BACK               FOTO     Koran INDOPOS           Edwin: Fotografi Merubah Hidup Saya                JULI: Perjalanan Hidup

BAGAIMANA FOTOGRAFI MENGUBAH HIDUP SAYA

edwin@djuanda.com

 

Hobi fotografi telah saya tekuni sejak 1969, semasa masih SMA. Saat itu saya sangat hobi memelihara ikan hias. Saking cintanya, saya memerlukan kamera yang bagus untuk mendokumentasikan ikan-ikan kesayangan saya. Suatu saat saya melihat iklan Canon FT di Newsweek, saya katakan pada ayah (kami memanggilnya ¡§daddy¡¨), wah kamera ini tampaknya bagus. Pada waktu beliau ke luar negeri, rupanya beliau beli. Lensanya juga cukup kuat: 50mm1:1,8. kamera SLR (single lens reflex). Kamera ini benar-benar cocok untuk saya karena bisa memotret close-up dan apa yang nampak di viewfinder akan 100% sama dengan apa yang direkam oleh film. Saat itu ayah saya memang memiliki Yashica yang digunakan selama tugas belajar di Amerika Serikat (1959-1960), yang kemudian diganti dengan  Canon 7 yang lensanya 1:0,95. Terus terang, kamera ayah tidak pernah saya pakai, karena sejak 1966 saya sudah memiliki Canon Dial35, kamera half-frame yang saya beli di Singapura. 

Saat itu setiap liburan, saya pergi ke Singapura untuk menemani sepupu saya, anak-anak Masagung yang sekolah disana. Mereka memiliki flat (sekarang namanya apartemen) di daerah Katong, tepi pantai. Yang kami lakukan setiap hari adalah mencari cacing laut di pasir untuk memancing. Pelbagai ikan kami pancing setiap hari, yang paling banyak adalah ikan sembilang. Ikan ini durinya tajam-tajam. Tetapi kami sudah pandai memegang ikan ini sehingga telapak tangan tidak tertusuk. Kadang-kadang kami mendapat ikan ¡§buntel¡¨ (blow-fish) yang bisa mengembungkan dirinya  sambil mengeluarkan bunyi seperti kodok . Ikan ini sangat beracun, tidak boleh dimakan.

 BELAJAR CETAK FOTO SENDIRI 

Cuci cetak foto saya kirim ke Globe di jalan Sabang, atau pada satu studio kecil di PrincenPark (sekarang Lokasari). Hampir setiap malam saya ke Lokasari, karena ayah praktek di seberangnya, Jalan Mangga Besar Raya no.66. Nah studio foto kecil itu menjual bubuk obat cuci-cetak foto seperti developer dan fixer. Si engkoh berbaik hati mau menjualkan beberapa lembar kertas foto AGFA, tidak perlu beli 1 kotak isi 100. Bermodal 1 buku cuci cetak foto yang saya beli di pinggir jalan, saya mulai menyiapkan alat-alat: lampu meja yang bisa di on-off, obat-obatan foto yang sudah dilarutkan dan dimasukkan dalam botol bir dan lampu merah supaya kertas foto tidak rusak. Karena tidak memiliki tray, obat foto saya letakkan pada piring makan. Kamar tidur disulap menjadi kamar gelap, sambil menunggu malam hari supaya benar-benar gelap. Menurut buku, gelapkan ruangan, taruh kertas foto dengan emulsi menghadap ke atas, tumpuk dengan ¡§klise¡¨ yang mau dicetak dan diatasnya ditutup dengan kaca supaya tidak bergerak. Kemudian lampu meja dinyalakan selama 20-30 detik. Selesai pencahayaan , saya masukkan kertas foto ke dalam developer, ternyata kertas langsung menjadi hitam, takjub, tetapi kok jadi hitam pekat, mana gambarnya? Berulang-ulang saya lakukan, hasilnya tetap sama. Besoknya saya memamerkan kepada setiap orang hasil cetakan yang hitam pekat, semua dengan cerita yang sama: kertas ini tadinya putih lho, setelah saya kasih sinar, dicuci (developing) bisa jadi hitam. Padahal saya tetap berpikir bagaimana caranya supaya bisa jadi ¡§foto yang baik¡¨ bukan jadi kertas hitam. Maklum otodidak, tidak punya guru. Akhirnya saya mendapatkan kesimpulan. Kalau kertas yang tadinya putih bisa menjadi hitam setelah kena cahaya, pasti bisa saya atur supaya tidak sempat jadi hitam, kalau begitu saya akan mencahayainya sesedikit mungkin, selama beberapa detik saja. Ya, keliatannya ide solusi  sudah mantap namun saya harus menunggu malam hari lagi untuk mulai bekerja mencetak foto. Malam tiba, kali ini saya benar benar siap untuk memberi cahaya sesedikit mungkin. Lampu saya nyalakan, langsung saya matikan! Kira-kira cuma 1 detik, ternyata ¡Kberhasil! Foto keluar dengan gradasi abu-abu yang baik, tidak hitam pekat seperti malam sebelumnya. Besoknya proyektor slides ayah saya bongkar menjadi ¡§enlarger¡¨ darurat, supaya saya bisa memperbesar foto. Itulah pertama kalinya saya mencetak foto tanpa bimbingan guru. Di kehidupan selanjutnya, saya banyak melakukan hal secara otodidak, cukup dengan membaca buku, saya berani mencoba dan mempraktekkan.

