Menu Tambahan:
Social Politics:
Dari Partai Politik ke Gerakan Sosial
Religion:
Refleksi Kebangkitan Tarbiyah
Fiqh Sunnah 1 (Sayyid Sabiq)
Science Technology:
Berita IPTEK
Military and Intelligence:
US Firearm
US-USSR Armour Vehicle
US-USSR Aircraft & Helicopter (1)
US-USSR Aircraft & Helicopter (2)
Balance of Power in South East Asia
Recommended book:
cover
Bias (How The Media Distort The News)
 
 
Fiqh Sunnah 1 (Sayyid Sabiq)
Syarat-syarat Shalat (290-310) Sunat-sunat Shalat 1 (338-358) Sunat-sunat Shalat 4 (407-432)
Kaifiyat Shalat (311-315) Sunat-sunat Shalat 2 (358-382) Sunat-sunat Shalat 5 (433-448)
Fardhu-fardhu Shalat (316-338) Sunat-sunat Shalat 3 (383-407)  

 

Syarat-syarat Shalat 1)


Syarat-syarat yang mendahului shalat dan wajib dipenuhi oleh orang yang hendak mengerjakannya, dengan ketentuan bila ketinggalan salah satu di antaranya, maka shalatnya batal, ialah:
-----------
1) Syarat dari sesuatu ialah apa yang mengakibatkan tiada hasilnya sesuatu bila ia tidak ada, tetapi dengan adanya semata, belum berarti ada atau tidaknya sesuatu itu. Misalnya wudhuk bagi shalat, maka tanpa adanya, shalat tidak ada, tetapi dengan berwudhuk semata, belum tentu shalat akan hasil.

1. Mengetahui tentang Masuknya Waktu

Dan ini cukup dengan kuat sangka. Maka barang siapa yang yakin atau berat sangka, bahwa waktu telah masuk, dibolehkanlah baginya shalat, baik hal itu diperolehnya dari pemberitaan orang-orang yang dipercaya, atau seruan adzan dari muadzdzin yang jujur, atau ijtihad yakni usaha pribadi, atau salah satu sebab apa juga yang bisa menghasilkan ilmu dan keyakinan.

2. Suci dari Hadats Kecil dan Hadats Besar

Berdasarkan firman Allah ta'ala:

Artinya:
"Hai orang-orang beriman! Jika kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu lalu basuh kakimu sampai kedua mata kaki! Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka hendaklah kamu bersuci!" (Al Maidah:6)

Juga karena hadits Ibnu Umar ra:

Artinya:
Bahwa Nabi saw bersabda: "Allah tiada menerima shalat tanpa bersuci, dan tak hendak menerima sedekah dari harta rampasan yang belum dibagi." (HR Jama'ah kecuali Bukhari)

3. Suci Badan, Pakaian dan Tempat Shalat dari Najis yang kelihatan, bila itu mungkin

Jika tak dapat dihilangkan, boleh shalat dengannya, dan tidak wajib mengulang. Mengenai suci badan, ialah karena hadits Anas, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:
"Bersucilah kamu dari kencing, karena pada umumnya adzab kubur disebabkan oleh karena itu!" (HR Daruquthni yang menyatakannya hasan)

Dan dari Ali ra, katanya:

Artinya:
"Saya adalah seorang laki-laki yang banyak madzi, maka saya suruhlah seseorang menanyakan kepada Nabi saw mengingat kedudukan putrinya - lalu ditanyakanlah, maka ujarnya: 'Berwudhuklah dan basuhlah kemaluanmu'!" (HR Bukhari dan lain-lain)

Dan diriwayatkan pula dari Aisyah, bahwa Nabi saw bersabda kepada seorang perempuan yang sedang istihadhah:

Artinya:
"Cucilah darah itu dan shalatlah!"

Adapun tentang suci pakaian, ialah berdasarkan firman Allah ta'ala:

Artinya:
"Dan pakaianmu hendaklah kau bersihkan." (Al Muddatstsir:4)

Dan dari Jabir bin Samrah, katanya:

Artinya:
"Saya dengar seorang laki-laki menanyakan kepada Nabi saw: 'Bolehkah saya shalat dengan memakai pakaian yang saya pakai ketika meniduri isteriku'? Ujar Nabi: 'Boleh, kecuali bila kelihatan olehmu sesuatu, maka hendaklah cuci'!" (HR Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang orang-orangnya dapat dipercaya)

Dan diterima dari Mu'awiyah, katanya:

Artinya:
"Saya tanyakan kepada Ummu Habibah: 'Apakah Nabi saw, pernah shalat dengan pakaian yang dipakainya ketika bersenggama'? Ujarnya: "Memang, jika tak kena oleh kotoran'." (HR Ahmad dan Ash-habus Sunan kecuali Turmudzi)

Dan dari Abu Sa'id:

Artinya:
"Bahwa Nabi saw sedang shalat, lalu dibukanya kedua terompahnya. Maka orang-orang pun sama membuka terompah-terompah mereka pula. Dan tatkala Nabi berpaling, ditanyakannya: 'Kenapa Tuan-tuan buka'? Ujar mereka: 'Kami lihat anda buka, maka kami buka pula'. Maka sabda Nabi saw: 'Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa pada kedua terompahku itu ada kotoran. Maka bila salah seorang di antara tuan-tuan datang ke mesjid, hendaklah ia membalik kedua terompahnya dan memperhatikannya. Jika dilihatnya ada kotoran, hendaklah disapukannya ke tanah lalu shalat dengan memakai kedua terompah itu'!" (HR Ahmad, Abu Daud, Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah yang menyatakan sahnya)

Di dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa seorang yang shalat dan telah mulai melakukannya, sedang ia memakai pakaian yang bernajis tanpa mengetahuinya ataupun lupa, kemudian mengetahuinya sementara shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut kemudian melanjutkan shalatnya berdasarkan apa yang telah dikerjakannya tadi tanpa mengulang lagi. Dan mengenai sucinya tempat shalat, ialah berdasarkan hadits Abu Hurairah, katanya:

Artinya:
"Seorang badui bangkit berdiri lalu kencing di mesjid. Maka orang-orang pun sama berdiri untuk memegangnya. Maka Nabi saw pun bersabda: 'Biarkanlah ia dan tuangkanlah pada kencingnya itu setimba atau seember besar air'! Karena tuan-tuan diutus ialah untuk memberi kemudahan dan bukan untuk menimbulkan kesukaran'!" (HR Jama'ah kecuali muslim)

Berkata Syaukani: - yakni setelah membicarakan alasan-alasan orang yang mensyaratkan sucinya pakaian - "Jika telah mantaplah dalil-dalil yang telah kami kemukakan bagi anda, maka ketahuilah bahwa ia juga menyatakan wajib membersihkan pakaian. Artinya orang yang shalat sedang pada pakaiannya terdapat najis, maka ia meninggalkan kewajiban. Tetapi akan mengatakan shalatnya batal, - sebagaimana halnya tidak dipenuhi syarat-syarat sahnya shalat - itu memang tidak!" Dan dalam Ar-Raudhatu'n-Naddiyah, tersebut: "Jumhur, yakni golongan terbesar dari ulama berpendapat wajibnya menyucikan tiga perkara: badan, pakaian dan tempat shalat." Segolongan lagi berpendapat bahwa itu merupakan syarat bagi sahnya shalat, sedang lainnya menyatakan bahwa itu sunat. Yang benar ialah bahwa hukumnya wajib. Maka orang yang shalat dengan memakai pakaian yang bernajis dengan sengaja, berarti ia telah melanggar satu kewajiban, sedang shalatnya sah.

4. Menutup Aurat

Berdasarkan firman Allah ta'ala:

Artinya:
"Hai anak cucu Adam! Ambillah hiasanmu setiap hendak sujud!" (Al A'raf: 31)

Yang dimaksud dengan hiasan di sini ialah alat untuk menutupi aurat, sedang dengan sujud ialah shalat. Jadi artinya: Tutuplah auratmu setiap hendak shalat! Dan dari Salmah bin Akwa' ra, katanya:

Artinya:
"Ya Rasulullah, bolehkah aku shalat memakai kemeja?" Jawabnya: "Boleh, dan berilah berkancing, walau dengan duri sekalipun!" (HR Bukhari dalam tarikhnya, dan lain-lain)

Batas aurat bagi laki-laki Aurat yang wajib ditutupi oleh laki-laki sewaktu shalat, ialah kemaluan dan pinggul. Mengenai yang lain, yakni paha, pusat dan lutut, maka terdapat pertikaian disebabkan bertentangannya hadits-hadits tentang hal itu. Ada yang mengatakan bahwa itu tidaklah aurat, dan ada pula yang mengatakan aurat. Alasan yang mengatakannya tidak aurat

Pihak orang-orang yang berpendapat bahwa paha, pusat dan lutut itu tidak aurat mengambil alasan pada hadits-hadits berikut:

  1. Dari Aisyah ra:
    Artinya:
    "Bahwa Rasulullah saw suatu ketika sedang duduk-duduk dengan pahanya yang terbuka. Maka Abu Bakar minta izin untuk masuk, yang dipersilakan oleh Nabi, sedang ia tetap dalam keadaan seperti itu. Kemudian minta izin pula Umar yang juga dikabulkan oleh Nabi, dalam keadaannya seperti tadi. Lalu datang pula Utsman minta izin masuk, maka Nabi pun melepas kainnya ke bawah. Dan setelah mereka bangkit pergi, saya tanyakanlah kepadanya: 'Ya Rasulullah, ketika Abu Bakar dan Umar minta masuk, Anda kabulkan, sedang pakaian Anda tetap seperti semula. Tetapi ketika Utsman minta masuk, kenapa Anda lepaskan kain'? Ujarnya: 'Hai Aisyah! Tidakkah saya akan merasa malu terhadap orang, - yang demi Allah - sedangkan Malaikat sungguh merasa malu kepada-Nya'?" (HR Ahmad, dan Bukhari menyebutkannya sebagai mu'allaq)
  2. Dan dari Anas:
    Artinya:
    "Bahwa Nabi saw pada waktu perang Khaibar menyingsingkan kain dari pahanya, hingga kelihatan olehku paha yang putih itu. (HR Ahmad dan Bukhari) <br>Berkata Ibnu Hazmin: "Terangkanlah bahwa paha itu bukanlah aurat. Seandainya aurat, tentulah tidak akan dibiarkan oleh Allah 'azza wa jalla, paha Rasulullah saw yang dijamin suci dan terpelihara dari dosa, di masa kenabian dan kerasulan, dan tentulah tidak akan sampai diperlihatkan-Nya kepada Anas bin Malik dan lain-lain, padahal Allah ta'ala telah memelihara auratnya selagi masih kecil dan sebelum kenabian." Dalam kedua shahih Bukhari dan Muslim ada diriwayatkan dari Jabir "bahwa Rasulullah saw suatu waktu ikut mengangkut batu buat Ka'bah bersama orang-orang, sedang ketika itu ia memakai sarung. Maka berkatalah pamannya, Abbas kepadanya: 'Hai keponakanku, bagaimana kalau kau tanggalkan sarungmu, dan kau taruh di atas bahumu untuk bantalan'? Maka ditanggalkanlah oleh Nabi dan ditaruhnya di atas bahunya, tetapi akibatnya ia pun jatuh pingsan. Dan semenjak itu tak pernah lagi ia kelihatan bertelanjang.
  3. Dan dari Muslim dari Abul 'Aliyah al Bara', katanya: Artinya: "Abdullah bin Shamit telah memukul pahaku dengan telapak tangannya seraya katanya: Saya pernah bertanya kepada Abu Dzar, lalu dipukulnya pahaku sebagaimana saya memukul pahamu sekarang ini, sambil katanya pula: Saya pernah bertanya pada Rasulullah saw sebagaimana kau bertanya kepadaku, maka dipukulnya aku sebagaimana saya memukul pahamu, seraya sabdanya: Lakukanlah shalat pada waktunya! Demikian sampai akhir hadits." Berkata Ibnu Hazmin: "Seandainya paha itu aurat, tentulah tidak akan disentuh oleh Rasulullah saw, yakni paha Abu Dzar, dengan tangannya yang suci itu!" Begitu pula Abu Dzar jika menurut pendapatnya paha itu aurat, tentulah ia tidak akan menyentuhkan tangannya, demikian pula halnya Abdullah bin Shamit dan Abul Aliyah. Dan sekali-kali tidaklah mustahil seorang muslim itu memukulkan tangannya kepada kemaluan orang atau kepada pantatnya atau ke tubuh seorang wanita asing tetapi dari luar kain!
  4. Kemudian Ibnu Hazmin menyebutkan sebuah riwayat dengan isnad kepada Jubeir bin Huwairits, bahwa ia pernah melihat paha Abu Bakar yang ketika itu sedang terbuka, dan bahwa Anas bin Malik datang mendapatkan Qus bin Syumas dengan kedua pahanya yang terbuka.

Alasan yang berpendapat bahwa itu adalah aurat Orang yang mengatakan bahwa itu aurat, mengambil alasan kepada dua hadits berikut:

  1. Dari Muhammad bin Jahsy, katanya: Artinya: "Rasulullah saw lewat pada Ma'mar yang kedua pahanya sedang terbuka, maka sabdanya: 'Hai Ma'mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat'!" (HR Ahmad, Hakim dan Bukhari dalam buku tarikhnya, sedang dalam shahihnya dinyatakan mu'allaq)
  2. Dari Jarhad, katanya: Artinya: "Rasulullah saw lewat sedang ketika itu saya sedang memakai kain dan paha saya terbuka, maka sabdanya: 'Tutuplah pahamu, karena paha itu aurat'!" (HR Ahmad, Malik, Abu Daud dan Turmudzi yang menyatakannya hasan, sementara Bukhari menyatakannya dalam shahihnya sebagai mu'allaq)

Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak dan bagi orang-orang terserah untuk memilih salah satu di antaranya, walaupun dalam agama adalah lebih hati-hati bila orang yang mengerjakan shalat itu menutupi sedapat mungkin antara pusat dan lututnya.

Berkata Bukhari: "Hadits Anas lebih kuat dari segi sanadnya, sedang hadits Jarhad lebih berhati-hati." Maksudnya hadits Anas yang tersebut dulu, lebih sah jika ditinjau dari segi isnadnya.

Batas aurat bagi wanita

Seluruh tubuh perempuan itu merupakan aurat yang wajib bagi mereka menutupinya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Firman Allah ta'ala:

Artinya:

"Dan janganlah mereka memperlihatkan tempat-tempat perhiasan kecuali bagiannya yang lahir!" (An Nur:31)

Maksudnya janganlah mereka memperlihatkan tempat-tempat perhiasan kecuali muka dan kedua telapak tangan, sebagaimana diterangkan oleh hadits dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah. Dan dari Aisyah, bahwa Nabi saw telah bersabda:

Artinya:

"Allah tidak menerima shalat perempuan yang telah balig, kecuali dengan memakai selendang." (HR Yang berlima kecuali Nasa'i, dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim, sedang Turmudzi menyatakannya sebagai hadits hasan)

Dan dari Ummu Salamah:

Artinya:

"Bahwa ia menanyakan kepada Nabi saw: "Bolehkan wanita shalat dengan memakai baju kurung dan selendang, tanpa kain atau sarung?" Ujar Nabi: "Boleh, asal saja baju itu dalam, hingga menutupi punggung kedua tumitnya." (HR Abu Daud dan para imam mensahkannya sebagai mauquf)1)

Dan dari Aisyah, bahwa ia ditanya orang: "Berapa macam pakaian yang harus dikenakan wanita yang hendak shalat?" Jawabnya kepada si penanya: "Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian kembali dan beritahukan jawabannya kepada saya!"

Orang itu pun datang mendapatkan Ali dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka ujarnya: "Memakai selendang dan baju dalam." Sewaktu orang itu kembali kepada Aisyah dan menceritakan hal itu, maka jawab Aisyah: "Benarlah ia!"
----------
1) Mensahkan sebagai mauquf, maksudnya ialah karena itu bukanlah perkataan Ummu Salamah. Yang seperti ini hukumnya adalah marfu' artinya bersumber kepada Nabi saw.

Pakaian yang wajib dipakai dan yang sunat

Yang wajib di antara pakaian itu ialah yang menutupi aurat walaupun sempit dan hanya sekira menutupi aurat. Dan jika ia tipis dan terbayang warna kulit di baliknya dan dapat diketahui putih atau merahnya, maka tidak boleh shalat dengan itu.

Shalat diperbolehkan dengan memakai hanya semacam pakaian seperti telah kita sebutkan dalam hadits Salamah bin Akwa'. Dan dari Abu Hurairah:

Artinya:

"Bahwa Rasulullah saw ditanya orang tentang shalat dengan hanya selembar pakaian saja. Maka sabdanya: 'Apakah setiap kamu mempunyai dua macam pakaian'?" (HR Muslim dan Malik serta lain-lainnya)

Dan disunatkan shalat dengan memakai dua macam pakaian atau lebih dan sedapat mungkin agar berhias atau bersolek. Dari Ibnu 'Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

Artinya:

"Jika salah seorang di antaramu hendak shalat, hendaklah ia mengenakan dua macam pakaian, karena terhadap Allahlah kita lebih layak untuk berhias diri. Umpama ia tidak mempunyai dua lembar pakaian, hendaklah ia memakai sarung bila hendak shalat, dan janganlah kamu membelitkan pakaianmu ke tubuhmu sewaktu shalat itu sebagaimana halnya orang-orang Yahudi." (HR Thabrani dan Baihaqi)

Dan 'Abdur Razak meriwayatkan: "Bahwa Ubai bin Ka'ab dan 'Abdullah bin Mas'ud bertikai paham. Kata Ubai: 'Shalat dengan memakai satu macam pakaian tidaklah makruh'. Dan kata Ibnu Mas'ud: 'Itu hanya berlaku waktu pakaian masih sedikit'. Maka Umar pun tampil ke atas mimbar, katanya: 'Yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Ubai, tetapi janganlah Ibnu Mas'ud berputus harapan jika Allah melampangkan rezeki maka mereka pun tentu akan bersolek dan bermegah-megah pula, masing-masing laki-laki akan menghimpun pakaiannya hingga ada yang shalat dengan memakai sarung dan baju, ada yang memakai dengan kemeja, sarung dengan jaket, celana kulit dengan jaket, celana kulit dengan kemeja - dan kalau saya tak salah katanya pula - celana kulit dengan baju'. (Bukhari mencantumkan tanpa menyebutkan sebab)

Dan dari Buraida, katanya:

Artinya:

"Telah melarang Nabi saw bila seseorang berselubungkan selembar kain dalam shalat hingga ia tak dapat bergerak secara leluasa, juga ia melarang seseorang shalat dengan memakai celana tanpa baju." (HR Abu Daud dan Baihaqi)

Dan dari Hasan bin Ali ra bahwa bila hendak melakukan shalat, maka dipakainya pakaiannya yang terbaik. Lalu ditanyakan orang sebab-musabanya, maka ujarnya: "Sesungguhnya Allah itu Maha indah dan menyukai segala yang indah, dari itu kuperindahlah diriku untuk Tuhanku dan Ia telah berfirman: 'Ambillah hiasanmu setiap hendak shalat'!"

Shalat dengan kepala terbuka

Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw kadang-kadang membuka kain tutup kepalanya dan meletakkannya sebagai hamparan di depannya."

Menurut golongan Hanafi, tak ada salahnya bila laki-laki shalat dengan kepala terbuka, bahkan mereka menganggapnya sunat bila untuk mencapai kekhusyukan. Dan tak ada dalil menyatakan lebih utamanya menutup kepala di waktu shalat.

5. Menghadap Kiblat

Para ulama telah sekata bahwa orang yang mengerjakan shalat itu wajib menghadap ke arah Masjidil haram, karena firman Allah ta'ala:

Artinya:

"Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil haram, dan di mana pun kamu berada hadapkanlah mukamu ke arahnya!" (Al Baqarah:144)

Dan diterima dari Barra', katanya:

Artinya:

"Kami shalat bersama Nabi saw 16 atau 17 bulan menghadap ke Baitul Makdis kemudian dialihkan kepada Ka'bah." (Muttafaq alaih)

Hukum orang yang menyaksikan ka'bah dan yang tidak menyaksikannya

Orang yang menyaksikan ka'bah wajib menghadap ke arah ka'bah itu sendiri, sedang yang tidak dapat menyaksikannya, wajib menghadap ke arahnya, karena inilah yang disanggupi dan Allah tidak membebani diri kecuali sekadar kemampuannya. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Apa yang terletak di antara Timur dan Barat ialah kiblat." (HR Ibnu Majah dan Turmudzi mengatakan hasan lagi shahih; juga Bukhari pernah membacanya)

Ini ialah untuk penduduk kota Madinah, dan orang yang sejurusan dengan mereka seperti penduduk Syam, jazirah dan Irak. Mengenai penduduk Mesir, maka kiblat mereka di antara timur dan selatan (tenggara). Adapun Yaman, maka timur hendaklah berada di sebelah kanan orang yang shalat, dan arah barat di sebelah kirinya. Dan India, hendaklah orang yang shalat membelakangi timur dan menghadap ke barat, demikian seterusnya.

Cara mengetahui kiblat

Setiap negeri memiliki cara-cara tertentu untuk mengetahui kiblat. Di antaranya mihrab yang didirikan kaum muslimin di bagian depan mesjid, demikian juga kantor penunjuk arah dan lain-lain.

Hukum orang yang tiada mengetahui arah kiblat

Bagi orang yang tidak beroleh petunjuk-petunjuk kiblat misalnya oleh karena gelap atau awan, wajib bertanya kepada orang yang tahu. Dan seandainya tidak ada, hendaklah ia berijtihad dan mengerjakan shalat menurut arah yang dihasilkan oleh ijtihadnya itu. Shalatnya sah dan tidak wajib diulangi, bahkan walaupun ternyata salah setelah selesai shalat. Jika kekeliruan itu diketahui sementara shalat, hendaklah ia berputar ke arah kiblat tanpa memutus shalatnya. Dari Ibnu 'Umar ra, katanya:

Artinya:

"Sewaktu orang-orang berada di Kuba' melakukan shalat Subuh, tiba-tiba datanglah seseorang mengatakan: 'Pada malam tadi Nabi saw telah menerima wahyu yang menyuruh menghadap ke ka'bah. Dari itu menghadaplah ke sana'!" Ketika itu muka mereka menghadap ke Syam, maka mereka pun berputar menghadap ka'bah." (Disepakati oleh ahli-ahli hadits)

Kemudian bila seseorang shalat dengan menghadap ke suatu arah sebagai hasil ijtihadnya, jika hendak melakukan shalat yang lain ia wajib mengulangi ijtihadnya. Dan seandainya ijtihadnya itu mengalami perubahan, hendaklah ia mengamalkan hasil yang kedua, tetapi tidak wajib mengulangi lagi shalat yang pertama tadi.

Gugurnya kewajiban menghadap kiblat

Menghadap kiblat itu hukumnya fardhu, dan tidak gugur kecuali pada hal-hal berikut:

1. Shalat sunat bagi orang yang berkendaraan

Dibolehkan bagi orang yang berkendaraan melakukan shalat sunat di atas kendaraannya, rukuk dan sujud dengan isyarat kepala. Hendaklah sujudnya itu lebih rendah daripada rukuk, sedang kiblatnya mengikuti arah kendaraan. Dari Amir bin Rabi'ah, katanya:

Artinya:

"Saya lihat Rasulullah saw shalat di atas kendaraan menuruti arah kendaraan itu." (HR Bukhari dan Muslim, di mana Bukhari menambahkan memberi isyarat dengan kepala, tapi demikian itu tidaklah dilakukannya pada shalat-shalat fardhu)

Sedang menurut riwayat Ahmad, Muslim dan Turmudzi kalimatnya berbunyi sebagai berikut: "Bahwa Nabi saw mengerjakan shalat di atas kendaraannya sewaktu datang dari Mekah menuju Madinah, dengan mengikuti arah kendaraan tersebut. Dan ketika itulah turun ayat: 'Maka ke mana pun kamu menghadap, akan diterima oleh Allah'."

Dan dari Ibnu an-Nakh'i, katanya: "Mereka biasa shalat di atas kendaraan dan binatang-binatang tunggangan mereka menuruti arah yang ditujunya." Berkata Ibnu Hazmin: "Ini merupakan hikayat para shahabat dan tabi'in umumnya, baik di waktu menetap, maupun sewaktu dalam perjalanan."

Shalat bagi orang yang dipaksa, dalam keadaan sakit dan ketakutan

Orang yang dalam ketakutan, dipaksa dan sakit,boleh shalat tanpa menghadap kiblat, bila mereka tak mampu untuk menghadapnya. Rasulullah saw telah bersabda:

Artinya:

"Jika saya menyuruhmu mengerjakan suatu urusan, maka lakukanlah sekuat tenagamu!"

