A

Sekretariat:
Jl. Papanggungan VII/60B
RT 02/09 Bandung 40284
Telp. [022] 7317529
E-mail: flp_bandung@yahoo.com

Aku mencintaimu-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu adalah menyingkap tabir hingga Engkau kulihat
(Rabi'ah Al Adawiyah)

A
Berbakti - Berkarya - Berarti                                                                                Berbakti - Berkarya - Berarti
A

[KEPENGURUSAN 2003-2005]

Ketua Umum:
M. Irfan Hidayatullah
Sekretaris Umum:
Agus Wibowo
Bendahara Umum:
Intan Riyani
Dana Usaha:
Riki Cahya
Sie PSDM:
Yus R. Ismail
Taufik Cahyadi
Tita Martiana
Sie Humas:
Hanum Sujana
Sie Workshop:
Topik Mulyana
Divisi Fiksi:
Yudhi Nugraha, Fauzan,
Mirah Arumsari, Muh. Asyrofi,
Suryati, Luthvi Irma Ulfia
Divisi Non Fiksi:
Rizqie Fajriyani, Ruspiadi,
Yuti Ariyani, Eti Setiati,
Neny Ratnawati
Divisi Puisi:
Lail Khair El-Rasyid,
Rini Ritawati, Adies Saputra,
Teny Indah Susanti
Divisi Folklor:
Aminudin
Sie Pustaka:
Ihsan, Adrian Ramdani
Sie Penerbitan Media:
Wardana, Rina Rahmawati,
Nita, Yuli Inrayani

 


:: MENITIPKAN PESAN PADA CERKAN
Abu Izzati

Kehidupan tlah hidup pada daun-daun ingatan kita
yang kadang berguguran dan layu segera
Keindahan tak terpahatkan pada waktu yang seperti sungai
Sebuah sungai menghanyutkan kejadian
menuju laut dan menyatu pada keindahan
                                          - yang terlewatkan

I. Kehidupan adalah sebuah wacana
     Kita dilahirkan pada sebuah ruang yang terus berbicara (jika kita mendengarkannya). Kita dilahirkan pada sebuah ruang yang seperti buku terbuka, siap kita baca (jika kita ingin mengetahuinya). Kita hidup pada sebuah ruang yang mengajak kita untuk terus berpikir. Ruang itu adalah kehidupan. Sebagai manusia (yang dipercaya memimpin dunia), kita teramat dipersilahkan untuk memanfaatkan kehidupan. Berarti kita diberi peluang untuk memproduksi berbagai potensi kehidupan. Dan potensi yang paling mendasar dari kehidupan yang seharusnya kita produksi adalah hikmah. Hikmah yang sulit didapat jika kita tak berpikir mendalam dan memeras pemikiran untuk mencari saripati hakikat kejadian padahal banyak hikmah di balik kehidupan, bahkan kehidupan sendiri adalah hikmah. Oleh karena itu, banyak hal yang akan menyadarkan manusia jika di antara manusia itu sendiri saling menyampaikan hikmah yang didapatkannya.

II. Bercerita tentang sesuatu pada siapa saja
     Sering kita bergumam, menggerutu, berteriak, mencak-mencak, atau berdecak terkagum-kagum. Itu adalah sebuah tanda bahwa kita telah menyimpulkan suatu kejadian dalam tingkah laku verbal. Jika kita telah menyimpulkan, berarti kita telah melampaui sebuah proses pengamatan yang seksama. Pengamatan atas sebuah peristiwa yang kita lewati dengan sengaja atau begitu saja. Penyimpulan yang kita lakukan sebenarnya adalah sebuah sinopsis dari sebuah cerita yang serta merta kita tangkap. Baik cerita itu berawal dari pengalaman kita, pengalaman mereka, atau pengalaman dia, atau bahkan pengalaman sesuatu (benda atau kejadian). Tinggal, yang harus kita lakukan adalah menyusunnya kembali dalam sebuah cerita utuh. Cerita utuh yang bersifat otonom (mempunyai dunianya sendiri) yang bisa jadi label menarik dari cerita aslinya. Dunia otonom yang baru saja kita ciptakan dalam sebuah cerita utuh itulah yang dinamakan cerita rekaan. Ketika cerita rekaan telah terwujud maka kita sendirilah yang harus menceritakannya kepada siapa saja. Termasuk kepada diri kita sendiri. Jika tidak maka kita takkan pernah mendapatkan hikmah dari kehidupan yang kita jalani. Kehidupan itu kan seperti daun-daun berguguran yang layu segera.

