ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

Hanya Daun dan Ranting

Cerpen: Rismiyana

Mereka duduk bersisian. Kampus sepi. Dingin yang menyertai hujan, dihantarkan angin sore, menyelusup pori-pori. Dia suka hujan, teman di sampingnya mengetahui itu.  

“Terkadang aku ingin meyakini bahwa kematian adalah pembebasan, sebagai akhir kehidupan yang akan membawa pada kekekalan kesunyian dan keberakhiran dari kesulitan yang kuhadapi.” Dia berkata sambil mencoba menemukan titik hujan yang membias membentuk percikan jarum kecil.

“Hanya saja keyakinan akan adanya hari pembalasan telah mengakar, mengendap bahkan ketika berada pada batas kewarasan dan kegilaan sekalipun.”

“Dita, jangan ngomong seperti itu.” Teman di sampingnya memandangnya dengan  tatapan prihatin.

“Aku capek, kalau tidak segera mati aku pasti akan gila…” Dia menoleh ke samping, menyembunyikan dua titik hujan di pipinya.

“Jangan menangis, kau membuatku sedih.”

Sesaat keduanya terdiam, mamandang hujan yang terlihat belum akan reda

***

Waktu saat itu menunjukkan pukul lima pagi. Bis yang kutumpangi akan segera berangkat. Kursi penumpang hampir terisi penuh. Hanya beberapa saja yang belum ditempati. Mbak Nie duduk di sampingku, gurat-gurat kelelahan tergambar jelas  di wajahnya. Sehari sebelumnya dia tiba dari Jakarta untuk memastikan keadaanku. Rapat keluarga yang dipimpin ayah memutuskan menyetujui kehendakku mengikutinya dan tinggal bersamanya di Jakarta.

Lima belas menit kemudian bis penuh. Ayah yang  mengantarku dan Mbak Nie ke terminal, naik ke dalam bis. Tangannya mengulurkan dua kotak berisi kue untuk sarapan kami. Mbak Nie kemudian mencium tangannya berpamitan. Aku mengerjakan hal yang sama, kucium punggung tangan sawo matang kasar yang mulai keriput itu. Maafkan aku telah mengecewakanmu ayah, batinku.

“Kembalilah kalau sudah merasa baikan. Jangan memaksakan diri untuk sekolah lagi. Bagi ayah, keadaanmu kembali seperti dulu itu sudah cukup.” Suara ayah terdengar begitu sayu. Saat itu aku seperti tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di kedua sudut mata ayah kulihat dua mata air mengalir. Sebelumnya aku tak pernah melihat ayah menangis.

Perjalanan dalam bis pagi itu adalah perjalanan paling mengerikan yang pernah aku alami. Bermula ketika bis akan berangkat, kulihat beberapa orang menaikkan sebuah lemari besar ke atas bis. Selanjutnya sepanjang perjalanan kudengar suara di belakangku berbisik. Bahwa lemari itu digunakan untuk mengurungku. Sementara itu tiga lelaki yang sebelumnya kulihat menaikkan lemari terus mengawasiku. Aku tahu mereka berencana mengikatku, mengurungku dalam lemari itu. Sepanjang perjalanan tubuhku kurasakan gemetar ketakutan.

 

Semuanya mungkin berawal sejak lama. Sejak aku suka menyepi di kebun belakang rumah saat menahan amarah. Kemudian kemarahan itu menginsfirasiku untuk membakar pohon-pohon di sekelilingku, mencabutinya, dan melemparkannya ke segala arah. Setelah amarahku reda aku meninggalkan kebun itu dalam keadaan semula.

Saat itu aku lebih suka bermain boneka-boneka kayu sendirian dengan tokoh dan cerita yang kuciptakan sendiri dari pada bermain dengan kakak-kakakku yang lain. Aku suka menyendiri dengan buku-buku tentang pembalasan di hari kiamat, buku-buku fiqh, dan buku kumpulan khutbah jumat milik ayah.

