg tertutup dan cara pandang yg mementingkan diri sendiri, cuma akan membawa sesuatu yg lebih buruk daripada sektarianisme yang cenderung fanatisme religius (yang patut disyukuri bahwa agama Buddha cukup terbebas darinya selama perjalanan sejarah ). Di India kuno, bukan merupakan hal yang tidak lazim apabila seorang umat Buddha memberikan dana kepada Sangha di Empat Penjuru (caturdisa-sangha), yakti semua aliran dlm agama Buddha, meskipun mereka cuma menaruh keyakinan dalam satu aliran saja. Orang yg menjalankan prinsip dasar agama Buddha akan segera memahami bahwa sektarianisme itu buruk dan tidak perlu adanya. Mereka yg mengoceh bahwa aliran atau sekte mereka itu 'murni' dan bahwa yg lainnya 'sesat' telah dengan sombong dan kasar menyakiti akar dari agama Buddha dan memperlihatkan lemahnya perkembangan spritual mereka. Orang-orang fanatik seperti itu, hampir tidak pernah membaca satu halaman pun ajaran-ajaran yg dikutuknya. Mereka tidak memahami tradisi yang mereka serang dimana hanya beralasan bahwa "aliran lain itu salah dan tidak seperti aliran kita!". Kelemahan sektarianisme jelas sekali. Paling tidak hal tsb menciptakan dan menyebarkan kebencian dimana merupakan suatu rintangan yg tidak baik untuk kemajuan spritual. Sektarianisme berarti bahwa mereka memiliki pikiran yg tertutup dan mencerminkan bahwa mereka tidak akan pernah melihat di atas keegoisannya sendiri. Mereka menunjukkan kurangnya welas asih yg pada akhirnya akan membawa akibat akhir berupa perpecahan dan kesengsaraan Harus Memulai dari Aliran Mana? Kita harus memulai dari suatu tempat utk mempelajari ajaran dan praktek religius Buddhis. Dalam semangat non-sektarianisme, kita hanya bisa mulai dari Doktrin Dasar atau Sepuluh Prinsip Universal. Jika kita sungguh-sungguh tertarik dengan kemajuan spritual, mengapa harus merepotkan diri dengan label 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana'. Selain itu jika kita sedang berada dalam kesukaran dan berpaling kepada Dharma, apa bedanya jika label-label tersebut dibuang saja. Pertanyaan yg vital adalah apakah sistem tersebut dapat berjalan. Bagaimanapun Jalan Mulia Delapan Ruas akan tetap berhasil apakah itu Tantra atau Zen! Seandainya kita karena keterpaksaan oleh keadaan atau tempat lahir sehingga harus berakar pada aliran tertentu, maka kita juga semestinya menjaga agar pikiran tetap terbuka dengan cara membuat studi perbandingan terhadap aliran Buddhis lainnya. Dan dalam hubungannya dengan hal ini, Sang Buddha bersabda agar kita waspada sangatlah tepat, : "Untuk hal-hal yang tidak kita setujui, kawan, biarlah hal-hal itu seperti apa adanya. Untuk hal-hal yang kita sependapat, marilah yang bijaksana saling bertanya, mengemukakan alasannya, membicarakannya dengan atau kepada guru mereka atau komunitas mereka." (D 1:163) Tentu saja selalu ada masalah dengan tradisi dan ekspresi historis , seperti "orang harus mempraktekkan agama Buddha sebagai seorang anggota dari satu aliran, atau dia akan menjadi tak berakar," tegas pemerhati yang peduli. Jika kita serius terhadap perkembangan spritual dan tidak terlalu memperhatikan aspek kultural dan historis, maka kita tidak perlu berafiliasi pada salah satu aliran atau sekte, karena bukankah semua aliran itu hanyalah suatu ekspresi kultural yg merupakan bentuk luar belaka? Disamping itu sektarianisme adalah merupakan kepercayaan terhadap pandangan salah akan adanya suatu diri (sakkaya ditthi /satkaya drsti) yang merupakan rintangan pertama dalam jalan menuju Pencerahan. Ikutilah Teladan Sang Buddha Sangatlah bijaksana apabila kita senantiasa mengingat bahwa tidak pernah terdapat 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana' di era Sang Buddha Gautama membabarakan Dharma. Label-label tersebut baru diperkenalkan di era sesudahnya oleh umat Buddha sebagai suatu alasan untuk memudahkan mereka memahami darimana seseorang itu memandang kedalaman dan totalitas dari Sang Buddha dan AjaranNya. Karenanya kita tidak seharusnya bermimpi untuk menyebut Sang Buddha sebagai seorang 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana' , bahkan Sang Buddha tidak pernah menyebut diriNya sebagai seorang 'Buddhist'. |
Vihara Buddhist Damansara Hari Devarohana (14 Oktober 1981) Ditulis khusus untuk UNISAINS 1981 Dari naskah asli : The One Way, A Comparative Study of Mahayana and Theravada Penerjemah : Ir. Edij Juangari Diterbitkan oleh : Yayasan Penerbit Karaniya, Bandung |
|
|
|
|
|
|
|
|
A
Page to Rest -
Breathing Space |
Complete list of articles on this site |
Free Downloads |