 Tahun 1969 ini pulalah, saya ditemani saudara saya membeli enlarger  merek Cherry di toko Saratown. Sebelum di-Inggriskan, nama toko tersebut ¡§sarangtawon¡¨. Didalamnya ada 2 stand kecil yang menjual peralatan fotografi; 1 milik oom Tan (ahli kamera antik) dan 1 lagi milik Amet Suteja (sekarang pemilik Standard Photo).

 MENCARI NAFKAH DI FOTOGRAFI

 Fotografi memberikan arti penting dalam  hidup saya, karena saya cukup lama mendapatkan nafkah dari fotografi. Semua diawali dengan kemauan untuk kerja keras. Mendapatkan ide dari kartu ucapan yang saya beli di Belanda, saya memproduksi kartu ucapan kosong dengan foto orisinal yang dicetak pada kertas foto. Di bawah tiap foto ada tandatangan saya yang sudah dicetak. Setiap foto saya trim rapi dengan cutter dan ditempelkan  satu persatu secara manual. Selalu saya kerjakan sendiri, sekaligus mengontrol kualitas. Kartu di kemas dalam amplop dan diberi lagi plastik/mika. Kartu ini saya titip jual di Duty Free Store Gunung Agung dengan harga US $ 1.00/ kartu. Juga saya titip jual di airport Bali, dan toko kecilnya pelukis Benny Setiawan di Hotel Borobudur. Bila mendekati hari raya, juga saya titipkan di TB Gramedia Jakarta. Bertahun-tahun jualan foto semacam ini mempertajam instink saya, mana foto yang akan laku dan mana yang tidak laku.

 Bila sudah mendekati hari raya seperti Tahun Baru, penjualan kartu ucapan meningkat tajam. Betul-betul panen! Penghasilan saya dari penjualan kartu lebih besar dari penghasilan saya sebagai dokter umum. Beberapa tahun kemudian, bersama sahabat saya Dicky Wp (alm), kami mendirikan suatu ¡§bank slides¡¨ Dipa Photo Agency yang sekarang sudah dibubarkan.  

Pengalaman yang berkesan dalam kehidupan fotografi saya adalah pada waktu mengikuti pameran foto ¡§Matahari dan Alam Indonesia¡¨ di Hotel Sari Pacific tahun 1984. Ternyata ada orang bule yang rupanya selalu membeli kartu saya, dikoleksi, kemudian di bingkai. Pada waktu saya pameran, beliau membawa beberapa foto saya yang sudah di rangkai dalam bingkai dan meminta tanda tangan saya . First autograph in my life!