III. Cerita yang menarik
     Sebuah dunia otonom yang telah kita buat kadang kita rasakan gersang, hambar, banyak kekurangan sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa cerita tersebut tidak menarik. Lalu kita kadang frustasi dengan tidak mau membangun cerita lagi. Kemenarikan sebuah cerita tidak ada bedanya dengan kemenarikan sebuah pemandangan. Saat kita rihlah, mencari udara segar, di sebuah sudut daerah yang masih menyimpan pemandangan, kita akan menemukan sebuah kemenarikan yang bahkan tak jarang sampai menjadi sebuah kemenakjubkan. Semua itu berlandaskan satu sifat yang sama, yaitu estetis atau keindahan. Alam yang menakjubkan tersebut pada dasarnya mempunyai struktur yang mendukung estetikanya. Struktur tersebut bahu membahu berjuang menyatukan kemampuan untuk membangun keindahan keseluruhan sehingga menjadi menyatu dan menenggelamkan eksistensi unsur tersebut.
     Begitupun dengan cerita rekaan. Karena kita mereka, yang berarti merekayasa atau membuat menjadi, maka kita harus menyadari akan apa yang harus kita kerjakan dalam usaha untuk merekayasa. Cerkan mempunyai struktur yang membuka dirinya untuk kita rekayasa. Unsur tersebut adalah struktur fisik, struktur tematik, dan struktur retorik. Masing-masing mempunyai substruktur sebagai berikut:

                    a) Struktur Fisik: alur, latar dan tokoh
                    b) Struktur Tematik: tema dan amanat
                    c) Struktur Retorik: diksi, majas dan sudut pandang

     Keenam substruktur tersebutlah yang harus kita rekayasa untuk membuat sebuah cerkan yang menarik. Kita bisa bermain di alur untuk membuat sebuah kejutan-kejutan peristiwa. Kita bisa merekayasa latar untuk memberi karakter cerita. Kita pun bisa memeperkuat penokohan untuk menghidupkan cerita. Begitupun yang lainnya.
     Setelah kita mengetahui upaya perekayasaan struktur, kita akan dihadapkan pada hal lain yang juga bisa mendukung kemenarikan sebuah cerita, yaitu imajinasi yang kuat. Imajinasi biasanya bisa membuat seseorang menjadi berbeda dalam menyikapi kehidupan. Daya gembira, daya prihatin, daya resah, dan daya sedih orang yang imajinatif akan menghasilkan gambaran yang menjangkau masa depan sehingga imajinasi itupun bisa jadi sebuah harapan atau malah kekhawatiran selanjutnya. Sebuah rumah yang terbakar bisa membuat orang imajinatif tersenyum.
     Berdasarkan imajinasi itulah seseorang bisa menjadi seorang juru cerita atau pengarang yang tidak kehabisan ide. Sebuah peristiwa bisa menghasilkan berbagai cerita disebabkan oleh imajinasi yang terus berkembang. Jika imajinasi telah jumud maka tak jarang seorang juru cerita menggantungkan pena untuk kemudian mengambil profesi yang lain. Ya, memang seorang pengarang adalah seorang yang selalu merenungkan setiap kejadian untuk kemudian mengambil hikmahnya dan merekayasanya untuk pengembangbiakkan cerita dengan imajinasinya yang kuat. Hanya saja tinggal satu pertanyaan yang harus dijawab, yaitu bagaimana cara memunculkan imajinasi yang kuat dan bagaimana cara menjaganya supaya tidak jumud? Jawabannya satu, yaitu APRESIASI. Apresiasi adalah tindakan meresepsi berbagai fenomena dalam stok respon kita sebagai manusia. Di sekeliling kita banyak kejadian, kita harus apresiasi itu. Di hadapan kita bertebaran buku-buku pengetahuan, kita harus lahap itu. Di depan mata kita bertumpuk cerpen, novel, naskah drama, dan puisi, kita baca itu. Tingkat apresiasi seseorang berbanding lurus dengan kekuatan imajinasinya dan keduanya berbanding lurus dengan kemampuannya memunculkan ide cerita.
     Nah, yang tak kalah pentingnya selain teknik yang mumpuni lewat rekayasa struktur, imajinasi yang kuat lewat apresiasi yang terus-menerus, juga ada yang disebut tema yang membumi. Tema yang membumi adalah faktor yang membuat cerita kita didengarkan atau dibaca atau diperhatikan orang. Oleh karena itu, banyak pengarang yang mengemukakan tema kemanusiaan yang universal (menurut mereka) untuk menembak pembaca dimana saja. Setelah itu, banyaklah buku-buku terjemahan di negeri kita dan banyaklah pengarang-pengarang non Islam yang karyanya dibaca oleh kaum muslimin. Jadi, tema yang membumi tersebut membuat seorang penulis memilih segmen pembaca. Walaupun sesuatu yang kita ceritakan adalah tentang Islam karena temanya menyentuh nilai kemanusiaan maka tak menutup kemungkinan akan dibaca oleh siapa saja. Bukankah di sana letak dakwah kita.