Hingga sepuluh bulan setelah menginjak bangku SMU. Buku-buku filsafat dan novel-novel surealis membawa imajinasiku ke dalam ruang aneh. Terlalu banyak perbenturan nilai. Setiap orang perlu konsep pasti tentang kebenaran. Dan filsafat menawarkannya hanya saja ia, menentukan arah nilai itu sesuai selera para pemikirnya.

Menjadi gila. Dalam novel-novel surealis itu, orang gila tak perlu tertawa, tak perlu menangis. Tidak perlu pusing dengan kebenaran, keadilan yang tak ada di sekeliling. Gila yang menenangkan.

Angka-angkalah yang memberitahuku, bahwa ada yang berubah. Aku yang selalu juara, lulusan terbaik sekolah, ternyata tak bisa menghitung angka-angka. Di benakku angka-angka  berserakan tanpa aturan.  

Kemudian aku mulai bermimpi didatangi kecoak raksasa. Kecoak itu ingin meninjak-injak tubuhku. Setiap malam aku terus bermimpi tentang kecoak itu, aku dikejar-kejar, berlari, jauh. Akhirnya aku tak berani memejamkan mata, tapi teror-teror itu tak lagi datang dalam mimpi. Bermalam-malam selanjutnya aku merasa rumah dikepung, bisikan-bisikan terdengar di balik dinding kamarku. Mereka ingin menangkapku, mereka ingin memasungku.

Hanya aku yang merasakan teror-teror itu. Orang lain tidak. Mereka hanya melihatku gemetar ketakutan sepanjang malam. Mondar-mandir di dalam rumah, mengintip orang-orang lewat di pintu kaca sepanjang siang. Untunglah Mbak Nie segera datang, ingin tahu keadaanku. Dia menawarkan dua  pilihan; RSJ atau terapi psikiater. Aku memilih yang kedua dan meminta ikut tinggal bersamanya di Jakarta.

Selama dua bulan Mbak Nie rutin membawaku ke psikiater. Pil-pil penenang kuning lonjong, bulat putih, dan bulat mungil biru, 3 kali sehari harus kukonsumsi. Nasihat Mbak Psikiater itu terus terngiang ditelingaku. Akan tetapi niatku tidak berubah bahwa aku ke Jakarta, tinggal bersama Mbak Nie adalah agar aku bisa diam-diam mati.

Sebenarnya sebelum ke Jakarta aku suidah berniat mati. Hanya, sisa-sisa kesadaranku masih menyimpan ingatan bahwa memutuskan mati dengan sengaja karena putus asa letaknya abadi di neraka. Itu tidak kuinginkan. Bukankah sejak kecil, selesai membaca buku-buku khutbah Jumat milik ayah aku selalu berdoa untuk mendapat khusnul khotimah.

Namun, keadaan terus berubah. Aku lelah. Seseorang yang berada di bawah bayang kegilaan sepertiku mungkin tak berharap apa-apa selain mati. Ada ketakutan-ketakutan berlebih pada hal tak berdimensi. Realita, imajinasi campur aduk. Tak ada ilusi, yang ada halusinasi. Memang obat-obat penenang itu membuat teror-teror tak datang lagi. Aku bisa tidur tanpa bermimpi. Tapi, masihkah ada harapan. Aku sudah drop out dari sekolah, orang-orang yang mengenalku sudah mencapku gila. Jadi, untuk alasan apa aku terus hidup dalam keadaan sepertin itu?

Tinggal memilih cara mati. Berlari menabrakkan diri ketengah jalan raya di samping rumah. Pergi kedekat stasiun yang berjarak 300 M dari rumah, tempat kakakku biasa berangkat kerja dan berdiri di relnya menanti lindasan kereta api. Atau menenggak isi kaleng baygon di lemari. Masih ada satu lagi, memotong urat darah di nadi.

 

Sore itu pisau kecil itu sudah kubersihkan. Aku telah memutuskan bahwa cara paling praktis untuk mati adalah memotong urat di nadi. Aku malas keluar rumah menuju jalan raya dan rel kereta api. Meminum baygon? Tetanggaku dulu gagal bunuh diri karena racun itu reaksinya lambat. Aku hanya perlu menekan pisau itu kuat-kuat ke pergelangan tanganku, seperti aku biasa memotong ikan mas yang sebelumnya sering kulakukan sebelum menggorengnya. Untuk memastikan ketajaman pisau, kugoreskan telunjuk kiriku pada mata pisau. Darah! 

