Lelaki
di Titik Sepi
Cerpen:
Ratih Ayuningrum
Pertama
kali yang kutangkap dari sosoknya adalah sorot mata yang tegas.
Mata itu tajam, setajam kata-kata yang meluncur dari mulutnya.
Aku terhipnotis pada sosoknya. Kelihaiannya merangkai kata dan
retorikanya yang patut kuacungi dua jempol benar-benar telah
menyihirku. Dia seolah membawa daya magis. Semua orang yang
ada di ruangan itu terpana akan pemainannya bersilat lidah,
tak terkecuali aku.
Kali
ini dia kembali menyihirku. Aku terpesona pada sosoknya. Dia
adalah sosok idealis di mataku. Sosok yang menyenangi
tantangan dan perjuangan. Perjuangan?! Kata yang kupikir cukup
manis kusandangkan buat hidupnya.
Aku
mengenalnya hampir setahun lewat. Kami sama-sama tergabung
dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Jujur, aku begitu
mengagumi sosoknya. Bagiku sosok sepertinya di zaman
individualis yang makin meraja ini, begitu langka. Dia adalah
tipe seseorang yang hidup dan pemikirannya selalu ditujukan
untuk orang lain.
Entahlah,
karena kemenarikan dari sosoknya itu pulalah pada akhirnya
menarikku pada satu komunitas yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya. Aku tercebur di dalamnya. Pada sebuah komunitas
yang menekankan landasan hidup pada pilar-pilar kokoh dan
mengatasnamakan perjuangan untuk rakyat. Aku tidak tahu dan
tidak terlalu memahami landasan perjuangan komunitas itu.
Kemana gerak mereka dan bagaimana strategi geraknya? Yang
kusadari adalah keberadaanku di sana karena sosoknya yang
benar-benar telah membiusku. Selebihnya, aku tak tahu apa-apa.
***
Puuh!
Asap rokok yang mengepul tebal membuatku gerah. Aku terbatuk
kecil. Kukibaskan tangan sekadar menghalau gumpalan asap rokok
agar tak menyinggahi ruang pernafasanku. Sejurus kemudian
kulihat asap rokok itu berhenti seiring dengan dilumatkannya
batang rokok terakhir.
“Dis,
besok akan ada acara diskusi antara pejabat dengan mahasiswa
mengenai pendidikan. Kamu mau ikut tidak?”
Aku
mendongak. Suasana senat kampus masih sepi, hanya ada aku dan
sosok yang kukagumi beberapa jeda terakhir. Sosok yang mulai
menyusup mencuri separuh mimpiku.
“Dimana,
Dan?”
“Di
Rektorat Kampus” sahut sosok itu yang belakangan kemudian
kuketahui bernama Danu, sang aktivis kampus yang katanya
perduli dengan permasalahan rakyat.
Aku
ini adalah seorang anak yang dilahirkan dari rahim seorang
rakyat. Rakyat yang selalu merintih ketika BBM mulai dinaikkan,
rakyat yang selalu saja merintih kala malam tak punya apa-apa
sekadar mengganjal perutnya yang lapar, rakyat yang hanya
punya suara rintih tertahan untuk mengisyaratkan bahwa mereka
adalah kaum yang terlupakan. Jadi, wajar kalau aku begitu
keras berjuang untuk rakyat. Tuturnya suatu ketika pernah
kulontarkan tanya tentang kegigihannya berjuang untuk rakyat.
“Ooo…”
gumamku menanggapi jawabnya barusan
“Cuma
itu? Kamu tidak tertarik untuk ikut?” ujarnya sambil
memicingkan mata
Aku
menggelengkan kepala.
“Tumben?!
Manusia yang punya otak kritis seperti kamu tidak tertarik
untuk ikut dalam diskusi macam itu. Siapa tahu setelah kamu
menelorkan ide-ide brilian di sana, besoknya akan langsung ada
pencanangan perbaikan sekolah-sekolah rusak bin bobrok,”
ujarnya dengan nada suara sedikit sinis.
