ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

Natasya

Oleh: Ira Setiana Khairunnisa

 

Namaku Alya, seorang gadis kelahiran Jogja. Sudah lama sekali aku pergi meninggalkan kota kelahiranku itu karena harus mengikuti orang tua angkatku pindah ke Jakarta. Orang tua angkat? Mungkin kalian terkejut mendengarnya. Ya, aku adalah seorang anak yatim piatu. Dulunya aku tinggal di salah satu panti asuhan yang ada di Jogjakarta. Aku tak mengerti, mengapa orang tua kandungku tega membuangku ke panti asuhan itu. Aku bahkan tak pernah mengenal mereka. Mungkin mereka malu punya anak seperti aku sehingga tidak mau mengakui aku sebagai anak kandung mereka, atau aku terlahir sebagai anak yang tidak pernah diinginkan? Atau mereka memang tak punya cukup biaya untuk membesarkan aku? Entahlah, aku tak pernah tahu jawabnya.

Masa kecilku kulalui dengan keadaan yang memprihatinkan, sebab sebagai salah satu anggota panti asuhan, mau tidak mau aku harus berbagi segalanya dengan anak-anak lain. Mulai dari jatah makan, pakaian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Itulah yang menyebabkan aku menjadi rendah diri. Di sekolah aku tidak mempunyai banyak teman, mungkin mereka malu berteman denganku. Tapi…, tidak dengan Natasya. Dia begitu baik padaku, dan hanya dialah yang mau selalu bersamaku dalam suka maupun duka saat melewati waktu. Natasya adalah gadis yang beruntung. Dia cantik dan periang, belum lagi dia mempunyai keluarga yang harmonis. Ayahnya begitu kaya, sehingga apapun yang Natasya inginkan selalu dapat terwujud dalam sekejap mata. Kadang aku merasa iri dengannya. Namun, ketulusan hati Natasya membuatku sangat menyayanginya. Bahkan dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.

Saat duduk di bangku kelas 5 SD, semua mulai berubah. Ada sepasang suami istri yang tidak bisa mempunyai anak dan kemudian mengadopsi aku. Aku sangat bahagia, karena mereka menyayangiku layaknya anak kandung mereka sendiri. Ketika lulus SD, aku harus pindah ke Jakarta karena ayah angkatku pindah tugas. Tentu saja aku sangat sedih, apalagi ketika Natasya mengetahuinya. Dia sepertinya tidak rela harus berpisah denganku. Tapi aku berjanji akan tetap menjaga komunikasiku dengan Natasya, begitu pula sebaliknya.

Itulah sedikit yang aku kenang mengenai persahabatanku dengan Natasya. Setahun pertama, komunikasi yang terjalin sangat lancar. Namun, memasuki tahun kedua, hubungan kami mulai renggang. Natasya mulai jarang membalas surat-suratku. Bahkan ketika akhir tahun, semua surat yang kutujukan ke alamat Natasya, dikembalikan ke alamatku. Menurut kabar yang kudengar, Natasya sekeluarga pindah ke luar negeri tanpa memberitahuku. Aku sungguh kecewa, dan perlahan-lahan mulai melupakan persahabatan yang pernah terjalin antara aku dan Natasya.

***

Setelah sekian tahun berlalu.

Malam itu kuputuskan untuk pergi ke Jogjakarta pada liburan semester nanti. Rasa rindu pada tanah kelahiranku itu sudah tak bisa kubendung lagi. Segera saja aku meminta ijin kepada orang tua angkatku yang saat itu sedang asyik menonton televisi di ruang tengah,

 “Ayah, Bunda, boleh tidak liburan semester ini Alya pergi ke Jogja? Alya mau menenangkan diri, sekalian nyari bahan tambahan buat skripsi Alya nanti.”

“Tentu saja boleh, Sayang.” Jawab Bunda, “Kapan kamu mau berangkat, terus sama siapa?” Bunda kemudian bertanya.

“Alya perginya sendiri saja. Liburan semester dimulai lusa nanti, jadi Alya mau berangkat lusa.” Jawabku.

“Baiklah, biar nanti Ayah antar kamu ke stasiun. Sekarang sudah malam, sebaiknya kamu istirahat.” Sahut Ayah.

“Terima kasih Ayah, terima kasih Bunda, dan selamat malam,” aku berkata sambil beranjak ke kamar.

***

Hati yang kutunggu pun tiba. Setelah pamit kepada Ayah dan Bunda, aku pun masuk ke dalam kereta. Aku duduk sendiri, sedang di hadapanku duduk seorang laki-laki yang punya tampang cukup lumayan dan di sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang sepertinya pernah kukenal tapi aku lupa dimana. Entahlah, mungkin hanya khayalanku saja. Segera kulupakan itu, kemudian aku buka tasku untuk mengambil novel yang sengaja aku bawa untuk menemani perjalananku, tapi aku tidak menemukannya. Ketika sedang asyik-asyiknya mencari novel tersebut, tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku,

 “Lagi nyari ini ya?” aku berpaling. Tertegun, karena gadis yang tadi duduk di sebelah laki-laki itu sudah berada di sampingku.

