HOME
DAFTAR ISI
CEREMEI
GEDE
MERAPI
MERBABU
PANGRANGO
PAPANDAYAN
SALAK
SEMERU
SINDORO
SLAMET
SUMBING
Hal Penting
TAMAN NASIONAL
SACHRUL ISWAHYUDI
|
|
G. Ceremei
Puncak G. Ceremei (1988) |
|
Letak
Gunung Ceremei terletak di Provinsi Jawa Barat pada posisis 7 derajat lintang selatan dan
108 derajat bujur timur, atau sekitar 30 km dari kota Cirebon melalui jalan darat ke arah
selatan atau barat daya (titik awal pendakian di Linggarjati). Titik awal pendakian ini
berpenduduk relatif cukup padat juga. Tapi tidak seperti di Cibodas, G. Gede, aktifitas
perdagangan tidak terlampau menonjol, penduduk lebih banyak larut dalam pekerjaan tani dan
ladangnya.
Kesampaian Lokasi
Bagi temen-temen yang ingin mendaki G. Ceremei, dapat mencapai salah satu lokasi titik
pemberangkatan awal pendakian Linggarjati, yang dapat ditempuh dari Jakarta dengan
tahap-tahap sebagai berikut:
1. |
Dari terminal bis
Pulogadung-Jakarta, naik bis jurusan Kuningan-Jawa Barat dam turun di Linggarjati. Antara
Cerebon dan Kuningan terletak Linggarjati, jadi sebaiknya pesan kepada kondektur bis,
supaya diturunkan di Linggarjati. |
2. |
Kondektur bis jurusan tersebut
biasanya hafal dimana tepatnya kita akan turun jika ingin mendaki G. Ceremei.Setelah turun
dari bis, biasanya sudah menunggu banyak ojek (walaupun tengah malam) yang siap
mengantarkan pendaki ke rumah penduduk atau warung dimana kita dapat beristirahat sejenak
sebelum mendaki. Teman-teman dan saya waktu itu singgah di warung/rumah bapak ahmad yang
biasa menerima para pendaki. |
3. |
Dari tempat singgah tersebut,
kita sudah dapat langsung mendaki G. Ceremei. |
Biaya
Perjalanan (1988)
1. |
Bis Jurusan Jakarta-Kuningan Rp. 6000 |
2. |
Ojek ke tempat singgah Rp. 2000 |
Tips Pendakian
Dibandingkan G. Gede atau G. Pangrango, G. Ceremei termasuk gunung yang jarang dikunjungi.
Selain lokasinya yang jauh dari Jakarta, medan pendakiannya tergolong berat. Dari titik
awal pendakian di tempat singgah terakhir usahakan banyak bertanya mengenai jalan mana
yang harus dilalui untuk mendaki kepada penduduk yang ditemui di jalan. Mereka akan sangat
ramah menjawab (apalagi kalau menggunakan bahasa sunda). Hal ini dilakukan sampai kita
tidak menjumpai seorang pun di perjalanan tersebut. Jalur pendakian sangat jelas, memang
terdapat jalur-jalur masyarakat sekitar yang dibuat untuk mencari kayu bakar yang
tiba-tiba buntu, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak.
Seandainya kita tidak memiliki waktu banyak, pendakian sebaiknya dilakukan pagi hari
(sekitar jam 7 pagi). Pendakian sampai puncak rata-rata memerlukan waktu sekitar 10 jam
(lima orang anak sma, semua laki-laki). Jadi kalau kita memulai perjalanan jam 7 pagi,
akan sampai puncak sekitar jam 5 sore. Pada sore hari kadang terdapat badai, angin bertiup
kencang, jadi tidak mungkin berlama-lama di puncak. Setelah melepas lelah sejenak,
makan-minum, dan melakukan dokumentasi sambil menikmati pemandangan langka, kita harus
cepat turun, jika tidak ingin setengah mati kedinginan karena angin yang bertiup kencang
sekali.
Puncak G. Ceremei tergolong sempit, jika memiliki waktu cukup dapat mengelilinginya
sebagian. Kawah G. Ceremei sebenarnya menarik untuk dituruni, tapi jika tidak memiliki
peralatan cukup (dan keyakinan diri cukup), sebaiknya jangan, untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan. Perjalanan turun gunung, idealnya lebih cepat daripada naik gunung.
Tapi kerena selama perjalanan naik gunung kita tidak tidur dan perjalanan turun gunung
malam hari, maka sebaiknya kita menyempatkan diri untuk tidur secukupnya pada perjalanan
turun gunung, sambil makan-minum. Tempat untuk istirahat agak panjang tersebut dikenal
sebagai "Kandang Kuda", dimana terdapat semacam tempat berteduh yang dibangun
seadanya (seperti Kandang Kuda ?). Kita akan sampai ke tempat persinggahan (rumah/warung
bapak ahmad) kembali pagi hari. Setelah makan-minum, mandi, cuci dan sebagainya, kita
dapat langsung berkemas pulang kembali ke Jakarta.
Jangan lupa, sebelum pulang menyempatkan diri menengak paviliun tempat orang-orang penting
negri ini dulu melakukan perjanjian (Perjanjian Linggarjati). Lokasinya tidak terlalu
sulit dicapai, sambil kita berjalan mencari tumpangan ojek, kita akan melewatinya. Tempat
itu masih terawat, meja, kursi dan foto-foto yang merekam jalannya peristiwa itu masih
terdapat, walaupun hampir terlupakan karena hampir tidak dijumpainya orang yang berkunjung
pada hari libur sekalipun saat itu.
Kawah G. Ceremei
Cerita Serem
Cerita-cerita masyarakat yang beredar mengatakan bahwa, pernah ada dua orang remaja putri
yang mendaki G. Ceremei. Mereka tidak juga turun gunung selama berminggu-minggu. Tapi
akhirnya mereka turun gunung dengan pakaian dan kondisi yang tidak mencerminkan mereka
telah berminggu-minggu berada di gunung. Setelah ditanya penduduk, kenapa tidak turun
gunung setelah sekian lama, mereka menjawab: mereka hanya 2 hari saja berada di gunung
setelah tertinggal dari rombongannya.
Cerita lain adalah seperti yang dituturkan salah seorang
pendaki kepada temannya. Dia mengatakan: pada pendakian malam hari, ketika rombongan (5
orang) beristirahat, salah seorang duduk di atas batu cukup besar. Tidak lama setelah
rombongan melanjutkan perjalanan, dia menceritakan kepada temannya tersebut, bahwa dia
melihat temannya tersebut yang duduk di atas batu besar dikelilingi oleh beberapa mahluk
(mirip) manusia dengan pakaian layaknya para kyai (ulama) lengkap dengan topi seperti
tutup kepala yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro.
Sosiologi
Penduduk setempat diketahui cukup religius dan memegang erat tradisi pendahulunya
turun-temurun. Dalam perjalanan naik gunung, kami pernah menjumpai serombongan masyarakat
(10-20 orang) lengkap dengan pakaian rapi, bersih, layaknya pakaian untuk melakukan
upacara keagamaan tertentu, dengan sigap naik gunung dengan membawa banyak sesaji. Kami
menjumpai mereka di tempat yang sudah cukup jauh dari perkampungan terakhir. Pada suatu
titik persimpangan kami dan serombongan masyarakat tersebut berpisah karena tujuannya
berbeda.
Beberapa saat sebelum sampai
di Puncak G. Ceremei (1988)
Kembali ke Atas
|