Natasya
Oleh:
Ira Setiana Khairunnisa
Namaku
Alya, seorang gadis kelahiran Jogja. Sudah lama sekali aku
pergi meninggalkan kota kelahiranku itu karena harus mengikuti
orang tua angkatku pindah ke Jakarta. Orang tua angkat?
Mungkin kalian terkejut mendengarnya. Ya, aku adalah seorang
anak yatim piatu. Dulunya aku tinggal di salah satu panti
asuhan yang ada di Jogjakarta. Aku tak mengerti, mengapa orang
tua kandungku tega membuangku ke panti asuhan itu. Aku bahkan
tak pernah mengenal mereka. Mungkin mereka malu punya anak
seperti aku sehingga tidak mau mengakui aku sebagai anak
kandung mereka, atau aku terlahir sebagai anak yang tidak
pernah diinginkan? Atau mereka memang tak punya cukup biaya
untuk membesarkan aku? Entahlah, aku tak pernah tahu jawabnya.
Masa
kecilku kulalui dengan keadaan yang memprihatinkan, sebab
sebagai salah satu anggota panti asuhan, mau tidak mau aku
harus berbagi segalanya dengan anak-anak lain. Mulai dari
jatah makan, pakaian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.
Itulah yang menyebabkan aku menjadi rendah diri. Di sekolah
aku tidak mempunyai banyak teman, mungkin mereka malu berteman
denganku. Tapi…, tidak dengan Natasya. Dia begitu baik
padaku, dan hanya dialah yang mau selalu bersamaku dalam suka
maupun duka saat melewati waktu. Natasya adalah gadis yang
beruntung. Dia cantik dan periang, belum lagi dia mempunyai
keluarga yang harmonis. Ayahnya begitu kaya, sehingga apapun
yang Natasya inginkan selalu dapat terwujud dalam sekejap mata.
Kadang aku merasa iri dengannya. Namun, ketulusan hati Natasya
membuatku sangat menyayanginya. Bahkan dia sudah kuanggap
seperti saudaraku sendiri.
Saat
duduk di bangku kelas 5 SD, semua mulai berubah. Ada sepasang
suami istri yang tidak bisa mempunyai anak dan kemudian
mengadopsi aku. Aku sangat bahagia, karena mereka menyayangiku
layaknya anak kandung mereka sendiri. Ketika lulus SD, aku
harus pindah ke Jakarta karena ayah angkatku pindah tugas.
Tentu saja aku sangat sedih, apalagi ketika Natasya
mengetahuinya. Dia sepertinya tidak rela harus berpisah
denganku. Tapi aku berjanji akan tetap menjaga komunikasiku
dengan Natasya, begitu pula sebaliknya.
Itulah
sedikit yang aku kenang mengenai persahabatanku dengan Natasya.
Setahun pertama, komunikasi yang terjalin sangat lancar. Namun,
memasuki tahun kedua, hubungan kami mulai renggang. Natasya
mulai jarang membalas surat-suratku. Bahkan ketika akhir tahun,
semua surat yang kutujukan ke alamat Natasya, dikembalikan ke
alamatku. Menurut kabar yang kudengar, Natasya sekeluarga
pindah ke luar negeri tanpa memberitahuku. Aku sungguh kecewa,
dan perlahan-lahan mulai melupakan persahabatan yang pernah
terjalin antara aku dan Natasya.
***
Setelah
sekian tahun berlalu.
Malam
itu kuputuskan untuk pergi ke Jogjakarta pada liburan semester
nanti. Rasa rindu pada tanah kelahiranku itu sudah tak bisa
kubendung lagi. Segera saja aku meminta ijin kepada orang tua
angkatku yang saat itu sedang asyik menonton televisi di ruang
tengah,
“Ayah,
Bunda, boleh tidak liburan semester ini Alya pergi ke Jogja?
Alya mau menenangkan diri, sekalian nyari bahan
tambahan buat skripsi Alya nanti.”
“Tentu
saja boleh, Sayang.” Jawab Bunda, “Kapan kamu mau
berangkat, terus sama siapa?” Bunda kemudian bertanya.
“Alya
perginya sendiri saja. Liburan semester dimulai lusa nanti,
jadi Alya mau berangkat lusa.” Jawabku.
“Baiklah,
biar nanti Ayah antar kamu ke stasiun. Sekarang sudah malam,
sebaiknya kamu istirahat.” Sahut Ayah.
“Terima
kasih Ayah, terima kasih Bunda, dan selamat malam,” aku
berkata sambil beranjak ke kamar.
