Aku
dan Para Penghuni Rumah
Cerpen:
Ria Agustina
Baru beberapa tahun aku hadir di rumah ini. Tapi
ada banyak hal yang sudah
kusaksikan di sini. Ada kisah-kisah bahagia, ada
juga kisah-kisah sedih yang dialami para penghuni rumah
ini. Banyak penguni yang sudah silih berganti mendiami
kamar-kamar di rumah ini. Biasanya hampir setiap tahun
pelajaran baru ada saja penghuni baru yang pindah ke rumah ini.
Namun kadang ada juga penghuni rumah ini yang pindah ke tempat
lain. Silih berganti.
Oh,
ya, aku belum menceritakan keadaan rumah ini. Rumah ini adalah
sebuah rumah hunian biasa yang berada di salah satu tempat di
Banjarbaru, kota kecil yang letaknya sekitar 30an km dari kota
Banjarmasin. Pemiliknya adalah seorang wiraswastawan yang
memiliki usaha distribusi koran dan majalah, dan memiliki 2
orang putra.
Karena
di kota ini ada sebuah universitas terbesar di Kalimantan
Selatan, dan letaknya tak jauh dari rumah ini – yang sejak
tadi aku ceritakan – maka pemilik rumah ini menyewakan 2
buah kamar yang tak terpakai di dalam rumahnya untuk dijadikan
kamar kost putri. Katanya karena perempuan ‘sedikit’ lebih
rapi daripada laki-laki. Beberapa lama kemudian pemilik rumah
ini membangun 3 buah kamar baru yang berderet di lahan kecil
di samping kanan rumahnya, menghadap tepat ke arah rumah
tersebut. Aku adalah salah satu dari ketiga kamar tadi. Selain
itu, ada satu kamar lagi yang dibangun di depan rumah ini,
tepat di samping kiri terasnya.
Seperti
layaknya anak kost biasa, tidak ada yang istimewa dari
penghuni kamar-kamar ini. Pergi ke kampus pada pagi hari,
pulang ke kamar kostnya pada siang atau sore hari, atau pergi
siang hari dan pulang sore harinya. Kadang pulang ke kamar
kostnya sendirian, kadang bersama teman kuliahnya, atau entah
siapa. Malam harinya ngobrol dengan penghuni yang lain, sampai
waktunya tidur; atau kadang membaca buku, mungkin belajar. Aku
sudah biasa melihat setiap sudut ruangan kamar ini dipenuhi
buku-buku atau bahan kuliah, terutama pada setiap akhir
semester. Mau ujian akhir katanya.
Hari-hari
yang membosankan memang. Tapi apa lagi yang bisa kukatakan?
Mau protes? Atau curhat? Dengan siapa? Aku hanya sebuah kamar
yang dihuni oleh salah satu penghuni rumah ini. Kadang
kamar-kamar ini sedikit ramai jika ada beberapa kawan
penghuninya datang, terutama pada hari-hari libur kuliah; atau
kadang ada orang tua atau saudaranya yang menginap di
sini.
Peraturan
di rumah ini juga tak jauh berbeda dengan rumah kost yang lain
di kota ini. Misalnya, menjaga kebersihan, tamu laki-laki
dilarang masuk atau bertamu di dalam kamar, serta jam bertamu
hanya boleh sampai pukul 22.00 WITA, yang kemudian langsung
dilanjutkan dengan dikuncinya pagar pada jam tersebut.
***
Beberapa
tahun setelah aku dibangun, pemilik rumah ini menambah 6 kamar
di lantai 2. Ukuran kamar-kamar itu bervariasi, mengikuti
bentuk ruangan-ruangan di bawahnya – karena kamar-kamar itu
dibangun di atas bagian belakang rumah ini. Jadi ada 10 kamar
yang disewakan di rumah ini. Aku sendiri belum pernah
mengamati setiap ruangannya. Bukankah aku hanya sebuah kamar
kost di rumah ini? Kata penghuni kamar-kamar tersebut, kamar
mereka bagus, memiliki banyak sudut - tidak seperti aku yang
hanya mempunyai empat sudut. Yah, terserah mereka. Tak ada
yang melarang orang lain berkomentar, kan? Aku sendiri tidak
keberatan jika dikomentari. Apalagi jika dipuji. Ha..ha..ha...