Dan mengenai firman Allah ta'ala:

Artinya:

"Jika kamu takut, maka boleh dalam keadaan jalan kaki atau berkendaraan." (Al Baqarah:239) Ibnu Umar ra mengatakan: "Baik dengan menghadap kiblat atau tidak menghadapnya."


KAIFIAT ATAU TATA CARA SHALAT

Ada beberapa buah hadits yang diterima dari Rasulullah saw menyatakan tata cara dan sifat shalat. Kita cukupkan di sini mencantumkan dua buah hadits, yang pertama dari perbuatannya saw dan yang kedua dari ucapannya:

1. Dari Abdullah bin Ghanam:

"Bahwa Abu Malik al Asy'ari mengumpulkan kaumnya, katanya: 'Hai golongan Asy'ari, berkumpullah dan himpunlah perempuan dan anak-anakmu,agar kuajarkan kepadamu cara shalat Nabi saw yang dicontohkannya kepada kami di Madinah'! Maka berkumpullah mereka dan mereka himpun perempuan-perempuan dan anak-anak mereka. Abu Malik pun berwudhuklah dan diperlihatkannya pada mereka cara-cara berwudhuk, dengan membasuh semua anggota wudhuk, hingga bila matahari telah tergelincir dan bayang-bayang mulai condong ia pun bangkit lalu adzan. Laki-laki berbarislah pada shaf di muka diiringi oleh anak-anak di belakang mereka, dan wanita di belakang anak-anak maka qamatlah ia lalu maju ke muka dan mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan takbir. Setelah itu dibacanya Al Fatihah dan sebuah surat yang mudah, kemudian ia takbir, lalu rukuk dan mengucapkan 'Subhanallah wa bihamdih' tiga kali. Kemudian katanya pula: 'Sami'allahu liman hamidah' dan ia pun kembali berdiri lurus, lalu takbir diiringi sujud ke bawah. Setelah itu ia takbir lagi dan mengangkatkan kepalanya, lalu takbir pula dan sujud, kemudian takbir dan bangkit berdiri. Maka dalam rakaat pertama, takbirnya adalah 6 kali. Dan sewaktu hendak bangkit pada rakaat kedua, ia membaca takbir pula. Dan kemudian, setelah selesai shalat, dihadapkannya wajahnya kepada kaumnya seraya katanya: 'Hafalkanlah berapa takbirku dan pelajari betapa caranya aku rukuk dan sujud, karena demikianlah cara shalatnya Rasulullah saw yang pernah dicontohkannya pada kami di suatu siang hari seperti saat sekarang ini. Kemudian mengenai Rasulullah saw setelah selesai melakukan shalat ia pun menghadapkan mukanya kepada manusia, sabdanya: Hai orang! Dengarkanlah dan pikirkanlah serta ketahuilah bahwa Allah 'azza wa jalla mempunyai hamba-hamba bukan dari kalangan nabi-nabi atau para syuhada tetapi para nabi dan syuhada itu merasa iri kepada mereka disebabkan kedudukan dan dekatnya mereka kepada Allah. Tiba-tiba tampillah seorang laki-laki dari lingkungan Badui yang tempat kediamannya terpencil, dan mengacungkan tangannya pada Nabi saw serta katanya: Ya Nabi Allah! Anda mengatakan ada segolongan manusia yang bukan dari golongan anbia maupun syuhada, tetapi anbia dan syuhada ini merasa iri disebabkan kedudukan dan dekatnya mereka kepada Allah! Nah, cobalah Anda terangkan sifat-sifat mereka kepada kami! Maka wajah Nabi saw pun berseri-seri mendengar pertanyaan orang Badui itu, lalu sabdanya: Mereka adalah orang-orang dari berbagai puak dan suku yang berbeda-beda, yang tidak ada sangkut-paut kekeluargaan; tapi berkasih-kasihan dan bersusun bahu karena Allah. Allah akan menyediakan bagi mereka pada hari kiamat mimbar-mimbar dari cahaya dan menundukkan mereka di sana. Wajah-wajah mereka dijadikan Allah bersinar-sinar, begitu pun pakaian mereka. Orang-orang lain pada hari kiamat itu sama-sama kecut, tapi mereka sedikit pun tidaklah kecut, dan merekalah wali-wali Allah yang tidak kenal gentar maupun duka'." (HR Ahmad dan Abu Ya'la dengan isnad yang hasan begitu juga Hakim yang menyatakan isnadnya sah)

2. Dari Abu Hurairah, katanya:

Artinya:

"Seorang laki-laki telah masuk ke dalam mesjid lalu shalat. Kemudian ia datang kepada Nabi saw mengucapkan salam, Nabi pun membalas salamnya dan sabbdanya: 'Kembalilah shalat, karena kamu belum lagi benar-benar shalat'! Orang itu pun kembali, dan melakukan shalatnya sampai tiga kali. Akhirnya katanya: 'Demi Tuhan Yang telah mengutus Anda dengan membawa kebenaran! Hanya seperti itulah yang dapat kulakukan, maka Anda ajarkanlah padaku'! Maka ujar Nabi saw: 'Jika kau hendak shalat, ucapkanlah takbir, kemudian bacalah ayat Qur'an yang mudah bagimu lalu rukuklah sampai keadaanmu thuma'ninah, artinya tenang tenteram, kemudian bangkitlah hingga berdiri lurus kembali, lalu sujud dengan thuma'ninah, kemudian duduk dengan thuma'ninah, lalu sujud kembali dengan thuma'ninah, kemudian lakukanlah seperti demikian pada shalatmu selanjutnya'!" (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Hadits ini biasa disebut "haditsu'l musi' fi shalatih" artinya "hadits orang yang tidak betul shalatnya". Demikanlah garis besar cara shalat Rasulullah saw yang kita terima, baik dari perbuatan maupun perkataannya, dan akan kita kemukakan di bawah ini dengan memperinci mana-mana yang fardhu dan mana-mana yang sunat.

 

FARDHU-FARDHU SHALAT

Shalat mempunyai rukun-rukun dan fardhu, dari mana tersusun hakikat dan sari patinya, hingga bila ketinggalan salah satu di antaranya, maka hakikat tersebut tak dapat tercapai dan shalat dianggap tidak sah menurut syara'. Inilah perinciannya:

1. Niat, 1) karena firman Allah ta'ala:

Artinya:

"Dan mereka tiada dititah, kecuali untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya semata!" (Al-Baiyinah:5)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw:

Artinya: "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkannya. Maka siapa-siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul, 2) dan barang siapa yang hijrahnya karena kuduniaan yang hendak diperolehnya, atau disebabkan wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnya itu adalah karena tujuan-tujuan yang hendak dicapainya itu." 3) (HR Bukhari)

Dan mengenai hakikat niat ini telah kita bicarakan dulu dalam wudhuk.

Melafadhkannya: Dalam bukunya Ighatsatu'l Lahfan, Ibnul Qaiyim menyatakan: "Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Nabi saw begitu juga dari para shahabat, mengenai lafadh niat ini.

Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan shalat ini, telah dijadikan oleh setan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi waswas, yang menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafalkannya padahal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara shalat.
-------------------
1) Sebagian menganggapnya sebagai syarat, bukan rukun.
2) Maksudnya bahwa hijrahnya itu beroleh hasil.
3) Artinya, hijrahnya itu bernilai rendah dan hina.

2. Takbiratul Ihram

Berdasarkan hadits Ali:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bersabda: 'Kunci shalat itu ialah bersuci, pembukaannya membaca takbir, dan penutupnya ialah memberi salam." (HR Syafi'i, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi yang mengatakan: "Hadits ini merupakan hadits yang paling sah dan paling baik mengenai soal ini." Dan juga dinyatakan sah oleh Hakim dan Ibnu's-Sikkin)

Pula berdasarkan perbuatan serta ucapan Nabi saw yang diakui sebagaimana tersebut dalam kedua hadits yang lalu. Takbiratu'l-ihram ini hanya boleh dan tertentu dengan lafal "Allahu Akbar", ialah berdasarkan hadits Abu Humeid.

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bila berdiri hendak mengerjakan shalat, ia tegak lurus dan mengangkatkan kedua belah tangannya lalu mengucapkan 'Allahu Akbar'." (HR Ibnu Majah dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Dan seperti demikian, hadits yang dikeluarkan oleh Bazzar dengan isnad yang sah dan atas syarat Muslim, yang diterima dari Ali:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bila berdiri hendak mengerjakan shalat, mengucapkan Allahu Akbar."

Demikian pula hadits "Al Musi' fi shalatih" yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat: "Kemudian diucapkannya 'Allahu Akbar'."

3. Berdiri pada Shalat Fardhu

Hukumnya wajib berdasarkan kitab, sunnah dan ijma' bagi orang yang kuasa. Firman Allah ta'ala:

Artinya:

"Peliharalah shalat itu, begitu pun shalat 'Ashar, dan berdirilah di hadapan Allah dengan khusyuk dan merendahkan diri!" 1)

Dan dari 'Imran bin Hushain, katanya:

Artinya:

"Saya kena sakit bawasir, maka saya tanyakanlah kepada Nabi mengenai shalat. Maka ujarnya: 'Shalatlah dengan berdiri, jika tidak kuasa, maka sementara duduk, dan jika juga tidak kuasa, maka dengan berbaring'." (HR Bukhari)

Dan mengenai soal ini, para ulama sama sekali, sebagaimana mereka sekata pula atas sunatnya merenggangkan telapak kaki sewaktu berdiri itu.

Berdiri di waktu shalat sunat

Mengenai shalat sunat, boleh dilakukan sementara duduk, walaupun seseorang itu kuasa berdiri. Hanya pahala orang yang berdiri lebih sempurna dari pahala orang yang duduk. Diterima dari Abdullah bin Umar ra:

Artinya:

"Disampaikan berita kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda: 'Shalat seseorang sementara duduk, sama nilainya dengan separuh shalat'." (HR Bukhari dan Muslim)

Tak kuasa berdiri pada shalat fardhu

Orang yang tak kuasa pada shalat fardhu, hendaklah ia shalat menurut kemampuannya. Dan Allah tidaklah akan membebani diri kecuali sekedar kemampuannya, dan orang itu tetap akan beroleh ganjaran penuh tanpa kurang sedikit pun. Dari Abu Musa bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Bila seseorang hamba sakit atau dalam perjalanan, maka Allah akan mencatat pahala amalannya sebesar apa yang dikerjakannya sewaktu lagi sehat dan mukim." (HR Bukhari)
---------------------
1) Berdiri di hadapan Allah, maksudnya ialah melakukan shalat.

4. Membaca Al Fatihah

Membaca Al Fatihah pada setiap rakaat dari shalat fardhu dan sunat. Telah diterima beberapa buah hadits shahih menyatakan fardhunya membaca Al Fatihah pada setiap raka'at. Dan karena hadits-hadits itu merupakan hadits-hadits shahih lagi tegas, maka tak ada dalil atau alasan untuk bertikai paham.

  1. Dari Ubadah bin Shamit ra bahwa Nabi saw bersabda:
    Artinya:
    "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatu'l Kitab."
  2. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw telah bersabda:
    Artinya:
    "Siapa yang mengerjakan sesuatu shalat tanpa membaca padanya Ummu'l Qur'an - dalam sebuah riwayat: Fatihatu'l Kitab - maka shalat itu kurang 1) tidak sempurna!" (HR Ahmad dan Bukhari serta Muslim)
  3. Daripadanya pula, bahwa Rasulullah saw bersabda:
    Artinya:
    "Tidak memenuhi, shalat yang tidak dibaca padanya Fatihatu'l Kitab." (HR Ibnu Khuzaimah dengan isnad yang sah, juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Abu Hatim)

  4. Dan menurut riwayat Daruquthni dengan isnad yang sah, berbunyi sebagai berikut:
    Artinya:
    "Tidak memadai shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatu'l Kitab."

  5. Dari Abu Sa'id, katanya:
    Artinya:
    "Kami disuruh Nabi agar membaca Fatihatu'l Kitab dan ayat-ayat yang mudah." (HR Abu Daud; berkata Hafidh dan Ibnu Saiyidin-Nas: "Isnadnya sah.")

  6. Menurut sebagian sumber dari "Hadits Al Musi' fi shalatih" tersebut: "Kemudian bacalah Ummu'l Qur'an", sampai katanya: "Kemudian lakukanlah demikian itu pada setiap raka'at."

  7. Kemudian telah diakui bahwa Nabi saw selalu membaca Fatihah pada setiap rakaat dari shalat fardhu maupun sunat, dan tidak pernah diterima menyalahi itu, sedang yang menjadi dasar utama dalam ibadat ialah mengikuti Nabi. Sabda Nabi saw:
    Artinya: "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat!" (HR Bukhari)

Basmalah. Para ulama telah sekata bahwa basmalah itu merupakan sebagian ayat pada surat An-Naml. Mengenai basmalah yang terdapat pada permulaan surat, mereka berselisih pendapat dan terbagi atas tiga mazhab yang terkenal:

Pertama: Bahwa ia merupakan salah satu ayat dari Al Fatihah dan dari setiap ayat. Dan berdasarkan ini maka membacanya dalam Al Fatihah hukumnya wajib, dan mengenai sir ataupun jahar, - melunakkan atau mengeraskan bacaannya - hukumnya sama dan tiada bedanya dengan Al Fatihah. Alasan terkuat bagi mazhab ini ialah hadits Na'im al Mujammir, katanya:

Artinya:

"Saya shalat di belakang Abu Hurairah. Maka dibacanya: 'Bismillahirrahmanirrahim', lalu dibacanya Ummu'l Qur'an. Demikian seterusnya di mana akhirnya ia berkata: 'Demi Tuhan yang nyawa saya dalam tangan-Nya! Saya ini adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah saw.!" (HR Nasa'i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Menurut Hafidh dalam Al Fat-h, hadits ini merupakan hadits yang paling sah menyatakan dibacanya basmalah secara jahar.

Kedua: Bahwa ia merupakan suatu alat yang berdiri sendiri yang diturunkan untuk mengambil berkah dan pemisah di antara surat-surat, dan bahwa membacanya pada Al Fatihah hukumnya boleh bahkan sunat, dan tidak disunatkan menjaharnya Hal ini berdasarkan hadits Anas, katanya:

Artinya:

"Saya shalat di belakang Rasulullah saw dan di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan mereka tidaklah membaca Bismillahirrahmanirrahim secara jahar." (HR Nasa'i, Ibnu Hibban dan Thahawi dengan isnad atas syarat Bukhari dan Muslim)

Ketiga: Bahwa ia bukan merupakan suatu ayat dari Al Fatihah atau dari surat lainnya, dan bahwa membacanya dimakruhkan baik secara sir maupun jahar, pada shalat fardhu ataupun sunat. Mazhab ini tidak kuat.

Ibnu Qaiyim telah menghimpun di antara mazhab yang pertama dan yang kedua, katanya: "Adalah Nabi saw sewaktu-waktu membaca Bismillahirrahmanirrahim secara jahar, dan lebih sering membacanya dengan sir. Dan suatu hal yang tidak diragukan lagi ialah bahwa tidaklah selamanya ia menjaharkannya, yakni sebanyak lima kali pada tiap siang dan malam, di waktu menetap maupun ketika bepergian. Dan hal ini tidak disadari oleh para khulafaur rasyidin dan oleh golongan terbesar dari shahabat-shahabatnya, serta kawan-kawan sebangsanya pada masa-masa berikutnya."

Orang yang tak dapat membaca Al Fatihah

Berkata Khatthabi: "Pada prinsipnya shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca Al Fatihah. Dan adalah ma'qul atau logis bila membaca Al Fatihah itu hanya berlaku bagi orang yang dapat membacanya dengan baik, bukan bagi orang yang tidak dapat. Maka jika orang yang shalat itu tidak menguasai Al Fatihah, hanya ayat-ayat Qur'an lainnya, maka hendaklah ia membaca kira-kira tujuh ayat, karena dzikir utama setelah Al Fatihah, tidak lain dari yang setaraf dengannya, yaitu sama-sama ayat Al Qur'an. Dan seandainya ia tak disebabkan cacat pada watak, lemah ingatan, lidah yang kelu, atau penyakit-penyakit lain yang menimpanya, maka dzikir terbaik setelah Al Qur'an ialah apa yang diajarkan Nabi saw berupa tasbih, tahmid dan tahlil. Telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwa ia telah bersabda:

Artinya:

"Dzikir utama setelah firman Ilahi ialah 'subhanallah, walhamdu lillah wala ilaha illallah, wallahu akbar'. Sekian."

Apa yang disebutkan Khatthabi itu dikuatkan oleh hadits Rifa'ah bin Rafi':

Artinya:

"Bahwa Nabi saw mengajarkan shalat kepada seorang laki-laki, sabdanya: 'Jika ada ayat-ayat Al Qur'an yang hafal olehmu, bacalah! Jika tidak, maka ucapkanlah tahmid, tahlil dan takbir, kemudian rukuklah'." (HR Abu Daud dan Turmudzi yang menyatakannya hasan, juga Nasa'i dan Baihaqi)
-----------------------
1) Menurut Khatthabi, kurang di sini maksudnya ialah kurang disebabkan rusak dan batal.

5. Rukuk

Fardhunya telah diakui secara ijma', berdasarkan firman Allah ta'ala:

Artinya:

"Hai orang-orang beriman! Rukuk dan sujudlah kamu ...!" (Al Hajj:77)

Bilakah dikatakan terlaksana?

Rukuk terlaksana dengan membungkukkan tubuh, di mana kedua tangan mencapai kedua lutut. Dalam hal ini diharuskan thuma'ninah, artinya berhenti dengan tenang, sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Al Musi' fi shalatih: "Kemudian hendaklah rukuk dengan thuma'ninah." Dan diterima dari Abu Qatadah, katanya Nabi saw telah bersabda:

Artinya:

"Sejelek-jelek pencuri ialah orang yang mencuri dari shalatnya!" Mereka lalu bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimana caranya mencuri dari shalat itu?" Ujarnya: "Tidak disempurnakannya rukuk dan sujudnya." Atau ujarnya: "Tidak diharuskannya punggungnya sewaktu rukuk dan sujud." (HR Ahmad, Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Hakim yang menyatakan bahwa isnadnya sah)

Dan dari Abu Mas'ud al Badari, bahwa Nabi saw, telah bersabda:

Artinya:

"Tidak memadai shalat, bila seseorang tidak meluruskan punggungnya di waktu rukuk dan sujud." (HR Yang berlima, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Thabrani dan Baihaqi yang menyatakan bahwa isnadnya sah sementara Turmudzi menyatakan hasan lagi shahih)

Bagi para ahli dari shahabat-shahabat Nabi saw dan ulama-ulama sesudah mereka, hal ini wajib diamalkan, artinya mereka berpendapat hendaklah seseorang yang shalat meluruskan punggungnya di waktu rukuk dan sujud. Dari Huzaifah, bahwa ia melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, maka tegurnya: "Kau tidak shalat, dan andainya mati, maka matimu tidak dalam agama, dalam mana Muhammad saw dicipta Allah." (Riwayat Bukhari)

6. Bangkit dari rukuk dan berdiri lurus (I'tidal) dengan thuma'ninah

Berdasarkan keterangan Abu Humaid mengenai sifat shalat Rasulullah saw:

Artinya:
"Dan jika ia mengangkatkan kepalanya, maka ia pun berdiri lurus hingga kembalilah setiap ruas punggung itu ke tempatnya semula." (HR Bukhari dan Muslim)

Dan bercerita Aisyah tentang Nabi saw:

Artinya:
"Maka bila ia mengangkatkan kepala dari rukuk, ia tidak sujud sebelum berdiri lurus lebih dahulu." (HR Muslim)

Pula Nabi saw telah berpesan:

Artinya:
"Kemudian bangkitlah sampai kamu berdiri lurus!" (Disepakati oleh ahli-ahli hadits)

Kemudian diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw telah bersabda:

Artinya:
"Allah tidak akan memperhatikan shalat seorang laki-laki yang tidak meluruskan punggungnya di antara rukuk dan sujudnya." (HR Ahmad, dan menurut Mundziri isnadnya cukup baik)

7. Sujud

Telah disebutkan dulu alasan wajibnya dari Kitab, yang diberi penjelasan oleh Nabi saw dalam sabdanya kepada "orang yang tidak baik shalatnya". "Kemudian sujudlah dengan thuma'ninah, lalu bangkit duduk dengan thuma'ninah, lalu sujudlah pula dengan thuma'ninah!" Dengan demikian sujud pertama dengan berbangkit, kemudian sujud kedua dengan thuma'ninah pada masing-masingnya, merupakan fardhu pada setiap rakaat shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunat.

Batas Thuma'ninah

Thuma'ninah ialah ketenangan sementara waktu setelah stabil atau mantapnya kedudukan anggota, yang jangka waktunya oleh ulama ditaksir sekurang-kurangnya selama membaca satu kali tasbih.

Anggota-anggota sujud

Anggota-anggota sujud itu ialah: muka, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki. Diterima dari 'Abbas bin Abdul Mutthalib, bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Bila seorang hamba itu sujud, sujudlah pula bersamanya tujuh macam anggota, yakni: wajahnya, kedua telapak tangan, kedua lutut serta kedua telapak kakinya." (HR Jama'ah kecuali Bukhari)

Dan diterima dari Ibnu 'Abbas:

Artinya:

"Nabi saw menyuruh agar melakukansujud itu pada tujuh macam anggota dan supaya seseorang tidak merapatkan rambut atau kainnya sewaktu sujud itu, yakni: kening, kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki." Pada sebuah riwayat kalimatnya berbunyi sebagai berikut: Nabi saw telah bersabda: "Saya dititah agar melakukan sujud pada tujuh tulang: yakni atas kening - sambil menunjuk hidungnya - atau kedua tangan, kedua lutut dan atas ujung-ujung kedua telapak kaki." (Disepakati oleh ahli-ahli hadits)

Dan menurut riwayat lainnya, berbunyi sebagai berikut:

"Saya dititah agar sujud pada anggota yang tujuh, dan agar tidak merapatkan rambut maupun pakaian, yakni pada kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki." (HR Muslim dan Nasa'i)

Dan dari Abu Humeid:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bila sujud dirapatkannya hidung dan keningnya ke lantai" (HR Abu Daud dan Turmudzi yang menyatakan sahnya dan mengatakan: "Menurut para ahli hendaklah dilakukan menurut ketentuan ini, artinya hendaklah seseorang itu sujud pada kening dan hidungnya. Dan jika ia sujud pada kening tanpa hidung, maka menurut sebagian ahli, itu sudah memadai. Tapi yang lain mengatakan: "Itu tidak cukup, dan ia harus sujud pada kening dan hidung.")

8. Duduk yang akhir sambil membaca tasyahud

Suatu keterangan yang diakui dan telah dikenal dari tuntunan Nabi saw ialah bahwa ia melakukan duduk yang akhir sambil membaca tasyahud, dan bahwa ia telah berpesan kepada Al Musi' fishalat:

Artinya:

"Maka jika kau telah bangkit dari sujud yang akhir, lalu duduk selama waktu tasyahud, selesailah sudah shalatnya!" Berkata Qudamah: "Telah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa ia berkata: 'Sebelum difardhukannya tasyahud, biasanya kami membaca Assalamu'alallahi qabla'ibadihi, assalamu'ala Jibrila, assalamu'ala Mikaila'." Maka bersabdalah Nabi saw: "Jangan katakan: 'Assalamu 'ala'l Lahi', tapi hendaklah ucapkan: 'Attahiyatu lillah'!" Ini menjadi dalil bahwa tasyahud itu menjadi fardhu, setelah tidak difardhukannya selama ini.