 BERTEMU ISTERI JUGA DI FOTOGRAFI 

Awal perkenalan dengan isteri saya Juli adalah dalam suatu sesi fotografi. Tahun 1978 di Lembaga Fotografi Candra Naya (LFCN). Sebagai anggota klub foto, kami memiliki kegiatan hari selasa malam, 2 kali sebulan. Selasa pertama untuk pemotretan model, Selasa ketiga untuk diskusi foto. Para model yang dipilih adalah model amatir yang diberikan imbalan berupa foto. Biasanya sang model hanya sekedar hobi, ingin menjajal bakat atau bagian dari meniti tangga popularitas.  

Terus terang sebagai pria muda, sudah biasa kalau kita juga mencari-cari, kalau-kalau ada model cantik yang mungkin bisa menjadi pacar atau calon istri. Entah bagaimana, saya kok tertarik ingin mengenal model yang satu ini lebih lanjut. Apalagi saya mendengar rumor bahwa sang gadis masih kuliah di fakultas kedokteran gigi dan kakak iparnya adalah anggota LFCN juga (drs Monti Kodrata). Dengan alasan mengantarkan foto, saya berhasil mendapatkan alamat sang gadis di HangLekir, rumah kost dekat tempat kuliahnya di FKG Prof Dr.Moestopo. Saya memberanikan datang sendirian (sebelumnya sudah minta waktu untuk bertemu lewat telepon).  

Saat itu saya baru lulus dokter dan pengangguran, pacar udah gak punya, istilah sekarang ¡§jomblo¡¨. Saya berusaha datang beberapa kali dan ternyata ada cowo lain juga yang datang! Memang sih dengar-dengar cewe yang saya taksir ini udah punya teman dekat (ternyata banyak), tetapi apa salahnya kalau saya juga maju terus. Soalnya saya memang bukan cuma mau cari pacar, tetapi saya mau cari istri. Nah yang ini kayaknya pas buat saya: cantik dan berpendidikan.

Bukalah mata Anda lebar-lebar sebelum menikah.

Tutuplah mata Anda sebelah setelah menikah. (Roma 12:10)

 Karena sering-sering berusaha mampir dan rajin melakukan pdkt (pendekatan, red) lewat telepon, lama-lama saya lebih mengenalnya. Rupanya banyak teman cowonya yang sering membawakan makanan, buah dsb dalam jumlah berlebih, biasanya dinikmati anak kost satu rumah.  Terpaksa saya memasang strategi: saya malahan cuma membawa  1 bakpao  untuk dinikmati berdua. Kan lebih ¡§private¡¨ dan lebih romantis. Cara ini  tampaknya berhasil.  

Juli kost dengan beberapa temannya . Salah satu teman sekamarnya (Siska), bahkan berhasil kami jodohkan dengan teman saya dari fotografi (Bram) dan tetap langgeng sampai sekarang. 

Kalau ditanya teman Juli yang punya andil dalam hubungan kami berdua adalah drg.Lidya, sobat karibnya, satu-satunya teman yang memberikan pendapat bahwa tampaknya Edwin lebih ok daripada calon lain. Setelah agak dekat (belum pacaran sih),  saya pun memerlukan second opinion dari sahabat fotografi yang adik isterinya sekelas dengan Juli dan sudah mengenal Monti lama sejak bersama-sama di Surabaya, yaitu Ir Marius Satari Oei (migrasi ke Amerika Serikat sejak 1978). Alasan meminta pendapat Satari adalah saya tidak mau gagal cinta. Selain meminta pendapat, saya juga belajar sedikit jurus-jurus menghadapi wanita yang sifatnya seperti wanita yang saya taksir, dan ternyata berhasil. Rupanya sang ¡¥guru¡¦ tidak merasa menggurui, tetapi saya dapat mengambil beberapa point penting dalam pembicaraan kami yang cuma 1 kali tersebut. Proses pendekatan mungkin adalah suatu proses yang paling indah dan menarik dalam kehidupan.

