ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

 

Lelaki di Titik Sepi

Cerpen: Ratih Ayuningrum

 

Pertama kali yang kutangkap dari sosoknya adalah sorot mata yang tegas. Mata itu tajam, setajam kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Aku terhipnotis pada sosoknya. Kelihaiannya merangkai kata dan retorikanya yang patut kuacungi dua jempol benar-benar telah menyihirku. Dia seolah membawa daya magis. Semua orang yang ada di ruangan itu terpana akan pemainannya bersilat lidah, tak terkecuali aku.

Kali ini dia kembali menyihirku. Aku terpesona pada sosoknya. Dia adalah sosok idealis di mataku. Sosok yang menyenangi tantangan dan perjuangan. Perjuangan?! Kata yang kupikir cukup manis kusandangkan buat hidupnya.

Aku mengenalnya hampir setahun lewat. Kami sama-sama tergabung dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Jujur, aku begitu mengagumi sosoknya. Bagiku sosok sepertinya di zaman individualis yang makin meraja ini, begitu langka. Dia adalah tipe seseorang yang hidup dan pemikirannya selalu ditujukan untuk orang lain.

Entahlah, karena kemenarikan dari sosoknya itu pulalah pada akhirnya menarikku pada satu komunitas yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tercebur di dalamnya. Pada sebuah komunitas yang menekankan landasan hidup pada pilar-pilar kokoh dan mengatasnamakan perjuangan untuk rakyat. Aku tidak tahu dan tidak terlalu memahami landasan perjuangan komunitas itu. Kemana gerak mereka dan bagaimana strategi geraknya? Yang kusadari adalah keberadaanku di sana karena sosoknya yang benar-benar telah membiusku. Selebihnya, aku tak tahu apa-apa.

 

***

Puuh! Asap rokok yang mengepul tebal membuatku gerah. Aku terbatuk kecil. Kukibaskan tangan sekadar menghalau gumpalan asap rokok agar tak menyinggahi ruang pernafasanku. Sejurus kemudian kulihat asap rokok itu berhenti seiring dengan dilumatkannya batang rokok terakhir.

“Dis, besok akan ada acara diskusi antara pejabat dengan mahasiswa mengenai pendidikan. Kamu mau ikut tidak?”

Aku mendongak. Suasana senat kampus masih sepi, hanya ada aku dan sosok yang kukagumi beberapa jeda terakhir. Sosok yang mulai menyusup mencuri separuh mimpiku.

“Dimana, Dan?”

“Di Rektorat Kampus” sahut sosok itu yang belakangan kemudian kuketahui bernama Danu, sang aktivis kampus yang katanya perduli dengan permasalahan rakyat.

Aku ini adalah seorang anak yang dilahirkan dari rahim seorang rakyat. Rakyat yang selalu merintih ketika BBM mulai dinaikkan, rakyat yang selalu saja merintih kala malam tak punya apa-apa sekadar mengganjal perutnya yang lapar, rakyat yang hanya punya suara rintih tertahan untuk mengisyaratkan bahwa mereka adalah kaum yang terlupakan. Jadi, wajar kalau aku begitu keras berjuang untuk rakyat. Tuturnya suatu ketika pernah kulontarkan tanya tentang kegigihannya berjuang untuk rakyat.

“Ooo…” gumamku menanggapi jawabnya barusan

“Cuma itu? Kamu tidak tertarik untuk ikut?” ujarnya sambil memicingkan mata

Aku menggelengkan kepala.

“Tumben?! Manusia yang punya otak kritis seperti kamu tidak tertarik untuk ikut dalam diskusi macam itu. Siapa tahu setelah kamu menelorkan ide-ide brilian di sana, besoknya akan langsung ada pencanangan perbaikan sekolah-sekolah rusak bin bobrok,” ujarnya dengan nada suara sedikit sinis.

“Kamu sendiri?” ucapku balik bertanya “Tidak tertarik ikut?”

Danu menghela nafasnya. Setengah tertawa, kembali sebatang rokok menyala. Ini sudah bungkus yang ketiga. Dihirupnya dalam dan lamat. Asap mengepul bagai kereta api memenuhi ruangan yang tidak terlalu lebar.

“Memang kalau aku ikut akan ada yang berubah?! Tidak kan? Ada atau tidak ada aku sama saja! Suara kecil satu orang macam aku tidak akan ada gunanya!”

Aku mengernyitkan dahi. Sosok yang sekarang berada di depanku ini penuh teka-teki. Barusan tadi, dia menyuruh aku untuk ikut eh sekarang malah dia yang enggan ikut.

“Kamu aneh, Dan”

Danu berpaling ke arahku. Senyumnya mengembang datar. Getir. Kembali ujung rokok menyentuh bibirnya yang mulai berubah warna. Bisa diidentifikasi kalau lelaki ini adalah seorang perokok berat.

“Aku cuma bercanda menyuruhmu untuk ikut,” tandasnya datar, sedatar segudang pengakuan tentang hidup yang pernah mengalir dari mulutnya.

“Hei! Ada apa sih dengan kamu, Dan? Tidak biasanya kamu loyo seperti ini? Di mana spirit perjuangan kamu. Kamu aneh!”

Dia hanya menjawab dengan sebuah isyarat. Tak ada lagi yang perlu kutanyakan. Aku pun mengerti dan selanjutnya kesunyian menyergap suasana.

 

***

Bagiku hidupnya adalah sebuah keramaian. Di mana saja dia berada, selalu ada sosok yang mengenalnya. Dia adalah sosok tangguh yang punya banyak jaringan yang memperkuat perjuangannya. Dia adalah seseorang yang hidupnya tak pernah sepi. Silih berganti manusia mengalir datang mewarnai hidupnya.