Bacaan tasyahud yang paling sah

Bacaan yang diterima mengenai tasyahud, yang paling sah ialah tasyahud Ibnu Mas'ud, katanya:

Artinya:

"Adalah kami, bila duduk bersama Rasulullah saw di waktu shalat, kami baca: 'Assalamu 'ala'l Lahi qabla 'ibadihi, assalamu 'ala Fulan wa Fulan'. (Selamat sejahtera bagi Allah sebelum bagi hamba-hamba-Nya, selamat sejahtera bagi si Anu dan si Anu)." Maka bersabdalah Nabi saw: "Janganlah katakan: Selamat sejahtera bagi Allah, karena Allahlah sumber keselamatan dan kesejahteraan itu, tapi bila salah seorang kamu duduk, hendaklah ia mengucapkan: 'Attahiyatu lillahi wash shalawatu wath thaiyibat. Assalamu 'alaika aiyuha'n Nabiyu warahmatu'l Lahi wabarakatuh. Assalamu 'alaika aiyuha'n Nabiyu warahmatu'l Lahi wabarakatuh. Assalamu 'alaina wa 'ala 'ibadi'l Lahis shalihin'. (Segala persembahan adalah bagi Allah, begitu pun kebaktian dan segala yang baik-baik. Selamat sejahtera kiranya terlimpah atasmu, wahai Nabi, begitu pun rahmat Allah serta berkah-berkah-Nya. Selamat sejahtera terlimpah pula atas kami, dan atas hamba-hamba Allah yang berbakti!) Maka bila kamu mengucapkan seperti demikian, ia akan dapat mencapai semua hamba yang berbakti, baik di langit maupun di bumi' - atau sabdanya 'di antara langit dan bumi. Asyhadu alla ilaha illa'l lah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuluh. (Aku mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan aku mengakui bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Nya). Kemudian hendaklah masing-masing kamu memilih doa yang menarik hatinya, dan berdoa dengan itu'." (HR Jama'ah)

Berkata Muslim: "Tasyahud Ibnu Mas'ud ini telah mencapai ijma', karena di antara pendukung riwayatnya tidak terdapat pertikaian, sementara di antara pendukung riwayat lain terdapat perselisihan. Dan menurut Turmudzi, Khatthabi, Ibnu 'Abdil Bir dan Ibnul Mundzir, tasyahud Ibnu Mas'ud adalah hadits yang paling sah mengenai tasyahud. Setelah tasyahud Ibnu Mas'ud ini, menyusul dalam sah riwayatnya tasyahud Ibnu 'Abbas, katanya:

Artinya:

"Nabi saw mengajarkan tasyahud kepada kami sebagaimana mengajarkan Qur'an. Bacaannya ialah: 'Attahiyatu'l mubarakatu's shalawatu'th thayibatu lillah. Assalamu 'alaika ayyuha'n Nabiyyu warahmatu 'llahi wabarakatuh. Assalamu 'alaina wa 'ala 'ibadi'llahish shalihin. Asyhadu alla ilaha illa'llah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuluh'." (Segala persembahan yang berkah dan kebaktian yang baik itu adalah bagi Allah. Selamat bahagia kiranya terlimpah padamu, wahai Nabi Muhammad, begitu pun rahmat Allahserta berkah-Nya. Selamat bahagia, kiranya terlimpah pula atas kami, begitu pun atas hamba-hamba Allah yang berbakti! Aku mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan aku mengakui bahwa Nabi Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya). (HR Syafi'i, Muslim, Abu Daud dan Nasa'i)

Berkata Syafi'i: "Mengenai tasyahud ini ada diriwayatkan pelbagai macam hadits, tetapi hadits inilah yang lebih saya sukai, karena ia adalah yang paling sempurna."

Berkata Hafidh: "Ketika ditanyakan kepada Syafi'I kenapa ia memilih tasyahud Ibnu 'Abbas, jawabnya: 'Sebab saya lihat ia luas, dan saya dengar dengan sah dari Ibnu 'Abbas. Dan pada saya ada yang lebih meliputi dan lebih banyak lagi kalimatnyadari yang lain, dan itu saya ambil tanpa melarang orang lain buat mengambil lainnya secara paksa, asal demikian itu sah adanya'. Di samping itu ada lagi tasyahud yang lebih disukai oleh Malik, diriwayatkannya dalam Muwaththa' dari Abdurrahman bin Abdilqari, bahwa ia mendengar Umar bin Khatthab yang ketika itu sedang berada di atas mimbar mengajarkan tasyahud kepada orang banyak, katanya: 'Katakanlah oleh Tuan-tuan: Attahiyatu lillah, az zakiyatu lillah, ath thaiyibatu wash shalawatu lillah. Assalamu 'alaika aiyuhan Nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh. Assalamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahish shalihin. Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh. (Segala persembahan itu adalah bagi Allah, segala yang suci adalah milik Allah, dan segala yang baik serta kurnia adalah kepunyaan Allah'," dan seterusnya).

Berkata Nawawi: "Hadits-hadits mengenai tasyahud ini semuanya sah dan yang paling sah menurut persetujuan ahli-ahli hadits ialah hadits Ibnu Mas'ud, diikuti oleh hadits Ibnu 'Abbas."

Dan menurut Syafi'i, tasyahud mana pun yang dipakai, akan mencukupi dan para ulama telah ijma' menyatakan bolehnya mengambil salah satu di antaranya.

9. Memberi salam

Telah tegaslah difardhukannya salam berdasarkan sabda Rasulullah saw dan perbuatannya. Dari Ali ra, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Kunci shalat itu ialah bersuci, pembukaannya membaca takbir, dan penutupnya ialah memberi salam." (HR Ahmad, Syafi'i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi, yang menyatakan bahwa hadits ini merupakan yang paling sah dan paling hasan mengenai soal ini)

Dan dari 'Amir bin Sa'ad, dari bapaknya, katanya:

Artinya:

"Saya lihat Nabi saw memberi salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kirinya, hingga kelihatan putih pipinya." (HR Ahmad, Muslim, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Dan dari Wa'il bin Hajar, katanya:

Artinya:

"Saya shalat bersama Rasulullah saw maka ia memberi salam ke sebelah kanan dengan mengucapkan: 'Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh', dan ke sebelah kiri dengan mengucapkan pula 'Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu'." (Menurut Hafidh, Ibnu Hajar dalam "Bulughu'l Maram", hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan isnad yang sah)

Wajibnya salam pertama dan disunatkannya salam kedua

Jumhur ulama berpendapat bahwa yang fardhu itu ialah memberi salam pertama, sedang yang kedua hukumnya sunat. Berkata Ibnul Mundzir: "Para ulama telah ijma' bahwa shalat orang yang memada-kan hanya satu kali salam saja, diperbolehkan."

Dan berkata Ibnu Qudamah dalam Mughni: "Keterangan Ahmad tidaklah pasti atau positif mewajibkan kedua salam. Ia hanya mengatakan bahwa dua kali salam, adalah lebih sah diterima dari Rasulullah saw. Maka kemungkinan yang dimaksudkannya ialah mengenai soal disyari'atkan dan bukan soal difardhukan, sebagaimana pendapat yang dianut oleh orang lain. Hal ini ditunjukkan oleh ucapannya pada sebuah riwayat: 'Dan yang lebih saya sukai ialah dua kali salam'.

Alasannya pula ialah karena Aisyah dan Salman bin Akwa' dan Sahl bin Sa'ad telah meriwayatkan bahwa Nabi saw memberi salam hanya satu kali saja, begitu pun orang-orang Muhajirin, mereka hanya satu kali saja mengucapkan salam itu. Maka yang mengenai yang kita kemukakan itu, dihimpunlah antara hadits-hadits dengan ucapan para shahabat, dengan hasil bahwa yang disyari'atkan dan yang disunatkan ialah dua kali salam, sedang yang wajib hanya satu kali. Hasil ini juga menunjukkan sahnya ijma' yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir hingga tak ada jalan untuk berpaling lagi."

Berkata Nawawi: "Mazhab Syafi'i dan jumhur ulama, baik dari salaf maupun khalaf - artinya yang di masa dulu-dulu maupun zaman belakangan menyatakan bahwa memberi salam itu disunatkan dua kali." Dan berkata Malik dan satu golongan lain: "Yang disunatkan ialah hanya satu kali salam."

Sebagai alasan, mereka berpegang kepada beberapa hadits dha'if yang tak dapat melawani hadits-hadits yang sah. Dan andaipun ada di antaranya yang dapat diakui, diartikanlah bahwa hal itu dilakukan Nabi hanyalah untuk menyatakan dibolehkannya satu kali salam. Dalam pada itu para ulama yang telah diakui, telah ijma' bahwa tidaklah diwajibkan kecuali hanya sekali salam. Dan jika seseorang memberi salam hanya satu kali, disunatkan baginya melakukan itu ke arah depan, dan jika dua kali, maka yang pertama ke sebelah kanan dan yang kedua ke sebelah kiri.

Pada masing-masingnya hendaklah ia menoleh atau berpaling, hingga orang-orang yang di sebelahnya akan dapat melihat pipinya. Inilah cara yang benar, sampai katanya: "Seandainya ia memberi dua kali salam ke sebelah kanan atau kiri dan yang kedua ke sebelah kanan, maka shalatnya tetap sah dan kedua salam tetap hasil, hanya luput keutamaan tentang tata caranya."

 

SUNAT-SUNAT SHALAT

Ada beberapa sunat shalat, yang diutamakan bagi yang mengerjakan shalat untuk memeliharanya agar tercapai pahalanya. Kami sebutkan di bawah ini:

1. Mengangkat kedua belah tangan.

Disunatkan mengangkat kedua tangan pada empat ketika.

Pertama sewaktu takbiratul ihram. Berkata Ibnul Mundzir: "Tak ada terdapat pertikaian di antara para ahli bahwa Nabi saw selalu mengangkat kedua belah tangannya sewaktu memulai shalat." Dan menurut Hafidh Ibnu Hajar, bahwa mengangkat kedua belah tangan pada permulaan shalat itu diriwayatkan oleh 50 orang shahabat, termasuk di antaranya sepuluh orang yang telah diakui akan masuk surga. Dan Baihaiqi meriwayatkan dari Hakim, katanya: "Tidak kita ketemukan suatu sunnah yang disepakati riwayatnya bersumber kepada Rasulullah saw oleh khalifah yang berempat dan para shahabat yang telah diakui akan masuk surga, begitu pun kawan mereka di belakang walaupun mereka telah terpencar pada pelosok-pelosok yang jauh, selain dari sunnah ini!" Dan kata Baihaqi: "Keadaannya ialah sebagaimana yang telah diterangkan oleh guru kita Abu Abdillah itu."

Cara mengangkatnya:

Tentang sifat mengangkat kedua tangan ini diterima riwayat yang banyak. Dan yang utama yang dipakai oleh golongan-golongan terbesar dari ulama, mengangkat itu ialah setentang denga n kedua bahu, hingga ujung-ujung jari sejajar dengan puncak kedua telinga, kedua ibu jari dengan ujung bawahnya, serta kedua telapak tangan dengan kedua bahu. Berkata Nawawi: "Dengan cara ini Syafi'I menghimpun di antara beberapa riwayat hadits, hingga dipandang baik oleh orang-orang." Dan disunatkan mengembangkan jari-jemari di waktu mengangkat itu. Dari Abu Hurairah:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw jika hendak melakukan shalat, diangkatnya kedua tangannya dengan terkembang." (HR Yang berlima kecuali Ibnu Majah)

Saat mengangkat:

Hendaklah mengangkat kedua tangan itu bersamaan waktunya dengan mengucapkan takbiratu'l ihram atau terdahulu daripadanya. Dari Nafi', katanya:

Artinya:

"Bahwa Ibnu Umar ra jika memulai shalat membaca takbir dan mengangkat kedua belah tangannya. Hal ini dinyatakan berasal dari Nabi saw" (HR Bukhari, Nasa'i dan Abu Daud)

Dan diterima daripadanya pula:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw mengangkatkan kedua belah tangannya sewaktu membaca takbir hingga setentang dengan kedua bahu atau hampir setentang." (sampai akhir hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain)

Mengenai terdahulunya mengangkat kedua tangan dari takbiratu'l ihram maka berasal dari riwayat Ibnu Umar, katanya:

Artinya:

"Bila Nabi saw berdiri hendak mengerjakan shalat diangkatnya kedua belah tangannya hingga setentang dengan kedua bahunya, lalu membaca takbir." (HR Bukhari dan Muslim)

Dan telah diterima pula hadits dari Malik bin Huwairits dengan kalimat yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya:

"Ia membaca takbir lalu mengangkat kedua belah tangannya." (HR Muslim)

Hadits ini mensyaratkan terdahulunya takbir dari mengangkat tangan. Tetapi Hafidh mengatakan: "Tak ada saya dengar orang-orang yang mengatakan didahulukannya takbir dari mengangkat tangan."

Yang kedua dan ketiga; disunatkan mengangkat kedua belah tangan ketika rukuk dan sewaktu bangkit. Dua puluh dua orang shahabat telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melakukan demikian. Dan diterima dari Umar ra, katanya:

Artinya:

"Bila Nabi saw berdiri hendak melakukan shalat, diangkatnya kedua belah tangannya setentang dengan kedua bahunya, kemudian dibacanya takbir. Kemudian bila ia hendak rukuk diangkatnya pula seperti itu, dan jika ia mengangkat kepala ketika bangkit dari rukuk, diangkatnya pula seperti demikian dan diucapkannya: 'Sami'allahu liman hamidah, rabbanawalaka'l hamdu'." (HR Bukhari, Muslim dan Baihaqi)

Dan menurut Bukhari: "Dan hal itu tidaklah dilakukannya ketika sujud dan tidak pula sewaktu bangkit dari sujud." Sedang bagi Muslim: "Dan hal itu tidak dilakukannya ketika mengangkatkan kepala dari sujud." Juga baginya: "Dan tidak diangkatnya di antara dua sujud", sementara Baihaqi menambahkan: "Maka senantiasalah shalatnya demikian, hingga ia wafat menemui Allah Ta'ala."

Berkata Ibnul Madaini: "Hadits ini menurut pendapatku, menjadi alasan bagi semua makhluk. Maka setiap orang yang mendengarnya, hendaklah mengamalkannya, karena pada isnadnya tidak terdapat cacat sedikitpun. Bahkan Bukhari telah mengarang bagian tersendiri mengenai masalah ini, dan meriwayatkan dari Hasan dan Humeid bin Hilal, bahwa para shahabat melakukan demikian, yakni mengangkatkan tangan pada tempat yang tiga, di mana Hasan tidak mengecualikan seorang pun. Mengenai pendapat golongan Hanafi, bahwa mengangkat itu tidak disyari'atkan hanya pada pada takbiratu'l ihram, berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang mengatakan hendak mencontohkan shalat Rasulullah saw. Kemudian ternyata bahwa ia tidak mengangkat kedua tangannya kecuali hanya sekali, maka mazhab itu tidak kuat, karena haditsnya banyak mendapat kecaman dari imam-imam hadits. Menurut Ibnu Hibban, inilah berita yang paling baik! Penduduk Kufah meriwayatkan berita tentang meniadakan mengangkat tangan dalam shalat sewaktu ruku' dan berbangkit, padahal menurut hakikatnya, berita itu merupakan alasan yang amat lemah, karena mempunyai cacat yang membatalkannya. Dan misalkan dapat diterima kebenarannya, sebagaimana ditegaskan oleh Turmudzi, tetapi ia tidaklah dapat menyangkal hadits-hadits shahih yang telah mencapai derajat masyhur. Pengarang buku "Tanqih" mengemukakan adanya kemungkinan bahwa Ibnu Mas'ud tidak ingat soal mengangkat tangan tersebut, sebagaimana ia juga lupa akan hal-hal lainnya.

Berkata Zaila'i dalam "Nushbu'r Rayah" - menukil dari buku Tanqih - "Lupanya Ibnu Mas'ud dalam hal ini tidaklah mengherankan. Ia juga telah lupa akan beberapa ayat Al Qur'an yang tidak menjadi pertikaian lagi bagi kaum muslimin di belakang, yakni dua mu'awwazah, lupa akan apa yang telah disepakati ulama tentang apa-apa yang telah dihapus, tidak ingat lagi bagaimana caranya dua orang makmum berdiri di belakang imam, begitu pun persesuaian ulama bahwa Nabi saw tetap melakukan shalat Subuh pada waktunya di hari Qurban. Ibnu Mas'ud telah lupa betapa caranya Nabi menjama' di hari 'Arafah, begitu pun menaruh siku dan lengan di lantai ketika sujud, suatu hal yang tidak diperbantahkan lagi oleh ulama. Ia juga tak ingat betapa caranya Nabi saw membaca 'wama khalaqadz dzakara wal untsa'. Maka seandainya Ibnu Mas'ud lupa akan semua yang tersebut dalam shalat, betapa ia tak mungkin akan lupa pula soal mengangkat kedua tangan?"

Keempat, ketika bangkit hendak melakukan raka'at ketiga; dari Nafi' yang diterimanya dari Ibnu Umar ra:

Artinya:

"Bahwa Ibnu Umar ketika bangkit dari rakaat kedua maka ia mengangkat kedua belah tangannya. Dan ia menyatakan bahwa sumbernya ialah dari Nab saw." (HR Bukhari, Abu Daud dan Nasa'i)

Dan diterima dari Ali dalam menerangkan cara shalat Nabi saw:

Artinya:

"Bahwa bila bangkit dari dua sujud, Nabi saw mengangkat kedua tangannya setentang kedua bahu dan membaca takbir." (HR Abu Daud, Ahmad dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)

Yang dimaksud dengan dua sujud ialah dua rakaat.

Persamaan wanita dengan laki-laki mengenai sunat ini.

Berkata Syaukani: "Ketahuilah bahwa mengenai sunat ini berserikat padanya laki-laki dan wanita, dan tak ada diterima keterangan yang membeda-bedakan kedua jenis kelamin. Begitu pun tak ada keterangan yang menyatakan adanya perbedaan tentang ukuran mengangkat di antara laki-laki dan wanita.

2. Menaruh tangan kanan di atas tangan kiri.

Disunatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sewaktu shalat. Mengenai soal ini telah diterima dua puluh buah hadits dari Nabi saw, delapan belas buah dari riwayat shahabat dan dua dari tabi'in. Juga diterima dari Sahl bin Sa'ad, katanya:

Artinya:

"Bahwa orang-orang disuruh agar laki-laki meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya sewaktu shalat." Berkata Abu Hazim: "Tiada lain yang saya ketahui hanyalah bahwa hal tersebut diterimanya dari Nabi saw sebagai sumbernya." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad juga oleh Malik dalam Muwatha')

Berkata Hafidh: "Ini hukumnya seperti marfu', karena maksudnya yang menyuruhnya itu tiada lain dari Nabi saw. Dan dari Nabi saw, sabdanya:

Artinya:

"Sesungguhnya kami para anbiya disuruh mencepatkan berbuka, sebaliknya menta'khirkan sahur dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri di waktu shalat."

Dan diterima dari Jabir, katanya:

Artinya:

"Rasulullah saw lewat pada seorang laki-laki yang sedang shalat yang meletakkan tangan kiri di atas tangan kanannya. Maka tangannya itu ditarik oleh Nabi dan ditaruhnya tangan kanannya di atas tangan kirinya." (HR Ahmad dan lain-lain dan menurut Nawawi isnadnya sah)

Berkata Ibnu Abdil Birr: "Tak ada pertikaian bahwa ia berasal dari Nabi saw dan soal itu juga merupakan pendapat golongan besar dari shahabat dan tabi'in dan disebutkan oleh Malik dalam Muwattha', serta katanya: 'Pendapat ini tetap dipegang oleh Malik sampai menemui Allah 'Azza wa jalla'."

Tempat menaruh kedua tangan

Berkata Kamal bin Hammam: "Tidak ada hadits yang sah yang mewajibkan beramal dengan menaruh tangan di bawah dada, maupun di bawah pusat. Hanya yang biasa dilakukan di kalangan Hanafi ialah di bawah pusat, dan pada golongan Syafi'i di bawah dada, sedang dari Ahmad terdapat dua aliran sebagaimana kedua pendapat tersebut. Yang benar ialah boleh kedua-duanya. Dan menurut Turmudzi bahwa para ahli di antara shahabat-shahabat Nabi saw dan tabi'in, berpendapat agar laki-laki itu menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya di waktu shalat, sebagian mengatakan agar meletakkannya di sebelah atas pusat, sedang sebagian lagi berpendapat di sebelah bawahnya. Semuanya itu ada yang melakukannya." Sekian.

Tetapi beberapa riwayat ada yang menyatakan bahwa Nabi saw menaruh kedua tangannya di atas dada. Dari Hulb ath Thai, katanya:

Artinya:

"Saya lihat Nabi saw menaruh tangan kanan di atas tangan kirinya di atas dada yakni di atas pergelangannya." (HR Ahmad dan dinyatakan hasan oleh Turmudzi)

Dan diterima dari Wail bin Hajar, katanya:

Artinya:

"Saya melakukan shalat bersama Nabi saw maka ditaruhnya tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada." (HR Ibnu Khuzaimah yang menyatakan sahnya begitu pun Abu Daud dan Nasa'i dengan kalimat: "Lalu ditaruhnya tangan kanannya di atas pergelangan dan lengan yang kiri." Artinya ditaruhnya tangan yang kanan di atas punggung tangannya yang kiri berikut pergelangan dan lengannya)

3. Tawajjuh atau Doa Iftitah

Disunatkan bagi orang yang shalat mengucapkan salah satu di antara doa yang pernah diucapkan oleh Nabi saw dan dibacanya sebagai pembukaan bagi shalat, yakni setelah takbiratu'l ihram dan sebelum membaca Al Fatihah, kita cantumkan sebagian di antaranya sebagai berikut:

1. Dari Abu Hurairah, katanya:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw mengucapkan takbir di waktu shalat ia berhenti sebentar sebelum membaca Al Fatihah. Maka tanyaku: 'Ya Rasulullah, demi ibu-bapakku yang menjadi tebusan Anda, apakah yang Anda baca sewaktu Anda berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al Fatihah'? Ujarnya: 'Yang saya baca ialah: Allahumma ba'id baini wabaina khathaya-ya kama ba'adta baina'l masyriqi wa'l maghrib. Allahumma naqqini min khathayaya kama yunaqqa'ts tsaubu'l abyadhu mina'd danas. Allahumma 'ghsilni min khathayaya bi'ts tsalji wa'l mai wa'l baradi'. (Ya Allah, jauhkanlah di antaraku dengan kesalahanku sebagaimana jauhnya antara Timur dengan Barat! Ya Allah, bersihkanlah daku dari kesalahanku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari noda! Ya Allah, cucilah daku dari kesalahanku,dengan salju, air dan embun)." (HR Bukhari dan Muslim serta Ash-habu's Sunan kecuali Turmudzi)

2. Dan dari Ali, katanya:

Artinya:

"Bila Rasulullah berdiri hendak mengejakan shalat, diucapkannya takbir kemudian dibacanya: 'Wajjahtu wajhiya lilladzi fathara's samawati wa'l ardha hanifa'm muslima'w wama ana mina'l musyrikin. Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbi'l-alamin. La syarika lahu wa bidzalika umirtu wa ana mina'l muslimin'. (Aku hadapkan muka ke hadirat Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri, dan tiadalah aku dari golongan musyrikin. Sesungguhnya shalatku dan ibadatku, hidup serta matiku, adalah bagi Allah Penguasa seluruh alam. Tidak ada serikat bagi-Nya, dan dengan demikianlah aku diperintah, dan adalah aku dari golongan Muslimin). 'Allahumma anta'lmaliku, la ilaha illa anta, anta rabbi waana'abduka dhalamtu nafsi wa'taraftu bidzanbi fa'ghfir li dzunubi jami'a, innahu la yaghfiru'dz dzunuba illa anta, wahdini liahsani'l akhlaq, la yahdi liahsaniha illa anta, washrif 'anni siyiaha la yashrifu 'anni saiyiaha illa anta, labbaika wa sa'daika, wa'l khairu kulluhu fi yadaika, was'sy syarru laisa ilaika, wa ana bika wa ilaika, tabarakta wa ta'alaita, astaghfiruka wa atubu ilaika'. (Ya Allah, Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat aniaya terhadap diriku dan mengakui kesalahanku, maka ampunilah dosaku semuanya, dan tiadalah yang dapat mengampuni dosa itu kecuali Engkau. Dan tunjukilah daku kepada akhlak terbaik, tak ada yang akan menuntun kepada akhlak terbaik itu kecuali Engkau; dan jauhkanlah daku dari akhlak jelek, tak ada yang dapat menjauhkan daku dari akhlak jelek itu selain Engkau. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan aku patuhi perintah-Mu.1) Dan kebaikan itu seluruhnya berada dalam tangan-Mu, sedang kejahatan itu tak dapat dipakai untuk menghampirkan diri kepada-Mu. Aku ini hanya dapat hidup dengan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, Mahaberkah Engkau dan Mahatinggi, aku mohon keampunan dan bertobat kepada-Mu)." (HR Ahmad, Muslim, Turmudzi, Abu Daud dan lain-lain)
---------
1) Labaika, berasal dari alabba artinya menetap pada suatu tempat. Jadi maksudnya ialah aku penuhi panggilan-Mu tanpa goyah atau bosan. Berkata Nawawi: "Menurut ulama artinya ialah: aku tetap menaati-Mu buat selama-lamanya." Sa'daika, menurut Azhari dan lain-lain, artinya membantu terlaksananya perintah-Mu. Kejahatan bukan kepada-Mu artinya, tak dapat dipakai untuk mendekatkan diri kepada-Mu, atau tak dapat dibangsakan kepada-Mu - demi tata kesopanan atau tak 'kan dapat naik mencapai-Mu, atau ia bukan kejahatan jika dipandang dari pihak-Mu, karena ia Kauciptakan dengan mengandung hikmah yang dalam.