***
Sepertinya
panjang sekali kisah yang sudah aku ceritakan. Tetapi kurasa
kurang menarik. Entahlah. Aku tak tahu bagaimana caranya
bercerita. Seperti yang sudah kukatakan tadi, bukan? Aku hanya
sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.
Sebenarnya
ada banyak cerita yang sudah kusaksikan di rumah ini. Mungkin
terlalu banyak sehingga aku sedikit kesulitan mengingatnya.
Tetapi ada beberapa yang masih bisa kuingat, di antaranya
adalah tentang salah satu penghuni ‘kamar atas’ – begitu
mereka sering menyebutnya – yaitu kamar-kamar yang ada di
tingkat 2. Aku sering melihatnya lewat di depanku. Seperti
penghuni kamar atas yang lain, ia juga harus melewatiku jika
ingin keluar atau jalan-jalan. Tangga menuju ke kamar-kamar di
lantai atas berada di sebelah kiriku, sedangkan pagar rumah
menuju ke jalan berada di sebelah kananku.
Nita,
itu namanya. Kejadian itu dimulai setahun yang lalu.
Bermula
pada suatu sore, saat penghuni rumah ini ramai membicarakan
Nita. “Nita lagi nangis di atas! Kudengar, sih, baru putus!”
Jawab salah satu penghuni rumah ini saat salah satu temannya
yang juga tinggal di rumah ini bertanya perihal kenapa Nita
tidak ikut bergabung dan mengobrol bersama mereka. “Putus?!”
Temannya yang dari tadi ikut mendengarkan tampak terkejut.
“Bukankah mereka sudah tiga tahun pacaran?” Lanjutnya lagi.
“Ngga tau lah.” Orang yang menjawab itu mengangkat bahunya.
“Artis saja banyak yang sudah pacaran bertahun-tahun, tapi
kandas di tengah jalan. Malah ada yang sampai 6-7 tahun tapi
putus.” Timpal yang lain. Ada sekitar lima orang penghuni
rumah ini yang sedang berkumpul mengerumuni rujak yang baru
dibeli dari tukang rujak yang lewat di depan rumah ini.
Semuanya asyik membicarakan Nita, pacaran, artis, atau...apalah!
Banyak sekali yang mereka perbincangkan.
Satu
lagi yang kudapat sore itu. Aku tahu sekarang. Ternyata
menurut mereka, hubungan yang dijalin selama bertahun-tahun
tidak dapat dijamin akan selalu awet. Begitu rupanya. Lalu,
bagaimana hubunganku dengan rumah ini, lalu dengan para
penghuninya? Ah, tak ada gunanya merisaukan hal ini. Aku hanya
sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.
“Mungkin
karena jaraknya yang jauh.” Kudengar salah satu dari mereka
berbicara lagi. “Iya, kali!” Sahut yang lain. Aku tidak
dapat membayangkan seperti apa jauhnya. Mungkin beberapa ratus
kali lebarku.
***
Beberapa
minggu kemudian kudengar para penghuni rumah ini kembali
membicarakan Nita. Mereka membicarakan tentang kedekatannya
dengan seorang laki-laki berperawakan tinggi yang kulihat
akhir-akhir ini sering muncul di rumah ini, mengantar atau
membawa Nita pergi dengan sepeda motornya. Bisa pagi, siang,
sore, atau malam. Kadang kulihat ia lewat di depanku, lalu
naik tangga di sebelah kiriku, kemudian terus ke teras kamar
atas – aku bisa mendengarnya. Ia hanya mengobrol sebentar di
sana, bercanda sebentar dengan penghuni yang lain, kemudian
turun melewati tangga di sebelah kiriku lagi, lalu berjalan di
depanku, diikuti Nita, dan keduanya pergi entah ke mana.
Kira-kira
3 bulan kemudian, aku tak lagi melihat laki-laki itu datang ke
rumah ini. “Cowoknya ngajak putus.” Lagi-lagi aku
mendengarkan pembicaraan para penghuni rumah ini. Bukan
maksudku ingin menguping, tapi, harus bagaimana lagi? Aku
hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.