***
Hati
yang kutunggu pun tiba. Setelah pamit kepada Ayah dan Bunda, aku
pun masuk ke dalam kereta. Aku duduk sendiri, sedang di
hadapanku duduk seorang laki-laki yang punya tampang cukup
lumayan dan di sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang
sepertinya pernah kukenal tapi aku lupa dimana. Entahlah,
mungkin hanya khayalanku saja. Segera kulupakan itu, kemudian
aku buka tasku untuk mengambil novel yang sengaja aku bawa untuk
menemani perjalananku, tapi aku tidak menemukannya. Ketika
sedang asyik-asyiknya mencari novel tersebut, tiba-tiba sebuah
suara mengejutkanku,
“Lagi
nyari ini ya?” aku berpaling. Tertegun, karena gadis
yang tadi duduk di sebelah laki-laki itu sudah berada di
sampingku.
“Iya,
makasih karena kamu sudah menemukannya, tapi darimana
kamu tahu kalau aku sedang mencari buku ini?”
“Tadi
terjatuh waktu di pintu masuk. Maaf, kamu Alya kan?” tebaknya.
“Oh…,
iya, aku Alya. Apa kita pernah kenal?” tanyaku heran karena
dia tahu namaku.
Gadis
itu tersenyum, memperlihatkan lesung pipit yang ada di kedua
belah pipinya. Mengingatkan aku pada…
“Natasya!?”
aku setengah berteriak.
Dia
mengangguk. Kemudian kami pun terlibat dalam obrolan yang sangat
panjang, karena sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa.
***
Tak
terasa, tempat tujuanku pun akhirnya telah tiba. Aku dan Natasya
berpisah di stasiun, karena Natasya harus pergi ke Semarang,
sedang aku harus ke Jogjakarta. Rupanya dia tidak pindah ke luar
negeri. Hanya pindah ke Semarang, namun dia kehilangan alamatku
sehingga tidak bisa menghubungi aku lagi. Aku pun berjanji akan
berkunjung ke rumahnya.
Sudah
seminggu aku berada di Jogjakarta. Kuputuskan untuk pergi ke
Semarang, menemui Natasya. Setelah beberapa jam berkeliling,
akhirnya kutemukan juga rumah yang alamatnya sesuai dengan apa
yang tertera di secarik kertas yang ada di tanganku kini.
‘Tok…tok…tok…’
aku mengetuk pintu rumah yang cukup asri itu. Tak lama kemudian
pintu itu pun dibuka oleh laki-laki yang…, hei! Itu kan
laki-laki yang duduk di hadapanku waktu di kereta kemarin. Aku
jadi bingung.
“Mau
cari siapa ya?” pertanyaannya membuyarkan kebingunganku.
“Ehm,
maaf, apa betul ini rumah Natasya?” tanyaku agak gugp.
“Kamu
siapa?” dia balik bertanya.
“Aku
Alya, teman baik Natasya,” jawabku sekenanya.
“Oh,
mari silakan masuk!”
Setelah
itu kami terdiam. Masing-masing sibuk merangkai kalimat agar
bisa dimuntahkan dengan tepat.
“Alya,
sebenarnya aku adalah mantan kekasih Natasya. Tapi kami sudah
putus lima tahun yang lalu.” Laki-laki itu tiba-tiba bercerita
seolah mengerti akan apa yang ada di benakku saat itu.
“Aku
sangat menyayanginya. Namun, orang tua Natasya tidak pernah
setuju dengan hubungan kami. Bahkan mereka memisahkan aku dari
Natasya dengan cara membawanya pindah ke luar negeri dan…”
Belum
selesai laki-laki yang kini kuketahui bernama Ryan itu bercerita,
aku langsung memotong kalimatnya,
“Lalu,
apa hubungannya dengan aku?”
Ryan
terkejut, lalu menjawab,
“Entahlah,
mungkin Natasya hanya ingin kamu tahu apa yang terjadi padanya.
Kadang aku merasa dia masih ada di dekatku. O iya, kamu tahu
alamatku dari siapa?”
“Aku tahu dari
Natasya. Tempo hari waktu kita di dalam kereta, dia duduk di
sampingmu. Kemudian ketika kamu tertidur, aku dan dia mengobrol
panjang lebar.” Aku menjelaskan pada Ryan.
“Tidak
mungkin….” Ryan berkata dengan lirih.
“Tidak
mungkin kenapa?” tanyaku heran.
“Alya,
sebenarnya Natasya sudah lama meninggal. Tiga bulan setelah
kepindahannya ke luar negeri, dia ditemukan tewas karena bunuh
diri di kamarnya. Oleh karena itulah aku merasa dia masih ada di
dekatku sampai saat ini.”
“Tidak…TIDAK!!!”
aku histeris dengan seketika kemudian berlari ke luar.
Di
halaman rumah Ryan, kulihat sosok Natasya tersenyum ke arahku
sambil melambaikan tangan dan tak lama kemudian dia menghilang
perlahan. Sahabatku telah beristirahat dengan tenang sekarang.
Kepalaku tiba-tiba terasa berat, lalu kulihat keadaan di
sekelilingku gelap dan… kemudian aku jatuh pingsan.***
Ira
Setiana Khairunnisa
Siswi
SMUN 2 Banjarmasin |