Pasti sakit, tapi hanya sebentar. Setelah itu aku akan mati. Tapi.., benarkah aku pasti akan mati? Bukankah dalam buku khutbah Jumat milik ayah mengatakan, waktu kematian telah ditentukan di lauhil mahfudzh. Manusia tidak bisa memajukannya walau sedetik. Aku bisa mencobanya!  Tapi, bagaimana kalau setelahnya aku tidak mati, belum saatnya mati. Bukankah aku sudah terlanjur melukai tanganku. Kalau tidak mati aku pasti akan sakit,diberi obat, dibawa kerumah sakit, dan itu perlu biaya. Mbak Nie pasti akan membayar biaya itu, sama seperti ia membayar biaya konsultasi ke psikiater dan menebus tablet-tablet penenang itu.

Suara pluit! Kereta api jam lima sudah datang. Mbak Nie tidak ada dalam kereta itu. Ia belum pulang, kereta api yang dinaikinya menjelang Isya baru akan sampai. Perlu waktu tiga  jam di perjalanan. Dia pasti capek. Apalagi hari liburnya digunakan untuk mengurusku. Mengantarku ke rumah sakit, mengajakku rekreasi. Dia pun sudah mengurus sekolah baru, seragam dan semua peralatan sekolah sudah dibelikannya untukku. Pisau yang akan kugunakan itu biasa digunakan Mbak Nie untuk memotong buah. Buah-buah apel yang dibelikannya untukku menumpuk di kulkas. Ada yang sudah membusuk. Ah.., Mbak Nie…. Beberapa kali dia pulang kehujanan, tapi dia masih sempat membelikan mie ayam panas kesukaanku. Dia terlalu baik. Aku tak ingin apa yang dia kerjakan untukku sia-sia. Aku tak tega mengecewakannya.

***

“Kamu beruntung, penderita scizoprenia jarang bisa sembuh.” Vita menggelengkan kepala, menatap Dita, yang ada didepannya. Cerita Dita barusan membuatnya takjub. Skizoprenia, ia yakin itu yang dulu diidap Dita.

“Pantas saja,  dulu setiap pulang dari kampus kamu sering menceritakan lelaki gondrong yang di dekat Sabilal itu. Kamu kasihan melihatnya ngomel sendiri. Eh, tapi  .… kamu benar-benar sudah sembuhkan?” Pertanyaan itu tampak mengagetkan Dita.

“Empat tahun pertama setelah memutuskan berhenti terapi dan memilih tinggal di sini. Aku masih berfikir tentang mati. Aku terbiasa berfikir tentang kebenaran segala sesuatu secara detail. Tapi, standar nilainya tidak jelas. Hasil dari perenungan panjangku membuatku mengakui yang dikatakan Yoshikawa, bahwa semua hanya dedaunan dan rerantingan, yang tak berarti” Dita berhenti berkata, menghembuskan napas pelan.

“Namun, saat keputusasaan menjangkitiku. Seorang teman datang. Ia menawarkan konsep kebenaran yang memuaskan akal, menentramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia. Bahwa apa yang kita jalani dalam hidup ini, tergantung dari jawaban kita atas tiga pertanyaan mendasar; dari mana asal kita, untuk apa kita hidup, dan kemana kita setelah mati. Jawaban atas ketiga pertanyaan itu akan menentukan sudut pandang kita dalam menilai kebenaran. Dengan metode berfikir rasional, semua pertanyaanku terjawab. Bahwa semuanya berasal dari ciptaan Allah, hidup untuk beribadah kepada Allah, dan kelak akan kembali mempertanggungjawabkan semuanya kepada-Nya.” Dita memejamkan matanya, sambil menarik nafas dalam-dalam. “Sekarang aku merasa tiap menit, tiap detik hidup ini begitu berarti.”

Vita menatap sahabatnya, lama. Agak ragu, dia  tersenyum, penuh makna.***

 

Sejak 5 Oktober 2005