Bab 3
Tidak Ada Mie Instant
Saya pernah bertanya kepada beberapa teman mahasiswa
semester akhir "Apa tujuan kalian setelah kuliah ini selesai dan
kalian jadi sarjana?" "Yaa jelas kerja dong...." ini jawaban spontan.
"Kerja apa dan di mana?" "Apa saja, kalau bisa sih yang sesuai dengan
bidang saya. Kalau nggak dapat, pekerjaan lain juga tidak masalah.
Yang penting kerja dan dapat gaji."
Maksudnya jelas, mereka akan mencari kerja di perusahaan
siapa saja dengan pekerjaan apa saja kalau tidak ada yang pas, yang
penting dapat gaji, uang. Itu adalah cita-cita kata mereka. Selama
saya ngobrol dengan teman-teman mahasiswa jarang sekali saya
mendapatkan jawaban, bahwa setelah kuliah ini mereka akan membuat
atau menciptakan sesuatu. Menjadi peneliti tentang pendidikan misalnya,
kemudian merombak sistem pendidikan yang sering dikatakan oleh para
pakar pendidikan sebagai tidak betul, tetapi si pakar itu sendiri
tidak pernah membetulkan.
Atau misalnya menjadi seorang pencipta dan penemu
yang berhubungan dengan pendidikan formalnya, katakanlah seorang
Sarjana Ekonomi jurusan manajemen yang menjadi penemu suatu sistem
manajemen terbaru, yang bisa mengatasi kesenjangan manajemen di
suatu kantor yang khas sistem keluarga. Atau seorang lulusan akuntansi
yang menemukan suatu sistem tertentu untuk menangkal pungli dan
praktek under the table.
Penemu, pencipta, dan peneliti biasanya justru menjadi
pekerjaan para pengangguran yang terpaksa mengaku diri sebagai peneliti,
pencipta, dan penemu supaya tidak dikatakan pengangguran. Para fresh
graduate lebih senang menjadi kuli untuk membenarkan ungkapan
yang ada di zaman penjajahan, een volk van koelis en koeli onder
de volken!
Bila ditanya mengapa kok begitu, jawabannya pasti
seragam, masalah modal dan pengalaman. "Saya kan nggak punya
modal." "Saya kan nggak punya pengalaman." Itulah ungkapan
golongan ekonomi bawah. Bagi yang kelas ekonominya agak ke atas,
jawabannya juga seragam, "Ayah kan udah udzur, jadi kita dong yang
mesti menggantikan ayah mengurus usaha keluarga." Susah-susah sekolah
sampai ke Amerika, setelah pulang cuman jadi bos bengkel mobil atau
ngurusin perusahaan angkutan truk kelas lokal.
Mahasiswa kita dididik oleh para profesor dan para
pakar yang memakai sistem dogma, betul salah, dan memorisasi. Jadi
tidak salah kalau mereka lulus dan memulai hapalannya dengan "mencari
kerja" sebagai kuli dan bukan penemu. Para pakar mengatakan dengan
bahasa halus bahwa mahasiswa kita tidak siap pakai. Memangnya mau
dipakai untuk apa? Apa ungkapan "tidak siap pakai" itu tidak salah?
Bila para mahasiswa tadi seharusnya siap pakai, apa itu tidak berarti
menjadi kuli? Apa kita memang produsen kuli dan ditakdirkan
untuk menjadi bangsa kuli seperti ungkapan kuno itu? Kalau para
pakar mengetahui bahwa mahasiswa "tidak siap pakai", mengapa mereka
tidak berusaha mengubah tatanan pendidikan yang diajarkannya agar
para mahasiswa itu "siap pakai", sehingga paling tidak bisa menciptakan
kuli yang tidak nganggur?
Lalu muncullah jawaban klise dari para pakar, "Mengubah
struktur atau sistem pendidikan itu bukan hal mudah, harus melewati
prosedur dan birokrasi, kita tidak bisa seenaknya mengubah sesuatu
yang sudah mapan begitu saja...."
Kalau para pakar tetap dengan budaya prosedur, birokrasi,
dan minta petunjuk, mohon perkenan, sampai kapan pun keadaan tetap
sama. Mengubah struktur dan sistem pendidikan bukanlah seperti yang
sering dikatakan para pakar di forum seminar dan lokakarya di hotel
mewah atau ruang pertemuan bergengsi lembaga pendidikan. Mengubah
struktur dan sistem pendidikan dimulai dengan mengubah cara berpikir
para pendidik itu sendiri dan cara berpikir kita dengan pola yang
tidak didominasi oleh otak kiri. Bukan dengan mengubah anak didik
kita atau mengubah kurikulum melalui seminar dan lokakarya.
Mengubah cara berpikir kita sendiri yang berprofesi
pendidik adalah terutama dan terpenting. Ini sama sekali tidak berkaitan
dengan soal gaji guru yang kecil dan masih dipotong sana sini, juga
tidak berurusan dengan kondisi politik atau siap presiden atau menteri
pendidikannya. Ini hal yang sangat pribadi, sangat personal, tiap
orang bersedia dan mau mengubah cara berpikir dirinya sendiri. Itu
saja sudah lebih dari cukup. Bila dulu seorang guru berpikir menjadi
guru adalah sebuah pekerjaan, sekarang ubahlah pikiran itu bahwa
menjadi guru adalah sebuah misi, sebuah kebahagiaan meskipun harus
dijalani dengan banyak keprihatinan. Ini kurang lebih sama dengan
pengabdian abdi dalem kraton di Jawa Tengah. Pengabdian adalah sebuah
anugerah, derita fisik dan materi bukanlah apa-apa dibandingkan
dengan kesempatan mengabdi kepada raja.
