ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

Aku dan Para Penghuni Rumah

Cerpen: Ria Agustina

Baru beberapa tahun aku hadir di rumah ini. Tapi ada banyak hal yang sudah  kusaksikan di sini. Ada kisah-kisah bahagia, ada  juga kisah-kisah sedih yang dialami para penghuni rumah ini. Banyak penguni yang sudah silih berganti mendiami kamar-kamar di rumah ini. Biasanya hampir setiap tahun pelajaran baru ada saja penghuni baru yang pindah ke rumah ini. Namun kadang ada juga penghuni rumah ini yang pindah ke tempat lain. Silih berganti.

Oh, ya, aku belum menceritakan keadaan rumah ini. Rumah ini adalah sebuah rumah hunian biasa yang berada di salah satu tempat di Banjarbaru, kota kecil yang letaknya sekitar 30an km dari kota Banjarmasin. Pemiliknya adalah seorang wiraswastawan yang memiliki usaha distribusi koran dan majalah, dan memiliki 2 orang putra.

Karena di kota ini ada sebuah universitas terbesar di Kalimantan Selatan, dan letaknya tak jauh dari rumah ini – yang sejak tadi aku ceritakan – maka pemilik rumah ini menyewakan 2 buah kamar yang tak terpakai di dalam rumahnya untuk dijadikan kamar kost putri. Katanya karena perempuan ‘sedikit’ lebih rapi daripada laki-laki. Beberapa lama kemudian pemilik rumah ini membangun 3 buah kamar baru yang berderet di lahan kecil di samping kanan rumahnya, menghadap tepat ke arah rumah tersebut. Aku adalah salah satu dari ketiga kamar tadi. Selain itu, ada satu kamar lagi yang dibangun di depan rumah ini, tepat di samping kiri terasnya.

Seperti layaknya anak kost biasa, tidak ada yang istimewa dari penghuni kamar-kamar ini. Pergi ke kampus pada pagi hari, pulang ke kamar kostnya pada siang atau sore hari, atau pergi siang hari dan pulang sore harinya. Kadang pulang ke kamar kostnya sendirian, kadang bersama teman kuliahnya, atau entah siapa. Malam harinya ngobrol dengan penghuni yang lain, sampai waktunya tidur; atau kadang membaca buku, mungkin belajar. Aku sudah biasa melihat setiap sudut ruangan kamar ini dipenuhi buku-buku atau bahan kuliah, terutama pada setiap akhir semester. Mau ujian akhir katanya.

Hari-hari yang membosankan memang. Tapi apa lagi yang bisa kukatakan? Mau protes? Atau curhat? Dengan siapa? Aku hanya sebuah kamar yang dihuni oleh salah satu penghuni rumah ini. Kadang kamar-kamar ini sedikit ramai jika ada beberapa kawan penghuninya datang, terutama pada hari-hari libur kuliah; atau  kadang ada orang tua atau saudaranya yang menginap di sini.

Peraturan di rumah ini juga tak jauh berbeda dengan rumah kost yang lain di kota ini. Misalnya, menjaga kebersihan, tamu laki-laki dilarang masuk atau bertamu di dalam kamar, serta jam bertamu hanya boleh sampai pukul 22.00 WITA, yang kemudian langsung dilanjutkan dengan dikuncinya pagar pada jam tersebut.

***

Beberapa tahun setelah aku dibangun, pemilik rumah ini menambah 6 kamar di lantai 2. Ukuran kamar-kamar itu bervariasi, mengikuti bentuk ruangan-ruangan di bawahnya – karena kamar-kamar itu dibangun di atas bagian belakang rumah ini. Jadi ada 10 kamar yang disewakan di rumah ini. Aku sendiri belum pernah mengamati setiap ruangannya. Bukankah aku hanya sebuah kamar kost di rumah ini? Kata penghuni kamar-kamar tersebut, kamar mereka bagus, memiliki banyak sudut - tidak seperti aku yang hanya mempunyai empat sudut. Yah, terserah mereka. Tak ada yang melarang orang lain berkomentar, kan? Aku sendiri tidak keberatan jika dikomentari. Apalagi jika dipuji. Ha..ha..ha...