IV. Menjadi juru cerita, menjadi penulis
     Menjadi penulis sebenarnya adalah menjadi juru cerita. Kenapa juru cerita? Karena juru cerita adalah istilah bagi tindakan lisan sebenarnya yang berarti kita mempergunakan prinsip imajinatif yang berbunyi seolah-olah. Ya, kita ibaratkan diri kita sebagai juru cerita yang secara langsung berada pada gelanggang pembacaan sebuah cerita. Di sana ada pendengar yang suatu saat bisa saja tidak memperhatikan, mencemoohkan, bahkan menjelekkan cerita kita dengan sebuah kritikan. Pada saat itulah kita akan berhati-hati bercerita dan berusaha membuat cerita tersebut menarik supaya para pendengar memperhatikan, memberi tanggapan positif, dan bahkan mengacungkan jempol. Prinsip seolah-olah ini hanya tindakan imajinatif saat kita menuliskan ide kita pada sebuah kertas dan membacakannya untuk diri kita sendiri.
     Sekarang sebenarnya tinggal masalah waktu. Detik demi detik berlalu, hari demi hari kita lewati, peristiwa demi peristiwa menguap dari memori jika kita tidak mempunyai kesigapan yang bersifat instingtif (mungkin dimulai dari kata sensitif) untuk sesegera mungkin mengangkat pena dan bercerita. Setiap ada peristiwa disana ada ide, setiap ada ide dan imajinasi disana ada cerkan (kalau kita menuliskan atau menceritakannya). Lalu bagaimana caranya kita memanage ide agar ide tetap melekat, panjang umur, dan menitis pada tulisan. Caranya adalah dengan: 1) Menyegerakan menuliskannya, 2) Mengingat-ingatnya (jika kuat ingatan) untuk kemudian suatu saat (jika waktu tersedia dan mood menguat) menuliskannya, dan 3) Membuat catatan kecil semacam sinopsis sebagai embrio sebuah cerkan.
     Ketiga cara memanage ide tersebut sebenarnya merupakan hal yang relatif bagi setiap pengarang. Hanya saja, poin ketigalah yang biasanya membuat seseorang mendapatkan kesempatan yang lebih jika tidak yang pertama karena hal tersebut merupakan upaya memupuk tradisi kepenulisan yang efektif. Kebiasaan menulis buku harian, misalnya, sebenarnya merupakan cara kita mengendapkan peristiwa dalam bentuk ide cerita untuk kemudian menanti imajinasi bergabung.

