ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

Di Persimpangan Jalan

Cerpen: Hadiyansyah

 

Tit…,tit….,tit….

Bunyi klakson begitu bising di antara hiruk pikuk kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan ini. Sebuah jalan dimana aku dengan senantiasa terus berdiri, mengamati setiap roda-roda mobilitas yang melindas di atasnya. Mobilitas yang menjadi rutinitas setiap orang di kota metropolis.

Seperti sekarang, waktu menunjukkan pukul setengah dua siang lebih beberapa detik. Di kedua ruas jalan selebar kurang lebih 20 meter ini tampak ramai oleh berbagai macam merk kendaraan baik itu roda dua maupun roda empat. Memang jam segini adalah waktu istirahat sebagian orang telah habis, khususnya mereka yang bekerja di perkantoran Dan mereka dituntut untuk segera kembali ke tempat mereka bekerja secepat mungkin. Kendaraan-kendaraan itu dipacu mengejar waktu dan berlomba-lomba untuk sampai ke tujuan secepat mungkin dan kembali menjalani peran mereka sebagai orang-orang intelek berdasi di dalam ruangan berAC. Hidup mereka begitu enak dan nyaman walaupun terkadang mereka tidak mensyukuri kenikmatan itu. Tapi setidaknya nasib mereka lebih baik ketimbang orang-orang yang bekeliaran di sekitar tempatku berdiri.

Oh, ya, aku belum menceritakan siapa aku sebenarnya dan kenapa aku terus-terusan berdiri di tempat ini, di tempat yang kalian anggap sangat panas karena terkena biasan sinar matahari langsung. Tapi, aku yakin di antara kalian pasti mengetahui aku. Aku adalah sebuah “Traffic Lights”. Benda aneh bermata tiga yang selalu berdiri di antara perempatan jalan ini. Sudah lima tahun lebih aku ditempatkan di jalan ini dan sudah selama itu jua aku selalu menjadi penghambat laju kendaraan kalian. Aku selalu memaksa kalian untuk berhenti dengan mata merahku.

Aku yakin di antara kalian pasti ada yang muak dan bosan denganku. Namun, aku tak pernah lelah menjalankan tugasku, tugas yang tak pernah kuketahui kapan akan berakhirnya. Siang malam terus aku jalani, tak tahu panas ataupun hujan, aku harus tetap berdiri di jalan ini.

Dan untuk kesekian kalinya mata merahku menyala, tentu saja dapat kalian bayangkan kendaraan-kendaraan -yang melintasi jalan dimana aku berdiri- pasti akan berhenti di depanku. Tentu tidak semua mereka menurut untuk berhenti sejenak. Ada saja yang tetap memacu besi-besi berbentuk itu dan menerobosku. Entah apa yang mendasari mereka sehingga mengacuhkanku. Mungkin saja mereka dikejar oleh waktu yang menuntut mereka untuk secepat mungkin sampai ke tempat yang mereka tuju. Tapi yang jelas mereka enggan dan malas berhenti di jalan ini. Di jalan yang begitu gersang dan berdebu ini.

Ah, andai saja di sekitar tempat aku berdiri ini banyak ditumbuhi oleh pepohonan hijau dan lebat, pasti para pengguna jalan ini tidak akan malas berhenti. Mereka pasti saja akan betah diam sejenak di depanku karena tidak kepanasan. Mereka pasti akan senang dengan tiupan angin sepoi-sepoi. Tapi sayang sekali, di tempat ini sangat minim akan pepohonan itu, walaupun ada hanya beberapa saja dan itupun sudah tidak berbentuk lagi kelebatan daunnya. Entahlah, akupun juga bingung kenapa warga kota yang mengaku bungas ini malas untuk merawatnya, malahan mereka lebih senang memangkas bahkan menebangnya lalu menggantinya dengan pohon-pohon besi raksasa. Jelas saja pohon-pohon besi itukan lebih bernilai ekonomi dibandingkan pohon-pohon hijau yang sebenarnya. Apalagi tempat dimana aku berdiri sekarang ini letaknya sangat strategis tepat berada di jantung kota yang menjadi lahan menggiurkan untuk menghasilkan lembaran-lembaran rupiah. Menurutku alasan inilah yang menjadi faktor utama sehingga banyak sekali para pengguna jalan yang mengindahkanku. Mereka lebih senang melanggarr peraturan lalu lintas daripada harus kepanasan menunggu. Tapi tak apalah, itu kan tergantung pada diri mereka masing-masing.

Sebenarnya sudah banyak sekali kejadian-kejadian yang aku saksikan di sini, selain dari pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang mereka lakukan. Setiap hari aku menyaksikan bagaimana kehidupan anak-anak jalanan di sini. Anak-anak jalanan dan gepeng-gepeng yang mencari sesuap nasi agar bisa bertahan hidup. Melihat bagaimana susahnya hidup yang mereka jalani.

