BACK               FOTO     Koran INDOPOS           Edwin: Fotografi Merubah Hidup Saya                JULI: Perjalanan Hidup

MENGENANG PERJALANAN PERKAWINAN KAMI

Juliati Setiadi Djuanda

 

Saya berasal dari keluarga yang biasa saja, anak ke-8 dari 9 bersaudara. Orang tua saya selalu mengarahkan supaya sekolah setingi-tingginya selagi ada kesempatan, jangan bergantung kepada orang lain, karena kepandaian adalah modal dari segala-galanya. Oleh karena itu, pada tahun 1976 saya memberanikan diri untuk hijrah ke Ibukota menekuni pendidikan kedokteran gigi di Univ.Prof.Dr.Moestopo (B). Saat-saat Posma adalah saat yang paling menyenangkan, banyak kakak-kakak kelas (bukannya GR ya) yang menunjukkan perhatiannya pada saya.
Saya termasuk wanita yang beruntung karena mempunyai banyak teman. Beberapa diantara mereka ada yang terus terang ingin menyunting dengan berbagai janji, bahkan ada yang menjanjikan rumah.
Kebetulan sekali saya mempunyai prinsip ¡§hidup jangan sampai tertarik dengan janji-janji ataupun kebendaan dan selalu ingat akan pesan orang tua¡¨. Jadi saya belajar terus tanpa menghiraukan hal-hal seperti itu.
Waktu masuk ke tingkat 2, saya berkenalan dengan seorang pria pada acara pemotretan di Lembaga Fotografi Candranaya. Saya diajak ke sana oleh Om Happy, salah seorang keluarga di tempat saya saya.
Esok harinya, pria ini menelepon saya dan minta ijin datang ke rumah untuk mengantarkan foto-foto saya yang sudah selesai dicetak. Sejak itu hampir setiap hari telepon berdering darinya.

 

Suatu hari, kakak Ipar saya (Monti) pernah menanyakan bagaimana hubungan saya dengan pria ini. Saya katakan bahwa saya tidak tertarik karena orangnya kelihatan agak sombong. Tetapi dia mengingatkan saya, bahwa pria ini adalah pria baik-baik, tidak sombong, sekolahnya sudah selesai, dan berasal dari keluarga baik-baik. Monti meminta supaya saya memikirkan hubungan yang lebih serius dengan pria ini.

 

Hanya ketika kita tidak lagi merasakan begitu memerlukan seseorang, saat itu kita dapat menjalin hubungan sejati dengan mereka. (Amsal 5:18-19)

 

                                                                                             

Diam-diam saya pun mulai memperhatikan kelakuan pria ini yang hampir setiap sore menelepon. Suatu hari dia ingin mengajak saya makan malam, saya bilang mau asal setelah itu dia temani ke disco. Kebetulan hobi saya adalah pergi ke disco dan saya pikir pastilah pria tipe seperti ini tidak suka ke disco. Eee¡Keee¡K nggak taunya dia bilang OK! Terpaksalah saya mau. Ingat sekali saat itu saya pakai baju putih-putih.

 

Akhirnya malam itu kami makan steak di sebuah restaurant yang cukup bergengsi waktu itu. Terus terang setelah hari itu dan selama kami berpacaran, hanya malam itu saya diajak makan makanan yang menurut saya lumayan mahal (maklum anak kost¡K), karena ternyata hobinya makan makanan pinggir jalan.

 

Uniknya setelah makan malam, dalam perjalanan ke disco, tiba-tiba dia merubah rencananya dan mengajak saya mampir ke Lembaga Fotografi Candranaya. Mungkin karena sudah mulai menyukai pria ini, ya mau aja diubah acaranya, tidak jadi ke disco.

 

Sudah merupakan fakta bahwa seseorang, bahkan mereka yang mencintai Anda, seringkali tidak setuju dengan ide Anda, tidak memahami Anda, ataupun mau berbagi rasa dengan keingintahuan Anda. (Kidung Agung 8:7)

 

 

Rupanya mulai timbul keisengan dari teman-teman fotografer untuk membuat hubungan kami semakin erat. Diaturlah acara pemotretan berikutnya yaitu di Pulau Seribu. Mereka selalu menggoda kami berdua.

 

Tidak bisa dipungkiri lagi, suatu malam¡K dia melontarkan isi hatinya.

 

Saat itu terus terang saya bingung. Kenapa?? Karena selain dia ada dua pria lain yang juga ingin berhubungan serius dengan saya.