V. Bermasalah dengan bahasa?
     Memang bahasa merupakan alat utama bagi sebuah cerkan seperti halnya cat bagi sebuah lukisan. Akan tetapi bahasa adalah sebuah konvensi yang mempunyai aturan kolektif. Bahasa yang bagus, jelas dapat sekali dibedakan dari bahasa yang acak-acakan karena konvensi tersebut. Hanya saja ada satu kaidah simpel yang bisa kita pergunakan, yaitu bahasa yang baik adalah komunikatif. Jadi, kita sebenarnya tinggal menjalani sebuah alur keseharian kita dengan apa yang kita sebut sebagai komunikatif tanpa harus mempelajari aturan kebahasaan secara mendetail. Namun, hal tersebut harus berawal dari kebiasaan mencermati komunikasi itu sendiri (dengan melihat kecenderungan kolektif secara langsung). Dengan membaca, misalnya.
     Kemampuan berbahasa berbanding lurus dengan kemampuan membaca juga berbanding lurus dengan kemampuan berkomunikasi secara efektif. Hal inilah yang kemudian akan memacu seseorang untuk membahasakan ide-idenya dalam bentuk lisan maupun tulisan karena bahasa adalah untuk diucapkan bukan untuk dipendam. Dalam membangun sebuah karya sastra, konvensi bahasa adalah salah satu konvensi dari tiga konvensi yang sering disebut-sebut oleh para ahli kesusastraan. Pertama, konvensi bahasa, kedua konvensi sastra, dan ketiga adalah konvensi budaya. Dikarenakan begitu menyatunya ketiga konvensi tersebut maka dalam mengolah bahasa untuk sebuah karya sastra mempunyai berbagai kecenderungan, yaitu bahasa sastra bersifat emotif, bahasa sastra bersifat konotatif, dan bahasa sastra bersifat deotomatisasi.
     Tiga kecenderungan tersebut mempunyai pasangan masing-masing yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa keseharian. Emotif berlawanan dengan ilmiah, bahasa sebuah cerkan jauh darri hal-hal yang bersifat pemikiran atau ilmiah tetapi lebih cenderung ke bahasa perasaan, bahasa hati, yang mampu menyentuh pembaca. Konotatif berlawanan dengan denotatif, bahasa sebuah cerkan cenderung bersifat kiasan, menggunakan permajasan sedangkan bahasa berita lebih bersifat fakta. Deotomatisasi berlawanan dengan otomatisasi, bahasa sastra adalah bahasa yang menghindari cara-cara konvensional, otomatis, wajar, keseharian. Bahasa sastra selalu mencari jalan lain untuk tidak biasa. Setelah mengetahui bagaimana sebenarnya berinteraksi dengan bahasa dalam sebuah penulisan, selanjutnya kita tinggal mencari cara untuk membuat bahasa kita berkarakter, berkekuatan, dan mengalir. Caranya adalah dengan menggali potensi kita masing-masing karena pada diri kita ada sesuatu yang lain, yang tidak sama dengan siapa pun. Jika kita mengikuti, mengekor, bahkan menganut sebuah style orang lain maka kecenderungan untuk kehilangan karakter, kemengaliran, dan kekuatan akan ada.
     Terakhir, untuk menyempurnakan teknik kebahasaan dalam cerita kita adalah pengeditan. Seorang pengarang harus memiliki kemampuan mengedit yang kuat, kalau tidak maka harus ada orang lain yang mampu melakukannya. Pengeditan ternyata adalah sesuatu yang dilakukan oleh para pengarang yang telah mapan, bahkan jika ada sesuatu yang tidak berkenan pada cerita, mereka tidak segan-segan mengubahnya. Jangan terlalu puas dengan sebuah cerita yang sudah biasa kita buat sebelum adanya pengeditan yang berulang.

Cemara, Juni 2000

 

:: Artikel
Ketika fiksi menyikapi fakta - Abu Izzati
Cerpen faktual? Oye!!! - Tammi Tinami F.

:: Cerpen
Serenade malam - Vani Diana Puspasari
Langgam dari tanaku - Intan Riyani
Persaksian (sebuah) sahabat - Aswi
Tawaran yang tak bisa aku tolak - D. Utami

:: Wacana
Minat baca di kalangan pemuda - Agus S.
Baca... Baca... Baca... - H.S. Ibnu Sabil

 

 
:: Puisi

Sketsa jalan (Nurleilla Hsoleh), Rumah kardus (Lina Herlina), Kerinduan semu (Ipah Latifah), Dagelan hati (Aswi), Do'a (Aswi), dan Menjadi tuhan, Tuhan (M. Irfan Hidayatullah)

:: Info

Karya anggota, yaitu kumpulan berita tentang anggota FLP Bandung yang karyanya berhasil dibukukan, baik tergabung dalam antologi bersama, atau pun merupakan kumpulan cerpen sendiri, termasuk novel.
A A  

A
muka | latar belakang | kontak

copyright by FLP Bandung 2003