Quran
Hadits
Kisah
Artikel
tips
Hijab Collection
Sanggar Busana
|
Semakin Rapat Semakin Terhormat
Kalau ditanya apa yang membedakan manusia dengan hewan jika dilihat sekilas? Bentuk fisik, jelas berbeda. Tetapi perbedaan yang menunjukkan tingkat kemajuan akalnya atau peradabannya adalah manusia mengenakan pakaian, sedangkan binatang tidak.
Dengan kata lain semakin tinggi tingkat akal (peradaban) seseorang maka pakaian yang dikenakannya pun kian menutupi seluruh badannya.
Kita bisa membuktikannya dari fakta sejarah perkembangan peradaban manusia. Zaman dahulu, katakanlah ketika zaman batu, orang hanya mengenakan kulit binatang untuk menutupi sebagian kecil tubuhnya. Seiring perkembangan zaman, maka semakin banyak bagian tubuh yang ditutupinya. Terlebih bagi kaum hawa.
Perkembangan kemajuan dalam berpakaian terus meningkat seiring dengan kian majunya peradaban manusia, hingga akhirnya sampai kepada busana yang menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan tangan. Aturan ini pula yang diwajibkan kepada para Muslimah untuk cara berpakainnya sebagaimana, firman Allah dalam Alquran Surat Al Ahzab ayat 59.
Sebenarnya budaya mengenakan baju yang menutupi seluruh tubuh, telah dikenakan para wanita di sejumlah wilayah sebelum Islam datang. Dulu, para wanita ningrat dari Kerajaan Yunani dan Kerajaan Romawi, kalau keluar, selalu mengenakan jilbab atau kerudung yang besar, biasanya berwarna putih. Itu bisa dibuktikan dari patung-patung atau lukisan-lukisan peninggalan Kerajaan Yunani atau Kerajaan Romawi. Hanya pada patung atau lukisan seringkali kerudungnya dibiarkan terurai tergantung di pundak supaya kelihatan indah.
Sejumlah wilayah di Afrika Utara seperti Mesir, Libya, Maroko, Aljazair, pernah dikuasai Kerajaan Romawi. tak heran jika, sampai sekarang, banyak wanita di wilayah itu masih memakai jilbab atau kerudung yang sama persis seperti jilbab atau kerudung yang terdapat di patung-patung wanita atau lukisan-lukisan Romawi. Berbeda dengan, kaum wanita di Afrika Selatan. Di wilayah itu tidak tampak wanita yang mengenakan jilbab atau kerudung besar berwarna putih. Daerah Afrika Selatan memang tidak pernah dikuasai Kerajaan Romawi atau Kerajaan Yunani. Adat wanita di daerah-daerah Afrika Selatan adalah memakai pakaian berwarna-warni ala kaum Bar-bar.
Pada abad pertama di Palestina, jauh sebelum lahirnya agama Islam, wanita-wanita Arab Palestina juga sudah memakai rok panjang sampai pergelangan kaki lengkap dengan kerudung kepala, hanya wajahnya tidak ditutupi.
Kerudungnya biasanya diletakkan di atas topi yang kaku atau tidak lembek. Mereka memang juga memakai topi. Di atas topi, mereka mengenakan kerudung. Di sekeliling topi tergantung uang pengikat yang mereka terima dari suami mereka saat menikah. Uang pengikat tersebut dalam bentuk uang logam. Uang tersebut, mereka jahitkan di sekeliling topi mereka. Sampai saat ini pun, para wanita petani di pedesaan-pedesaan di Palestina masih memakai pakaian adat seperti itu.
Pada jaman kejayaan Kerajaan Yunani dan Kerajaan Romawi, di Saudi Arabia, wanita-wanita Arab Saudi tidak memiliki adat memakai kerudung atau kebiasaan berkerudung. Penyebabnya adalah karena Saudi Arabia dulu bukan jajahan Kerajaan Yunani dan Kerajaan Romawi. Jadi, pengaruh dua kerajaan itu tidak ada di Arab Saudi. Kaum wanita Arab Saudi mulai pakai kerudung baru ketika Nabi Muhammad mewajibkan kaum Muslimah untuk berkerudung.