***

Siang itu tepatnya seminggu yang lalu, matahari sungguh tidak bersahabat. Panasnya begitu terik dan menyengat. Semenjak menampakan diri dari balik gumpalan awan, raja Siang itu tak pernah ada henti-hentinya memancarkan sinar yang membakar kulit. Tak pernah sedikitpun dia beristirahat. Jalan-jalan beraspal -yang penuh debu-debu beterbangan terlindas roda-roda yang berputar di atasnya- membara.

Akupun sedikit lelah dan gerah oleh sinar matahari itu. Ingin rasanya aku beristirahat dan mencari tempat berteduh dari incaran sang surya tersebut. Tapi, kalian tahu sendirikan, keinginanku itu sungguh tidak mungkin. Di balik kejenuhanku itu, aku lihat dia, anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Anak itu selalu datang ke sini sekitar pukul delapan pagi, waktu dimana sebagian anak-anak seusianya menikmati yang namanya bangku sekolah. Pakaian yang dia kenakanpun begitu kotor dan lusuh. Itulah yang menjadi bukti bahwa dia anak jalanan. Dia selalu berkeliaran di perempatan jalan ini, tak jauh dari tempatku berdiri. Seperti anak-anak jalanan lainnya, anak yang bernama Andi itu selalu mendekati setiap kendaraan bermotor yang berhenti saat mata merahku menyala. Dia selalu mendendangkan suara hati dengan bermodalkan instrument dari tutup botol minuman. Bernyanyi dengan suara sefals-falsnya dengan harapan bisa mendapatkan recehan dari semua pengendara yang berhenti di sini, tentunya kalau mereka berbaik hati memberinya. Sebenarnya banyak anak-anak jalanan yang senasib dengannya dan menggantungkan hidup di perempatan ini. Tapi hanya Andi yang selalu menarik hatiku, bukan karena dia selalu tidur di bawahku setiap kali dia kelelahan.

Aku senang dengan kegigihannya itu. Dia seorang anak yang memiliki spirit yang sangat tinggi untuk menyongsong hidupnya. Walaupun hidupnya susah tapi dia masih memiliki keinginan untuk sekolah. Setiap hari, disela-sela aktivitasnya mencari nafkah disini, dia masih bisa menyempatkan diri untuk belajar. Diwaktu tertentu dia duduk di sampingku dan membuka buku lusuh yang didapatnya dari bak-bak sampah ataupun dari orang-orang yang sengaja memberinya.

Aku tidak pernah tahu dimana orang tuanya, tapi yang ku dengar-dengar dari teman-teman sesamanya. Andi tinggal bersama kakeknya di bawah jembatan yang tak jauh dari sini. Kedua orang tuanya entah dimana berada. Sebenarnya Andi pernah merasakan bagaiman enaknya bangku sekolah, tapi sayang masa bahagianya itu harus berakhir saat dia duduk di kelas dua. Kakeknya yang hanya bekerja sebagai buruh angkut di pasar Lima itu tidak mampu lagi membiayayi sekolahnya. Dan akhirnya dia begini.

“Mungkinkah bila ku bertanya pada bintang-bintang dan bila ku mulai merasa bahasa kesunyian. Sadarkah aku yang berjalan dalam kehampaan terdiam terpana terbata. Semua dalam keraguan,”

Terdengar lagu Peterpan terlantun seadanya dari mulut Andi. Anak lelaki itu terlihat begitu gembira menyanyikannya sembari mengoyang-goyangkan instrument yang ia miliki. Aku lihat seorang pengemudi sepeda motor yang berhenti di depanku merogoh saku celananya dan menyerahkan beberapa keping uang recehan ke tangan Andi.

“Terima kasih, Pak.” Jawab Andi sembari berlalu dan menghampiri pengguna jalan lainnya. Anak itupun terus saja bernyanyi dengan rianngnya.

Tapi, tiba-tiba terdengar bunyi peluit yang kontan saja membuat anak-anak jalanan di sekitarku terkejut dan berlarian ke sana ke mari termasuk juga Andi. Mereka dikejar oleh petugas pamong praja yang mencoba menertibkan anak-anak jalanan dan gepeng-gepeng itu. Aku lihat seorang dari mereka mengejar Andi yang terus berlari menyeberang jalan. “Andi, hati-hati,” teriak batinku

Tapi naas dari arah yang berlawanan sebuah sepeda motor melaju begitu kencangnya padahal pada saat itu lampu merah menyala dan …

“Brak…”bunyi dentuman keras menggegerkan aku..

sepeda motor itu menabrak Andi. Tubuh mungil bocah itu terpelanting beberapa meter. Darah segar mengucur deras dan mengalir menghanyutkan debu-debu di jalan itu. Aku hanya bisa ternganga tanpa bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menyaksikan bagaimana seorang Andi tewas mengenaskan.

***

Matahari sudah kembali bersembunyi di peraduannya. Malam telah menyongsong dengan diiringi gerimis. Aku tak bergerak dari posisiku walaupun kutahu hujan pasti akan menguyur begitu derasnya beberapa saat lagi. Aku tetap berdiri seperti sediakalanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok hari  karena aku hanyalah sebuah “Traffic lights”.***

Hadiyansyah, SMAN I Banjarmasin

Sejak 5 Oktober 2005