***

Sepertinya panjang sekali kisah yang sudah aku ceritakan. Tetapi kurasa kurang menarik. Entahlah. Aku tak tahu bagaimana caranya bercerita. Seperti yang sudah kukatakan tadi, bukan? Aku hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.

Sebenarnya ada banyak cerita yang sudah kusaksikan di rumah ini. Mungkin terlalu banyak sehingga aku sedikit kesulitan mengingatnya. Tetapi ada beberapa yang masih bisa kuingat, di antaranya adalah tentang salah satu penghuni ‘kamar atas’ – begitu mereka sering menyebutnya – yaitu kamar-kamar yang ada di tingkat 2. Aku sering melihatnya lewat di depanku. Seperti penghuni kamar atas yang lain, ia juga harus melewatiku jika ingin keluar atau jalan-jalan. Tangga menuju ke kamar-kamar di lantai atas berada di sebelah kiriku, sedangkan pagar rumah menuju ke jalan berada di sebelah kananku.

Nita, itu namanya. Kejadian itu dimulai setahun yang lalu.

Bermula pada suatu sore, saat penghuni rumah ini ramai membicarakan Nita. “Nita lagi nangis di atas! Kudengar, sih, baru putus!” Jawab salah satu penghuni rumah ini saat salah satu temannya yang juga tinggal di rumah ini bertanya perihal kenapa Nita tidak ikut bergabung dan mengobrol bersama mereka. “Putus?!” Temannya yang dari tadi ikut mendengarkan tampak terkejut. “Bukankah mereka sudah tiga tahun pacaran?” Lanjutnya lagi. “Ngga tau lah.” Orang yang menjawab itu mengangkat bahunya. “Artis saja banyak yang sudah pacaran bertahun-tahun, tapi kandas di tengah jalan. Malah ada yang sampai 6-7 tahun tapi putus.” Timpal yang lain. Ada sekitar lima orang penghuni rumah ini yang sedang berkumpul mengerumuni rujak yang baru dibeli dari tukang rujak yang lewat di depan rumah ini. Semuanya asyik membicarakan Nita, pacaran, artis, atau...apalah! Banyak sekali yang mereka perbincangkan.

Satu lagi yang kudapat sore itu. Aku tahu sekarang. Ternyata menurut mereka, hubungan yang dijalin selama bertahun-tahun tidak dapat dijamin akan selalu awet. Begitu rupanya. Lalu, bagaimana hubunganku dengan rumah ini, lalu dengan para penghuninya? Ah, tak ada gunanya merisaukan hal ini. Aku hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.

“Mungkin karena jaraknya yang jauh.” Kudengar salah satu dari mereka berbicara lagi. “Iya, kali!” Sahut yang lain. Aku tidak dapat membayangkan seperti apa jauhnya. Mungkin beberapa ratus kali lebarku.

***

Beberapa minggu kemudian kudengar para penghuni rumah ini kembali membicarakan Nita. Mereka membicarakan tentang kedekatannya dengan seorang laki-laki berperawakan tinggi yang kulihat akhir-akhir ini sering muncul di rumah ini, mengantar atau membawa Nita pergi dengan sepeda motornya. Bisa pagi, siang, sore, atau malam. Kadang kulihat ia lewat di depanku, lalu naik tangga di sebelah kiriku, kemudian terus ke teras kamar atas – aku bisa mendengarnya. Ia hanya mengobrol sebentar di sana, bercanda sebentar dengan penghuni yang lain, kemudian turun melewati tangga di sebelah kiriku lagi, lalu berjalan di depanku, diikuti Nita, dan keduanya pergi entah ke mana.