“Kamu
sendiri?” ucapku balik bertanya “Tidak tertarik ikut?”
Danu
menghela nafasnya. Setengah tertawa, kembali sebatang rokok
menyala. Ini sudah bungkus yang ketiga. Dihirupnya dalam dan
lamat. Asap mengepul bagai kereta api memenuhi ruangan yang
tidak terlalu lebar.
“Memang
kalau aku ikut akan ada yang berubah?! Tidak kan? Ada atau
tidak ada aku sama saja! Suara kecil satu orang macam aku
tidak akan ada gunanya!”
Aku
mengernyitkan dahi. Sosok yang sekarang berada di depanku ini
penuh teka-teki. Barusan tadi, dia menyuruh aku untuk ikut eh
sekarang malah dia yang enggan ikut.
“Kamu
aneh, Dan”
Danu
berpaling ke arahku. Senyumnya mengembang datar. Getir.
Kembali ujung rokok menyentuh bibirnya yang mulai berubah
warna. Bisa diidentifikasi kalau lelaki ini adalah seorang
perokok berat.
“Aku
cuma bercanda menyuruhmu untuk ikut,” tandasnya datar,
sedatar segudang pengakuan tentang hidup yang pernah mengalir
dari mulutnya.
“Hei!
Ada apa sih dengan kamu, Dan? Tidak biasanya kamu loyo seperti
ini? Di mana spirit perjuangan kamu. Kamu aneh!”
Dia
hanya menjawab dengan sebuah isyarat. Tak ada lagi yang perlu
kutanyakan. Aku pun mengerti dan selanjutnya kesunyian
menyergap suasana.
***
Bagiku
hidupnya adalah sebuah keramaian. Di mana saja dia berada,
selalu ada sosok yang mengenalnya. Dia adalah sosok tangguh
yang punya banyak jaringan yang memperkuat perjuangannya. Dia
adalah seseorang yang hidupnya tak pernah sepi. Silih berganti
manusia mengalir datang mewarnai hidupnya.
Selalu,
gelak tawa membahana terdengar dari khas suara miliknya. Tak
peduli sedih ataupun senang. Dia pintar, gigih, dan konsisten
dalam memegang amanah perjuangan. Aku benar-benar jatuh pada
kharisma sosoknya. Sosok lelaki yang menumpahkan hidupnya pada
hiruk pikuk urusan rakyat kecil.
Namun,
selalu kemudian tatkala jelaga mencumbu langit kutemukan
sosoknya duduk menyendiri. Memilih sepi sebagai kawan karib.
Lama, yang terdengar kemudian adalah isaknya yang sedikit
melankolis.
Dan
yang ada hanyalah Danu yang datar. Sedatar pengakuannya yang
kadang-kadang dia ujarkan padaku. Entah, sosoknya begitu
misterius bagiku. Sekali waktu dia menjelma sebagai seorang
aktivis yang penuh semangat, sekali waktu kemudian dia berubah
menjadi seorang penyendiri, dingin, dan kalah oleh keadaan.
Perjuangannya stagnan ketika semua celah tertutup. Semangatnya
luntur tatkala arus mulai deras menghantam laju perjuangannya.
Dia benar-benar sosok yang penuh misteri.
***
“Aku
kering, Dis” ucapnya pada suatu ketika. Hujan masih gerimis
di senja kali ini. Aku menatapnya heran. Ini adalah pertemuan
kami yang pertama sejak aku memutuskan untuk menarik diri dari
komunitas yang telah membesarkan Danu. Aku memilih untuk pergi
ketika kutemukan semua semu dan mengambang.
Aku
menatapnya heran. Wajahnya kuyu, sorot matanya layu, ada
setumpuk beban yang menyelinap diam-diam pada ruang jiwanya
dan itu mampu merontokkan semangat dan ceria yang biasa
menjadi miliknya. Huh! Ternyata, sosok yang kuanggap keramaian
ini dulu, kini duduk dengan lesu di depanku. Tanpa makna.