Seperti umumnya busana wanita, potongan dan gaya berkerudung pun dipengaruhi oleh berbagai faktor. Antra lain adanya aturan, kebutuhan, adat, tren mode dsb. Berbeda kepercayaan ataupun berbeda tradisi berbeda pula cara mengenakan kerudungnya.
Misalnya perbedaan dalam kepercayaan antara Islam dan Nasrani. Secara umum ada khas yang membedakan cara berkerudung wanita penganut masing-masing kepercayaan itu. Itu misalnya bisa dilihat dari cara berpakain para biarawati dengan cara berpakaian muslimah umumnya.
Di antara muslimah sendiri, banyak ragam dalam cara mereka berkerudung, cenderung banyak dipengaruhi oleh adat dan lingkungan setempat Itu bisa di lihat dari cara wanita arab, Irak, Iran yang umumnya memakai baju luar yang menutup rapat seperti jubah dengan warna hitam atau gelap. Merkea menyesuaikan dengan iklim gurun pasir yang panas dan berdebu. Berbeda dengan cara Muslimah di India, Pakistan, Malaysia atau di Indonesia yang cenderung menyesuaikan dengan pakaian adat tradisional. Busananya lebih berwarna dengan kerudung yang terkadang hanya disampaikeun di kepalanya.
Bagaimanapun cara muslimah berkerudung, tentu saja yang penting harus sesuai dengan yang digariskan dalam Alquran dan As Sunnah.
Fakta-fakta sejarah itu membuktikan bahwa semakin rapat wanita menutup auratnya maka derajatnya akan semakin tinggi di mata manusia maupun di hadapan Tuhan. Jika kemudian ternyata para wanita kembali "melucuti" pakaiannya, mungkin perlu dikaji kembali, apakah rasa untuk dihormati pada diri sebagian wanita juga sudah berkurang?***
Yepa/"PR"- berbagai sumber
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/17/hikmah/lainnya07.htm
Jilbab: Citra Intelektual dan Spiritual
Retno W. Wulandari
Fenomena jilbab akhir-akhir ini semakin marak. Gelombang fenomena ini semakin terasa pada kampus-kampus yang berkonotasi pada kam-pus "sekuler" atau "tidak Islami". Dalam satu sisi pandang, jelas ini merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Karena, paling tidak ini menjadi suatu cermin korektif betapa kesadaran akan penghayatan keberagamaan secara lebih mendalam menjadi suatu kebutuhan yang esensial dalam menghadapi arus zaman sekarang ini.
Berjilbab, dalam tatapan ekologis dan kosmologis, merupakan suatu perlawanan dan penolakan terhadap perkembangan budaya asing yang mewabah di negeri ini. Dengan berjilbab, ada semacam proses identifikasi untuk menjadi Muslimah sejati.
Sementara itu dalam perspektif Islam Tradisional -yang pemikirannya dikembangkan secara jernih oleh Sayyid Hussain Nashr- wanita berjilbab seolah-olah memberontak terhadap modernisme yang memisahkan kaum Muslim dengan Yang Pusat Yang Ilahi. Lebih jauh Nashr menulis dalam Islam Tradisi (1994 : 15): "Islam tradisional menganjurkan wanita berpakaian yang sopan yang umumnya mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya. Hasilnya adalah sejajaran
pakaian wanita dari Maroko sampai Malaysia, seba-gian besar pakaian ini sangat indah dan memantulkan femininitas sesuai dengan etos Islam, yang mene-kankan keselarasan dengan sifat materi dan karena-nya maskulinitas kaum pria dan feminitas kaum wa-nita. Kemudian datang perubahan-perubahan moder-nis yang membuat para wanita menanggalkan jilbab mereka, menampakkan rambut mereka dan menge-nakan pakaian Barat, paling tidak di kawasan dunia Islam."