Setelah merasa bahwa Juli pun tertarik kepada saya, saya harus melaporkannya pada kedua orangtua saya (maklum kan udah jadi dokter, tinggal tunggu nikah aja). Mungkin cara saya agak salah, yang saya tunjukkan pertama kali adalah majalah dimana Juli menjadi ¡¥covergirl¡¦, sambil mengatakan ini pacar saya. Rupanya saat itu profesi sebagai foto model memberikan konotasi kurang baik. Saya jelaskan bahwa ia mahasiswi, sudah saya selidiki latarbelakangnya dsb, akhirnya Mami mulai percaya dan mengutus adiknya, tante Yoki untuk mengenal lebih lanjut sang calon mantu.

 

The more you judge, the less you love. (Honore de Balzac)

 

MEMILIH TANGGAL PERNIKAHAN 

Waktu berjalan terus, setelah mendapatkan restu dari orangtua kami lebih sering bersama. Pada waktu itu saya sering menggunakan mobil Fiat 125 biru dengan nomor B43Z, dan pertama kali kita makan berdua di Bakmi Gajah Mada blok M, siang hari. Nonton film berdua yang pertama kali adalah di bioskop Menteng (sekarang Mario¡¦s Place), filmnya ¡§the Sting¡¨. Cerita filmnya lupa, abis banyakan sibuk berdua sih, tapi lagunya masih ingat. Juli juga menggunakan kendaraan sendiri, sepeda motor Honda bebek pinjaman dari kakaknya Drs.Anton Setiadi. Tetapi praktis sepeda motornya bukan untuk kuliah, karena kuliahnya tinggal jalan kaki.

 Saya mengatakan pada Juli kalau mau menjadi istri saya, harus bisa mengambil alih semua pekerjaan penting termasuk harus bisa menyetir mobil. Ini saya jadikan syarat karena beberapa bulan sebelum lulus dokter, saya sakit dan dilarang untuk menyetir mobil selama beberapa bulan. Jadinya Juli saya ajarkan menyetir mobil. Saya gunakan mobil Datsun 120Y, B1952EN, buatan tahun 1975. Dasar pintar, tidak sampai beberapa jam, Juli sudah bisa menguasai setir dan berani lari 120 km/jam di jalan tol. Dengan mobil Datsun ini pula saya bersama kakak saya dr.Anggraini (Hanny) dan drg.Wilya memenangkan 3 kali rally mobil IDI cabang Jakarta. Terakhir pada waktu bertugas di Balikpapan (1990), setelah di ¡§facelift¡¨, mobil ini di kirim dengan kapal laut ke Balikpapan, saat usianya mencapai 15 tahun (!), dan tetap di tinggal di Balikpapan setelah saya kembali ke Jakarta (1992).  

Merasa banyak kecocokan, dengan cepat kami bertambah dekat. Semua dilakukan dalam gerak cepat, kamipun menentukan hari pernikahan catatan sipil yaitu 23 Oktober 1979 tepat di ulang tahun saya ke 25. Saat itu tidak terpikir saat 25 tahun yang akan datang , usia saya menjadi ¡§magic number 25+25¡¨ . Alasan pemilihan pas HUT juga  sangat sederhana: daripada repot mengingat tanggal lain.  Sampai saat inipun kami berdua adalah orang yang praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Saat itu saya sudah bekerja di puskesmas Harapan Mulia, Kemayoran, dengan enteng saya berpesan pada para suster:¡¨ Besok saya gak masuk sehari ya, mau nikah¡¨. Kami tidak mengundang banyak orang, hanya kerabat, dan untuk pemberitahuan kami memasang iklan 2 kolom di Kompas: ¡§Menikah catatan sipil Juliati Setiadi dengan dr.Edwin Djuanda, Jakarta 23 Oktober 1979¡¨. Seperti juga undangan ¡§Silver Anniversary¡¨ 2004 yang di disain sendiri (kali ini dibantu anak Stefani Rachel), iklan 1979 tersebut saya disain sendiri dengan memotret setangkai mawar dan memindahkan dengan cara menggosok satupersatu huruf ¡§rugos¡¨ pada kertas foto.  