 

Sebelumnya saya tidak pernah menanggapi hal-hal seperti ini, tapi di usia saya yang sudah 30, tiba-tiba terpikir bahwa saya sudah harus berani serius dan memilih satu diantara mereka sebagai pasangan hidup saya. Sulit juga, karena ketiganya mempunyai kelebihan yang berbeda.

 

MENGAPA SAYA MEMILIH ¡§DIA¡¨

             

Kesederhanaan & Tanggungjawab

 

Kesederhanaannya sebagai seorang pria yang berada di keluarga yang cukup mampu dan berpendidikan itulah yang membuat hati saya lumer. Silver Queen yang kami bagikan pada malam yang berbahagia ini adalah kesederhanaanya. Saya sebut sederhana karena bila dibandingkan dengan pria-pria lain yang saking ingin merebut hati saya (juga hati teman-teman anak kost lain) selalu membawa berdus-dus buah atau makanan lain dalam jumlah berlebihan. Sementara pria yang satu ini hampir setiap sore datang hanya dengan membawa sepotong Silver Queen dan sebuah bakpao. Kesederhanaan lainnya, hampir setiap hari dia selalu membawa makanan dari rumahnya untuk ditukar dengan rantangan saya.

Nah¡K itulah kesederhanaan yang mengalahkan segalanya.

 

Sedangkan tanggungjawabnya juga telah membuat saya merasa tidak salah pilih. Bayangkan¡K Setiap kali ¡§Wakuncar¡¨ (waktu kunjungan pacar, red) dimulai jam 4-5 sore, pulang tidak lebih dari jam 7 malam! Karena dia mempunyai kewajiban membantu orang tuanya praktek sampai tengah malam. Kalau saya ingin nonton, paling malam Minggu atau hari Minggu, itupun dengan syarat saya harus sudah belajar dan di tes dulu sebelum pergi

 

Waktu saya harus memilih diantara pria-pria itu, saya meminta pendapat kepada beberapa teman wanita yang dekat dan tahu persis keadaan saya. Tentu saja ada yang pro dan kontra. Salah satu yang pro adalah sahabat terbaik saya, Lydia, yang membuka mata saya untuk memilih pria ini saja. Alasannya adalah walaupun dari keluarga yang mampu, tetapi sederhana dan tidak sombong. Sedangkan yang kontra merasa kasihan dengan pria lainnya yang selalu suka membawakan makanan, dimana mereka juga selalu kecipratan rezeki.

 

Bahkan, ada salah satu dosen saya menakut-nakuti supaya saya jangan berhubungan lagi dengan pria ini dengan alasan pernah sakit jantung.

 

Dibalik kegelisahan saya, pria ini dengan agresif mendesak saya terus-menerus agar segera memberi jawaban atas keseriusannya itu. Akhirnya, dengan dua pertimbangan tersebut (kesederhanaan dan tanggung jawab), saya yakin bahwa saya tidak salah memilih pria sebagai pendamping hidup. Pria itu bernama Edwin Djuanda.

 

Hanya setahun kami berpacaran, akhirnya tepat tanggal 23 Oktober 1979 kami menikah. Itupun dilakukan dengan sangat sederhana yaitu di gedung DKI dengan undangan yang sedikit.

 

MENGISI HARI DENGAN GEMBIRA

 

Selama menjadi hidup sebagai suami-istri, banyak suka dan duka yang kami alami. Tidak kalah seru dengan suka-duka semasa pacaran!

 

Kami senantiasa bergembira karena memiliki hobi yang sama, yaitu gemar beraktivitas bersama teman-teman. Ada dua kegiatan yang sangat sering kami lakukan bersama; yaitu dansa dan travelling.

 

Hobi dansa mengisi waktu senggang kami. Tidak hanya malam minggu, bahkan ada masa dimana kami pergi berdansa setiap malam. Dansa mempererat hubungan kami, baik satu sama lain maupun dengan teman-teman. Tak disangka hobi sederhana ini, membawa kami menjadi salah satu pasangan yang mempopulerkan perdansaan di Jakarta, bahkan mungkin di Indonesia.