Penulis The Tao of Islam, Sachiko Murata, men-jelaskan dengan sangat menarik perihal kepentingan kaum wanita Muslimah menutupi aurat mereka. Tulisnya, "Keindahan dan kecantikan Tuhan termanisfestasi dalam diri wanita. Semakin wanita tersebut menjaga keindahan dan kecantikannya, maka dalam tatapan kosmologis, wanita tersebut seolah-olah menutupi Keindahan dan Kecantikan Tuhan."
Sayang, kesadaran wanita yang berjilbab itu belum sampai ke arah seperti itu. Pada dataran praktis, masih banyak terjadi percampuran budaya Barat de-ngan budaya Islam. Ataupun, ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan diri. Misalnya, sebagian wanita sudah menge-nakan kerudung atau jilbab, tapi bajunya terbuat dari kain yang tipis yang tentu saja mem-bentuk tubuhnya yang indah. Jelas, hal ini kurang memenuhi ke-sempurnaan perintah syariat.
Hatta, sekalipun ini dipandang dari perintah syariat maka itu pun belum memenuhi sya-rat sebagai busana muslimah. Syarat se-perti bahan tidak ter-buat dari kain yang tipis, tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh dan seterusnya telah ba-nyak dilanggar. Alasannya macam-macam. Salah satu alasan, misalnya, busana Muslimah pun harus mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman.
Alasan di atas tampak menarik. Karena, di sini ditampilkan bahwa perintah syariat tidaklah ber-tentangan dengan perkembangan zaman. Pada satu sisi, tentu saja alasan ini dapat diterima. Islam me-mang tidak menghalangi kemajuan dan perkembang-an zaman. Namun, apakah dengan alasan tersebut, lantas perintah syariat harus kehilangan ruhnya ? Ruh berjilbab pada hakikatnya untuk menutupi se-luruh keindahan Tuhan yang tidak sepantasnya dilihat oleh yang bukan mahramnya. Jadi, bukan semata-mata perintah syariat atau hukum fiqh. Akibat dari pengabaian ruh jilbab, dalam praktiknya acapkali terlihat wanita-wanita yang mengenakan kerudung atau jilbab pun mengikuti "budaya pacaran" yang tentu amat asing dalam relasi sosial wanita-pria Islam.
Pacaran, dengan seluruh kompleksitas maknanya, telah menjadi semacam "ideologi". Artinya, ia me-rupakan pandangan yang melekat dalam diri pe-lakunya. Sehingga, dengan alasan, teman prianya sudah dekat, pelaku pacaran tak jarang rela untuk membuka auratnya -minimal rambut- di hadapan kawan prianya. Dan, di sini kawan prianya kehi-langan ruh iman. Artinya, ia tidak mengingatkan per-buatan dari kawan wanitanya. Dan menganggapnya itu sebagai hal yang wajar mengingat wanita tersebut adalah calon istrinya.
Ruh Jilbab sebagai Citra Intelektual dan Spriritual
Merebaknya pemakaian busana Muslimah, diduga muncul karena adanya semangat keislaman yang begitu tinggi setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran (Lihat, misalnya, Gerbang Kebangkitan, ed. Hamid Algar, [Yogya: Shalahuddin Press]). Bila dugaan ini benar, tentu yang muncul adalah sikap meng-hormati keyakinan mazhab Syifah yang dianut oleh bangsa Iran oleh aktivis Muslim. Namun kenyataan-nya, tidak jarang terjadi celaan yang ditujukan kepada bangsa Iran sebagai penganut mazhab Syifah. Paling tidak, ketika sebuah jurnal kebudayaan meliput per-kembangan Syifah di Indonesia, muncul surat-surat pembaca yang menyatakan keberatan sekaligus kekecewaannya terhadap pemuatan liputan tersebut. Terakhir, keberatan terhadap perkembangan Syifah diwujudkan dalam seminar sehari di Masjid Istiqlal yang memfatwakan sesatnya faham Syifah !!!