Kira-kira 3 bulan kemudian, aku tak lagi melihat laki-laki itu datang ke rumah ini. “Cowoknya ngajak putus.” Lagi-lagi aku mendengarkan pembicaraan para penghuni rumah ini. Bukan maksudku ingin menguping, tapi, harus bagaimana lagi? Aku hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru. “Disakiti lagi.” Lanjutnya lagi. Sedang lawan bicaranya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum kecut. Pantas kulihat Nita melewatiku dengan wajah murung beberapa hari ini.

“Wah, kisah cintamu seperti sinetron, Nit!” Salah satu penghuni rumah ini berkata sambil memeras pakaian di genggamannya, lalu membentangkannya di tali jemuran yang tempatnya dibuat khusus seperti lantai setinggi 2,5 m dan berada tepat di depanku, pada suatu pagi. “Begitulah.” Nita yang berdiri di teras di depan kamarnya tersenyum pahit. “Sudah nasib.” Lanjutnya lagi.

Suatu sore, kulihat Nita dan beberapa penghuni yang lain duduk dan bersantai di teras depan rumah ini. Seperti biasa mereka selalu mengobrol jika sedang berkumpul. Manusiawi. “Sudah berapa hari?” Kudengar salah satu penghuni rumah ini bertanya sambil menatap Nita. Senyuman tersungging di bibir Nita “Baru dua hari.” Jawabnya. “Berarti sudah episode dua, sinetron ketiga, nih?” Celetuk penghuni yang lain, yang berdiri tak jauh dari kursi yang diduduki Nita. Yang lain tertawa mendengarnya. Sepertinya mereka sedang membicarakan kekasih Nita yang baru.

***

Beberapa minggu setelah itu, rumah ini tampak sepi. Sepertinya para penghuni rumah ini pulang kampung. Yang tersisa hanya pemilik rumah ini beserta keluarganya. Setahuku sekarang tidak sedang liburan semester. Aku tidak melihat para penghuni rumah ini sibuk membuka-buka bukunya dan membaca dengan tekun akhir-akhir ini. Mungkin mereka sedang libur hari besar. Begitu yang kudengar beberapa hari yang lalu, kalau tidak salah. Dan, kalau tidak salah lagi, kekasih Nita yang baru itu ikut ke kampung halaman Nita. Ingin berkenalan dengan keluarga Nita, katanya. Tampaknya Nita sangat bahagia. Aku melihatnya saat lewat di depanku kemarin. Seorang laki-laki membawakan tasnya. Mungkin itu kekasihnya.

***

Kejadian itu sudah lama berlalu. Sekarang laki-laki itu tak pernah lagi datang ke rumah ini. Bahkan sahabatnya yang sering datang bersamanya juga tidak. Akan tetapi baru-baru ini kudengar Nita mulai dekat dengan seorang laki-laki ber-Vespa. Vespa itu tampak terawat. Berwarna biru mengkilap, dengan huruf  ‘S’ besar berwarna merah-kuning di bagian depannya. Lambang Superman, katanya. Vespa yang bagus. Hanya itu komentarku.

***

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kisah cinta memang tidak ada habisnya. Ada yang berbunga-bunga, ada juga yang terlihat seperti orang yang tidak mempunyai keinginan untuk melanjutkan hidup. Untuk apa mereka seperti itu? Sulit kupahami. Semuanya semu. Beruntunglah aku, walaupun hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru. Aku tak perlu sakit hati dan menderita karena sesuatu yang mereka namakan ‘cinta’.

Yah. Seperti yang sering diucapkan para penghuni rumah ini, begitulah hidup. Berliku, tetapi ujungnya tak jelas terlihat. Aku juga sering mendengar mereka berkata : “Hidup seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah.” Apa maksudnya? Aku tak mengerti. Apa hubungannya dengan Nita? Entahlah! Bukan urusanku. Sekali lagi, seperti yang sudah kukatakan berkali-kali. Aku hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.***

 

Banjarbaru 20 Juli ’04

Dedicated to: Bude and lelaki ber-Vespa biru mengkilap .

Ria Agustina, Mahasiswi semester IV FK UNLAM.

 

Sejak 5 Oktober 2005