Eunike
 EDISI 11  
Januari - Maret 1998 

Menu Utama


Daftar Isi
 Renungan Ibu

 Krisis Moneter & Dampaknya

 Indahnya Menjadi Guru...

 Tahukah Anda


Email
Email:
emailbox@cbn.net.id

Pengalaman Ayah

Indahnya Menjadi Guru Bagi Anak Sendiri

Pada masa sekarang ini, sekolah sepertinya menjadi sangat berat setiap anak, khususnya bagi anak Sekolah Dasar. Di sekolah Kristen tempat anak saya belajar yaitu sebuah sekolah yang cukup ternama di Jakarta - saya dapat menyaksikan sendiri bagaimana sibuknya para ibu, baby-sitter dan pembantu berdiskusi dan berbagi pengalaman selama mereka menunggui anak-anak di sekolah. Mereka saling mencocokkan agenda untuk memastikan bahwa anak-anak itu tidak salah mencatat. Sebab kesalahan mencatat dari si anak dapat berakibat fatal, bukan hanya bagi anak itu, melainkan juga bagi orang tuanya atau pengasuhnya. Belum lagi kenyataan bahwa hampir setiap anak harus mengambil les tambahan agar dapat mengejar tuntutan sekolahnya.

Bayangkan! Segera setelah pulang sekolah dan makan siang, anak-anak harus kembali mengambil tas mereka dan pergi ke tempat kursus. Di tempat les inilah mereka mengerjakan PR mereka dan kemudian belajar untuk ulangan hari berikutnya. Mungkin baru pukul lima sore mereka bisa kembali ke rumah. Biaya mengikuti kursus tambahan itu pun cukup mahal, bisa mencapai Rp. 125.000,- per bulan. Itu baru biaya untuk kursus pelajaran sekolah. Belum lagi biaya untuk berbagai kursus lainnya, seperti piano/organ, balet, dan renang. Bisa jadi setiap bulan orangtua harus mengeluarkan sampai hampir setengah juta rupiah, hanya untuk biaya kursus anaknya.

Tetapi lepas dari jumlah yang begitu besar, ternyata banyak orangtua yang dengan rela menyanggupinya. Alasan yang umum adalah karena itu berarti bahwa mereka tidak perlu lagi direpotkan dengan pelajaran sekolah dan PR anak-anak mereka. Bahkan pada saat Evaluasi Hasil Belajar pun mereka tidak perlu lagi terlalu repot karena tempat les anak-anak mereka telah sanggup menyediakan bocoran soal —entah dari mana.

Sebagai seorang guru, penghasilan saya hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan sedikit tabungan untuk masa depan pendidikan anak-anak saya. Itu berarti saya tidak punya cukup uang untuk mengirim anak-anak saya ke tempat kursus. Lalu, apakah dengan begitu anak-anak saya tidak dapat bersaing dengan anak-anak lain? Apakah mereka harus ketinggalan dari anak-anak yang lain? Tentu tidak! Selain itu, tentunya saya juga tidak ingin anak-anak saya dididik menjadi anak-anak yang tidak jujur (dengan mendapatkan soal bocoran) dan tidak mau berusaha keras karena toch sudah ada yang menolong mereka mereka mengerjakan PR. Untuk itulah saya sebagai ayah mereka harus bertanggung jawab untuk mengajar mereka.

Di tengah-tengah kesibukan dan kelelahan, saya masih menyempatkan diri untuk mengajari anak-anak saya matematika —pelajaran yang paling ditakuti oleh anak-anak. Padahal, sewaktu saya sekolah dulu, pelajaran tersebut terasa begitu mudah dan menyenangkan. Kadang-kadang pada malam hari, jam 9.30, saat saya baru kembali dari sebuah Lembaga Bahasa tempat saya mengajar, anak saya sudah menanti saya minta diajari matematika. Dengan berat hati saya mengajarinya —kadang-kadang saya juga marah kalau si anak tidak cepat menangkap apa yang saya ajarkan. Namun saya juga bangga ketika anak saya mengatakan, "Kalau diajarin papi lebih mengerti daripada diajarin Ibu guru di sekolah." Pengajaran itu bisa berlangsung sampai jam 10.30 malam.Di akhir pengajaran si anak sudah lelah, apalagi ayahnya, yang sudah bekerja seharian. Namun sebelum mengakhiri malam itu, kami sekeluarga berlutut di sekeliling ranjang untuk bersyukur untuk hari yang sudah dilalui dan memohon perlindungan Tuhan selama kami tidur. Kami juga memohon berkatNya bagi anak-anak kami agar esok harinya mereka dapat mengerjakan ulangan dengan baik sehingga jerih payah mereka tidak terasa sia-sia.

Esok harinya, hal pertama yang dikerjakan anak saya sepulang sekolah adalah menelpon saya di kantor untuk menceritakan tentang ulangannya atau kejadian lainnya di sekolah. Kalau hasil ulangannya sudah dibagikan, anak saya segera mengabari saya dengan gembira, "Pi, ada kabar baik. Ulangan matematikanya dapat tujuh koma lima." Hati saya bersyukur kepada Tuhan. Tetapi kadang-kadang dia juga mengatakan, "Pi, ada kabar buruk. Ulangan matematikanya dapat empat koma lima." Maka saya akan berkata, "Tidak apa-apa, toch kamu sudah berusaha sebaik-baiknya. Tuhan lebih menghargai usaha daripada hasil. Next time better, okay?!"

Di samping mengajari anak saya pelajaran-pelajaran sekolah, saya juga mengajari mereka bahasa Inggris, karena itu memang profesi saya- guru bahasa Inggris. Saya mengajari mereka dan juga teman-teman mereka. Untuk dua grup les bahasa Inggris, saya mendapat sedikit tambahan penghasilan. Lumayan, untuk tabungan pendidikan anak-anak saya.

Selain itu saya juga mengajari anak laki-laki saya untuk bermain gitar. Saya mengajarinya membaca not balok dan menganjurkannya untuk membawa gitar ke Sekolah Minggu dan mengiringi musik di sana. Hari demi hari kemampuannya terus berkembang.

Memang melelahkan mengajar anak sendiri, namun juga sangat menyenangkan dan melegakan melihat hasilnya. Seperti yang dikatakan pemazmur: "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya." (Mazmur 126:5,6).

- H R W


Dimanakah negara kita dapat menemukan pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas, keberanian, dan kekuatan -- beserta seluruh nilai-nilai keluarga -- dalam sepuluh, dua puluh tahun ? Jawabannya adalah bahwa anda sedang mengajar mereka, mengasihi mereka, dan membesarkan mereka sekarang.”
Barbara Bush