 “Iya, makasih karena kamu sudah menemukannya, tapi darimana kamu tahu kalau aku sedang mencari buku ini?”

 “Tadi terjatuh waktu di pintu masuk. Maaf, kamu Alya kan?” tebaknya.

“Oh…, iya, aku Alya. Apa kita pernah kenal?” tanyaku heran karena dia tahu namaku.

Gadis itu tersenyum, memperlihatkan lesung pipit yang ada di kedua belah pipinya. Mengingatkan aku pada…

“Natasya!?” aku setengah berteriak.

Dia mengangguk. Kemudian kami pun terlibat dalam obrolan yang sangat panjang, karena sudah bertahun-tahun tidak pernah berjumpa.

***

Tak terasa, tempat tujuanku pun akhirnya telah tiba. Aku dan Natasya berpisah di stasiun, karena Natasya harus pergi ke Semarang, sedang aku harus ke Jogjakarta. Rupanya dia tidak pindah ke luar negeri. Hanya pindah ke Semarang, namun dia kehilangan alamatku sehingga tidak bisa menghubungi aku lagi. Aku pun berjanji akan berkunjung ke rumahnya.

Sudah seminggu aku berada di Jogjakarta. Kuputuskan untuk pergi ke Semarang, menemui Natasya. Setelah beberapa jam berkeliling, akhirnya kutemukan juga rumah yang alamatnya sesuai dengan apa yang tertera di secarik kertas yang ada di tanganku kini.

‘Tok…tok…tok…’ aku mengetuk pintu rumah yang cukup asri itu. Tak lama kemudian pintu itu pun dibuka oleh laki-laki yang…, hei! Itu kan laki-laki yang duduk di hadapanku waktu di kereta kemarin. Aku jadi bingung.

“Mau cari siapa ya?” pertanyaannya membuyarkan kebingunganku.

“Ehm, maaf, apa betul ini rumah Natasya?” tanyaku agak gugp.

“Kamu siapa?” dia balik bertanya.

“Aku Alya, teman baik Natasya,” jawabku sekenanya.

“Oh, mari silakan masuk!”

Setelah itu kami terdiam. Masing-masing sibuk merangkai kalimat agar bisa dimuntahkan dengan tepat.

“Alya, sebenarnya aku adalah mantan kekasih Natasya. Tapi kami sudah putus lima tahun yang lalu.” Laki-laki itu tiba-tiba bercerita seolah mengerti akan apa yang ada di benakku saat itu.

“Aku sangat menyayanginya. Namun, orang tua Natasya tidak pernah setuju dengan hubungan kami. Bahkan mereka memisahkan aku dari Natasya dengan cara membawanya pindah ke luar negeri dan…”

Belum selesai laki-laki yang kini kuketahui bernama Ryan itu bercerita, aku langsung memotong kalimatnya,

“Lalu, apa hubungannya dengan aku?”

 Ryan terkejut, lalu menjawab,

“Entahlah, mungkin Natasya hanya ingin kamu tahu apa yang terjadi padanya. Kadang aku merasa dia masih ada di dekatku. O iya, kamu tahu alamatku dari siapa?”

            “Aku tahu dari Natasya. Tempo hari waktu kita di dalam kereta, dia duduk di sampingmu. Kemudian ketika kamu tertidur, aku dan dia mengobrol panjang lebar.” Aku menjelaskan pada Ryan.

“Tidak mungkin….” Ryan berkata dengan lirih.

“Tidak mungkin kenapa?” tanyaku heran.

“Alya, sebenarnya Natasya sudah lama meninggal. Tiga bulan setelah kepindahannya ke luar negeri, dia ditemukan tewas karena bunuh diri di kamarnya. Oleh karena itulah aku merasa dia masih ada di dekatku sampai saat ini.”

“Tidak…TIDAK!!!” aku histeris dengan seketika kemudian berlari ke luar.

Di halaman rumah Ryan, kulihat sosok Natasya tersenyum ke arahku sambil melambaikan tangan dan tak lama kemudian dia menghilang perlahan. Sahabatku telah beristirahat dengan tenang sekarang. Kepalaku tiba-tiba terasa berat, lalu kulihat keadaan di sekelilingku gelap dan… kemudian aku jatuh pingsan.***

Ira Setiana Khairunnisa

Siswi SMUN 2 Banjarmasin

Sejak 5 Oktober 2005