3. Dan dari Umar bahwa ia mengucapkan setelah takbirratu'l ihram:

Artinya:

"Subhanaka'llahumma wa bihamdika, wa tabaraka'smuka wa ta'ala jadduka, wa la ilaha ghairuka." (Mahasuci Engkau ya Allah, Mahaberkah asma-Mu dan Mahatinggi keagungan-Mu dan tiada Tuhan selain dari-Mu). (HR Muslim dengan sanad yang terputus, sementara Daruquthni dengan bersambung, hanya terhenti pada Umar)

Telah sahlah bahwa Umar mengucapkannya sebagai pembukaan, dalam kedudukannya sebagai pewaris dari Nabi saw. Ia mengucapkannya secara jahar dan mengajarkannya kepada orang-orang, hingga dalam sifat seperti ini, maka hukumnya adalah seperti marfu'. Oleh sebab itulah Imam Ahmad mengatakan: "Tentang diri saya, saya akan menjalankan apa yang diriwayatkan dari Umar, walau mengucapkan doa iftitah dengan sebagian dari apa yang diriwayatkan, juga baik."

4. Dari 'Ashim bin Humeid, katanya:

Artinya:

"Saya tanyakan kepada 'Aisyah apa doa pembukaan yang dibaca oleh Rasulullah saw waktu shalat tengah malam. Ujarnya: 'Anda telah menanyakan sesuatu yang belum pernah ditanyakan oleh seorang pun sebelum ini. Adalah Nabi saw bila melakukan itu ia takbir sepuluh kali, 1) membaca tahmid sepuluh kali, tasbih sepuluh kali, tahlil sepuluh kali, dan istighfar sepuluh kali, dan membaca: 'Allahumma'ghfir li, wahdini, warzuqni, wa'afini. (Ya Allah, ampunilah daku, tunjukilah daku, beri rezekilah daku, dan sehatkan daku), dan ia berlindung dari sempitnya kedudukan pada hari kiamat'." (HR Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Majah)
-----------
1) Yakni setelah takbiratu'l ihram

5. Dari Abdurrahman bin 'Auf, katanya:

Artinya:

"Saya bertanya kepada 'Aisyah doa apakah yang dibaca Nabi Allah saw sebagai pembukaan shalat bila ia melakukannya di waktu malam. Ujarnya: 'Sebagai pembukaan bagi shalatnya di waktu malam itu Nabi membaca: Allahumma rabba Jibrila wa Mikaila wa Israfila, fathira's samawati wal' ardha, 'alima'l ghaibi wa'sy syahadah, anta tahkumu baina 'ibadika fima kanu fihi yakhtalifun, ihdini lima'khtulifa fihi mina'lhaq biidznika, innaka tahdi man tasyau ilaa whirathi'm mustaqim'. (Ya Allah, Tuhan dari Jibri, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi dan mengetahui barang gaib maupun nyata! Engkau mengadili hamba-hamba-Mu mengenai apa yang mereka perbantahkan. Tunjukilah daku dengan izin-Mu mengenai barang yang hak yang diperbantahkan itu! Engkau membimbing siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus)." (HR Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah)

6. Dari Nafi' bin Jubeir bin Muth'im, yang diterimanya dari bapaknya, katanya:

Artinya:

"Saya dengar Rasulullah saw mengatakan dalam shalat tathawwu' - Allahu Akbar kabira (3X), walhamdu lillahi katsira (3X), wa subhana'l lahi bukrata'w wa ashila (3X). Allahumma inni a'udzu bika mina'sy syaithani'r rajim, min hamzihi wa nafatsihi, wa nafkhihi. (Allah Mahabesar, sungguh Mahabesar (3X), dan puji-pujian berlimpah adalah bagi Allah (3X), dan Mahasuci Allah pagi dan petang (3X). Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk, dari hasung fitnahnya, dari hembusan dan tiupannya). Kutanyakan: 'Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan hasung fitnah, hembusan dan tiupannyaitu'? Ujarnya: 'Hasung fitnahnya ialah sengketa di antara manusia. Tiupannya ialah kesombongan dan embusannya ialah sya'ir." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ibnu Hiban dengan diringkaskan)

7. Dari Ibnu 'Abbas, katanya:

Artinya:

"Bila Nabi saw melakukan shalat tahajjud di waktu malam, ia membaca: Allahumma laka'lhamdu, anta qayyimu'ssamawati wa'l ardhi waman fihinna; walaka'lhamdu, Anta nuru's samawati wa'l ardhi waman fihinna, walaka'lhamdu. Anta maliku's samawati wa'l ardhi waman fihinna walaka'lhamdu. Anta'l haqqu wawa'duka'l haqqu waliqa-uka haq, waqauluka haq, wa'l jannatu haq, wannaru haq, wa'n nabiyuna haq, wa Muhammadun haq, was sa'atu haq. Allahumma laka aslamtu, wabika amantu, wa'alaika tawakkaltu, wa ilaika aanabtu, wabika khashamtu, wa ilaika hakamtu, faghfirli ma qaddamtu, wama akh-akhartu, wama asrartu, wama 'alantu, Anta'l muqaddimu wa Anta'l muakhkhiru, la ilaha illa anta - atau la ilaha ghairuka-wala haula wala quwwata illah billah. (Ya Allah, bagi-Mulah puji, Engkaulah Pemelihara langit dan bumi dengan segala isinya;dan bagi-Mulah puji, Engkau Cahaya langit dan bumi dengan segala isinya; dan bagi-Mulah puji, Engkau Penguasa langit dan bumi dengan segala isinya; dan bagi-Mulah puji, Engkau haq, artinya benar dan pasti, janji-Mu haq, menemui-Mu haq, firman-Mu haq, surga-Mu haq, neraka haq, Nabi-nabi haq, Muhammad haq dan soal-soal kiamat itu haq. Ya Allah, kuserahkan diri pada-Mu, aku beriman kepada-Mu, aku bertawakal kepada-Mu dan aku kembali kepada-Mu. Aku berjuang dengan-Mu, dan aku berpedoman kepada hukum-hukum-Mu, maka ampunilah daku mengenai hal-hal yang telah terlanjur atau kutangguhkan, begitu pun hal-hal yang kurahasiakan atau kupamerkan! Engkaulah yang memajukan maupun yang menangguhkan, tiada Tuhan melainkan Engkau, dan tiada daya maupun tenaga kecuali dengan Allah!)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Malik. Dan pada riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas, kalimatnya berbunyi: "Bahwa Rasulullah sewaktu shalat tahajjud membacanya setelah Allahu Akbar.")

4. Isti'adzah

Disunatkan bagi orang yang shalat isti'adzah, - yakni membaca 'audzu billah - setelah doa iftitah dan sebelum membaca Al Fatihah, karena firman Allah Ta'ala:

Artinya:

"Jika kamu membaca Al Qur'an, maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk1)

Juga pada hadits Nafi' bin Jubeir yang lalu ada tersebut, bahwa Nabi saw mengucapkan: "Allahumma inni a'udzu bika mina'sy syaithani'r rajim." Dan seterusnya. Dan berkata Ibnu'l Mundzir: "Telah diterima dari Rasulullah saw bahwa ia mengucapkan 'audzu billahi mina'sy syaithanir rajim' sebelum membaca Al Fatihah."
-----------
1) Artinya: "Jika kamu hendak membaca Al Qur'an, sebagaimana halnya firman-Nya: Jika kamu mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu!"

Membaca dengan sir

Disunatkan membacanya dengan secara lunak atau sir. Berkata pengarang Al Mughni: "Isti'adzah dibaca secara sir tidak secara jahar. Mengenai ini sepengetahuanku tidak ada pertikaian." Sekian. Tetapi Syafi'i berpendapat boleh pilih antara jahar dan sir pada shalat-shalat yang dijahar. Dan ada pula diriwayatkan dari Abu Hurairah berita menyatakan jahar, tetapi dari sumber yang lemah.

Hanya disyari'atkan pada rakaat yang pertama

Isti'adzah itu tidaklah disyari'atkan kecuali pada rakaat pertama. Dari Abu Hurairah, katanya:

Artinya:

"Bila Nabi saw bangkit dari rakaat pertama, ia memulai bacaan dengan 'Alhamdu lillahi rabbil 'alamin' dan tidak berdiamkan diri." (HR Muslim)

Berkata Ibnu'l Qaiyim: "Para ulama berbeda pendapat, apakah ini merupakan tempat isti'adzah atau tidak, yakni setelah mereka sependapat bahwa ia tidaklah merupakan tempat pembukaan." Mengenai ini ada dua pendapat: "Keduanya berasal dari Ahmad yang rumusannya telah dibina oleh shahabat-shahabatnya, yakni apakah bacaan Qur'an dalam shalat itu merupakan sebuah bacaan tunggal, hingga cukup satu kali isti'adzah, ataukah terbatas pada tiap-tiap rakaat yang masing-masingnya berdiri sendiri?

Tentang pembukaan, tak ada pertikaian di antara kedua pihak bahwa ia adalah buat keseluruhan shalat. Dan tampaknya yang lebih kuat ialah cukup satu kali isti'adzah, karena hadits sah berikut. Lalu disebutkannya hadits Abu Hurairah di atas. Kemudian katanya: "Cukup satu pembukaan saja ialah karena di antara kedua bacaan tiada terbatas oleh diam, hanya diselingi oleh dzikir. Maka keadaannya seperti satu bacaan, karena hanya diselingi oleh tahmid, tasbih, atau tahlil atau shalawat Nabi saw dan sebagainya." Dan berkata Syaukani: "Yang lebih terjamin meniadakannya, apa yang sesuai dengan Sunnah, yaitu membaca isti'adzah hanya sebelum Al Fatihah pada rakaat pertama saja."

5. Membaca Amin

Disunatkan bagi setiap orang yang shalat, baik ia sebagai imam atau makmum atau shalat seorang diri, mengucapkan amin setelah bacaan Al Fatihah, dengan secara jahar pada shalat yang dijaharkan, dan secara sir pada shalat-shalat yang disirkan. Dari Na'im al-Mujmir, katanya:

Artinya:

"Saya shalat di belakang Abu Hurairah, maka dibacanya: 'Bismillahirrahmanirrahim' kemudian 'Al Fatihah', hingga selesai 'walad'dh dhallin', maka dibacanya 'amin' , dan orang-orang pun membaca 'amin' pula. Kemudian setelah memberi salam, Abu Hurairah mengatakan: 'Demi Tuhan yang nyawaku di dalam tangan-Nya! Shalatku adalah yang paling mirip dengan shalat Rasulullah saw'," (Disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq {artinya tanpa menyebutkan sanad, yakni rangkaian orang-orang yang meriwayatkannya.} dan diriwayatkan oleh Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Siraj)

Menurut Bukhari: Berkata Ibnu Syihab: "Rasulullah membaca Amin sedang 'Atha' mengatakan: membaca amin sebagai doa. Ibnu Zubeir dan orang-orang yang di belakang sama-sama membaca amin hingga dalam mesjid, kedengaran suara gemuruh." Dan menurut Nafi', Ibnu 'Umar tidak pernah meninggalkan bacaannya dan menghasung orang-orang buat membaca, dan daripadanya ada saya dengar hadits tentang hal itu. Dan dari Abu Hurairah:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw membaca 'ghairil maghdubi 'alaihim wa lad dhallin', maka dibacanya 'Amin' hingga kedengaran oleh orang-orang di belakangnya pada shaf pertama." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah yang mengatakan: "hingga kedengaran oleh orang-orang di shaf pertama menyebabkan mesjid jadi gemuruh.")

Juga diriwayatkan oleh Hakim dengan menyatakannya sah atas syarat keduanya, dan oleh Baihaqi yang mengatakan: "Hadits hasan lagi shahih", serta oleh Daruquthni dengan katanya: "Isnadnya hasan." Dan dari Wail bin Hajar, katanya:

Artinya:

"Saya dengar Rasulullah saw membaca 'Ghairil maghdubi 'alaihim wa ladh dhallin', lalu membaca 'Amin' dengan memanjangkan suaranya." (HR Ahmad dan Abu Daud dengan kalimat yang berbunyi: "Hal ini juga diakui oleh tidak seorang dua dari shahabat Nabi saw dan para tabi'in serta orang-orang di belakang mereka, yang berpendapat agar laki-laki mengeraskan bacaan amin dan tidak secara perlahan." Menurut Hafidh, sanad hadits ini baik, sedang 'Atha' berkata: "Ada dua ratus orang shahabat yang kutemui pada mesjid ini, hingga bila imam mengucapkan 'wa ladh dhallin' terdengarlah gemuruh suara 'amin'.")

Dan diterima dari 'Aisyah, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Tidak satu pun yang menimbulkan kedengkian orang-orang Yahudi pada Tuan-Tuan lebih hebat dari ucapan salam dan suara amin di belakang imam." (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Disunatkan membacanya bersamaan dengan imam

Dan disunatkan bagi makmum agar bersamaan dengan imam, hingga tidak terdahulu membaca amin dan tidak pula terbelakang. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:

Artinya:

"Bila imam mengatakan 'ghairil maghdubi 'alaihim waladh dhallin', maka bacalah 'amin', karena siapa-siapa yang bersamaan bacaannya denganbacaan malaikat, diampunilah dosanya yang berlaku." (HR Bukhari)

Dan daripadanya pula, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

Artinya:

"Jika imam mengatakah 'ghairil maghdubi 'alaihim waladh dhallin maka bacalah 'amin', 1) karena Malaikat sama mengucapkan amin juga imam membacanya. Maka barang siapa yang bacaan aminnya bersamaan dengan Malaikat diampunilah dosanya yang telah terdahulu." (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i)

Dan daripadanya pula, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

Artinya:

"Bila imam membaca amin, bacalah pula olehmu amin! Karena barang siapa yang bertepatan bacaan aminnya dengan bacaan Malaikat, diampuni dosanya yang berlalu." (HR Jama'ah)

Arti Amin

Kata-kata amin denga nmemendekkan alif atau dengan memanjangkannya serta mengentengkan mim tidaklah termasuk dalam Al Fatihah. Ia hanya merupakan doa dengan arti: perkenankanlah!
------------------
1) Berkata Kharthabi: "Maksudnya ialah bersamaan dengan imam, hingga bacaan aminnya bertepatan dengan bacaanmu." Mengenai sabdanya: "Jika ia membaca amin maka bacalah olehmu", tidaklah bertentangan dengan yang tadi, dan tidak bermaksud agar kamu mengemudiankan bacaan dari imam.
Hal itu tak ubah seperti orang yang mengatakan: "Jika raja berangkat berangkatlah pula kamu!" Artinya jika raja bersiap hendak berangkat, maka bersedialah pula kamu untuk berjalan, agar keberangkatanmu bersama dengan keberangkatannya. Alasannya ialah sebagaimana tertera pada bagian hadits yang lain: "Juga imam membacanya."

6. Membaca Al Qur'an setelah Al Fatihah

Disunatkan bagi orang yang shalat membaca sebuah surat atau beberapa ayat Al Qur'an setelah membaca Al Fatihah, yakni pada kedua rakat shalat Subuh dan Jum'at, serta pada kedua rakaat pertama dari shalat Dhuhur, 'Ashar, Maghrib dan 'Isya, serta pada semua rakaat shalat sunat. Dari Abu Qatadah diterima berita:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw membaca pada kedua rakaat pertama dari shalat Dhuhur, Al Fatihah dan dua buah surat, dan pada kedua rakaat akhir Al Fatihah dengan juga sewaktu-waktu kedengaran oleh kami membaca ayat. Dan berbeda dengan rakaat kedua, maka bacaan pada raka'at pertama dipanjangkannya. Demikianlah pula di waktu shalat 'Ashar, dan juga di waktu shalat Subuh." (HR Bukhari dan Muslim serta Abu Daud yang menambahkan: "hingga menurut dugaan kami, dengan demikian dimaksudkannya agar orang-orang sama mendapatkan raka'at pertama.")

Dan diceritakan oleh Jabir bin Samrah: "Penduduk Kufah mengadukan Sa'ad kepada Umar hingga dipecatnya dan digantinya dengan 'Imar. Maka orang-orang pun mengadu kepada 'Imar dan mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Maka dikirimkan utusan oleh 'Imar kepada Sa'ad, menyampaikan: "Hai Abu Ishak! Mereka menuduh bahwa shalat yang Anda lakukan tidak baik." Jawaban Abu Ishak ialah: "Demi Allah, sesungguhnya shalat yang saya lakukan bersama mereka, ialah shalat Rasulullah saw, tidak saya kurang-kurangi: Saya kerjakan shalat 'Isya, dengan memanjangkan kedua rakaat pertama dan memendekkan kedua rakaat yang akhir." Ujar 'Imar: "Itulah sangka-sangka mereka kepada Anda wahai Abu Ishak", dan bersamanya dikirimnyalah seorang atau beberapa orang laki-laki ke Kufah. Orang itu pun menanyakan kepada penduduk Kufah, hingga tak sebuah mesjid pun yang ketinggalan, hanya ditanyainya, dan mereka memuji kebaikan Sa'ad. Akhirnya sewaktu masuk ke sebuah mesjid kepunyaan bani 'Abbas, berdirilah dari kalangan mereka seorang laki-laki bernama Usamah bin Qatadah yang digelarkan Abu Sa'dah, katanya: "Karena Anda telah menanyakan hal ini kepada kami atas nama Allah, maka jawaban kami ialah: bhwa Sa'ad tiada berjalan menurut aturan, tidak membagi sama banyak, dan tidak adil dalam urusan pengadilan." Maka ujar Sa'ad: "Kalau demikian, demi Allah, saya akan memohonkan tiga soal: Ya Allah! Jika hamba-Mu ini seorang pembohong, yang berdiri di sini karena riya ingin beroleh nama, maka panjangkanlah umurnya, lamakan kemiskinannya, dan jadikanlah ia sebagai sasaran fitnah!" Di belakang orang itu mengeluh: "Ah, saya ini seorang tua yang menderita! Saya telah ditimpa oleh kutukan Sa'ad!" Dan menurut Malik: "Di belakang saya lihat kedua alis orang itu jatuh seakan menutup kedua matanya karena sombong, dan di tengah jalan ia jadi sasaran olok-olok hamba sahaya yang mengusiknya." (Diriwayatkan oleh Bukhari)

Dan berkata Abu Hurairah, katanya:

Artinya:

"Pada tiap shalat dibaca Qur'an. Maka apa-apa yang diperdengarkan oleh Rasulullah saw, kami perdengarkan pula kepada Tuan-Tuan, dan apa-apa yang disembunyikannya, kami sembunyikan pula. Jika Anda tiada membaca tambahan dari Al Fatihah, itu pun cukup; dan jika Anda menambah bacaan, demikian lebih baik!" (HR Bukhari)

Cara bacaan setelah Al Fatihah

Membaca Al Qur'an setelah Al Fatihah, boleh dengan corak bagaimanapun. Berkata Husein: "Kami memerangi Khurasan dan dalam pasukan kami ikut tiga ratus orang shahabat. Kebetulan ada seorang laki-laki yang shalat bersama kami sebagai imam. Maka dibacanya beberapa ayat dari sebuah surat kemudian rukuk." Dan dari Ibnu 'Abbas bahwa ia membaca Al Fatihah dan sebuah ayat dari surat Al Baqarah pada masing-masing raka'at (Diriwayatkan oleh Daruquthni dengan isnad yang kuat)

Dan Bukhari telah menyusun "Bab menghimpun dua buah surat dalam satu rakaat, membaca akhir-akhir surat, membaca satu surat sebelum surat lainnya, dan membaca awal surat." Dan disebutkannyalah hadits dari Abdullah bin Saib:

Artinya:

"Nabi saw telah membaca surat Al Mukminun pada shalat Subuh, hingga sewaktu menyebut Musa dan Harun, atau menyebut 'Isa, ia pun bersin terus rukuk. Dan 'Umar membaca pada rakaat pertama sebanyak 120 ayat dari surat Al Baqarah, sementara pada rakaat kedua dibacanya salah satu ayat dari surat yang biasa diulang-ulang. Dalam pada itu Ahnaf membaca surat Kahfi pada rakaat pertama, dan Yunus atau Yusuf pada rakaat kedua; dan dinyatakannya bahwa ia pernah melakukan shalat Subuh mengikuti 'Umar dengan kedua surat tersebut. Ibnu Mas'ud membaca 40 ayat dari Al Anfal, dan pada rakaat kedua dibacanya salah sebuah surat. Dan mengenai orang yang membaca sebuah surat pada dua rakaat, atau orang yang mengulang-ulang sebuah surat pada dua rakaat, Qatadah memberikan fatwa: "Semuanya adalah kitab Allah'."

Dan disampaikan oleh Ubaidullah bin Tsabit dari Anas:

Artinya:

"Ada seorang laki-laki Anshar yang menjadi imam bagi orang-orang di mesjid Quba'. Setiap ia hendak membaca ayat atau surat pada shalat yang mempunyai bacaan Al Qur'an, maka lebih dahulu sebagai pembukaan, dimulainya dengan 'Qul huwallahu ahad' sampai selesai, kemudian baru dibacanya surat yang lain. Hal itu dilakukannya pada tiap-tiap rakaat, hingga kawan-kawannya pun menegurnya, kata mereka: 'Anda baca surat ini sebagai pengantar, dan rupanya itu menurut pendapat Anda belum lagi cukup. Sebaiknya Anda cukupkan itu sebagai bacaan, atau kalau tidak, tak usah itu Anda baca, hanya Anda ganti dengan yang lain'! Ujarnya: 'Saya tak 'kan meninggalkannya, jika Anda setuju saya menjadi imam Anda dengan demikian, maka akan saya lakukan. Dan jika Anda tak setuju baiklah saya pergi'! Menurut pendapat mereka, orang itu adalah yang paling utama dalam lingkungan mereka, dan mereka keberatan kalau yang menjadi imam itu aorang lain. Maka tatkala mereka dikunjungi oleh Nabi saw, mereka sampaikanlah hal itu kepada Nabi saw. Sabda Habi: 'Hai Anu! Apa halangannya bagimu mengabulkan permintaan teman-temanmu, dan apa pula alasannya bagimu terus-terusan membaca surat ini pada setiap raka'at'? Ujarnya: 'Karena saya menyukainya'. Sabda Nabi: 'Kalau begitu, kesukaannmu padanya itu, akan memasukkanmu ke dalam surga'!"

Dan dari seorang laki-laki dari Juhainah:

Artinya:

Bahwa ia mendengar Nabi saw membaca di waktu shalat Subuh "Idza zulzilati'l ardhu" pada kedua raka'atnya." Ulasnya pula: "Saya tidak tahu apakah Rasulullah saw lupa, ataukah dibacanya itu dengan sengaja!" (HR Abu Daud, dan dalam isnadnya tak seorang pun yang bercacat)

Petunjuk Rasulullah saw mengenai bacaan setelah Al Fatihah

Kita cantumkan di bawah ini kesimpulan yang telah dikemukakan oleh Ibnu'l Qaiyim mengenai bacaan Rasulullah saw setelah Al Fatihah, 1) demikian: "Maka bila telah selesai membaca Al Fatihah, dibacanyalah pula surat lainnya, kadang-kadang panjang, dan kadang-kadang dipilihnya yang pendek disebabkan sesuatu kepentingan seperti dalam perjalanan dan lain-lain, tetapi pada galibnya ia membaca ayat atau surat yang sedang.
----------
1) Mengenai kepala-kepala pasalnya, bukan berasal dari Ibnu'l Qaiyim

Bacaan di waktu fajar

Pada waktu Subuh biasanya dibacanya kira-kira 60-100 ayat. Adakalanya surat Qaf, surat Rum, dengan "Idza'sy Syamsu kuwwirat" "Idza zulzilat" pada kedua rakaatnya, dan jika dalam perjalanan dengan kedua mu'awwadzah. Adakalanya pula dibacanya surat Al Mukminun, hingga bila sampai kepada Musa dan Harun dalam rakaat pertama dan ia bersin, maka ia pun rukuk. Pada hari Jumat biasa ia membaca "Alif lam Tanzil" (As Sajadah) dan "Hal ata 'alal insani" secara penuh, artinya tidak seperti yang dilakukan kebanyakan orang sekarang, dengan mengambil sebagian surat kemudian membaca bagian surat yang lain.