Selalu, gelak tawa membahana terdengar dari khas suara miliknya. Tak peduli sedih ataupun senang. Dia pintar, gigih, dan konsisten dalam memegang amanah perjuangan. Aku benar-benar jatuh pada kharisma sosoknya. Sosok lelaki yang menumpahkan hidupnya pada hiruk pikuk urusan rakyat kecil.

Namun, selalu kemudian tatkala jelaga mencumbu langit kutemukan sosoknya duduk menyendiri. Memilih sepi sebagai kawan karib. Lama, yang terdengar kemudian adalah isaknya yang sedikit melankolis.

Dan yang ada hanyalah Danu yang datar. Sedatar pengakuannya yang kadang-kadang dia ujarkan padaku. Entah, sosoknya begitu misterius bagiku. Sekali waktu dia menjelma sebagai seorang aktivis yang penuh semangat, sekali waktu kemudian dia berubah menjadi seorang penyendiri, dingin, dan kalah oleh keadaan. Perjuangannya stagnan ketika semua celah tertutup. Semangatnya luntur tatkala arus mulai deras menghantam laju perjuangannya. Dia benar-benar sosok yang penuh misteri.

 

***

“Aku kering, Dis” ucapnya pada suatu ketika. Hujan masih gerimis di senja kali ini. Aku menatapnya heran. Ini adalah pertemuan kami yang pertama sejak aku memutuskan untuk menarik diri dari komunitas yang telah membesarkan Danu. Aku memilih untuk pergi ketika kutemukan semua semu dan mengambang.

Aku menatapnya heran. Wajahnya kuyu, sorot matanya layu, ada setumpuk beban yang menyelinap diam-diam pada ruang jiwanya dan itu mampu merontokkan semangat dan ceria yang biasa menjadi miliknya. Huh! Ternyata, sosok yang kuanggap keramaian ini dulu, kini duduk dengan lesu di depanku. Tanpa makna. Entah, pantas rasanya kalau kukatakan, lelaki ini adalah sosok yang kesepian ditengah ramai warna hidupnya. Matanya tak dapat berdusta kalau dia memang kesepian.

“Aku kering, Dis”, ulangnya kemudian “Dan merasa mati. Aku tak menemukan apa-apa dalam komunitas itu selain omong kosong. Semua palsu! Mereka tidak punya transparansi perjuangan. Mereka tidak punya tujuan yang jelas. Itu menyiksaku. Bekerja tanpa tahu kita hendak mencapai apa. Mereka hanya berpijak pada emosi dalam perjuangan dan tidak mengedepankan pemikiran. Aku merasa kerdil, Dis. Komunitas itu membunuh kreativitasku.”

Tak ada satupun yang ingin kutanggapi dari perkataannya. Kubiarkan kemudian mengalir kata-kata darinya

“Mereka mengaku berjuang untuk rakyat, nyatanya?! Kamu tahu perjuangan mereka itu terkadang dilandasi oleh proyek! Ya, proyek! Mereka akan bergerak ketika ada komando dari pihak-pihak yang punya kepentingan dengan iming-iming yang tidak sedikit. Mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan segelintir kaum. Mereka memanfaatkan nama rakyat untuk mencapai sesuatu. Aku kecewa dengan perjuangan seperti itu. Bahkan, terkadang anarkis dan aku sangat tidak suka itu!”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sepi lebih betah menyelimuti kami. Sosok di depanku, sosok yang dulu begitu kukagumi dengan semangat perjuangannya, kini mengeluh dengan hampa pada jiwanya. Sebuah hampa yang mungkin sama dengan yang pernah kurasakan ketika beberapa masa komunitas itu menjadi pijakanku. Terlebih lagi ketika hakikat perjuangan yang mereka agung-agungkan telah terkontaminasi oleh pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan.  Aku menjadi muak dan “mati suri”

***

Dan setelah hari itu tak pernah sekalipun aku bertemu dengan Danu lagi. Kuharap penjelasanku hari itu membuatnya mengerti mengenai konsep perjuangan seperti apa yang kumiliki sekarang. Mengenai perubahanku yang total, baik penampilan fisik maupun perombakan pemikiran. Ya, otakku kucuci dengan sebuah pemikiran yang tak pernah kujamah sebelumnya. Hal yang sebenarnya selama ini sudah menjadi peganganku, namun aku samar. Kini kutemukan pada sebuah komunitas. Sebuah komunitas yang benar-benar menanamkan nilai-nilai kokoh dalam metode perjuangannya. Sebuah perjuangan yang tak hanya memakai label perjuangan semata, tetapi lebih dari itu!

Langit kelabu, ini masih Juni. Namun, agaknya hujan betah bertandang terlalu awal. Kuambil koran hari ini. Tak ada yang terlalu menarik perhatianku. Kubolak-balik dengan tergesa. Tapi, tiba-tiba mataku terpaku pada satu kolom. Mulutku menyeruak lebar, serasa ada yang menyesaki dadaku.

“Seorang pemuda tewas akibat bentrok dengan aparat pada aksi yang dilakukan sekelompok gerakan, kemarin. Dari tanda pengenal korban diketahui korban bernama Danu Sardi. Di bagian kening korban ditemukan kain pengikat kepala bertuliskan lafaz suci. Diduga korban adalah aktivis….”

Tak dapat kulanjutkan lagi membaca baris demi baris berita itu. Ada yang bergemuruh dalam dadaku dan tak tahu harus kunamakan apa? Benarkah Ya Rabb kalau itu adalah Danu yang pernah kukenal dulu dan kini berjuang pada lini yang sama denganku??? Yang ada kemudian hanyalah buliran airmata memenuhi ruang sunyi…***

Ratih AYuningrum

Mahasiswi FKIP PBSID Unlam Banjarmasin

Sejak 5 Oktober 2005