 

Kegiatan travelling juga senantiasa kami lakukan setiap kali ada kesempatan. Pada awalnya, kami sering berpergian satu keluarga dengan tujuan menjaga kekompakan dan menunjukkan dunia luar pada anak-anak. Sangat disayangkan, semenjak anak-anak tumbuh dewasa, sangat sulit menetapkan waktu untuk pergi bersama karena jadwal yang berbeda-beda. Akhirnya setiap anggota keluarga dituntut untuk menjadi mandiri; kalau memang ada keperluan untuk pergi (misalnya pergi ke luar kota) dan tidak ada yang bisa menemani, ya...silahkan pergi sendiri. Tetapi hal itu tidak mengurangi kekompakkan keluarga kami, malahan menjadikan kami mandiri dan bisa bertahan dimana-mana, bahkan di negara baru sekalipun. Walaupun semakin sulit berkumpul, tetapi kami selalu berusaha untuk dapat pergi bersama.

 

Di balik segala kegembiraan, tidak sedikit kerikil-kerikil yang harus kami lalui. Banyak hal yang kalau bukan karena rasa tanggung jawab, tidak mungkin saya dan suami masih bisa bersanding dalam ruangan ini. Tapi dengan tekad, tanggung jawab, ditambah dengan pikiran positif, luas dan terbuka, kami terus berusaha untuk menjaga kekokohan pondasi perkawinan yang telah kami ciptakan. Saya selalu berharap agar tidak ada yang bisa memisahkan kami kecuali apabila Tuhan berkehendak lain.

Flowchart: Alternate Process: Marriage resembles a pair of shears, so joined that they cannot be separated, often moving in opposite directions, yet always punishing anyone who comes between them. (Sydney Smith)
 

 

¡@

¡@

¡@

KARUNIA TAK TERHINGGA

 

Selama perkawinan, kami dikaruniai tiga orang putri yang cantik; Vanessa, Rachel, dan Raissa. Terus terang, anak-anak ini merupakan kebanggaan yang tiada taranya buat kami berdua.

 

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun kami lalui untuk merawat dan mendidik mereka. Tidak mudah memang... Penuh suka-duka untuk menjadikan mereka anak-anak yang mandiri dan berguna bagi sesama serta berbakti kepada orang tua.

 

Memang mereka semua cantik-manis-ramah-dan semua yang baik-baik. Tapi namanya juga manusia, tak jarang mereka melakukan hal yang kurang berkenan di hati orang tua. Awalnya kami (Edwin & Juli, red) sempat merasa kerepotan menghadapi tingkah laku mereka (apalagi waktu menginjak masa remaja!). Terkadang kalau tidak ada pengertian yang baik diantara kami berdua, waahh¡K gara-gara anak bisa bikin rumah tangga ribut! Tapi dengan kesabaran, rasa percaya diri, disertai sedikit omelan dan nasihat, akhirnya mereka dapat melawati masa remaja dengan baik lalu tumbuh menjadi seorang dewasa yang penuh tanggung jawab dan mandiri.

 

Keterbukaan, berpikir positif, mau mendengarkan orang lain, dan berpandangan luas juga merupakan sikap yang selalu kami terapkan. Karena semuanya itu, syukurlah setelah anak-anak menjadi dewasa, kami menjadi keluarga yang kompak dan dapat mendiskusikan segala hal bersama.  

 

Kami selalu tekankan kepada mereka, bahwa dengan berbakti dan hormat kepada orang tua, maka semua jalan yang baik akan terbuka lebar dengan sendirinya.

 

Delilah Vanessa Djuanda

 

Merupakan anak pertama kami yang lahir pada tanggal 11 Februari 1980. Saat hamil, saya masih kuliah tingkat tiga. Saat itu jarang ada seorang mahasiswi yang tetap kuliah setelah menikah, apalagi sedang hamil! Ada dosen yang komentar, mengapa saya tetap sekolah, padahal suami sudah dokter. Menurut mereka lebih enak jadi nyonya dokter saja. Bahkan salah satu keluarga dari pihak Edwin ada yang bilang kalau saya akan putus sekolah setelah menikah karena sudah dapat suami dokter. Entah apa maksud mereka semua, tapi yang jelas semua itu malah memacu saya untuk semakin rajin belajar. Sampai detik menjelang melahirkan barulah saya ambil cuti. Lalu lahirlah Vanessa...

 

Nama Vanessa kami ambil dari nama kota Venezia, Italia ¡V tempat dimana kami berbulan madu. Hampir setiap hari Vanessa kecil yang berusia 2-3 bulan selalu menemani saya kuliah dan praktikum. Teman-teman sekolah, yang rata-rata masih belum menikah, bergantian menjadi babysitter.