Adapun dugaan kebanyakan orang bodoh bahwa pada Subuh hari Jumat diutamakan melakukan sujud tilawat, maka adalah suatu kekeliruan besar. Oleh sebab itu sebagian dari imam-imam menganggap makruh membaca surat Sajadah jika karena dugaan ini. Kedua surat itu dibaca Nabi tiada lain hanyalah karena keduanya mengandung peringatan tentang asal-usuldan tujuan manusia, terciptanya Adam, urusan surga-neraka dan lain-lain, yakni yang terjadi pada hari Jumat. Oleh sebab itulah Nabi membaca pada pagi harinya apa yang telah dan akan terjadi pada hari tersebut, untuk memperingatkan pada umat peristiwa-peristiwanya, sebagaimana pada pertemuan-pertemuan besar seperti hari-hari raya dan shalat Jumat Nabi membaca surat Qaf, "Iqtarabat", "Sabbih" 1) dan Al Ghasyiyah.
----------
1) Yakni surat Al A'la yang dimulai dengan Sabbihis ma rabbika'la'la

Bacaan di waktu Dhuhur

Mengenai waktu Dhuhur, sewaktu-waktu bacaannya dipanjangkan oleh Nabi, hingga menurut Abu Sa'id, bila shalat Dhuhur telah hendak dimulai, lalu ada seseorang yang pergi ke Baqi' dan menyelesaikan urusannya di sana, kemudian ia pulang dan berwudhuk, maka ia masih juga mendapat rakaat pertama, jika kebetulan Nabi memanjangkannya. (Riwayat Muslim)

Kadang-kadang dibacanya sepanjang "Alif lamtanzil", kadang-kadang "Sabbihis ma rabbika'l a'la", "Wa'l laili idza yaghsya" "wa's sama-i dzatil buruj", atau "wa's sama-i wath thariq".

Bacaan di waktu 'Ashar

Adapun shalat 'Ashar, maka panjang bacaannya ialah separuh shalat Dhuhur yang panjang, atau sama dengan shalat Dhuhur yang bacaannya pendek.

Bacaan di waktu Maghrib

Mengenai Maghrib, maka petunjuk Nabi tentang bacaannya, berbeda dengan amalan sekarang, karena Nabi saw sewaktu-waktu membaca surat Al A'raf pada dua rakaat, kadang-kadang Ath Thur atau Al Mursalat.

Berkata Abu 'Umar bin 'Abdul Bir: "Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa di waktu Maghrib ia membaca 'Alif lam mim shad' (Al A'raf), juga pernah 'Ash Shaffat', pernah pula 'Hamim', surat Ad Dukhan, 'Sabbihi's ma rabbika'l a'la', Wat'tini waz zaitun, dua mu'awwadzah', 'Al Mursalat' dan beberapa surat yang pendek-pendek. Semuanya itu katanya, merupakan berita-berita yang sah dan masyhur." Sekian ucapan Ibnu 'Abdil Bir.

Adapun terus-menerus membaca surat yang pendek-pendek saja, maka itu hanya perbuatan Marwan bin Hakam. Itulah sebabnya Zaid bin Tsabit menyangkal perbuatannya itu, katanya: "Kenapa pada shalat Maghrib kau hanya membaca surat yang pendek-pendek saja padahal kau tahu bahwa Rasulullah saw biasa membaca padanya 'Yang terpanjang di antara dua yang panjang'?" "Apakah yang terpanjang di antara dua yang panjang itu?" tanya Marwan. "Yaitu surat Al A'raf", ujar Zaid.

Ini adalah hadits yang sah, yang diriwayatkan oleh Ahlu's Sunan. Dalam pada itu Nasa'i meriwayatkan dari 'Aisyah ra bahwa Nabi saw pada Maghrib di antara dua rakaat membaca surat Al A'raf, yang dibaginya di antara dua rakaat tersebut. Maka terus-terusan membaca sesuatu ayat atau hanya surat yang pendek-pendek, bertentangan dengan Sunnah, karena itu hanya perbuatan dari Marwan bin Hakam.

Bacaan pada waktu 'Isya

Pada shalat malam yang akhir, yakni 'Isya, Nabi saw membaca "Wattini waz zaitun", dan pernah pula diberinya kesempatan sewaktu-waktu bagi Mu'az untuk membaca "Wasy' syamsiwa dhuhaha", "Sabbihi's ma rabbika'l a'la", "Wal laili idza yaghsya" dan sebagainya.

Pernah pula ia menyangkal Mu'az ketika membaca surat Al Baqarah, yakni setelah melakukan shalat dengan Nabi, kemudian pergi kepada Bani Amar bin 'Auf dan mengulangi shalatnya bersama mereka sebagai imam setelah larut malam dengan membaca Al Baqarah.

Itulah sebabnya Nabi mencelanya: "Apakah kau ini hendak membikin fitnah, hai Mu'az?" Maka para kritisi memegang kalimat Nabi tersebut, dan tidak memperhatikan situasi sebelum atau sesudahnya.

Bacaan pada shalat Jumat

Mengenai shalat Jumat, Nabi saw biasa membaca surat Al Jumu'ah dengan Al Munafiqun atau dengan Al Ghasyiyah sampai selesai. Adapun membaca hanya akhir kedua surat saja, yakni dari "Ya aiyuha'l ladzina amanu" sampai selesainya, maka tak pernah dilakukan oleh Nabi, dan itu bertentangan dengan petunjuk yang biasa dipeliharanya.

Bacaan pada shalat dua Hari Raya

Tentang bacaan pada shalat dua hari raya, maka kadang-kadang dibacanya surat Qaf dan "Iqtarabat" secara penuh, dan kadang-kadang surat "Sabbaha" dan "Al Gahsyiyah". Ini merupakan sunnah yang selalu dilakukannya sampai ia wafat menemui Allah 'Azza wa Jalla, dan tidak satu pun yang menghapuskannya.

Dan patokan ini (membaca surat secara sempurna) dipegang teguh khalifah-khalifahnya yang cerdas sepeninggalnya. Misalnya Abu Bakar ra membaca pada shalat Subuh surat Al Baqarah hingga baru memberi salam setelah hampir terbit matahari. Mereka pun berkata: "Ya Khalifah Rasulullah, matahari telah hampir terbit." Ujarnya: "Walaupun ia terbit, tiadalah didapatinya kita dalam keadaan lalai." Begitu pun 'Umar ra, ia membaca padanya surat Yusuf, An Nahl, Hud, bani Israil dan lain-lain. Seandainya bacaan panjang Nabi saw itu telah dihapus tentulah tiada akan luput dari pengetahuan para khalifahnya begitu pun dari pengamatan ahli-ahli kritik. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, yakni dari Jabir bin Samrah, bahwa Nabi saw biasa membaca pada shalat Subuh "Qaf wal Quranil Majid", sedang shalatnya sesudah itu diperpendek maka yang dimaksud dengan sesudah itu, ialah sesudah shalat Subuh, artinya Nabi saw biasa lebih memanjangkan shalat Subuh dari shalat-shalat lain, hingga shalat-shalat itu lebih singkat.

Sebagai buktinya ialah apa yang dikatakan oleh Ummul Fadhal kepada puteranya Ibnu 'Abbas, yang membaca pada shalatnya "Wa'l-Mursalati 'urfa": "Ananda, dengan bacaanmu itu engkau telah mengingatkan daku sesuatu, bahwa surat itu terakhir kali saya dengar dari Rasulullah saw dibacanya pada shalat Maghrib!" Nah, demikianlah pada akhirnya sampai katanya: "Adapun sabda Nabi saw yang berbunyi: 'Barang siapa yang menjadi imam bagi orang-orang hendaklah ia meringankan bacaan', begitu pun ucapan Anas, bahwa shalat Rasulullah saw adalah yang paling ringan tapi sempurna, maka meringankan itu adalah nisbi atau relatif, dan sebagai ukurannya ialah apa yang dilakukan oleh Nabi saw secara terus-menerus dan bukan menurut kemauan makmum."

Nabi saw tidaklah menyuruh mereka melakukan sesuatu lalu kemudian menyalahinya, padahal ia maklum bahwa di belakangnya ada orang tua, orang lemah dan yang berkepentingan. Maka yang dikerjakannya itu ialah yang enteng yang dititahkannya, karena mungkin saja shalat yang dapat dikerjakan Nabi saw, berlipat ganda lebih panjang dari itu. Jadi ia adalah singkat jika dibandingkan kepada yang lebih panjang daripadanya. Dan petunjuk yang dilakukannya terus-menerus, itulah yang menjadi hakim bagi setiap hal yang menjadi perbantahan bagi pihak-pihak yang bertentangan. Hal itu dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan oleh Nasa'i dari Ibnu 'Umar, katanya: "Rasulullah saw menyuruh kami supaya meringankan bacaan dan ia membaca Shaffat sewaktu menjadi imam bagi kami."

Membaca surat-surat tertentu

Rasulullah saw tidaklah menentukan surat-surat tertentu yang dibaca di waktu shalat hingga tak boleh membaca lainnya, kecuali pada shalat Jumat dan kedua hari raya. Mengenai shalat-shalat lain, maka telah disebutkan oleh Abu Daud pada hadits 'Amar bin Syu'aib yang diterimanya dari bapaknya, seterusnya dari kakeknya yang mengatakan: "Tidak sebuah surat pun dari Al Qur'an, baik panjang ataupun pendek, kecuali telah saya dengar Rasulullah saw membacanya sewaktu jadi imam bagi manusia pada shalat fardhu."

Di antara sunnahnya ialah membaca surat-surat itu secara penuh, kadang-kadang diselesaikannya dalam dua rakaat, dan kadang-kadang hanya dibacanya pada awal surat saja.

Adapun membaca akhir atau pertengahan surat, maka tak didengarnya berita daripadanya. Mengenai bacaan dua surat pada satu rakaat, hanya dilakukannya pada shalat sunat, sedang pada shalat fardhu tak pernah kedengaran. Dan tentang hadits Ibnu Mas'ud yang mengatakan: "Sungguh, saya mengetahui pasangan-pasangan surat yang dibaca oleh Rasulullah saw pada satu rakaat, yakni surat Ar Rahman dengan An Najm, Iqtarabat dengan Al Haqqah, Ath Thur dengan Adz Dzariyat, dan Idzawaqa'at dengan Nun ... sampai akhir hadits, maka ini merupakan hikayat perbuatan yang tidak dipastikan tempatnya, apakah pada shalat fardhu ataukah pada shalat sunat.

Jadi mengandung dua kemungkinan. Adapun membaca surat itu-itu juga pada kedua rakaat, maka jarang sekali dilakukannya. Dan telah disebutkan oleh Abu Daud dari seorang laki-laki dari Juhainan, bahwa ia mendengar Nabi saw membaca pada shalat Subuh "Idza zulzilat" dalam kedua rakaatnya. Katanya ia tidak tahu apakah Nabi saw lupa, ataukah membaca itu dengan sengaja.

Memanjangkan rakaat pertama pada shalat Subuh

Nabi saw biasa lebih memanjangkan rakaat pertama dari kedua pada shalat Subuh, bahkan pada umumnya shalat. Kadang-kadang panjangnya itu sampai tidak kedengaran lagi bunyi langkah orang dari tempat itu. Begitu pun shalat Subuh biasa lebih dipanjangkannya dari shalat-shalat yang lain. Sebabnya ialah karena shalat Fajar itu disaksikan, yakni disaksikan oleh Allah Ta'ala dan para Malaikat-Nya. Ada pula yang mengatakan, disaksikan oleh Malaikat malam dan siang. Kedua pendapat tersebut didasarkan atas kemungkinan saat turunnya para Malaikat tersebut, apakah berlangsung sampai berakhirnya shalat Subuh, ataukah hanya sampai terbit fajar? Kedua kemungkinan ini sama-sama mempunyai alasan. Juga karena bilangan rakaatnya kurang, maka memanjangkannya dapat jadi imbalan dari kekurangan tersebut.

Di samping itu ia dilakukan sehabis tidur, dan orang-orang telah beristirahat penuh, apalagi mereka belum lagi terjun ke arena perjuangan hidup dan kepentingan dunia, hingga di saat itu, baik pendengaran, lisan maupun hati, sama-sama tertuju pada ibadat, karena masih kosong dan belum lagi mulai bekerja, hingga mereka pun dapat memahami serta merenungkan ayat-ayat Qur'an. Kemudian ia juga merupakan asas dan permulaan amal maka kepadanya diberikan keistimewaan dengan lebih dipentingkan dan dipanjangkan. Dan hikmah serta rahasia-rahasia ini hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang menaruh perhatian terhadap rahasia syari'at, maksud tujuan dan hikmah-hikmahnya.

Cara bacaan Nabi saw

Bacaan Nabi saw itu ialah secara panjang. Ia berhenti pada setiap ayat memanjangkan suaranya. Sekian keterangan dari Ibnu'l Qaiyim.

Hal yang disunatkan sewaktu membaca Qur'an

Disunatkan membaca itu dengan suara yang baik serta dilagukan. Dalam hadits tersebut:

Artinya:

"Bahwa Nabi bersabda: 'Hiasilah suaramu ketika membaca Al Qur'an'! Pula sabdanya: 'Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan Qur'an. Sebaik-baik suara orang yang membaca Qur'an ialah bila kamu mendengarnya maka berat sangkamu bahwa ia adalah seorang yang takut kepada Allah. Tak satu pun yang lebih didengarkan oleh Allah, dari suara indah seorang Nabi yang melagukan ayat Qur'an."

Berkata Nawawi: "Disunatkan bagi setiap orang yang membaca Qur'An di waktu shalat atau lainnya, bila ia melewati ayat rahmat, agar memohon kurnia kepada Allah Ta'ala, sebaliknya bila melewati ayat azab, supaya berlindung kepada-Nya dari neraka, atau daripada siksa dan bala, atau dari hal-hal yang dibenci, tidak disukai, atau mengucapkan 'Allahumma inni asaluka'l 'afiyah'." (Ya Allah, aku mohon keselamatan kepada-Mu) dan yang seperti itu.

Dan jika ia melewati ayat tanzih, yakni yang menyatakan kesucian Allah Ta'ala, hendaklah ia juga turut menyucikannya, dengan mengucapkan "Subhanahu wa ta'ala", atau "tabaraka'llahu rabbu'l'alamin", atau "jallat 'adhamatu rabbina". (Mahasuci Tuhan dan Mahatinggi Ia, Mahaberkah Allah Penguasa seluruh alam, atau amat Tinggilah kebesaran Tuhan kami) dan sebagainya. Diriwayatkan kepada kita dari Huzaifah al-Yaman ra, katanya:

Artinya:

"Pada suatu malam saya shalat bersama Rasulullah saw, maka mula-mula dibacanya Al Baqarah, kataku dalam hati: Tentu ia akan rukuk setelah seratus ayat. Kiranya ia membaca terus, maka pikiranku: Tentu akan ditamatkannya dalam satu rakaat. Demikianlah ia terus membaca dan saya kira ia akan ruku. Ternyata ia mulai pula membaca surat Ali Imran, yang terus dibacanya lalu surat An-Nisa' yang juga dibacanya. Ia membaca itu dengan lambat, jika ketemu dengan ayat tasbih, maka diucapkannya pula tasbih, jika dengan suatu pertanyaan, ia pun ikut bertanya, bila dengan ayat berlindung ia pun turut berlindung." (HR Muslim)

Berkatalah shahabat-shahabat kita: "Disunatkan membaca tasbih, bertanya dan isti'adzah ini bagi orang yang membaca Qur'an di waktu shalat dan lainnya, bagi imam dan makmum serta orang yang shalat seorang diri, karena itu merupakan doa, hingga kedudukan mereka dalam hal itu serupa, tak ubahnya seperti membaca amin. Maka disunatkan bagi orang yang membaca "Allaisa'llahu biahkamil hakimin" (Bukankah Allah itu sebaik-baik yang mengadili?), agar menyambutnya dengan "Bala waana 'ala dzalika minasy syahidin" (Benar, dan atas hal itu saya turut menjadi saksi). Dan jika dibacanya "Alaisa dzalika biqadirin 'ala ayyuhyiyal mauta" (Bukankah Ia Yang Mahakuasa seperti itu juga sanggup menghidupkan orang-orang yang telah mati?), jawabnya ialah "Bala, ash-had" (Benar, saya mengakui).

Kemudian bila membaca "Fabiaiyi haditsin badahu yu'minun" (Berita manakah lagi yang akan mereka percayai selain itu?), hendaklah ia membaca "Amantu billah" (Aku beriman kepada Allah). Selanjutnya bila membaca "Sabbihi'sma rabbika'l a'la" (Tasbihlah menyebut nama Tuhan Yang Mahatinggi), jawabnya ialah: "Subhana rabbiyal a'la" (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi). Hal ini dilakukan dalam shalat maupun di luarnya.

Tempat-tempat membaca Qur'an dengan jahar dan sir

Termasuk dalam Sunnah ialah bila seorang yang shalat, menjahar pada kedua rakaat Subuh dan Jumat, kedua rakaat pertama dari Maghrib dan 'Isya, pada kedua shalat 'Id, shalat Gerhana dan shalat Minta Hujan, sementara pada shalat-shalat Dhuhur dan 'Ashar, rakaat ketiga dari Maghrib serta kedua rakaat yang akhir dari 'Isya, dilakukan dengan sir. Mengenai shalat-shalat sunat lainnya, maka yang waktu siang hari tidaklah dijahar sementara yang pada malam hari, diberi kebebasan memilih untuk jahar atau sir. Dan yang lebih utama ialah pertengahan di antara keduanya, karena suatu hadits:

Artinya:

"Pada suatu malam, Rasulullah saw lewat pada Abu Bakar yang sedang shalat dan membaca perlahan-lahan, juga pada Umar yang kebetulan sedang shalat pula dengan mengeraskan suaranya. Ketika kedua mereka berkumpul di hadapan Nabi, Nabi pun bersabda: 'Hai Abu Bakar! Saya lewat padamu dan kebetulan kau sedang shalat dengan membaca perlahan-lahan.' Ujar Abu Bakar: 'Ya Rasulullah! Suaraku itu cukup kedengaran oleh Allah tempatku munajat'. Dan kepada Umar Nabi bersabda pula: 'Hai Umar! Saya lewat padamu semalam kebetulan kau sedang shalat dengan mengeraskan suaramu'. Ujar Umar: 'Ya Rasulullah! Sengajaku ialah untuk membangunkan orang yang sedang mengantuk dan buat mengusir setan'. Maka bersabdalah Nabi saw: 'Hai Abu Bakar, keraskanlah suaramu sedikit'! dan kepada Umar dikatakannya pula: 'Dan engkau, lunakkanlah suaramu sedikit." (HR Ahmad dan Abu Daud)

Dan jika ia lupa, hingga membaca secara sir pada waktu jahar atau sebaliknya menjahar pada waktu sir maka tidak menjadi apa. Dan sekiranya ia ingat sementara membaca itu, hendaklah dilanjutkannya menurut ketentuan yang sebenarnya.

Membaca di belakang Imam

Pada asalnya, shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surat Al Fatihah, pada setiap rakaat shalat fardhu maupun sunat sebagaimana telah dikemukakan pada fardhu-fardhu shalat. Tetapi kewajiban membaca bagi makmum jadi gugur pada shalat-shalat menjahar dan ia wajib diam dan mendengarkan bacaan imam, karena firman Allah Ta'ala:

Artinya:

"Jika dibaca orang Al Qur'an, hendaklah kamu mendengarkannya serta diam, semoga kamu diberi rahmat!" (Al A'raf: 204)

Juga karena sabda Rasulullah saw:

Artinya:

"Jika imam membaca takbir, hendaklah kamu membaca takbir pula dan kalau ia membaca Qur'an hendaklah kamu diam!" (Disahkan oleh Muslim)

Dan atas makna inilah diartikan hadits: "Siapa shalat berjama'ah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya.": Jadi maksudnya "bacaan imam itu berarti bacaannya", ialah pada shalat-shalat menjahar. Adapun shalat-shalat sir maka membaca Qur'an padanya, wajib bagi makmum. Begitu juga wajib bagi makmum membacanya pada shalat-shalat jahar, jika bacaan imam itu tidak jelas kedengaran olehnya.

Berkata Abu Bakar Ibnul Arabi: "Yang kuat menurut kita ialah diwajibkannya membaca pada shalat sir, karena umumnya hadits-hadits. 1) Mengenai shalat jahar, maka tak ada jalan untuk membacanya di sana, disebabkan tiga hal: Pertama ialah karena itu merupakan amalan penduduk Madinah. Kedua, karena itu adalah hukum Al Qur'an sebagaimana firmannya: "Jika dibaca orang Al Qur'an, hendaklah kamu dengarkan dan diam!" Dan ia disokong oleh Sunnah dengan dua buah hadits: Salah satu di antaranya ialah hadits 'Imran bin Husain:

Artinya:

"Sungguh, saya mengetahui beberapa orang di antaramu telah mengacaukan saya!"2)

Kedua ialah ucapan Nabi saw: "Dan jika imam itu membaca hendaklah diam!"

Alasan ketiga ialah tarjih, yakni mengambil yang lebih kuat. Membaca dengan adanya imam itu tak ada jalan, karena bilakah makmum itu membaca? Jika dikatakan sewaktu imam itu berhenti sebentar, jawabnya ialah terhenti itu tidak merupakan keharusan baginya. Maka bagaimana caranya memasang sesuatu yang fardhu atas hal yang tidak fardhu? Apalagi di waktu shalat jahar itu, kita mempunyai kesempatan untuk membaca dengan cara lain, yakni bacaan hati, dengan merenung dan memikirkan. Dan inilah norma Qur'an dan hadits serta memelihara ibadah dan menjaga Sunnah, di samping mengamalkan apa yang lebih kuat atau tarjih. Sekian.

Pendapat ini juga menjadi pilihan bagi Zuhri dan Ibnul Mubarak juga merupakan pendapat Malik, Ahmad dan Ishak yang disokong dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
----------
1) Yang menjadi dalil wajibnya membaca, yang telah kita bicarakan pada "Fardhu-fardhu shalat".
2) Nabi saw mengatakan itu setelah mendengar ada orang di belakangnya yang membaca "Sabbihisma rabbika'l a'la".

7. Membaca Takbir Sewaktu Berpindah

Sunat membaca takbir setiap kali bangkit dan turun, berdiri dan duduk, kecuali sewaktu bangkit dari rukuk, maka dibaca "Sami'allahu liman hamidah" (Mendengar Allah akan pujian orang yang memuji-Nya). Diterima dari Ibnu Mas'ud, katanya:

Artinya:

"Saya lihat Rasulullah saw mengucapkan takbir setiap kali turun dan bangkit, berdiri dan duduk." (HR Ahmad, Nasa'i dan Turmudzi yang menyatakan sahnya. Kemudian dinyatakan pula bahwa ini merupakan amalan dari para shahabat Nabi saw, di antaranya amalan dari para shahabat Nabi saw di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta lain-lain, begitu pun para tabi'in di belakang mereka, serta umumnya fukaha dan ulama). Sekian.

Juga dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits, bahwa ia mendengar Abu Hurairah mengatakan:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw berdiri hendak mengerjakan shalat, ia membaca takbir ketika berdiri itu, kemudian membaca takbir pula ketika rukuk, lalu ketika meluruskan punggung dari rukuk itu dibacanya, 'sami allahu liman hamidah', dan sewaktu berdiri, yakni sebelum dibacanya 'rabbana laka'al hamdu'. Kemudian ketika jatuh ke bawah melakukan sujud, dibacanya pula 'Allahu Akbar', begitu pula sewaktu mengangkatkan kepala dibacanya takbir, juga ketika ia bangkit dari duduk menjelang rakaat kedua. Demikianlah dilakukannya pada setiap rakaat hingga shalat selesai." Ulas Abu Hurairah pula: "Beginilah cara shalat Nabi, sampai ia berpisah meninggalkan dunia." (HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Daud)

Dan dari 'Ikrimah, katanya:

Artinya:

"Saya ceritakan kepada Ibnu Abbas: Saya shalat Dhuhur di Bath ha' mengikuti seorang tua bodoh, ia takbir sebanyak 22 kali, dibacanya takbir, ketika sujud, dan ketika mengangkatkan kepalanya." Maka kata Ibnu Abbas: "Demikianlah cara shalatnya Abu Qasim (Muhammad saw)!" (HR Ahmad dan Bukhari)

Dan disunatkan agar permulaan takbir itu bersamaan dengan dimulainya perpindahan.