Memberikan argumentasi seperti itu tentu belum memadai, karena boleh jadi alasan tersebut terlalu "ideologis". Sekalipun beberapa penelitian membukti-kan gelombang kesadaran berislam lebih meruah ber-kat kesuksesan Revolusi Islam di Iran. Salah satu hasil dari pengaruh besar revolusi tersebut adalah Sudan.
Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam Sunni itu barangkali salah satu representasi terbaik dalam hal penolakan mereka akan hegemoni Barat, dan seperti saudaranya di Iran, mereka pun membangkitkan revolusi Islam Sudan. Kaum wani-tanya mengenakan busana muslimah yang menutupi aurat mereka. Bahkan, sebagian di antara mereka menjadi pasukan pengawal revolusi Sudan.
Menurut penulis, fenomena berjlbab lebih didasarkan pada kesadaran kembali akan tradisi yang hilang akibat arus modernisme yang mencabut manu-sia kontemporer dari, dan memisahkannya dengan, Yang Mahakudus. Wanita Islam modern -dan prianya- merasa asing pada dirinya sendiri, pada Tuhan Yang Mahaindah, sehingga dalam setiap momen hidupnya menganggap Tuhan sebagai Zat Suci yang meman-dang dirinya dari kejauhan, seperti matahari menyinari bumi.
Sebaliknya, bagi Muslimah tradisional, Tuhan di-pandang bukan saja sebagai Kebenaran Mutlak (Al-Haqq) namun juga Kehadiran Mutlak. Jadi, bagi mereka Tuhan bukan Zat Transenden yang hanya "mengawasinya dari kejauhan", namun juga yang se-nantiasa menyapa dirinya, yang "bertahta dan bersemayam dalam dirinya" (imanen). Sehingga saat mengenakan jilbab, muslimah tradisional menyem-bunyikan "Kecantikan Tuhan" dalam dirinya, yang hanya akan dibuka kepada mereka yang berhak yakni suaminya. Bukan yang masih samar atau spekulasi.
Dengan paparan tersebut, bagi Muslimah tradi-sional, jilbab bukan sekadar pemenuhan kewajiban hukum fiqh. Akan tetapi, menunjukkan aspek keda-laman esoteris, aspek yang ingin menyembunyikan Kecantikan Ilahi kepada lawan jenis dan meng-hadirkan Keindahan Tuhan kepada lelaki yang sah. Dalam wacana Muslimah tradisional, berpacaran -berkhalwat (berdua-duaan) dengan lelaki yang bukan mahram- berarti pelanggaran dirinya terhadap Kebe-naran dan Kehadiran Mutlak, suatu dosa yang bagi-nya tidak terampuni. Dan ia sudah memasuki ritus-ritus asing manusia modernis.
Pada saat yang sama, berjilbab berarti menam-pilkan citra intelektual dan spiritual dari suatu tradisi yang merentang sejak para nabi, wali, filsuf, sufi, dan pewaris-pewaris mereka yang memahami secara ekstensif dan menghayati secara intensif tradisionalitas Islam leluhur mereka. Citra intelektual dan spiritual akan hadir dengan menambah pengeta-huan secara kuantitatif dan meningkatkan ilmu berikut amalnya secara kualitatif dalam diri Muslimah.
Berjilbab, dengan demikian, menjadi suatu tanta-ngan untuk mendapatkan citra intelektual dan spiritual bagi Muslimah tradisional di tengah-tengah arus modernitas. Sebagai suatu tantangan, Muslimah tradisional memestikan dirinya untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya. Baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Pada gilirannya, Muslimah tradisional memes-tikan dirinya untuk bisa senantiasa mencerap Ke-indahan Tuhan, kedekatannya dengan Yang Kudus (mafrifatullah) sehingga dengan citra spiritual yang bisa diperolehnya akan mampu memanifestasikan akhlak Jamaliyyah Allah dalam dirinya dan menjadi barakah kepada orang tuanya, suaminya, anak-anak-nya, tetangga-tetangganya, dan komunitas manusia sepanjang sejarah.
Wallahu aflam
|
|