Bulan
Tak Berbentuk
Cerpen:
Meilani Wulan Sari
Seharusnya
malam ini tak ada rembulan, apalagi bulan belah semangkaI).
Karena aku saat ini sendiri menikmati malam. Bukankah
kau bilang bulan belah semangka itu enak dinikmati berdua?
Tapi aku tak pernah menikmati, entah waktu bersamamu
atau waktu berlari menjauh darimu. Tetapi mengapa dia harus
ada, setiap malam pula. Tergantung di tepi langit yang
berbingkai titik terang yang bernama bintang. Aku bosan
melihatnya, padahal kau bilang bulan itu telah dimakan
gelandangan tuaII) yang berbaju rombeng
berwarna malam. Kau rupanya bohong, entah bohong yang
keberapa! Jariku pun sudah tak bisa menghitung lagi, penuh
sesak oleh kebohonganmu. Tapi jangan khawatir aku tak akan
berbuat apapun kepada bulan belah semangkamu.
Kemarin
malam, kita bertepuk bahu di pasar malam. Awalnya aku tak
menghiraukannya, namun aku rasa ini bukanlah tepukan biasa.
Aku pun melihat ke belakang, rupanya kau dengan seorang gadis
yang berpakaian serba waah
. Melihat itu semua aku jadi
teringat akan ucapanmu yang pernah kau rajut di ranjang tak
berkaki sambil memelukku.
Aku suka melihat kau berpakaian dengan tali tipis sebagai
penyangga bajumu.
katamu waktu itu dengan tersenyum.
Sungguh
kata-kata yang bukan hanya kau jual untukku. Seharusnya aku
tidak membelinya dan seharusnya tidak kuperlihatkan dulu semua
isi di dalam dadaku karena di setiap malamku tak pernah
memiliki embun bila bersamamu. Aku tak pernah menyesal akan
hal itu, tapi aku menyesal kau tak pernah mengajakku untuk
menikmati bulan belah semangka di beranda rumahmu. Sedangkan
kau selalu mengajak wanita bersayap malam untuk menikmatinya.
Entah itu di beranda rumah atau di pinggir-pinggir jalan.
***
Suatu ketika kau menyempatkan diri untuk datang ke
rumahku.
Bagaimana
kabarmu? tanyamu.
Baik, kau pun
bagaimana? tanyaku balik setelah menjawab pertanyaannya.
Baik. Masih sendiri menikmati malam?
Ya, aku setia
menikmati malam. Sedangkan
kau masih setiakah dengan gadis bersayap malam?
Kau
mengetahuinya? Dari mana?
Malam yang
memberi tahuku! Sudah kau berikan bulan belah semangkamu
kepada dia?
Tetapi kau tak
menjawab, mungkin kau kehabisan kata-kata malam ini. Setelah
malam itu, tak ada lagi pertemuan selanjutnya. Di langit pun
masih tergantung lukisan bulan yang berbingkai titik terang
yang selalu bernama bintang. Sungguh tak lelahnya dia
menikmati malam. Aku saja lelah melihatnya.
***
Aku sudah mengiris-iris lidahku hingga tertumpah di
dalam baju, tetapi aku senang dari pada melihat bulan belah
semangka yang tak pernah tersenyum kepadaku. Beberapa malam
ini aku berusaha keras untuk menghentikan malam, agar aku bisa
mengambil bulan itu dan membuangnya ke tempat sampah agar
menjadi santapan belatung-belatung. Tetapi aku tetap tidak
bisa, terlalu licin langit ketika malam.
Suatu ketika saat
aku berusaha untuk menaiki langit, langkah demi langkah aku
bertemu dengan seorang lelaki. Memang, aku sudah mengenalnya
cukup lama, kira-kira satu purnama lebih. Namun,
aku meninggalkan namanya di memoriku yang entah sebelah mana.
Kemudian dia menyapaku.
Sedang apa kau
malam-malam menaiki langit, langit waktu malam tak hanta licin.
Gadis sepertimu malam-malam lebih baik menikmati rembulan.
katanya.
Aku tak menyukai
rembulan, apalagi bulan belah semangka. Apa kau tak melihat
bulan itu telah membusuk di atas sana dan sebentar lagi
belatung pun akan menampakkan dirinya. Oleh karena itu aku
ingin membuangnya.