8. Tata Cara Rukuk

Yang diwajibkan pada rukuk itu ialah semata membungkukkan badan, hingga tangan mencapai kedua lutut. Tetapi dalam hal ini disunatkan menyamaratakan kepala dengan tulang pinggul, bertelekan dengan kedua tangan di atas kedua lutut dengan merenggangkan dari pinggang, mengembangkan jari-jari atas lutut dan pangkal betis, serta mendatarkan punggung. Diterima dari 'Uqbah bin 'Amir:

Artinya:

Bahwa ia rukuk, maka direnggangkannya, kedua tangannya dan diletakkannya ke atas lututnya, dan dikembangkannya jari-jarinya dari belakang lutut itu. Kemudian katanya: "Beginilah saya lihat Rasulullah saw melakukan shalatnya." (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i)

Pula dari Abu Humeid:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bila rukuk melakukannya dengan sederhana, ia tidak terlalu mencondongkan ke bawah, sebaliknya tidak pula ia menengadah ke atas, dan ditaruhnya kedua tangannya pada kedua lutut, seolah-olah ia menggenggam keduanya." (HR Nasa'i)

Dan menurut Muslim dari 'Aisyah ra:

Artinya:

"Bila Nabi saw rukuk, tidaklah ditonjolkannya kepalanya ke atas, dan tidak pula dibungkukkannya ke bawah, hanya pertengahan di antara kedua hal tersebut." Dan dari Ali ra: Artinya: "Bila Rasulullah saw rukuk, lalu diletakkan gelas berisi air di atas punggungnya, tidaklah ia akan tertumpah. 1) (HR Ahmad dan Abu Daud pada kumpulan hadits-hadits mursalnya)

Kemudian dari Mash'ab bin Sa'ad, katanya:

Artinya:

"Aku shalat di dekat bapakku. Maka kukatupkan kedua telapak tanganku lalu kutaruh di antara kedua pahaku. Maka bapak pun melarang aku berbuat seperti itu, serta katanya: 'Beginilah yang kami kerjakan' dan kami pun disuruhnya untuk meletakkan tangan kami di atas lutut." (HR Jama'ah)
-----------
1) Disebabkan datarnya punggungnya

9. Bacaan Sewaktu Rukuk

Disunatkan dalam rukuk itu dzikir dengan lafadh "Subhana rabbiya'l adhim" (Mahasuci Tuhanku Yang Mahabesar). Dari 'Uqbah bin 'Amir, katanya:

Artinya:

"Tatkala turun, 'Fasabbih bismi rabbikal 'adhim'. (Tasbihlah memuja Tuhanmu Yang Mahabesar), bersabdalah kepada kami Nabi saw: Tempatkanlah itu pada rukuk-rukukmu'" (HR Ahmad, Abu Daud dan lain-lain dengan isnad yang cukup baik)

Dan dari Huzaifah, katanya:

Artinya:

"Saya shalat bersama Rasulullah saw. Maka di dalam rukuknya beliau membaca 'Subhana rabbiyal 'adhim'." (HR Muslim dan Ash-habus Sunan)

Adapun lafadh "Subhana rabbiyal 'adhimi wa bihamdih", maka diterima dari beberapa sumber, tapi semuanya lemah. Berkata Syaukani: "Tetapi sumber-sumber ini saling menguatkan." Orang yang shalat dapat membaca tasbih ini saja, atau menambahnya dengan dzikir-dzikir berikut:

Artinya:

1. Dari 'Ali ra,bahwa ia (Nabi saw) bila rukuk, membaca: "Allahumma laka raka'tu, wabika amantu, walaka aslamtu, anta rabbi, khasya'a sam'I, wa bashari, wamukhkhi, wa 'adhami, wa 'ashabi wa ma 'staqallat bihi qadami, lillahi robbil 'alamin." (Ya Allah, kepada-Mulah aku rukuk, terhadap-Mu aku beriman, dan kepada-Mu pula aku menyerahkan diri. Engkau adalah Tuhanku. Baik pendengaran, maupun penglihatanku, otakku, tulangku, urat syarafku dan apa yang ditopang oleh kedua kakiku, khusyu' dan tunduk kepada Allah, Penguasa seluruh alam). (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan lain-lain).

2. Dari 'Aisyah ra:

Artinya: "Bahwa Rasulullah saw di waktu rukuk dan sujudnya membaca 'Subbuhun, quddusun, rabbul malaikati warruh'. (Mahasuci Tuhan dan Mahakudus, yang juga adalah Tuhan dari Malaikat dan Roh). 1)

3. Dari 'Auf bin Malik al Asyja'i, katanya:

Artinya: "Pada suatu malam saya bangun bersama Rasulullah saw melakukan shalat. Maka dibacanya surat Al Baqarah, sampai akhirnya katanya: Maka di dalam rukuknya itu ia membaca: 'Subhana dzil jabaruti wal malakuti wal kibriya'i wal 'adhamah'. (Mahasuci Allah Yang memiliki kekuasaan dan alam malakut, keangkuhan dan kebesaran)." (HR Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i)

4. Dari 'Aisyah, katanya:

Artinya: "Di waktu rukuk dan sujudnya, Rasulullah saw banyak membaca 'Subhanaka'llahumma rabbana wa bihamdika'llahumma'ghfir li'. (Mahasuci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, ampunilah daku ini), mengikuti perintah Al Qur'an. 2) (HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan lain-lain)
----------
1) Maksudnya ialah bahwa Allah bersih dan suci dari segala hal yang merusak atau tidak sesuai dengan kebesaran-Nya.
2) Maksudnya mengamalkan perintah Allah Ta'ala dengan firman-Nya: "Maka tasbihlah memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya!"

10. Bacaan sewaktu bangkit dari rukuk dan ketika I'tidal

Disunatkan bagi orang yang shalat, - baik ia sebagai imam, makmum atau shalat seorang diri - agar membaca ketika bangkit dari rukuk "Sami'allahu liman hamidah" (Allah mendengar akan orang yang memuji-Nya). Kemudian bila ia telah berdiri lurus hendaklah membaca "Rabbana walaka'lhamdu", atau "Allahumma rabbana walaka'lhamdu" (Ya Tuhan kami, dan bagi-Mulah puji-pujian, atau Ya Allah Tuhan kami, dan bagi-Mulah puji-pujian). Diterima dari Abu Hurairah:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah' ketika mengangkatkan punggungnya dari rukuk, kemudian sewaktu berdiri membaca 'Rabbana walaka'lhamdu'." (HR Muslim, Ahmad serta Bukhari)

Sedang menurut riwayat Bukhari dari Anas, tersebut:

Artinya:

"Dan bila imam membaca 'Sami'allahu liman hamidah', maka hendaklah kamu baca 'Allahumma rabbana walaka'lhamdu'. Dan berdasarkan hadits ini, maka sebagian ulama berpendapat bahwa makmum tidaklah membaca 'Sami'allahu liman hamidah', hanya bila didengarnya kalimat itu dari imam, ia hanya membaca 'Rabbana walaka'l hamdu'."

Juga disebabkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain bahwa Rasulullah saw bersabda:

Artinya:

"Bila imam membaca 'Sami'allahu liman hamidah', maka hendaklah kamu ucapkan 'Allahumma rabbana walaka'l hamdu'. Barangsiapa yang ucapannya itu bersamaan dengan ucapan Malaikat, maka diampuni dosa-dosanya yang telah terdahulu."

Hanya sabda Rasulullah saw yang artinya: "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya melakukan shalat!" menghendaki agar setiap orang yang shalat, menghimpun di antara tasbih dengan tahmid, walaupun ia seorang makmum. Dan terhadap orang yang mengatakan bahwa makmum tidaklah diminta untuk menghimpun kedua itu, tapi cukup dengan tahmid saja, maka dijawab dengan apa yang dikemukakan oleh Nawawi: "Telah berkata para shahabat kita: 'Maksudnya ialah: Hendaklah kamu membaca Rabbana laka'lhamdu, sedang kamu tentu telah mengetahui bacaan Sami'allahu liman hamidah. Bacaan itu diperingatkan secara khusus, karena mereka telah biasa juga mendengar Nabi saw membaca secara jahar Sami'a'lahu liman hamidah. Memang, menurut sunnah kalimat ini dibaca secara jahar. Sebaliknya mereka tidaklah mendengar bacaan Nabi Rabbana laka'l hamdu, karena itu dibaca secara sir'."

Dan mereka telah mengetahui sabda Nabi saw: "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat!" yang menentukan keharusan mengikuti percontohan Nabi secara mutlak. Ketentuan tersebut yakni mengenai "Sami'allahu liman hamidah" telah mereka patuhi dengan baik, hingga mereka tak perlu disuruh lagi. Berlainan halnya dengan "Rabbana laka'lhamdu", yang belum lagi mereka kenal, hingga harus diperintah dahulu.

Yang disebut tadi, ialah sekurang-kurang tahmid waktu i'tidal. Dan disunatkan pula menambah dengan bacaan-bacaan yang tercantum di bawah ini pada hadits-hadits berikut:

1. Dari Rifa'ah bin Rafi', katanya:

Artinya:

"Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi saw. Maka tatkala Rasulullah saw mengangkatkan kepalanya dari rukuk, dan membaca 'Sami'allahu liman hamidah', tiba-tiba seorang laki-laki di belakangnya membaca 'Rabbana laka'lhamdu hamdan katsiran thaiyiban mubarakan fih'. (Ya Tuhan kami, bagi-Mulah puji-pujian yang banyak, pujian yang baik dan diberi berkah). Dan tatkala berpalinglah Rasulullah saw, tanyanya: 'Siapakah yang berbicara tadi itu'? Jawab laki-laki tadi: 'Saya, wahai Rasulullah'! Maka bersabdalah pula Rasulullah saw: 'Sungguh, saya lihat ada lebih dari 30 orang Malaikat yang berlomba-lomba untuk mencatatnya lebih dulu'." (HR Ahmad, Bukhari, Malik dan Abu Daud)

2. Dari 'Ali ra:

Artinya:

"Bahwa Rasulullah saw bila bangkit dari rukuk, membaca Sami'allahu liman hamidah, rabbana walaka'lhamdu mil'as samawati wal ardhi wa ma bainahuma, wa mil'ama syi'ta min syai-im ba'du. 1) (Allah mendengar akan orang yang memuji-Nya. Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji, sepenuh langit dan bumi serta apa yang terdapat di antara keduanya, dan sepenuh apa juga yang Allah kehendaki selain itu)." (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Turmudzi)
------------
1) Dibaca mil-a sebagai yang lebih masyhur. Maksudnya seandainya puji-pujian itu diberi bertubuh, tentulah ia akan memenuhi langit dan bumi serta ruang yang terdapat di antara keduanya, disebabkan karena amat besarnya.

3. Dari 'Abdullah bin Abi 'Aufa, dari Nabi saw:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bila mengangkatkan kepalanya dari rukuk, membaca pada satu lafadh: mendoa - 'Allahumma laka'l hamdu mill'as samawati wamil'al ardhi, wamil'ama syi'ta min syai-im ba'du. Allahumma thahhirni bits tsalji wal bardi wal mail baridi! Allahumma thahhirni mina'dz dzunubi wa-naqqini minha kama yunaqqa'ts tsaubu'l abyadhu mina'l wasakh'. ( …Ya Allah, sucikanlah daku dengan air salju, air embun dan air dingin! Ya Allah, bersihkanlah daku dari dosa dan bersihkan daku daripadanya, sebagaimana kain yang putih dibersihkan dari kotoran)." (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah)

Dan tujuan doa ialah memohon kesucian yang sempurna.

4. Dan diterima pula dari Abu Sa'id al Khudri, katanya:

Artinya:

"Bila Nabi saw membaca 'Sami'allahu liman hamidah' maka dilanjutkannya 'Allahumma rabbana laka'lhamdu' dan seterusnya, 'Ahla, tsanai wal majdi, ahaqqu ma qala'l 'abdu, wa kulluna laka 'Abdun: Lamani'a lima a'thaita, walamu'thiya lima mana'ta, wala yanfa'u dza'l jaddi, minka'l jaddu'. (.... Ya Allah yang layak menerima sanjungan dan kehormatan! Ucapan yang paling pantas buat diucapkan oleh seorang hamba, - dan semua kami ini adalah hamba-Mu - tak seorang pun yang dapat melarang apa-apa yang Engkau berikan, begitu pun tak seorang pun dapat memberikan apa yang Engkau larang. Dan sekali-kali tidaklah bermanfaat bagi orang yang mempunyai kebesaran, kebesarannya itu!) 1) (HR Muslim, Ahmad dan Abu Daud)

5. Juga diterima berita yang sah dari Nabi saw:

Artinya:

"Bahwa setelah 'Sami'allahu liman hamidah', Nabi membaca pula 'Lirabbiya'l hamdu, lirabbiya'l hamdu'. (Bagi Tuhankulah pujian itu, bagi Tuhanlah pujian), hingga waktu i'tidalnya sama panjang dengan waktu rukuknya)."
----------
1) Maksudnya, kebesaran seseorang tidaklah bermanfaat bagi orang itu, karena yang betul-betul memberi manfaat, hanyalah amal saleh.

11. Cara turun ke bawah buat bersujud, dan cara bangkit.

Jumhur berpendapat disunatkannya meletakkan kedua lutut ke lantai sebelum kedua tangan. Hal ini diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Umar, Nakh'i, Muslim bin Yasar, Sufyan Tsauri, Ahmad, Ishak dan ahli-ahli pikir lainnya, katanya: "Itu juga merupakan pendapatku sendiri!" Sekian. Hal itu diceritakan oleh Abu Thaiyib sebagaimana pendapat fukaha umumnya, dan berkata Ibnul Qaiyim: "Nabi saw menaruh kedua lututnya sebelum kedua tangan ke lantai, kemudian baru kedua tangan, lalu kening dan hidung. Ini merupakan keterangan yang sah yang diriwayatkan oleh Syarik, dari 'Ashim bin Kalib, yang diterimanya dari Wail bin Hajar, katanya:

Artinya:

"Saya lihat Rasulullah saw bila sujud, meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangan, dan jika bangkit, mengangkat kedua tangan sebelum kedua lutut. Dan dalam perbuatannya tidak ada riwayat yang mengatakan yang bertentangan dengan itu." Sekian.

Sementara itu Malik, Auza'i dan Ibnu Hazmin berpendapat disunatkannya meletakkan kedua tangan mereka sebelum lutut, dan itu juga riwayat dari Ahmad. Berkata Auza'i: "Saya dapati orang-orang meletakkan kedua tangan sebelum lutut mereka." Dan menurut Ibnu Abi Daud, ia juga merupakan pendapat ahli hadits. Mengenai cara berbangkit dari sujud, yakni ketika berdiri menuju rakaat kedua, maka juga menjadi pertikaian. Menurut jumhur disunatkan mengangkatkan tangan lebih dulu, kemudian baru kedua lutut, sedang menurut lainnya, hendaklah mulai dengan mengangkat kedua lutut sebelum kedua tangan.

12. Tata cara sujud

Disunatkan bagi orang yang melakukan sujud, supaya dalam sujudnya itu memperhatikan hal-hal berikut:

1. Merapatkan hidung, kening dan kedua tangan ke lantai, dengan merenggangkannya dari pinggang. Dari Wail bin Hajar:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw tatkala sujud, diletakkannya keningnya di antara kedua telapak tangannya dengan merenggangkannya dari ketiaknya." (HR Abu Daud)

Dan dari Abu Humeid:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw merapatkan hidung dan keningnya ke lantai ketika sujud, merenggangkan kedua tangannya dari pinggang dan menaruh kedua telapak tangannya setentang dengan kedua bahunya." (HR Ibnu Khuzaiman dan Turmudzi yang mengatakannya hasan lagi shahih)

2. Meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua telinga atau kedua bahu. Kedua-duanya sama mempunyai keterangan, dan sebagian ulama menghimpun kedua riwayat dengan menjadikan ujung kedua telunjuk setentang dengan kedua telinga, sedang kedua telapaknya dengan kedua bahu.

3. Agar melapaskan jari-jarinya secara rapat. Menurut riwayat Hakim dan Ibnu Hibban:

Artinya: "Bahwa Nabi saw merenggangkan jari-jarinya bila rukuk, sebaliknya merapatkannya bila sujud."

4. Menghadapkan ujung-ujung jari ke arah kiblat. Pada riwayat Bukhari dari hadits Abu Humeid, tersebut:

Artinya:

"Bila Nabi saw melakukan sujud, diletakkannya kedua tangannya tanpa menghamparkan dan tidak pula menggenggamnya, serta dengan ujung jari-jari kakinya ia menghadap kiblat."

13. Jangka waktu sujud dan bacaan-bacaannya

Disunatkan bagi orang yang sujud, membaca di waktu sujudnya "Subhana rabbiyal a'la" (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi). Diterima dari 'Uqbah bin 'Amir, katanya:

Artinya:

"Tatkala turun ayat 'Sabbihi'sma rabbika'l a'la, bersabdalah Rasulullah saw: 'Taruhlah ia di waktu sujudmu'!" (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim, sedang sanadnya cukup baik)

Dan dari Huzaifah:

Artinya:

"Bahwa dalam sujudnya, Nabi saw membaca 'Subhana rabbiya'l a'la." (HR Ahmad, Muslim dan Ash-habus Sunan, dan menurut Turmudzi hadits ini hasan lagi shahih)

Dan selayaknya bacaan tasbih di waktu rukuk dan sujud itu tidak kurang dari tiga kali tasbih. Berkata Turmudzi: "Hal ini merupakan amalan bagi para ahli, mereka anggap sunat bila dalam rukuk dan sujud dibaca tidak kurang dari tiga kali tasbih." Sekian. Adapun minimal, maka menurut Jumhur paling sedikit lama waktu rukuk dan sujud yang memadai itu, ialah selama membaca satu kali tasbih. Mengenai tasbih yang sempurna, diperkirakan oleh sebagian ulama sebanyak sepuluh kali, berdasarkan hadits Sa'id bin Jubeir yang diterimanya dari Anas, katanya:

Artinya:

"Tak seorang pun saya lihat orang yang shalatnya paling mirip dengan shalat Rasulullah saw dari anak ini - maksudnya, ialah Umar bin Abdul 'Aziz - Maka kami taksir dalam ruku'nya ia membaca sepuluh kali tasbih dan dalam sujud sepuluh kali pula." (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i dengan isnad yang cukup baik)

Berkata Syaukani: "Dikatakan orang bahwa dalam hadits itu terdapat alasan bagi orang yang berpendapat bahwa bacaan tasbih yang sempurna ialah sebanyak sepuluh kali. Dan pendapat yang terkuat ialah agar orang yang shalat sendirian menambah bacaan tasbih itu menurut keinginannya, dengan ketentuan bahwa makin banyak makin baik. Hadits-hadits shahih yang menyatakan dipanjangkannya rukuk dan sujud oleh Nabi saw, menjadi alasan dalam hal ini. Begitu juga imam, asal saja para makmum tidak menderita kesulitan dengan dipanjangkannya itu." Sekian.

Dan berkata pula Ibnu Abdil Bir: "Hendaklah setiap imam menyingkatnya berdasarkan perintah dari Nabi saw, walau menurut pengetahuannya orang-orang yang di belakangnya itu kuat, karena sebenarnya ia tidak tahu kalau-kalau pada mereka terjadi suatu peristiwa, kejadian tiba-tiba, suatu kepentingan dan hadats dan lain sebagainya."

Sementara menurut Ibnul Mubarak disunatkan bagi imam membaca 5 kali tasbih, agar makmum-makmum di belakang sempat membacanya tiga kali. Jadi yang disunatkan ialah agar orang yang shalat jangan hanya membaca satu kali tasbih saja, tapi hendaklah ia menambah dengan doa yang disukainya. Dalam sebuah hadits shahih tersebut, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Saat yang paling dekat bagi seorang hamba untuk berada di samping Tuhannya, ialah ketika ia sujud. Dari itu hendaklah kamu memperbanyak doa ketika sujud itu!" Dan sabdanya pula: "Ketahuilah bahwa saya dilarang buat membaca Qur'an di waktu rukuk maupun sujud. Maka sewaktu rukuk, hendaklah kamu membesarkan Allah, sedang di waktu sujud, usahakanlah padanya berdoa dengan sungguh-sungguh, karena besar kemungkinan akan dikabulkan Allah!" (HR Ahmad dan Muslim)

Mengenai ini banyak diterima hadits-hadits, kita cantumkan sebagai berikut:

1. Dari 'Ali ra:

Artinya:

"Bahwa Rasulullah saw bila sujud, ia membaca: 'Allahumma laka sajadtu, wabika amantu, walaka aslamtu, sajada wajhiya lilladzi khalaqahu, fashawwarahu fa'ahsana shuwarahu, fasyaqqa sam'ahu wabawharahu, fatabaraka'llahu ahsanu'l khaliqin'. (Ya Allah, aku sujud kepada-Mu, aku beriman kepada-Mu, aku serahkan diri kepada-Mu, sujudlah wajahku ke hadirat Allah yang telah menciptakannya, maka dielokkan-Nya rupa bentuknya, dilengkapi-Nya dengan pendengaran dan penglihatannya, maka Maha Berkahlah Allah, sebaik-baik Pencipta!)" (HR Ahmad dan Muslim)

2. Dan dari Ibnu 'Abbas ra ketika menggambarkan shalat Rasulullah saw sewaktu tahajjud, katanya:

Artinya:

"Kemudian ia pun pergi shalat dan melakukannya, serta dalam shalat atau sujudnya dibacanya: 'Allahumma'j'al fi qalbi nura, wafi sam'i nura wafi bashari nura wa'an yamini nura, wa'an yasari nura, wa amami nura, wa khalfi nura, wa fauqi nura, wa tahti nura, waj'alni nura, - atau dibacanya ij'al li nura'. (Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, pada pendengaranku cahaya, pada penglihatanku cahaya, di sebelah kananku cahaya, di sebelah kiriku cahaya, di depanku cahaya, di belakangku cahaya, di sebelah atasku cahaya, di bawahku cahaya, dan jadikanlah aku ini cahaya - atau dibacanya: berilah aku cahaya!)" (HR Muslim, Ahmad)

Berkata Nawawi: "Menurut ulama, Nabi saw memohonkan cahaya pada seluruh anggota dan setiap arahnya, maksudnya ialah agar diberikan kebenaran dan petunjuk kepadanya. Demikianlah ia meminta cahaya pada semua anggota dan tubuhnya, pada gerak-gerik dan segala perbuatannya, pada keadaannya pribadi secara sebagian-sebagian maupun secara keseluruhan, serta meliputi arah yang enam, hingga ia tak 'kan tergelincir atau menyimpang daripadanya sedikit pun."

3. Pula dari 'Aisyah:

Artinya:

"Bahwa ia tidak menemukan Nabi saw di pembaringannya, maka diraba-rabanyalah dengan tangannya hingga ia terjerembab pada Nabi saw yang ketika itu sedang sujud, dan tengah membaca: 'Rabbi a'thi nafsi taqwaha, wa zakkiha anta khairu man zakkaha, anta waliyuha wa maulaha'. (Ya Allah, berikanlah kepada diriku ini ketakwaan, dan bersihkanlah dia karena Engkau adalah sebaik-baik Yang membersihkan, Engkau yang jadi Wali serta Pemimpinnya)." (HR Ahmad)

4. Dari Abu Hurairah:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw biasanya membaca pada sujudnya; 'Allahumma'ghfir li dzanbi kullahu, diqqahu wa jallahu, wa awwalahu wa akhirahu, wa'alaniyatahu wa sirrahu'. (Ya Allah, ampunilah dosaku kesemuanya, baik yang kecil maupun yang besarnya, yang mula pertama dan yang kesudahannya, serta yang nyata dan yang tersembunyi)." (HR Muslim, Abu Daud dan Hakim)

5. Dan dari 'Aisyah, katanya:

Artinya:

"Pada suatu malam aku telah kehilangan Nabi saw. Maka tersentuhlah ia olehku di mesjid. Kiranya ia sedang sujud, dengan kedua telapak kakinya yang tegak ke atas, dan di dalam sujud itu ia membaca: 'Allahumma inni a'udzu biridhaka min sukhtika, wa a'udzu bimu'afatika min'uqubatika wa a'udzu bika minka, la uhshi tsanaan 'alaika, anta kama atsnaitta 'ala nafsika'. (Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari amarah murka-Mu, dengan memohon ampun dari azab-siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu daripada-Mu. Tidaklah terhitung puji-pujianku kepada-Mu. Engkau adalah sebagaimana dipujikan oleh diri-Mu sendiri!)." (HR Muslim dan Ash-habus Sunan)

6. Dan daripadanya pula:

Artinya:

"Bahwa ia kehilangan Rasulullah saw pada suatu malam. Maka dikiranya ia pergi mendapatkan sebagian dari istri-istrinya. Tetapi sewaktu dicarinya dengan meraba-raba, kiranya ia sedang rukuk atau sujud dan membaca: 'Subhanaka'llahumma wa bihamdika, la ilaha illa anta'. (Mahasuci Engkau ya Allah, dan aku memuji-Mu, tiada Tuhan selain daripada-Mu)." 'Aisyah pun berkata: "Demi ibu-bapakku yang menjadi tebusanmu! Sungguh, aku sedang dalam suatu peristiwa, sedang Anda dalam peristiwa yang lain pula!" (HR Ahmad, Muslim dan Nasa'i)

7. Dan adalah Nabi saw sementara sujud itu membaca:

Artinya:

"Allahumma'ghfir li khathiati wa jahli, wa israfi fi amri, wa ma anta a'lamu bihi minni. Allahumma'ghfir li jaddi wa hazali, wakhathai waamdi wakullu dzalika'indi. Allahumma'ghfirli qaddamtu wama akhkhartu, wama asrartu wama a'lantu. Anta ilahi, la ilaha illa anta. (Ya Allah, ampunilah kesalahan dan kebodohanku, ketelanjuranku dalam urusanku dan hal-hal yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku! Ya Allah, ampunilah hal-hal yang kulakukan secara bersungguh-sungguh maupun dengan main-main, karena lupa atau disengaja, pendeknya segala apa juga dari diriku! Ya Allah, ampunilah apa-apa yang telah kulakukan maupun yang kutangguhkan, apa yang kurahasiakan atau kunyatakan! Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan kecuali Engkau!)"