Selesai acara di Kantor Catatan Sipil (lokasinya sekarang dekat Cafe Batavia), ada kebaktian dan tukar cincin dipimpin Pendeta Samuel Messah (almarhum) dan makan-makan di rumah orangtua saya di jalan Riau. Resepsi pernikahan baru dilakukan di bulan Agustus tahun berikutnya, juga tidak mewah, di Balai kota DKI. Saat itu ada aturan dari Presiden Soeharto untuk pola hidup sederhana: pegawai negeri dilarang pesta kawin di hotel-hotel mewah dan mobil-mobil mewah dilarang berseliweran di jalan raya. Jadi banyak yang punya mercy luks hanya dipajang dalam rumahnya saja.

 

Marriages are made in heaven and comsummated on earth. (French Proverb)

 BILA FOTOGRAFER NIKAH 

Ceritanya pasti beda dengan pernikahan biasa, karena  saya tidak perlu memanggil fotografer, semua berebut menyumbangkan tenaga untuk membuatkan foto-foto pada waktu nikah. Tidak kurang dari 4 fotografer menyumbangkan keahliannya: Dicky Wp (alm), drg.Wilya , ir.Bram Lukito dan Budi Karim. Dicky Wp menjadi pengarah gaya, sekalian membuatkan film super-8 dan mengambil foto menggunakan kamera format besar dengan Hasselblad. Budi Karim dan Bram mengambil foto hitam putih. Karya foto mereka semua tidak kalah dengan karya fotografer candid sekarang. 

MENGAPA FOTOGRAFI MENJADI HOBI

 Kalau ditanya mengapa hobi fotografi seakan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan saya. Jawabannya adalah memang fotografi adalah bagian dari kehidupan setiap manusia.  Bayangkan suratkabar tanpa foto, televisi tanpa film atau KTP tanpa fotodiri kan sesuatu hal yang tidak mungkin. Saya beruntung menggeluti dunia fotografi sehingga boleh dikata ¡§several steps ahead¡¨ dibandingkan dengan para fotografer amatir sekarang yang kerap membuat foto dengan handphone masing-masing. Kesukaan saya adalah fotografi alam. Ini disebabkan karena saya suka akan keindahan dan ketenangan. Fotografi membuat kita bisa menatap ulang keindahan tersebut dan ¡¥sharing¡¦ dengan kawan lain.

 Kegunaan lain adalah untuk mendokumentasikan kehidupan kita sehari-hari terutama perkembangan anak. Ketiga anak saya: Delilah Vanessa, Stefani Rachel dan Raissa Edwina termasuk beruntung  karena mereka memiliki banyak foto sejak bayi sampai dewasa. Selain itu mereka juga memiliki rekaman video. Sebelum menggunakan kamera video, saya menggunakan kamera film Super-8 (sejak 1969!) dan pernah bercita-cita menjadi cinematographer. Kawan baik saya, Dicky Wp (alm.) selalu meminjamkan kamera video betamax profesionalnya (bila sedang tidak digunakan) dan mendorong saya untuk rajin merekam perkembangan kehidupan anak sejak kecil. Dokter Budi, senior saya di LFCN yang ahli foto hitamputih mengatakan bahwa dia secara berkala mengambil foto anaknya dan secara diam-diam dikumpulkan dalam satu album yang akan diserahkannya saat sang anak menikah.

