ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

Dari Sebuah Rumah Lanting

Cerpen: Nina Idhiana

Namanya Yeni. Kanak-kanak usia sekolah. Tak ada yang tahu berapa usia tepatnya kecuali sang ibu yang pergi meninggalkannya, bahkan rela mengikat salah satu pergelangan kakinya bak seekor kera piaraan. Seutas tali yang menghubungkan pergelangan kaki kirinya dengan salah satu kayu di rumah lanting1) tanpa atap itu membatasi dunia masa kecil Yeni. Rumah lanting itulah rumahnya, di mana dulu ayah dan ibu serta kakak-kakaknya tinggal. Sebelumnya rumah itu beratap, sebelum para penghuninya memutuskan untuk tidak hidup satu atap lagi. Kini tinggal Yeni penghuni tunggal rumah mungil terapung itu. Di sanalah dunianya. Dan dia hanya kenal sungai…sungai…dan sungai.

***

Orang-orang kampung memanggilnya Pe’ah. Mungkin nama aslinya Rofi’ah. Tapi mereka tak peduli, mereka lebih senang menyebutnya begitu. Lidah orang Banjar kebanyakan manja, tak mau berusaha untuk mengeja sesuatu yang mereka anggap ribet. Akibatnya, mereka sulit melapalkan huruf F, R dan Z.

Pe’ah dan lakinya bukan pengikut KB. Jangankan Keluarga Berencana, Keluarga Bahagia pun agaknya sulit diwujudkannya. Jauh dari keluarga sakinah. Lakinya tak punya kerja tetap. Apa saja dikerjakan asal dapat mengisi perut para anggota keluarganya. Halal haram tak lagi diperhitungkannya dalam mencari nafkah. Dengan modal pendidikan enam tahun, pekerjaan yang didapatnya hanya cukup untuk makan dua kali sehari bagi keluarganya. Ia tak punya tanah untuk membangun rumah tinggal. Berpedoman pada pepatah “tak ada rotan, akar pun jadi”, mereka pun beranggapan “tak ada tanah, sungai pun jadi”. Mereka merakit sebuah rumah lanting di pinggiran sungai Martapura di kawasan Banjarmasin Tengah yang ditambatkan di beberapa tunggul2) di tepi dalam sungai. Bila air pasang, rumah mereka berada di tepi. Sebaliknya bila air sungai surut, rumah mereka jadi jauh dari darat alias lebih ke tengah sungai. Kalau dipikir-pikir lucu juga, mereka jadi sulit menentukan alamat rumahnya sendiri.

Di tengah keadaan seperti itulah Yeni lahir. Entah sudah berapa banyak kakaknya. Saat Yeni mulai tumbuh, Pe’ah, ibu Yeni, mulai menyadari keterbelakangan mental anak bungsunya itu. Rupanya malang berulang datang bertandang lagi di keluarga itu. Laki Pe’ah memutuskan untuk berpoligami. “Haha…”, Pe’ah hanya bisa tertawa getir dalam hati. Haha… sekali lagi haha… Seorang pekerja tidak tetap yang lebih condong kepada pengangguran tidak kentara seperti dia mana bisa menafkahi dua istri sekaligus. Omong kosong! Padahal syarat utama poligami harus adil. Adil dalam memenuhi kebutuhan lahir dan juga batin. Sudah jelas alasan laki Pe’ah untuk berbini dua bukan untuk alasan ibadah. Ini makin jelas setelah si laki jadi berbini baru. Ia tak pernah lagi pulang ke rumah. Selama berhari-hari istri tua dan anak-anaknya menunggu, selama berminggu-minggu mereka menunggu, sampai berbulan-bulan mereka menunggu, hingga kejenuhan hinggap di mata, pikiran, dan hati mereka yang sudah terlalu lelah untuk menyetiai sang kepala rumah tangga yang nyatanya tak setia pada mereka.

Perasaan bosan dan tidak sanggup menjadi single parent membuat Pe’ah nekat menjual anak bungsunya. Pilihannya dikarenakan hasrat untuk mendapat uang dan mengurangi beban hidup. Yeni satu-satunya anak yang tak bisa diandalkan baginya. Saudara-saudara Yeni yang lain bisa disuruh bekerja. Sedangkan Yeni, bersikap normal saja sulit. Kerjanya hanya diam. Tak jarang ia bicara dan tertawa sendiri. Ia punya dunia lain yang baginya tak berbatas ruang dan waktu. Pe’ah malu dan sedih tak bisa mengobati putrinya. Dengan menjual anaknya setidaknya ia ingin hidup lebih baik. Namun, sang calon pembeli tak mau membeli Yeni lantaran penampilannya yang tak menarik. Kulit hitam terpanggang, dekil, berantakan dan hal lain yang ada pada Yeni tak membuat sang pembeli rela merogoh kocek untuk membelinya. Akhirnya Pe’ah meninggalkan Yeni di jalanan. Ya, dia membuang putri bungsunya! Untunglah salah seorang saudara Pe’ah tak sengaja bertemu Yeni. Pria itu membawa Yeni kembali pada Pe’ah.

Pe’ah frustasi. Ia akhirnya menikah dengan seorang lelaki. Perceraiannya dengan pendamping terdahulu memang tak pernah diresmikan baik secara agama maupun hukum. Begitulah. Pada keluarga dengan tingkat sosial semacam keluarga Pe’ah, tak perlu adanya surat-surat cerai, apalagi gugat-menggugat dan berebut hak perwalian anak serta harta gonogini seperti para selebritis kita yang sedang terkena demam pisah ranjang dan cerai. Masalah hidup saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Dalam perceraian Pe’ah tak ada kata talak maupun surat cerai. Mereka berpisah. Bila mereka bertemu lagi, terserah mereka mau saling beranggapan mantan istri dan mantan suami atau tidak. Yang pasti mereka sama-sama sudah punya keluarga baru.