 

Karena anak pertama, banyak tantangan yang kami hadapi dalam menangani Vanessa. Maklum... kami belum berpengalaman sama sekali. Akhirnya dengan segala suka-duka, kami dapat memberikan pendidikan yang baik kepadanya. Kalau tidak ada aral-melintang, akhir tahun ini Vanessa akan menyelesaikan pendidikannya sebagai Registered Nurse di Amerika.

 

Stefani Rachel Soraya Djuanda

 

Sehari-hari, saya suka memanggilnya dengan nama kesayangan ¡§REI¡¨ atau si ¡§AYE¡¨. Karena waktu pertama kali Rachel belajar bicara dia hanya bisa menyebut dirinya ¡§AYE¡¨. Rachel ini berada dalam kandungan persis saat saya di wisuda. Ini membuktikan bahwa anak bukan hambatan bagi saya untuk menyelesaikan studi yang syukurlah dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

 

Anak kedua ini sifatnya berbeda dengan kakaknya, Vanessa. Waktu kecil, Rachel  ini gemuk, sangat sensitif, perasa, cengeng, dan kurang percaya diri. Saya ingat, dulu Rachel tidak berani menghadapi siapapun, bahkan adiknya sendiri. Kami sampai harus mengajarinya marah terhadap adiknya yang memang salah terhadapnya. Akhirnya setelah marah, ia pun menangis keras-keras.

 

Hal ini merupakan tantangan yang sangat besar untuk mempersiapkannya menjadi orang yang mandiri. Dengan kasih sayang dan perhatian yang lebih, pelan-pelan Rachel menjadi salah satu kebanggaan kami.

 

Sekarang penampilan Rachel berbeda sekali dengan masa kecilnya; tegar, mandiri dan pandai berorganisasi. Spritualnya pun baik (beberapa kali memenangkan lomba lektor antar paroki). Suka menolong juga salah satu sifatnya. Cita-citanya sejak kecil tidak pernah bergeming yaitu ¡§ingin jadi dokter¡¨. Kini Rachel sedang menjalani tahun ketiga di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

 

Raissa Edwina Djuanda

 

Panggilannya ¡§ICA¡¨. Ica ini dilahirkan pada waktu saya bekerja di RSAB Harapan Kita. Kehamilan putri saya yang satu inipun tidak menghalangi saya untuk bekerja pagi-siang-malam, yang kata Edwin ¡§workaholic¡¨. Karena saat itu saya bekerja dengan Prof.DR.Dr.Sudraji Sumapraja, seorang Dokter Kebidanan, maka beliaulah yang membantu persalinan Raissa.

 

Ica juga berbeda dengan kakak-kakaknya. Mungkin karena anak paling kecil, sifat egonya paling besar. Ica lebih suka berdandan dan merawat diri. Salah satu hobinya adalah menari, baik tarian daerah, modern, maupun dansa internasional. Kegiatan ini akhirnya menjadikan dia seorang ¡§pedansa¡¨ yang kerap menjadi pemenang di berbagai perlombaan.

 

Kami selalu mengingatkannya untuk bisa membuktikan kepada semua orang, bahwa hobi dansa itu harus tetap diiringi dengan pendidikan yang baik. Dengan demikian orang akan hormat. Kami juga mengingatkan bahwa uang bukanlah segalanya, yang penting timbalah ilmu sebanyak-banyaknya selama ada kesempatan, karena ilmu itu adalah modal untuk menjalankan hidup ini.

 

Ternyata betul, Tuhan YME mengabulkan semua permohonan kami. Sekarang Ica duduk di tingkat satu FKUI, dengan tetap menjalani hobi dansanya.

 

AKHIR KATA DARI CERITA TANPA AKHIR

 

Rasanya tidak sia-sia perjuangan kami...

 

Semua ini saya paparkan karena tidak mungkin suatu keluarga bisa berhasil menjalankan perkawinannya selama 25 tahun tanpa ditunjang oleh anak-anak yang baik dan tentunya oleh dasar perkawinan yang kuat.

 

Keluarga adalah kumpulan kecil dari masyarakat yang besar. Kami sekeluarga, yang tak dapat lepas dari masyarakat, mohon doa restu dari Ibu tercinta, saudara-saudara, dan teman-teman agar kami tetap menjadi keluarga yang satu dalam cinta sehingga kami pun dapat terus berbagi cinta terhadap sesama.

 

 

Jangan pernah merasa sia-sia melakukan cinta

Karna tidak ada cinta yang sia-sia.....