14. Tata cara duduk di antara dua sujud

Menurut sunnah, duduk di antara dua sujud itu ialah secara iftirasy, yakni dengan melipat kaki kiri, lalu mengembangkan dan duduk di atasnya, dengan menegakkan telapak kaki kanan sambil menghadapkan ujung-ujung jarinya ke arah kiblat. Diterima dari 'Aisyah ra:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan telapak kanannya." (HR Bukhari dan Muslim)

Dan dari 'Ibnu Umar:

Artinya:

"Di antara sunat shalat ialah menegakkan telapak kaki kanan dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat, serta duduk di atas kaki kiri." (HR Nasa'i)

Menurut Nafi', bila Ibnu 'Umar shalat, ia selalu menghadapkan apa pun ke arah kiblat, sampai-sampai juga kedua terompahnya." (Riwayat Atsram)

Juga dalam hadits Abu Humeid, ketika melukiskan cara shalat Rasulullah saw ada tersebut:

Artinya:

"Kemudian dilipatkannya kakinya yang kiri dan didudukinya, lalu ia bangkit hingga setiap tulang kembali ke tempatnya semula, dan setelah itu ia jatuh ke lantai melakukan sujud." (HR Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)

Dalam pada itu ada diterima keterangan agar duduk secara bersimpuh, yaitu dengan menghamparkan kedua telapak kaki dan duduk di atas kedua tumit. Menurut Abu Ubaidah, ia merupakan pendapat ahli-ahli hadits. Diterima dari Abu Zubeir, bahwa ia mendengar Thawus berkata:

Artinya:

"Kami tanyakan kepada Ibnu 'Abbas mengenai duduk bersimpuh di atas kedua telapak kaki. Maka ujarnya: 'Itu adalah sunnah'!" Kata Thawus lagi: "Cobalah terangkan, karena kelihatannya bila dilakukan tidak sopan!" Ujar Ubnu 'Abbas pula: "Itu adalah sunnah Nabi saw!" (HR Muslim)

Dan dari Ibnu 'Umar ra:

Artinya:

"Bahwa ia duduk di atas ujung jari-jari kakinya, bila mengangkatkan kepala dari sujud pertama, serta mengatakan bahwa itu adalah sunnah."

Juga diterima dari Thawus, katanya:

Artinya:

"Saya lihat para 'Abdullah, - yakni 'Abdullah bin 'Abbas, 'Abdullah bin 'Umar dan 'Abdullah bin Zubeir - sama-sama duduk bersimpuh." (HR Baihaqi, dan menurut Hafidh, isnadnya sah)

Adapun duduk nongkrong, dengan arti meletakkan pinggul ke lantai dan menegakkan kedua paha, maka menurut kesepakatan para ulama, hukumnya makruh. Diterima dari Abu Hurairah, katanya:

Artinya:

"Saya dilarang oleh Nabi saw dari tiga perkara, yakni: mematuk seperti ayam jantan, nongkrong seperti anjing, dan berpaling seperti rubah." (HR Ahmad, Baihaqi, Thabrani dan Abu Ya'la, dan sanadnya hasan)

Dan bagi orang yang duduk di antara dua sujud itu, disunatkan pula menaruh tangan kanannya di atas paha kanan, serta tangan kirinya di atas paha kiri, di mana jari-jari dibentangkan dan diarahkan ke kiblat, dengan direnggangkan sedikit dan ujung-ujungnya sampai ke laut.

Doa di antara dua sujud

Disunatkan di antara dua sujud itu berdoa dengan salah satu di antara kedua doa berikut, dan jika mau boleh diulang-ulang. Diriwayatkan dari Huzaifah oleh Nasa'i dan Ibnu Majah:

"Bahwa Nabi saw biasa membaca di antara dua sujud: 'Rabbi'ghfir li, rabbi'ghfir li'!" (Tuhanku, ampunilah daku! Tuhanku ampunilah daku!)

Dan Abu Daud telah meriwayatkan pula dari Ibnu 'Abbas ra:

Artinya: Bahwa Nabi saw di antara dua sujud itu membaca: "Allahuma'ghfir li, wa'rhamni, wa'afini, wa'hdini, wa'rzuqni. 1) (Ya Allah, ampunilah daku, beri rahmatlah daku, sehatkan daku, tunjuki daku, dan beri rezeki daku!)"
-----------
1) Turmudzi juga meriwayatkan, tapi di sana terdapat wa'jburni sebagai ganti wa'afini.

15. Duduk beristirahat

Yaitu duduk sebentar waktu yang dilakukan oleh orang yang shalat setelah selesai dari sujud kedua pada rakaat pertama, menjelang berbangkit ke rakaat kedua, dan setelah selesai dari sujud kedua pada rakaat ketiga, menjelang berbangkit menuju rakaat keempat.

Mengenai hukumnya para ulama berbeda pendapat, sebagai akibat dari berbedanya hadits-hadits tentang hal itu. Di bawah ini kita kemukakan apa yang telah disimpulkan oleh Ibnu'l Qaiyim mengenai itu, katanya: "Para fukaha berselisih paham, apakah ia termasuk di antara sunat-sunat shalat, hingga disunatkan mengerjakannya bagi tiap-tiap orang, ataukah bukan sunat, hanya dilakukan oleh orang yang memerlukannya saja? Terdapat dua pendapat, kedua-duanya berasal dari Ahmad rahimahu'llah."

Berkata Khilal: "Ahmad mengambil alasan mengenai duduk istirahat itu, dari hadits Malik bin Huwairits, dan mengatakan: Yusuf bin Musa telah menceritakan kepadaku bahwa Abu Umamah ditanyai oleh orang tentang cara bangkit, maka jawabnya: Di atas punggung kedua telapak kaki, berdasarkan hadits Rifa'ah." Begitu pun dalam hadits Ibnu 'Ajlan ada petunjuk bahwa ia bangkit atas punggung kedua telapak kakinya.

Tetapi beberapa orang shahabat Nabi, juga siapa saja yang meriwayatkan hadits buat melukiskan tata cara shalat Nabi saw tidak pernah menyebut-nyebut soal duduk ini. Ia hanya ditemui pada hadits Abu Humeid dan Malik bin Huwairits. Dan seandainya petunjuk Nabi saw ini selalu dikerjakannya, tentulah akan disampaikan oleh setiap orang yang menggambarkan cara-cara shalatnya.

Dan semata dilakukan oleh Nabi saw saja, tidaklah menjadi bukti bahwa ia salah satu di antara sunat-sunat shalat, kecuali bila diketahui bahwa dilakukannya itu ialah karena sunat hingga dapat diikuti, tapi misalkan ia melakukan itu karena sesuatu keperluan, tidaklah dijumpai petunjuk bahwa itu merupakan sunat shalat.

16. Tata tertib duduk waktu tasyahud

Hendaklah di saat duduk waktu tasyahud itu dijaga sunat-sunat berikut:

a. Hendaklah kedua tangan diletakkan menurut ketentuan hadits-hadits di bawah ini.

1. Diterima dari Ibnu 'Umar ra:

Artinya:

"Bila Nabi saw duduk untuk membaca tasyahud, diletakkannya tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri, dan tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan, dan dibuatnya ikatan 53, 1) serta menunjuk dengan jari telunjuknya." Dan menurut riwayat lain: "Dan digenggamnya semua jarinya dan menunjuk dengan anak jari yang di samping ibu jari." (HR Muslim)

2. Dari Wail bin Hajar:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw menaruh telapak tangannya yang kiri di atas paha dan lutut kirinya, dan telapak tangan kanan ditaruh di atas pahanya yang kanan, kemudian digenggamnya jari-jarinya hingga merupakan lingkaran." Dan menurut suatu riwayat: "Digenggamnya jari tengah dan ibu jari, serta menunjuk dengan telunjuk, kemudian diangkatnya sebuah jari, maka digerakkannya dan digunakannya untuk berdoa." (HR Ahmad)

Berkata Baihaqi: "Mungkin yang dimaksud dengan menggerakkan itu menunjuk, bukan menggerakkannya secara berulang-ulang, supaya maksudnya cocok dengan riwayat Ibnu Zubeir:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw bila berdoa, memberi isyarat dengan jarinya dan tidak menggerak-gerakkannya." (HR Abu Daud dengan isnad yang sah, dan disebutkan oleh Nawawi)

3. Dari Zubeir ra, katanya:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw duduk membaca tasyahud, diletakkannya tangannya yang kanan di atas paha yang kanan, dan tangannya yang kiri di atas pahanya yang kiri, serta memberi isyarat dengan telunjuk, sedang pandangan matanya tidak melampaui telunjuknya itu." (HR Ahmad, Muslim dan Nasa'i)

Maka di dalam hadits ini ada keterangan bahwa cukup menaruh tangan kanan di atas paha tanpa digenggam, dan memberi isyarat ialah dengan telunjuk kanan. Juga diterangkan bahwa termasuk sunnah bila pandangan orang yang shalat itu tidak melampaui isyaratnya. Demikianlah tiga buah kaifiat yang sah, dan diperbolehkan beramal dengan salah satu di antaranya.
-----------
1) Maksudnya digenggamnya jari-jarinya, dan ditaruhnya ibu jarinya pada pergelangan tengah di bawah telunjuk.

b. Agar memberi isyarat dengan telunjuk kanan dengan membungkukkannya sedikit sampai memberi salam. Dari Numeir al Khuza'i, katanya:

Artinya:

"Saya lihat Rasulullah saw yang ketika itu sedang duduk shalat, meletakkan lengannya yang kanan di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit waktu berdoa itu." (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad-sanad yang cukup baik)

Dan diterima dari Anas bin Malik ra, katanya:

Artinya:

"Rasulullah saw lewat pada Sa'ad yang ketika itu sedang berdoa dengan menggunakan dua jari, maka sabdanya: "Pakailah satu jari, hai Sa'ad!" (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Hakim)

Dan Ibnu 'Abbas ditanya tentang laki-laki yang berdoa dengan memberi isyarat dengan jarinya itu, maka ujarnya: "Itu menunjukkan keikhlasan." Dan menurut Anas bin Malik, sebagai merendahkan diri agar dekat kepada Allah, sedang menurut Mujahid, untuk memadamkan godaan setan. Golongan Syafi'i berpendapat agar ia memberi isyarat sekali saja waktu syahadat ketika membaca "illa'llah".

Dan menurut golongan Hanafi, agar mengangkatkan telunjuk itu ketika menyangkal - yakni ketika menyebut "la" artinya "tidak" dan menjatuhkannya ketika membenarkan, yakni ketika menyebut "ilallah" (kecuali Allah) waktu syahadat. Dan menurut golongan Malik, hendaklah digerak-gerakkannya ke kanan-kiri sampai selesai shalat, sedang menurut golongan Hanbali, hendaklah ia memberi isyarat dengan jarinya setiap menyebut nama Allah, buat menunjukkan kekuasaan-Nya, tanpa menggerak-gerakkannya.

c. Agar duduk iftirasy pada tasyahud pertama, 1) dan duduk tawarruk pada tasyahud akhir. Dalam hadits Abu Humeid melukiskan shalat Rasulullah saw tersebut:

Artinya:

"Maka bila ia duduk pada rakaat kedua, 2) didudukinya kakinya yang kiri dan ditegakkannya kakinya yang kanan. Kemudian bila ia duduk pada rakaat yang akhir, dimajukannya kakinya yang kiri dan ditegakkannya yang kanan serta ia duduk di atas panggulnya." (HR Bukhari)
-----------
1) Telah diterangkan maksudnya ketika menerangkan cara duduk di antara dua sujud. Mengenai duduk tawarruk, artinya ialah dengan menegakkan kaki kanan sambil menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat dan melipatkan kaki kiri di bawahnya sambil duduk dengan panggul di atas lantai.
2) Maksudnya buat tasyahud pertama

17. Tasyahud pertama

Jumhur ulama berpendapat bahwa tasyahud pertama itu hukumnya sunat berdasarkan hadits Abdullah bin Buhairah:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw berdiri pada waktu shalat Dhuhur, padahal sebetulnya ia harus duduk. Maka tatkala itu selesai ia pun sujud dua kali dengan membaca takbir pada tiap kali sujud sementara duduk, sebelum memberi salam, dan orang-orang pun ikut sujud bersamanya. Maka sujud itu adalah sebagai imbalan duduk yang terlupa." (HR Jama'ah)

Dalam buku Subulus Salam terdapat: "Hadits itu menunjukkan bahwa ketinggalan tasyahud pertama karena lupa, dapat diganti oleh sujud sahwi. Dan sabda Nabi saw: 'Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat', menjadi bukti bahwa tasyahud pertama itu wajib. Dan dengan digantinya di sini sewaktu ketinggalan, menunjukkan pula bahwa walaupun ia wajib, tapi dapat diganti oleh sujud sahwi. Dan mempergunakannya sebagai alasan atas tidak wajibnya, tidak mungkin, sebelum ada dalil yang menyatakan bahwa setiap yang wajib tak dapat diimbali dengan sujud sahwi, jika ketinggalan karena lupa."

Dan berkata Hafidh dalam Al-Fat-h: "Menurut Ibnu Batthal, alasan bahwa sujud sahwi itu tak dapat mengganti yang wajib, ialah karena lupa membaca takbiratul ihram, maka tak dapat diganti. Berbeda halnya dengan tasyahud, pula tasyahud itu merupakan dzikir yang tak pernah dibaca secara jahar, hingga dengan demikian ia tidaklah wajib, seperti halnya doa Iftitah." Pihak lain mengambil alasan pada taqrir atau persetujuan Nabi saw terhadap dikerjakannya tashayud itu oleh orang, setelah diketahuinya bahwa mereka bermaksud hendak meninggalkannya. Dan ini memerlukan peninjauan. Dan di antara orang-orang yang mengatakannya wajib ialah Laits bin Sa'ad, Ishak, dan menurut riwayat yang masyhur juga Ahmad.

Ia juga merupakan salah satu di antara pendapat Syafi'i, dan menurut satu riwayat juga bagi golongan Hanafi. Dalam pada itu Thabari mempergunakan alasan atas wajibnya, bahwa pada mulanya shalat itu difardhukan sebanyak dua raka'at, di mana tasyahud menjadi suatu kewajiban. Maka tatkala ditambah, tambahan tersebut tidaklah menghilangkan wajibnya.

Sunat Memendekkannya

Disunatkan memendekkan bacaan tasyahud awal ini. Diterima dari Ibnu Mas'ud, katanya:

Artinya:

"Bila Nabi saw duduk pada dua rakaat yang mula-mula, maka seolah-olah ia berada di atas bara panas." 1) (HR Ahmad dan Ash-habus Sunan)

Dan menurut Turmudzi, hadits ini hasan, 'Ubeidah tak pernah mendengarnya dari bapaknya. 2)

Berkata Turmudzi: "Bagi para ahli, ini menjadi amalan, artinya mereka menyukai agar orang tidak lama duduk pada raka'at kedua yakni tidak menambah suatu pun bacaan tasyahud."

Berkata Ibnu'l Qaiyim: "Tak ada diterima riwayat bahwa Nabi saw membaca shalawat bagi diri maupun keluarganya pada tasyahud pertama. Tidak pula ia berlindung waktu itu dari azab kubur dan neraka, dan dari fitnah kehidupan, bencana kematian dan Al Masihu'd Dajjal. Dan orang-orang yang mengatakannya sunat, memahaminya dari ucapan-ucapan umum dan mutlak, menurut riwayat yang sah, telah dihubungkan dan dinyatakan tempatnya pada tasyahud akhir."
-----------
1) Satu ungkapan menunjukkan singkatnya waktu duduk
2) Yaitu 'Ubeidah bin 'Abdullah bin Mas'ud yang biasa meriwayatkan hadits dari bapaknya Ibnu Mas'ud

18. Shalawat Nabi saw

Disunatkan bagi orang yang shalat, membaca shalawat bagi Nabi saw pada tasyahud akhir dengan salah satu di antara doa-doa berikut:

1. Dari Abu Mas'ud al Badari, katanya:

Artinya:

"Basyir bin Sa'ad bertanya: 'Ya Rasulullah ! Allah telah memerintahkan agar kami mengucapkan shalawat pada Anda. Bagaimana caranya kami mengucapkan shalawat itu'? Nabi pun diam, lalu sabdanya: 'Katakanlah: Allahumma shalli 'ala Muhammad wa'ala ali Muhammad, kama shallaita 'ala ali Ibrahim, wabarik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala ali Ibrahim, fil 'alamina innaka hami-du'm-majid'. (Ya Allah, berilah kiranya shalawat kepada Muhammad!1) dan keluarga Muhammad, 2) sebagaimana telah Engkau berikan kepada keluarga Ibrahim! Dan diberi berkahlah kepada Muhammad bersama keluarganya, sebagaimana telah Engkau berikan kepada keluarga Ibrahim, di seluruh penjuru alam, 3) sungguh Engkau Maha Terpuji, 4) lagi Mahamulia!)." Kemudian bacalah salam sebagaimana telah kamu ketahui! (HR Muslim dan Ahmad)

2. Dan diterima dari Ka'ab bin 'Ujrah, katanya:

Artinya:

"Kami katakan: Ya Rasulullah, kami telah tahu bagaimana caranya memberi salam kepada Anda. Sekarang bagaimana pula caranya memberi shalawat bagi Anda?" Ujar Nabi: "Katakanlah: Allahumma shalli 'ala Muhammad, wa 'ala ali Muhammad, kama shallaita 'ala ali Ibrahim, innakahamidum majid. Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala ali Ibrahim, innaka hamidum majid." (HR Jama'ah)

Hanya mengucapkan shalawat Nabi ini hukumnya tidak wajib tetapi sunat, karena apa yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan dinyatakannya sah, begitu pun oleh Ahmad dan Abu Daud dari Fudhalah bin Ubeid, katanya:

Artinya:

"Nabi saw mendengarkan seorang laki-laki yang berdoa dalam shalatnya, dan ternyata ia tidak mengucapkan shalawat Nabi. Maka bersabdalah Nabi saw: 'Orang ini tergesa-gesa! Kemudian dipanggilnya orang itu, dan dikatakannya kepadanya atau kepada lainnya: 'Bila salah seorang di antaramu shalat, hendaklah ia mulai dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian mengucapkan shalawat kepada Nabi saw, kemudian baru mendoa menurut apa yang telah ditentukan Allah'!"

Berkata pengarang Al-Muntaqa: "Dalam hadits itu terdapat alasan bagi orang yang mengatakan bahwa shalawat itu tidak wajib, karena Nabi saw tiada menitahkan mengulang kepada orang yang meninggalkannya. Hal itu dikuatkan pula oleh sabdanya kepada Hibir bin Mas'ud setelah menyebut soal tasyahud: 'Kemudian hendaklah ia memilih macam-macam permohonan yang disukainya'." Dan berkata pula Syaukani: "Tak ada kulihat alasan yang kuat bagi orang yang mengatakannya wajib."
-----------
1) "Shalawat Allah bagi Nabi-Nya" ialah pujian Allah terhadapnya, pernyataan keutamaan dan kemuliaannya, serta maksud meninggikan dan mendekatkannya.
2) "Keluarga Muhammad", menurut sebagian ahli maksudnya ialah golongan Bani Hasyim dan Bani Muttalib yang tidak diperbolehkan menerima zakat. Ada pula yang mengatakan, maksudnya anak cucu dan para isterinya. Yang lain berpendapat: Mereka itu ialah umat dan para pengikutnya sampai hari kiamat. Selanjutnya ada yang mengatakan: Maksudnya ialah golongan yang takwa di antara umatnya. Berkata Ibnu'l Qaiyim: "Yang benar ialah yang pertama, disusul oleh pendapat kedua. Mengenai yang ketiga dan yang keempat merupakan pendapat yang lemah."
3) Dan berkata Nawawi: "Yang terkuat, yakni yang dipilih oleh Azhari dan para kritisi lainnya ialah seluruh umat."
4) Ialah yang memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri yang menyebabkannya terpuji, walau tidak dipuji oleh orang lain. Maka Ia terpuji pada diri-Nya. Majid atau Mahamulia ialah yang sempurna keagungan dan kebesaran-Nya.

19. Doa setelah tasyahud akhir dan sebelum salam

Disunatkan memaca doa setelah tasyahud dan sebelum salam mengenai kebaikan dunia dan akhirat. Diterima dari 'Abdullah bin Mas'ud:

Artinya: "Bahwa Nabi saw mengajarkan kepada mereka tasyahud, kemudian akhirnya: 'Kemudian pilihlah olehmu macam-macam permohonan yang kamu sukai'!" (HR Muslim)

Doa itu secara mutlak disunatkan, baik yang ada dasarnya dari pada Nabi saw maupun yang tidak, hanya yang berdasar itu hukumnya lebih utama. Dan di bawah ini kita cantumkan seagian dari doa-doa dari Nabi saw tersebut:

1. Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Bila salah seorang di antaramu telah selesai membaca tasyahud akhir, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari empat perkara, dengan membaca: Allahumma inni a'udzu bika min adzabi jahannam, wamin adzabi'l qabri, wamin fitnati'l mahya wal mamati, wamin syarri fitnatil masihi'd dajjal. (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur dan dari bencana kehidupan dan kematian, serta dari kejahatan bencana dajjal si penipu)." (HR Muslim)

2. Dan dari 'Aisyah ra bahwa Nabi saw berdoa di waktu shalat:

Artinya:

"Allahumma inni a'udzu bika min adzabi'l qabri, wa a'udzu bika min fitnati'd dajjal, wa a'udzu bika min fitnati'l mahya wal mamati, Allahumma inni a'udzu bika mina'l ma'tsami wal maghram. (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur, dan aku berlindung dari godaan dajjal, dan aku berlindung dari bencana kehidupan dan kematian. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari perbuatan dosa dan dari berutang)." (Disepakati oleh ahli-ahli hadits)

3. Dan dari 'Ali ra, katanya:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw berdiri mengerjakan shalat, maka ucapan terakhir yang dibacanya di antara tasyahud dan taslim ialah: "Allahumma'ghfir li ma qaddamtu wama akhkhartu, wama asrartu, wama a'lantu, wama asraftu, wama anta a'lamu bihi minni. Anta'l muqaddimu wa anta'l muakhkhiru. La ilaha illa anta. (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang terdahulu maupun terkemudian, apa-apa yang kusembunyikan dan yang kunyatakan, apa-apa yang terlanjur dan apa-apa yang Engkau sendiri lebih mengetahuinya daripadaku. Engkaulah yang memajukan dan yang menangguhkan. Tiada Tuhan melainkan Engkau)." (HR Muslim)

4. Dari 'Abdullah bin 'Amar:

Artinya:

"Bahwa Abu Bakar mengatakan kepada Rasulullah saw: 'Ajarkanlah kepadaku doa yang akan kubaca dalam shalatku'! Ujar Nabi: 'Katakanlah: Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira, wala yaghfiru'dzdzunuba illa anta, faghfir li maghfiratam min indika wa'rhamni innaka anta'l ghafuru'r rahim. (Ya Allah, aku telah banyak berbuat aniaya terhadap diriku, sedang tiadalah yang dapat mengampuni dosa itu kecuali Engkau. Maka berilah daku keampunan dari sisi-Mu, dan beri rahmatlah daku, sungguh Engkau Maha Pengampun dan Pemberi rahmat!). (HR Muslim)

5. Dari Handhalah bin 'Ali, bahwa Mihjan bin Arda' bercerita kepadanya sebagai berikut:

Artinya:

"Rasulullah saw masuk ke mesjid. Kebetulan ada seorang laki-laki yang telah hampir selesai shalat dan sedang membaca tasyahud, katanya: Allahumma inni as-aluka ya Allahu'l wahidu'l ahadu'sh shamad, alladzi, lam yalid walam yulad, walam yaku'l lahu kufuwan ahad; an taghfira li dzunubi, innaka anta'l ghafuru'r rahim. (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ya Allah, Yan Maha Esa dan Mahatunggal, Tuhan tempat memohon, Yang tiada berputera dan tidak pula diputerakan dan Tiada satu pun yang menyamai-Nya, agar Engkau mengampuni segala dosaku, sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang). Maka bersabdalah Nabi saw sampai tiga kali: 'Allah telah mengampuninya'." (HR Ahmad, Abu Daud)

6. Dari Syaddad bin Aus, katanya:

Artinya:

Di dalam shalatnya Nabi saw membaca: "Allahumma inni as-alukats tsabata fi'l amri, wal'azimata 'alar rusydi wa as-aluka syukra ni'matika wa husna 'ibadatika, wa as-aluka qalban salima wa lisanan shadiqa, wa as-aluka min khairi ma ta'lam, wa a'udzubika min syarri ma ta'lam, wa astaghfiruka lima ta'lam. (Ya Allah, aku mohon kepada-Mu keteguhan dalam urusan dan ketetapan dalam kebenaran. Dan aku mohon diberi kesempatan untuk mensyukuri nikmat-Mu dan menyempurnakan ibadat kepada-Mu. Juga aku mohonkan hati yang sejahtera dan lidah yang dipercaya, dan aku minta kebaikan-kebaikan yang Engkau ketahui dan berlindung dari kejahatan-kejahatan yang Engkau ketahui, serta mohon keampunan dari apa-apa yang Engkau maklumi)." (HR Nasa'i)

7. Dari Abu Mijlaz, katanya:

Artinya:

'Ammar bin Yasir ra melakukan shalat dengan kami. Maka berkatalah 'Ammar ketika mendapat tantangan dari mereka karena shalat disingkatnya: "Bukankah rukuk dan sujudku tidak kurang suatu apa pun?" Ujar mereka: "Benar!" Kata 'Ammar pula: "Mengenai soanya, yang saya baca ialah doa yang biasa dibaca oleh Rasulullah saw, yakni: Allahumma bi'ilmika'l ghaiba, wa qudratika 'alal khalqi, ahyini ma 'alimta'l hayata khairan li, wa tawaffani idza kanatil wafatu khairan li, as-aluka khasy-yatakafil ghaibi wasy syahadah, wa kalimatal haqqi fi'l ghadhabi war ridha, wa'l qasda fi'l faqri wa'l ghina, wa ladzdzatannadhari ila wajhika, wa'sy syauqa ila liqa-ika, wa audzu bika min dharra'a mudhirrah, wa min fitnatin mudhillah. Allahumma zaiyinna bizinati'l iman, wa'j'alna hudatan mahdiyin. (Ya Allah, demi pengetahuan-Mu tentang yang gaib, dan kodrat-Mu untuk mencipta, lanjutkanlah hidupku selama hidup itu baik untuk diriku, sebaliknya wafatkanlah daku jika mati itu baik untukku. Aku mohon rasa takut pada-Mu baik ketika sembunyi maupun terang-terangan, mengucapkan kebenaran di waktu benci maupun suka, sederhana dalam kemiskinan dan kekayaan kelezatan dalam memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu. Dan aku berlindung pada-Mu dari bencana yang merusakkan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, dan jadikanlah kami sebagai juru pembimbing yang beroleh tuntunan)." (HR Ahmad dan Nasa'i dengan isnad yang cukup baik)

8. Dari Abu Shalih yang diterimanya dari segolongan shahabat:

Artinya:

"Nabi saw bertanya kepada seorang laki-laki: 'Apa yang anda baca dalam shalat'? Ujarnya: 'Saya baca tasyahud, lalu saya baca: Allahumma inni as-aluka'ljannah wa a'udzu bika mina'n nar! (Ya Allah, saya mohon kepada-Mu surga, dan saya berlindung kepada-Mu dari neraka)'. Lalu ulasnya: 'Adapun saya, saya tak pandai berpanjang-panjang seperti Anda, atau seperti Mu'adz'. Maka sabda Nabi saw: 'Mengenai surga dan neraka itu sudah cukup panjang'!" (HR Ahmad dan Abu Daud)

9. Dan dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi saw, mengajarkan kepadanya doa berikut:

Artinya:

"Allahumma allif baina qulubina, wa ashlihdzata bainina, wahdina subula's salam, wa najjina mina'zh zhulumati ila'n nur. Wa jannibna'l fawahisya ma zhahara minha wama bathana, wabarik lana fi asma'ina wa absharina wa qulubina wa azwajina wa dzurriyatina watub 'alaina, innaka anta't tawwabur rahim. Wa'j'alna syakirina lini'matika, mutsnina biha wa qabiliha, wa atimmaha 'alaina. (Ya Allah, jalinkanlah hati kami dalam kasih sayang, dan damaikan selisih kami, bimbinglah kami ke jalan kesejahteraan serta bebaskanlah kami dari kegelapan kepada cahaya. Jauhkanlah kekejian diri kami, baik yang lahir maupun batin, dan limpahkanlah kepada kami berkah, baik mengenai pendengaran, penglihatan dan hati nurani kami, istri-istri kami, dan keturunan kami, serta terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Penyayang. Pula, jadikanlah kami orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, menghargai dan menyambutnya dengan sepertinyua, serta sempurnakanlah kiranya kurnia itu bagi kami)." (HR Ahmad dan Abu Daud)

10. Dari Anas, katanya:

Artinya:

"Saya duduk-duduk bersama Rasulullah saw sedang seorang laki-laki tengah berdiri mengerjakan shalat. Maka tatkala ia selesai rukuk dan membaca tasyahud, di dalam doanya dibacanya: Allahumma inni as-aluka bianna laka'l hamdu la ilaha illa anta'l mannanu badi'us samawati wal ardhi, ya dzal jalali wa'l ikram, ya haiyu yaqaiyum, inni as-aluka. (Ya Allah, saya memohon kepada-Mu, karena bagi-Mulah segala puji, tiada Tuhan kecuali Engkau Yang Mahamurah, Pencipta langit dan bumi, ya Tuhan Empunya kebesaran dan kemuliaan, ya Tuhan Yang Mahahidup lagi Maha Pengatur, saya mohon kepada-Mu!)." Maka bersabdalah Nabi saw kepada para shahabatnya: "Tahukah Tuan-tuan betapa caranya ia berdoa?" Ujar mereka: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui!" Sabda Nabi pula: "Demi Tuhan yang nyawa Muhammad dalam tangan-Nya. Sungguh ia telah memohon kepada Allah dengan menyebut asma-Nya Yang Mahabesar, yakni nama yang bila Ia dipanggil dengan itu, tentu akan disahut-Nya, dan bila diminta akan dikabulkan-Nya." (HR Nasa'i)

11. Dari Umeir bin Sa'ad, katanya:

Artinya:

"Ibnu Mas'ud mengajarkan tasyahud kepada kami di dalam shalat, kemudian katanya: 'Bila salah seorang di antaramu telah selesai mengucapkan tasyahud, maka hendaklah dibacanya: Allahumma inni as-aluka mina'l khairi kullihi ma'alimtu minhu wama lam a'lam, wa a'udzu bika minasy syarri kullihi ma alimtu minhu wama lam a'lam. Allahumma inni as-aluka min khairi ma sa-alaka minhu 'ibaduka's shalihun. Rabbana atina fid dun-ya hasanah wafil akhirat hasanah waqina adzaban nar'. (Ya Allah, saya mohon kepada-Mu segala macam kebaikan, baik yang saya ketahui maupun yang tidak saya ketahui, dan saya berlindung pada-Mu dari segala macam kejahatan yang saya ketahui dan yang tidak saya ketahui. Ya Allah, saya mohon kepada-Mu segala macam kebaikan yang pernah dimohonkan oleh para hamba-Mu yang saleh, dan saya berlindung pada-Mu dari segala macam kejahatan, yang pernah dimintakan perlindungan oleh para hamba-Mu yang saleh. Ya Allah, berilah kami di dunia ini kebaikan, dan di akhirat kebaikan, dan lindungilah kiranya kami dari siksa neraka)." Ulas Ibnu Mas'ud: "Tak ada satu pun permohonan yang diajukan oleh Nabi-nabi atau orang-orang saleh, tetapi telah tercakup dalam doa ini." (HR Ibnu Abi Syaibah dan Sa'id bin Manshur)

20. Dzikir dan doa setelah memberi salam

Telah diterima dari Nabi saw sejumlah dzikir dan doa sesudah memberi salam, yang disunatkan bagi orang yang shalat untuk membacanya. Di bawah ini kita cantumkan sebagai berikut:

1. Diterima dari Tsauban ra, katanya:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw berpaling dari shalat, maka ia membaca istighfar tiga kali, dan membaca: 'Allahumma antas salam, wa minkas salam, tabarakta ya dzal jalali wal ikram.' (Ya Allah, Engkaulah Salam, dan daripada-Mu kesejahteraan, serta Mahabesar kebaikan-Mu, ya Allah yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan)." (HR Jama'ah kecuali Bukhari, sedang pada riwayat Muslim ada tambahan: "Berkata Walid: Saya tanyakan kepada Auza'I: 'Bagaimana caranya istighfar int'? Ujarnya: 'Dengan mengucapkan: Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah'. (Saya mohon ampun kepada Allah 3x)."

2. Dari Mu'adz bin Jabal:

Artinya:

"Bahwa Nabi saw pada suatu hari memegang tangannya lalu sabdanya: 'Hai Mu'adz saya sungguh sayang padamu'! Ujar Mu'adz: 'Demi ibu-bapakku yang menjadi tebusan Anda, wahai Rasulullah, saya juga amat sayang pada Anda'! Sabda Nabi pula: 'Hai Mu'adz! Saya amanatkan kepadamu agar setiap selesai shalat, jangan sekali-kali ketinggalan membaca: Allahumma a'inni 'ala dzikrika, wasyukrika wa husni 'ibadatika'. (Ya Allah, berilah daku bantuan, dalam mengingat-Mu, bersyukur dan menyempurnakan ibadah pada-Mu)." (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim yang menyatakannya sah atas syarat Bukhari dan Muslim) Sedang dari Abu Hurairah, diterima bahwa Nabi saw bersabda: "Inginkah Tuan-Tuan bersungguh-sungguh dalam berdoa? Nah bacalah: Allahumma a'inna 'ala dzikrika wasyukrika wahusni-'ibadatika. (Ya Allah, bantulah kami dalam mengingat-Mu, bersyukur dan menyempurnakan ibadah pada-Mu)." (HR Ahmad dengan sanad yang cukup baik)

3. Dari 'Abdullah bin Zubeir, katanya:

Artinya:

"Bila Rasulullah saw telah selesai mengucapkan salam di setiap akhir shalat, ia membaca: 'Lailaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahu'l mulku walahu'l wahuwa ala kulli syai'in qadir. Lahaula wala quwwata illa billah, wala na'budu illa iyyah, ahlan ni'mati wa'l fadhli wats tsanail hasan. La ilaha illallahu mukhlishina lahu'd dina walau karihal kafirun'. (Tiada Tuhan melainkan Allah, Tunggal tiada berserikat, bagi-Nyalah kerajaan dan puji-pujian, dan Ia Kuasa berbuat segala sesuatu. Tiada daya maupun tenaga kecuali dengan Allah. Dan kami tiada hendak menyembah hanyalah kepada-Nya, yakni Tuhan Empunya kurnia, Empunya jasa serta puji dan puja. Tiada Tuhan melainkan Allah, kami bulatkan pengabdian kepada-Nya, semata, walau orang-orang Musyrik itu tidak suka)." (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasa'i)

4. Dari Mughirah bin Syu'bah:

Artinya:

"Bahwa setiap selesai dari shalat fardhu, Rasulullah saw biasa mengucapkan: 'La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahu'l mulku walahu'l hamdu wahuwa 'ala kulli syai'in qadir. Allahumma la mani'a lima a'thaita wala mu'thiya lima mana'ta, wala yanfa'u dza'l jaddi minka'l jaddu'. (Tiada Tuhan melainkan Allah, Tunggal tiada berserikat; bagi-Nyalah kerajaan dan puji-pujian, dan Ia Kuasa berbuat segala sesuatu. Ya Allah, tiadalah yang dapat menahan apa-apa yang Kauberikan, tiadalah pula yang dapat memberikan apa-apa yang Engkau tahan, dan tiadalah bermanfaat kepada orang yang mempunyai kebesaran, kebesarannya itu)." (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

5. Diterima dari 'Uqbah bin 'Amir, katanya:

Artinya:

"Saya dititah oleh Rasulullah saw agar membaca dua mu'awwidzah setiap selesai shalat. "Sedang kalimat Ahmad dan Abu Daud berbunyi: "Agar membaca mua'wwidzat. 1) (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)

6. Dari Abu Umamah, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Barang siapa membaca ayat Kursi setiap selesai shalat, maka tak ada yang akan menghalanginya buat masuk surga kecuali maut!" (HR Nasa'i dan Thabrani)

Dan dari 'Ali ra, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya: "Siapa-siapa yang membaca ayat Kursi setiap akhir shalat fardhu, maka ia berada dalam lindungan Allah sampai datangnya shalat yang lain." (HR Thabrani dengan isnad yang hasan)

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya: "Barang siapa membaca tasbih sebanyak 33 kali setiap akhir shalat, lalu membaca tahmid 33 kali pula, dan takbir 33 kali, hingga jumlahnya 99 kali, kemudian untuk mencukupkan seratus dibacanya 'La ilaha illallahu, wahdahu la syarika lah, lahu'l mulku wa lahu'l hamdu, wahuwa 'ala kulli syai'in qadir', maka diampunilah kesalahan-kesalahannya, 2) walau sebanyak buih di laut sekalipun." (HR Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Daud)

8. Dari Ka'ab bin 'Ujrah, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya: "Bacaan sampiran yang tidak akan mengecewakan pembaca atau pembuatnya setiap selesai shalat fardhu, ialah 33 kali tasbih, 33 kali tahmid ditambah dengan 4 kali takbir. (HR Muslim)

9. Dari Sumaiya yang diterimanya dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah:

Artinya:

"Bahwa fakir miskin dari kalangan Muhajirin datang mendapatkan Rasulullah saw mengadukan: 'Orang-orang kaya beroleh bahagia dengan derajat tinggi dan kesenangan abadi'! 'Bagaimana'? tanya Nabi. Ujar mereka: 'Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah sedang kami tidak, serta mereka memerdekakan budak-belian tapi kami tak melakukannya.' Maka sabda Rasulullah saw: 'Maukah kalian saya ajarkan sesuatu untuk menyusul orang-orang yang mendahului kalian dan mendahului orang-orang yang di belakang, hingga tak seorang pun yang akan lebih mulia dari kalian, kecuali orang-orang yang berbuat sebagaimana yang kalian lakukan'? 'Mau, ya Rasulullah'! Sabda Nabi: 'Kalian tasbih, takbir dan tahmid setiap selesai shalat sebanyak 33 kali'! Setelah itu fakir-miskin golongan Muhajirin itu pun kembali mendapatkan Rasulullah saw, katanya: 'Kawan-kawan kami orang-orang kaya itu telah mendengar apa yang kami lakukan hingga mereka pun melakukannya pula'. Ujar Nabi saw: 'Itu adalah kurnia Allah, yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya'!" Selanjutnya kata Sumaiya: "Hal ini pun saya ceritakanlah kepada beberapa orang keluargaku. Kata mereka: 'Kau salah paham'! Sebenarnya sabda Nabi: 'Membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali'. Kembalilah saya mendapatkan Abu Shalih dan saya sampaikanlah hal itu kepadanya. Maka ditariknya tanganku seraya katanya: 'Allahu Akbar, Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahu Akbar. Kemudian Subhanallah, Alhamdulillah dan seterusnya, hingga semuanya berjumlah 33 kali'!" (Disepakati oleh ahli-ahli hadits)

10. Juga diterima berita yang sah, agar membaca tasbih sebanyak 25 kali, tahmid 25 kali, dan takbir sebanyak itu pula, lalu mengucapkan: "La ilaha illallah wahdahu lasyari'kallah, lahu'l mulku walahu'l hamdu, wahuwa 'ala kulli syai'in qadir", juga sebanyak itu.

11. Dari 'Abdullah bin 'amar, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Ada dua perkara yang bila dilakukan terus-menerus oleh seseorang, akan memasukkannya ke dalam surga, sedang keduanya enteng dan melakukannya tiada lama." "Apakah itu, ya Rasulullah?" tanya mereka. Ujarnya: "Yaitu cukup bertahmid kepada Allah, takbir dan tasbih setiap selesai shalat fardhu sepuluh-sepuluh kali, kemudian bila hendak masuk tidur kamu tasbih, takbir dan tahmid kepada-Nya sebanyak 100 kali. Jadi jumlahnya menurut lisan ialah 250 kali, tapi dalam timbangan 2500 kali. 3) Maka siapa benar di antaramu yang melakukan kejahatan sebanyak 2500 buah dalam sehari-semalam?" Ujar mereka: "Jadi bagaimanakah kalau orang melakukan hanya sedikit?" Ujar Nabi: "Yah, mungkin setan mengunjungi salah seorang di antaramu waktu shalat, lalu diingatkannya keperluan ini dan itu, hingga ia tak jadi membacanya,dan dikunjungilah pula di waktu malam lalu dininabobokannya hingga tak jadi pula dibacanya." Kata Abdullah pula: "Saya lihat Rasulullah saw menghitungnya dengan tangannya." (HR Abu Daud dan Turmudzi dan katanya hadits ini hasan lagi shahih)

12. Diterima dari 'Ali ra, - ia sendiri datang bersama Fatimah ra - bahwa mereka datang untuk mencari khadam yang akan membantu mereka dalam pekerjaan. Nabi saw keberatan atas hal itu, lalu bersabda pada mereka:

Artinya:

"Maukah saya tunjukkan kalian hal yang lebih baik dari apa yang kalian minta itu?" Ujar mereka: "Mau!" Maka sabda Nabi saw: "Yaitu beberapa kalimat yang telah diajarkan kepadaku oleh Jibril as: kalian baca tasbih setiap selesai shalat 10 kali, tahmid 10 kali, takbir 10 kali pula. Kemudian bila kalian masuk tidur, tasbihlah pula sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali!" "Demi Allah!" kata 'Ali, "tak pernah saya meninggalkannya semenjak diajarkan oleh Nabi saw itu."

13. Dari 'Abdurrahman bin Ghanam, bahwa Nabi saw bersabda:

Artinya:

"Siapa yang membaca sebelum ia bersila dan berpaling dari shalat Maghrib dan Subuh: 'La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, lahu'l mulku walahu'l hamdu, biyadihi'l khairu yuhyi wa yumit, wahuwa 'ala kulli syai'in qadir'. (Tiada Tuhan melainkan Allah, Tunggal tiada berserikat, bagi-Nyalah kerajaan dan puji-pujian, di tangan-Nya kebaikan, Yang menghidupkan dan mematikan, serta Ia Kuasa atas segala sesuatu), sebanyak sepuluh kali, maka dicatatlah ganjaran untuk setiap kalinya sepuluh pahala, dan dihapus sepuluh buah dosa, dinaikkan derajatnya sepuluh tingkat dan di samping doa itu menjadi penangkal bagi segala bahaya, dan penolak setan terkutuk, dan tak satu dosa pun yang akan dapat mencelakakannya kecuali jika syirik. Maka ia adalah orang yang terbaik amalannya, tak ada yang melebihinya kecuali orang yang lebih utama yaitu yang mengucapkan yang lebih baik pula." (HR Ahmad, sementara Turmudzi meriwayatkan yang hampir bersamaan dengan itu tanpa menyebutkan "biyadihi'l khair")

14. Dari Muslim bin Harits yang diterimanya dari bapaknya, bahwa Nabi saw mengatakan kepada bapaknya itu:

Artinya:

"Jika kamu melakukan shalat Subuh, maka ucapkanlah sebelum berbicara dengan siapa pun: 'Allahumma ajirni mina'n nar'! (Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka) sebanyak 7 kali, karena jika kebetulan kamu meninggal pada hari itu, maka Allah pasti akan melindungimu dari api neraka. Dan jika kamu shalat Maghrib, maka bacalah sebelum bicara dengan seorang pun: 'Allahumma inni as'alukal jannah! Allahumma ajirni mina'n nar'! (Ya Allah, mohon dimasukkan daku ke dalam surga! Ya Allah, lindungi daku dari api neraka) sebanyak 7 kali, maka jika kebetulan kamu meninggal pada malam itu, niscaya Allah 'Azzawa Jalla, akan melindungimu dari api neraka!" (HR Ahmad dan Abu Daud)

15. Abu Hatim meriwayatkan bahwa Nabi saw sewaktu hendak berpaling dari shalatnya membaca:

Artinya:

"Allahumma ashlih li di-ni alladzi huwa 'ishmatu amri, wa ashlih dun-yaya-allati ja'alta fiha ma'asyi. Allahumma inni a'udzu biridhaka min sakhatika, wa a'udzu bi'afwika min niqmatika, wa a'udzu bika minka, la mani'a lima a'thaita, wala mu'thiya lima mana'ta, wala yanfa'u dzal jaddi minka'l jad. (Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang menjadi benteng segala urusanku, dan perbaikilah duniaku, tempat aku menumpangkan kehidupanku! Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu serta aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa hukuman-Mu, serta aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Tiadalah yang dapat menahan apa-apa yang Engkau berikan, sebaliknya tiadalah yang dapat memberi apa-apa yang Engkau tahan, dan taklah akan bermanfaat bagi orang yang mempunyai kebesaran, kebesarannya itu)."

16. Bukhari dan Turmudzi telah meriwayatkan bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash selalu mengajarkan kepada anak-anaknya kalimat-kalimat berikut, tak ubah bagai seorang guru mengajar murid-murid menulis, seraya katanya bahwa Rasulullah selalu berlindung dengan itu setiap selesai shalat, yakni:

Artinya:

"Allahumma inni a'udzu bika mina'l bukhli, wa a'udzu bika mina'l jubni wa a'udzu bika min an uradda ila ardzali'l umr, wa a'udzu bika min fitnati'd dun-ya, wa a'dzu bika min 'adzabi'l qabri. (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat bakhil, aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut, dan aku berlindung pada-Mu akan dilanjutkan umur sampai tua - pikun, dan aku berlindung pada-Mu dari cobaan dunia, serta aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur)."

17. Abu Daud dan Hakim telah meriwayatkan bahwa Nabi saw membaca setiap selesai shalat:

Artinya:

"Allahumma 'afini fi badani, allahumma 'afini fi sam'i, allahumma 'afini fi bashari! Allahumma inni a'udzu bika mina'l kufri wal faqri, allahumma inni a'udzubika min 'adzabi'l qabri, la ilaha illa anta. (Ya Allah, sehatkanlah tubuh jasmaniku, ya Allah sehatkan pendengaranku, ya Allah sehatkan penglihatanku! Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kekafiran dan kefakiran. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur. Tiada Tuhan melainkan Engkau)."

18. Imam Ahmad, Abu Daud dan Nasa'i telah meriwayatkan dengan salah seorang sanadnya yang lemah bernama Daud Thafawi dari Zaid bin Arqam, bahwa Nabi saw membaca setelah selesai shalat:

Artinya:

"Allahumma rabbana wa rabba kulli syai-in, ana syahidun annakar rabbu wahdaka la syarika laka. Allahumma rabbana wa rabba kulli syai-in, ana syahidun anna Muhammadan, 'abduka wa rasuluka. Allahumma rabbana wa rabba kulli syai-in, ana syahidun anna'l ibada kulluhum ikhwah. Allahumma rabbana wa rabba kulli syai-in ij'alni mukhlishan laka wa ahli fi kulli sa'atin mina'd dun-ya wa'l akhirah, ya dza'l jalali wa'l ikram, isma' wastajib. Allahu Akbaru'l Akbar nurussamawati wa'l ardhi Allahu Akbaru'l Akbar, hasbiyallahu wani'mal wakil. Allahu Akbaru'l Akbar. (Ya Allah Tuhan kami dan Tuhan dari segala sesuatu! Aku mengakui bahwa Engkaulah Tuhan, Tunggal tiada berserikat. Ya Allah Tuhan kami dan Tuhan dari segala apa pun! Aku mengakui bahwa Muhammad itu hamba dan utusan-Mu. Ya Allah Tuhan kami dan Tuhan dari segala sesuatu! Jadikanlah aku tulus-ikhlas kepada-Mu, begitu pun keluargaku, pada setiap saat, baik di dunia maupun di akhirat! Ya Tuhan Empunya kebesaran dan kehormatan! Dengarlah kiranya dan perkenankanlah! Allahlah Yang Teragung dari semua yang teragung. Cahaya dari langit dan bumi! Allah Yang Teragung dari segala yang agung)."

19. Ahmad, Ibnu Syaibah dan Ibnu Majah, telah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan seorang di antara sanadnya tidak diketahui, bahwa Nabi saw membaca doa bila ia shalat Subuh selesai memberi salam:

Artinya: "Allahumma inni as'aluka 'ilman nafi'a wa rizqa'w wasi'a, wa 'amala'm mutaqabbala. (Ya Allah, aku mohon diberi ilmu yang bermanfaat, rezeki yang lapang, dan amalan yang makbul)."
----------
1) "Qul huwallahu ahad", termasuk dalam mu'awwadzat
2) Maksudnya dosa-dosa kecil
3) Karena kebajikan itu diberi ganjaran 10 kali lipat.

 

(c) Copyright 2002 Abdur Rahim