Laki baru Pe’ah tak menyukai Yeni. Ia tak mau menerima Yeni dalam keluarganya. Demi kehidupan yang diharap Pe’ah lebih baik, ia meninggalkan Yeni di rumah lamanya. Kaki Yeni diikat dalam rumah beruang tunggal di sungai itu agar tak ke mana-mana. Pe’ah sadar, dengan keterbelakangan mental Yeni, bukan tidak mungkin dia akan menyelam lama dalam air lalu mati, atau berenang sejauh-jauhnya sampai ke laut dan menjadi manusia ikan seperti dalam dongeng “Deni Manusia Ikan”. Entah pemasungan itu lebih dikarenakan keegoisan Pe’ah untuk menempuh hidup baru atau rasa sayangnya yang tersembunyi kepada Yeni, yang jelas orang-orang di sekitar tempat tinggalnya mencap Pe’ah sebagai ibu yang kejam.

Mengetahui hal itu, paman Yeni yang beberapa waktu lalu mengembalikan Yeni pada Pe’ah, mengusulkan agar Yeni dititipkan di panti asuhan agar tak terlantar. Rupanya keluarga sang paman pun keberatan untuk mengangkat Yeni jadi anak. Paman Yeni mendatangi panti asuhan yang dimaksud dan mengutarakan maksudnya pada pihak panti. “ Inya mun behera bepadah lah?3),” kata pihak panti. “Kada, pang4),” jawab paman Yeni. Dan pihak panti asuhan pun menolak untuk menerima Yeni. Kasihan Yeni. Banyak orang mengibainya, namun banyak juga yang tak menginginkannya. Akhirnya sang paman setuju untuk membiarkan Pe’ah memasung Yeni dalam rumah. Awalnya hanya sedikit orang yang tahu tentang hal ini. Namun, saat rumah lanting itu mulai lapuk dan kemudian roboh, maka terbukalah jelas pemandangan mengharukan itu bagi setiap orang yang lewat di sungai tersebut. Para tetangga ramai memperbincangkan kisah Yeni. Tak jarang orang-orang di kelotok5) singgah sebentar untuk memberi Yeni makanan, bahkan kerap melemparkan baju kaos kepadanya. Mereka saling bertanya-tanya tentang Yeni, tentang kisahnya. Namun Yeni tetap terbuang, terkucilkan. Ia tak mau memakai pakaian, ia telanjang. Banyak yang mengira Yeni anak lelaki, seperti prasangkaku pada awal melihatnya.

Yeni anak asuhan alam, dingin dirasa tiap malam. Bila petang mulai bersetubuh dengan kelam, ia sering terlihat bicara sendiri, seperti ada teman yang tak terlihat seorang pun kecuali Yeni sendiri. Entah pada siapa ia bicara. Pada Bulan, pada sungai, pada angin malam, pada kayu dan tunggul-tungul, atau pada temannya di alam yang ia ciptakan sendiri. Yeni tak kesepian, hanya kulitnya yang kian legam yang membuatnya terlihat memilukan. 

***

Pe’ah duduk menggendong seorang bayi mungil seraya menghitung receh-receh yang dikumpulkannya sedari pagi tadi. Kemudian ia menengadah mencari matahari sore yang jingga berkilau sendu. Ia sekadar ingin mencari tahu pukul berapa sekarang. Setelah ia yakin bahwa sudah cukup sore untuk mengakhiri pergulatannya dengan hari, segeralah dipanggilnya beberapa anaknya yang tak jauh darinya. Si sulung masih asyik menyanyikan lagu “Pudar”-nya Rossa secara asal-asalan pada seorang bapak yang menunggu lampu hijau menyala agar dapat melajukan mobilnya. Si bapak cuek. Sekali lagi Pe’ah memanggil si sulung. Si sulung datang. “Sadikit haja ma’ ai kolehan hari ini! Sarik bisa abah, ma’ lah!6),” ujarnya. “Kada papa kalu, nak ai! Mama kolehan banyak hari ini, nah!7),” jawab Pe’ah. Mereka lalu pulang ke rumahnya. Di rumah, sang kepala rumah tangga sedang duduk santai menikmati secangkir kopi pahit sambil menunggu kedatangan istri dan anak-anak tirinya yang akan membawa banyak receh untuknya.

***

Sore itu indah namun terlalu pilu untuk mengingat kisah gadis dalam pasungan itu. Aku duduk di bangku tepi sungai sambil memandangnya. Ia melemparkan senyum ajaibnya. Seorang lelaki berpakaian rapi datang dan duduk di sebelahku. “Coba kalau dia mau pake baju, aku mau bawa dia ke Jakarta buat jadi anak angkatku. Kasian, ya, Nin!”, ujarnya. “Heh? Iya…”, jawabku pendek. Pria itu cuma satu dari sekian banyak yang berlagak ingin merawatnya tapi cuma bisa diam dan diam. Asal bunyi! Lebih baik diam kalau tak ada bukti.***

 

Guntung Payung, 17 Juli 2005

Nina Indhiana

Baru saja tamat dari SMA Negeri 1 Banjarbaru

 

Catatan:

1) : rumah terapung

2)  : kayu atau tonggak yang terpancang di tanah

3)  : apa dia bilang, kalau mau buang air besar?

4) : nggak, sih!

5)  : perahu bermesin

6)  : cuma sedikit pendapatan hari ini, bu! Mungkin ayah marah, ya bu!

7)  : mungkin nggak apa-apa, nak! Ibu dapat banyak hari ini.

Sejak 5 Oktober 2005