 THE ART OF SEEING

 Buku fotografer Andreas Feininger merupakan buku andalan saya tentang fotografi. Salah satunya berjudul ¡§seni melihat¡¨. Bagi orang biasa mungkin suatu pemandangan tiada berarti apa-apa, tetapi bagi seorang seniman, pemandangan yang sama yang dilihat melalui kacamata ¡§seni¡¨ bisa merupakan suatu karya seni yang indah. Bertahun-tahun saya mengikuti lomba-lomba foto, sering menjadi juara dan juga pernah lulus ujian Associate dari Royal Photographic Society (A.RPS) London, juga mendapatkan penghargaan sebagai Artis Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia (A.FPSI). Seni melihat adalah penting. Seorang fotografer dituntut untuk dapat  melihat dengan ¡¥mata kamera yang objektif¡¦ bukan dengan mata manusia yang subyektif. Dengan fotografi saya belajar untuk objektif. Dalam pekerjaan saya sehari-hari untuk memperindah wajah seseorang, sayapun harus objektif. Demikian pula dengan penguasaan teori dan teknik keindahan seperti ¡§rule of third¡¨ ¡§golden triangle¡¨, balans komposisi, balans warna, dsb. Karena sudah dilatih bertahun-tahun, semua pertimbangan tersebut seakan sudah menjadi mekanisme otomatis dalam pola pikir saya. Fotografi juga membantu saya mendokumentasikan kondisi pasien sebelum dan sesudah tindakan, selain sangat berguna bagi rekaman medis, juga berguna untuk melihat hasil pengobatan secara objektif. Lebih penting lagi, penguasaan fotografi membuat saya lebih mudah beradaptasi dalam era informasi, misalnya kemudahan dalam hal memberikan presentasi ataupun membuat sendiri pelbagai websites yang sangat berguna bagi masyarakat luas.

 KARYA FOTOKU

 Sebagian karya foto saya bisa dinikmati dalam buku foto BUNGA BANGSA yang diterbitkan oleh Joop Ave (1989) ,buku JAKARTA terbitan PemDa DKI, dan juga dalam pameran tetap di museum Fatahillah.  Dalam masa digital ini foto saya bisa di akses dari portal  www.djuanda.com. Sedikit ulasan mengenai foto saya di web. Nepal unik karena memang tempatnya indah dan pelbagai manusianya yang unik. Bali seakan ladang tiada habisnya bagi fotografer.  Paris memang romantis, di sajikan dalam monochrome. Afrika-Selatan indah & menarik dan safari di Kenya penuh tantangan. Vietnam juga merupakan surga bagi fotografer tertutama Hanoi dan Ha-long bay. Yosemite dan sunrise/sunset di Grand Canyon spektakuler. Jakarta seakan menjadi saksi akan perubahan cepat yang terjadi. Di setiap tempat, setiap kali kembali ke tempat yang sama, pada situasi yang berbeda, saya akan berusaha mendapatkan foto baru yang lebih indah.  

Kalau ditanya apa cita-cita saya yang belum kesampaian jawabannya adalah membuat sebuah buku foto karya saya pribadi, seperti buku foto karya Darwis Triadi. Saya pernah membuat buku Gerhana Matahari Total 1983, juga menulis  3 buku ilmiah populer terbitan BP FKUI: Rahasia Kulit Anda (1990), Liposuction (1996) dan Anti aging: rahasia awetmuda (2004), ketiga yang terakhir merupakan buku laris.

 SOUVENIR 

Enam karya foto yang diambil tahun ini di Paris, Roma dan Venezia seakan cukup mewakili peringatan ¡¥Silver Wedding¡¦ kami, sebagai sesuatu yang indah dan abadi.

Selain berguna untuk mengenang bulan madu kami di Eropa, foto-foto ini juga merupakan kenangan bahwa saya pernah mencari sesuap nasi sebagai fotografer.  

Lima foto diambil dengan kamera digital 6,8 Megapixel (Canon EOS D300) dan satu dengan kamera 3,2 Megapixel (Pentax OptioS). Semua obyek adalah pemandangan biasa yang bila  dilihat dengan kacamata ¡¥seorang seniman¡¦ menjadi sesuatu yang berbeda. Sebagian foto souvenir ini di aksentuasi dengan photoshop, namun komposisinya 100% adalah genuine, sama dengan saat pengambilan, tanpa ada elemen gambar yang di copy & paste. My canvas is my camera¡¦s viewfinder. Saya tetap beranggapan the man behind the gun lebih penting daripada alat yang digunakan. Alat hanyalah pembantu kita guna mengekspresikan diri.

  

An artist creates but never perfect.

That¡¦s why he creates again and again.......

 

¡@