“Disakiti lagi.” Lanjutnya lagi. Sedang lawan bicaranya
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum kecut.
Pantas kulihat Nita melewatiku dengan wajah murung beberapa
hari ini.
“Wah,
kisah cintamu seperti sinetron, Nit!” Salah satu penghuni
rumah ini berkata sambil memeras pakaian di genggamannya, lalu
membentangkannya di tali jemuran yang tempatnya dibuat khusus
seperti lantai setinggi 2,5 m dan berada tepat di depanku,
pada suatu pagi. “Begitulah.” Nita yang berdiri di teras
di depan kamarnya tersenyum pahit. “Sudah nasib.”
Lanjutnya lagi.
Suatu
sore, kulihat Nita dan beberapa penghuni yang lain duduk dan
bersantai di teras depan rumah ini. Seperti biasa mereka
selalu mengobrol jika sedang berkumpul. Manusiawi. “Sudah
berapa hari?” Kudengar salah satu penghuni rumah ini
bertanya sambil menatap Nita. Senyuman tersungging di bibir
Nita “Baru dua hari.” Jawabnya. “Berarti sudah episode
dua, sinetron ketiga, nih?” Celetuk penghuni yang lain, yang
berdiri tak jauh dari kursi yang diduduki Nita. Yang lain
tertawa mendengarnya. Sepertinya mereka sedang membicarakan
kekasih Nita yang baru.
***
Beberapa
minggu setelah itu, rumah ini tampak sepi. Sepertinya para
penghuni rumah ini pulang kampung. Yang tersisa hanya pemilik
rumah ini beserta keluarganya. Setahuku sekarang tidak sedang
liburan semester. Aku tidak melihat para penghuni rumah ini
sibuk membuka-buka bukunya dan membaca dengan tekun akhir-akhir
ini. Mungkin mereka sedang libur hari besar. Begitu yang
kudengar beberapa hari yang lalu, kalau tidak salah. Dan, kalau
tidak salah lagi, kekasih Nita yang baru itu ikut ke kampung
halaman Nita. Ingin berkenalan dengan keluarga Nita, katanya.
Tampaknya Nita sangat bahagia. Aku melihatnya saat lewat di
depanku kemarin. Seorang laki-laki membawakan tasnya. Mungkin
itu kekasihnya.
***
Kejadian
itu sudah lama berlalu. Sekarang laki-laki itu tak pernah lagi
datang ke rumah ini. Bahkan sahabatnya yang sering datang
bersamanya juga tidak. Akan tetapi baru-baru ini kudengar Nita
mulai dekat dengan seorang laki-laki ber-Vespa. Vespa itu tampak
terawat. Berwarna biru mengkilap, dengan huruf
‘S’ besar berwarna merah-kuning di bagian depannya.
Lambang Superman, katanya. Vespa yang bagus. Hanya itu komentarku.
***
Aku
tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kisah cinta memang tidak
ada habisnya. Ada yang berbunga-bunga, ada juga yang terlihat
seperti orang yang tidak mempunyai keinginan untuk melanjutkan
hidup. Untuk apa mereka seperti itu? Sulit kupahami. Semuanya semu.
Beruntunglah aku, walaupun hanya sebuah kamar kost yang ada di
suatu tempat di Banjarbaru. Aku tak perlu sakit hati dan menderita
karena sesuatu yang mereka namakan ‘cinta’.
Yah.
Seperti yang sering diucapkan para penghuni rumah ini, begitulah
hidup. Berliku, tetapi ujungnya tak jelas terlihat. Aku juga
sering mendengar mereka berkata : “Hidup seperti roda yang
berputar, kadang di atas, kadang di bawah.” Apa maksudnya? Aku
tak mengerti. Apa hubungannya dengan Nita? Entahlah! Bukan
urusanku. Sekali lagi, seperti yang sudah kukatakan berkali-kali.
Aku hanya sebuah kamar kost yang ada di suatu tempat di Banjarbaru.***
Banjarbaru
20 Juli ’04
Dedicated to: Bude and lelaki ber-Vespa biru
mengkilap .
Ria
Agustina, Mahasiswi semester IV FK UNLAM.
|