Bila profesi guru, dosen, dan pengajar masih menjadi
sebuah pekerjaan dan bisnis, selama itu pula mahasiswa kita akan
lulus dengan titel "tidak siap pakai". Profesi guru, dosen, dan
pengajar seharusnya menjadi sebuah ritual yang menciptakan kebahagiaan
dan kualitas hidup bagi pelakunya. Itulah upah pokok seorang guru,
dosen, atau pengajar!
Sekolah di luar negeri bukanlah solusi selama tatanan
dan pola pikir sedari lahir sampai menjelang dewasa tetap dengan
tatanan khas yang kita dapatkan secara umum di negara kita.
Dominasi otak kiri kita sudah berjalan cukup lama
melewati beberapa generasi, ini diturunkan dan diwariskan lewat
berbagai cara secara intensif detik demi detik oleh rata-rata masyarakat
kita. Apakah itu bisa berubah begitu saja secara instant melalui
pembelajaran atau perubahan kurikulum?
Kebiasaan menghapalkan pelajaran atau diktat (yang
gunanya dalam kehidupan patut dipertanyakan), sadar tidak sadar
melekat kuat bagai lintah. Kebiasaan bermatematika ria setiap saat
di setiap celah kehidupan, apa pun itu, juga cukup erat bagai sebuah
kebudayaan dan kultur. Bahkan kepada Tuhan pun masyarakat kita sangat
sering bermatematika-ria, bila hari ini saya berbuat sesuatu yang
kurang lebih berdosa atau melanggar sesuatu larangan menurut kitab
suci, maka saya harus berdoa begini atau berbuat begitu supaya dosa
tersebut diampuni. Soal individu lain yang kita rugikan melalui
perbuatan yang tadi kita mintakan pengampunannya itu, apakah kita
juga akan minta maaf dan mengganti kerugian? Tidak perlu karena
kita sudah "diampuni" Tuhan. Benarkah demikian?
Manusia berdoa demi untuk sebuah kapling di surga,
dan ini adalah kenyataan yang kita lihat sehari-hari. Manusia sudah
berbisnis dengan Tuhan. Dan Tuhan menjadi pengusaha properti berlabel
The Heaven Real Estate. Untuk ini hampir semua unsur dan
berbagai sektor kehidupan harus ikut bertanggung jawab. Keadaan
seperti ini tidak mungkin kita ubah secara instant menjadi baik
dan menjadi lebih seimbang cara berpikirnya. Saat ini ada puluhan
juta orang Indonesia menjadi pengangguran, sementara para pejabat
serta pakar berkoar soal iklim yang kondusif - bagaimana menarik
investor, bagaimana mendapatkan utang luar negeri dan IMF. Reformasi
dan demokrasi sekarang artinya menjadi lain dan sangat bias: bebas
menjarah, bebas membakar-bakar, boleh berdemo di mana saja, boleh
memaki-maki siapa saja, boleh membakar hidup-hidup seorang pencuri
ayam atau sepeda motor. Dan, ini anehnya, di balik itu semua kita
berusaha mendapatkan label sebagai manusia religius.
Mengubah cara berpikir bukanlah dengan agama atau
kurikulum tetapi dengan mengubah diri, melakukan perjalanan ke
dalam diri dan mengenal spiritualitas sebagai spiritualitas.
Ini hal yang sulit karena kita harus berani belajar
tanpa lembaga, tanpa titel, dan tanpa harapan akan mendapatkan apa-apa.
Tindakan ini suatu perjalanan petualangan yang akan menempuh gurun
pasir terpanas, sungai dan lautan terganas, tapi juga sekaligus
sebuah hutan misterius yang begitu alamiah dan wangi khas hutan.
Tanpa harapan adalah hal terpenting yang akan menjadi
tajuk awal perjalanan kita. Yang selanjutnya adalah pemahaman pada
proses dan ketidakpedulian pada hasil akhir. Ini adalah deretan
syarat untuk memulai perjalanan panjang tentang pemberdayaan diri
dan mengembangkan kemampuan otak kanan.
Apakah anda siap untuk memulai perjalanan ini? Bacaan
ini tidak akan menjadikan anda orang hebat atau sukses dalam segala
bidang, apalagi seorang pintar yang jenius. Penulisnya pun bukan
orang istimewa yang pintar dan jenius. Tulisan ini dibuat sebagai
sebuah catatan perjalanan, sebuah catatan harian dan memoar untuk
mengenang perjalanan panjang yang belum selesai.
Bacaan dan tulisan hanya akan menggelitik anda untuk
memulai perjalanan dan kemudian menemani di sepanjang perjalanan
itu. Bukan membimbing! Bukan! Bila diinginkan label yang lebih jelas,
paling-paling tulisan ini hanya akan menjadi seorang pelayan, seorang
pembantu yang siap melayani anda di dalam perjalanan. Karena ini
saya akan menunggu anda memulai perjalanan yang tidak bisa instant
ini.
<< Memahami
Otak dan Pemancar Pikiran || Pemahaman
dalam Pose dan Gerak >>
|