Entah, pantas rasanya kalau kukatakan, lelaki ini adalah sosok
yang kesepian ditengah ramai warna hidupnya. Matanya tak dapat
berdusta kalau dia memang kesepian.
“Aku
kering, Dis”, ulangnya kemudian “Dan merasa mati. Aku tak
menemukan apa-apa dalam komunitas itu selain omong kosong.
Semua palsu! Mereka tidak punya transparansi perjuangan.
Mereka tidak punya tujuan yang jelas. Itu menyiksaku. Bekerja
tanpa tahu kita hendak mencapai apa. Mereka hanya berpijak
pada emosi dalam perjuangan dan tidak mengedepankan pemikiran.
Aku merasa kerdil, Dis. Komunitas itu membunuh kreativitasku.”
Tak
ada satupun yang ingin kutanggapi dari perkataannya. Kubiarkan
kemudian mengalir kata-kata darinya
“Mereka
mengaku berjuang untuk rakyat, nyatanya?! Kamu tahu perjuangan
mereka itu terkadang dilandasi oleh proyek! Ya, proyek! Mereka
akan bergerak ketika ada komando dari pihak-pihak yang punya
kepentingan dengan iming-iming yang tidak sedikit.
Mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan segelintir kaum.
Mereka memanfaatkan nama rakyat untuk mencapai sesuatu. Aku
kecewa dengan perjuangan seperti itu. Bahkan, terkadang
anarkis dan aku sangat tidak suka itu!”
Aku
tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan. Sepi lebih betah menyelimuti kami. Sosok di
depanku, sosok yang dulu begitu kukagumi dengan semangat
perjuangannya, kini mengeluh dengan hampa pada jiwanya. Sebuah
hampa yang mungkin sama dengan yang pernah kurasakan ketika
beberapa masa komunitas itu menjadi pijakanku. Terlebih lagi
ketika hakikat perjuangan yang mereka agung-agungkan telah
terkontaminasi oleh pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan.
Aku menjadi muak dan “mati suri”
***
Dan
setelah hari itu tak pernah sekalipun aku bertemu dengan Danu
lagi. Kuharap penjelasanku hari itu membuatnya mengerti
mengenai konsep perjuangan seperti apa yang kumiliki sekarang.
Mengenai perubahanku yang total, baik penampilan fisik maupun
perombakan pemikiran. Ya, otakku kucuci dengan sebuah
pemikiran yang tak pernah kujamah sebelumnya. Hal yang
sebenarnya selama ini sudah menjadi peganganku, namun aku
samar. Kini kutemukan pada sebuah komunitas. Sebuah komunitas
yang benar-benar menanamkan nilai-nilai kokoh dalam metode
perjuangannya. Sebuah perjuangan yang tak hanya memakai label
perjuangan semata, tetapi lebih dari itu!
Langit
kelabu, ini masih Juni. Namun, agaknya hujan betah bertandang
terlalu awal. Kuambil koran hari ini. Tak ada yang terlalu
menarik perhatianku. Kubolak-balik dengan tergesa. Tapi,
tiba-tiba mataku terpaku pada satu kolom. Mulutku menyeruak
lebar, serasa ada yang menyesaki dadaku.
“Seorang
pemuda tewas akibat bentrok dengan aparat pada aksi yang
dilakukan sekelompok gerakan, kemarin. Dari tanda pengenal
korban diketahui korban bernama Danu Sardi. Di bagian kening
korban ditemukan kain pengikat kepala bertuliskan lafaz suci.
Diduga korban adalah aktivis….”
Tak
dapat kulanjutkan lagi membaca baris demi baris berita itu.
Ada yang bergemuruh dalam dadaku dan tak tahu harus kunamakan
apa? Benarkah Ya Rabb kalau itu adalah Danu yang pernah
kukenal dulu dan kini berjuang pada lini yang sama denganku???
Yang ada kemudian hanyalah buliran airmata memenuhi ruang
sunyi…***
Ratih
AYuningrum
Mahasiswi
FKIP PBSID Unlam Banjarmasin |