Apakah kau mampu
melakukannya? Lagi pula bulan itu tak terlalu buruk untuk
dinikmati walaupun sudah terlihat membusuk. Apabila kau membuangnya, siapa yang akan menemani malam dan siapa yang akan menemani bintang!
tanyanya.
Kau mau
membantuku? tanyaku balik tanpa meghiraukan pertanyaannya
yang aku pun tak tahu jawaban apa yang harus kuberikan.
Baiklah. Dia
pun membantuku, meniti langit malam yang kian malam kian licin,
tanpa menghiraukan pertanyaannya tadi.
Awalnya sangat sulit
meraihnya tetapi aku dan dia tetap berusaha keras untuk
membuangnya. Suatu malam lelaki itu bertanya kepadaku.
Mengapa kau tak
menyukai bulan belah semangka? Padahal sungguh nikmat apabila
memandangnya.
Memandangnya aku
merasa muak, aku menjadi ingat akan kejadian yang belum usai
yang pernah kujalani dengan seseorang, dan kau tak perlu
mempersoalkannya yang penting bulan itu dapat kubuang agar aku
dapat melupakan semuanya, itu sudah cukup menyenangkan diriku.
Jadi tak perlu kumenikmatinya.
Kau sama seperti
ku, aku pun membenci bulan itu, karena dia gadisku pergi. Dia
bilang aku tak pernah memberikannya sepotong bulan belah
semangka. Seandainya bulan itu milikku akan kuberikan semua
untuk dia, tidak hanya sepotong saja. jelasnya.
Jadi begitu
ceritanya! Lelakiku memiliki bulan itu tetapi dia tidak pernah
memberikannya kepadaku, jangankan memberi sepotong
menikmatinya pun tak pernah.
Sungguh sial nasib kita, hanya gara-gara bulan itu kita kehilangan
orang yang kita cintai.
Sudahlah tak
perlu disesalkan. Dia juga tidak akan kembali. Jadi
lebih baik kita musnahkan saja bulan itu. Kau lihat air
merahnya sudah menetesi malam. Sebaiknya kita harus
cepat-cepat membuangnya.
Ya, itu benar.
Sebaiknya kita membuangnya malam ini saja, agar hatimu maupun
hatiku tak menjadi gelisah lagi. katanya.
Malam itu juga aku
dan lelaki yang masih tak ingat namanya itu telah berhasil
membuang bulan itu ke tong sampah yagn penuh dengan belatung.
Sungguh menjijikkan
***
Di
langit tak terlihat lagi bulan belah semangka, begitu lega
melihatnya. Namun, aku menjadi kasihan dengan malam, tak
berteman. Lelaki
itu juga mengatakan bahwa aku harus mengambil keputusan yang
benar. Dia saja tak memikirkan keputusan yang dia ambil
waktu menolongku untuk membuang bulan itu. Mungkin dia terlalu
benci, sampai-sampai tak memikirkannya, ah
sudahlah tak
perlu diributkan pikirku dalam hati.
Beberapa malam ini aku bingung, harus menggantinya dengan apa. Apakah
dengan bulan sabit atau bulan purnama? Tetapi, bila
dipikir-pikir bulan itu jelek. Tak sesuai dengan keadaanku
yang entah bagaimana. Karena keadaanku, perasaanku, hatiku tak
berbentuk akhirnya aku mengganti bulan belah semangka dengan
bulan tak berbentuk. Malam pun akhirnya memiliki teman lagi.
***
Di
suatu sudut malam bulan tak berbentuk sungguh indah dinikmati
berdua atau pun sendirian, baik itu di beranda maupun di
jendela. Dan malam ini aku menikmatinya berdua dengan lelaki
yang telah menolongku, lelaki yang masih tak tahu siapa
namanya. Dan aku berusaha untuk mengingatnya. Namun, aku tak
lagi berusaha mengingat namamu tapi aku masih menyayangimu.*****
I)
salah satu judul
cerpen karya Sandi Firly.
II)
kata-kata yang terdapat dalam cerpen Bulan Belah
Semangka.
Meilani
Wulan Sari
Siswi
SMAN 2 Banjarbaru |