Di
Persimpangan Jalan
Cerpen:
Hadiyansyah
Tit…,tit….,tit….
Bunyi
klakson begitu bising di antara hiruk pikuk kendaraan bermotor
yang berlalu lalang di jalan ini. Sebuah jalan dimana aku
dengan senantiasa terus berdiri, mengamati setiap roda-roda
mobilitas yang melindas di atasnya. Mobilitas yang menjadi
rutinitas setiap orang di kota metropolis.
Seperti
sekarang, waktu menunjukkan pukul setengah dua siang lebih
beberapa detik. Di kedua ruas jalan selebar kurang lebih 20
meter ini tampak ramai oleh berbagai macam merk kendaraan baik
itu roda dua maupun roda empat. Memang jam segini adalah waktu
istirahat sebagian orang telah habis, khususnya mereka yang
bekerja di perkantoran Dan mereka dituntut untuk segera
kembali ke tempat mereka bekerja secepat mungkin.
Kendaraan-kendaraan itu dipacu mengejar waktu dan
berlomba-lomba untuk sampai ke tujuan secepat mungkin dan
kembali menjalani peran mereka sebagai orang-orang intelek
berdasi di dalam ruangan berAC. Hidup mereka begitu enak dan
nyaman walaupun terkadang mereka tidak mensyukuri kenikmatan
itu. Tapi setidaknya nasib mereka lebih baik ketimbang
orang-orang yang bekeliaran di sekitar tempatku berdiri.
Oh,
ya, aku belum menceritakan siapa aku sebenarnya dan kenapa aku
terus-terusan berdiri di tempat ini, di tempat yang kalian
anggap sangat panas karena terkena biasan sinar matahari
langsung. Tapi, aku yakin di antara kalian pasti mengetahui
aku. Aku adalah sebuah “Traffic Lights”. Benda aneh
bermata tiga yang selalu berdiri di antara perempatan jalan
ini. Sudah lima tahun lebih aku ditempatkan di jalan ini dan
sudah selama itu jua aku selalu menjadi penghambat laju
kendaraan kalian. Aku selalu memaksa kalian untuk berhenti
dengan mata merahku.
Aku
yakin di antara kalian pasti ada yang muak dan bosan denganku.
Namun, aku tak pernah lelah menjalankan tugasku, tugas yang
tak pernah kuketahui kapan akan berakhirnya. Siang malam terus
aku jalani, tak tahu panas ataupun hujan, aku harus tetap
berdiri di jalan ini.
Dan
untuk kesekian kalinya mata merahku menyala, tentu saja dapat
kalian bayangkan kendaraan-kendaraan -yang melintasi jalan
dimana aku berdiri- pasti akan berhenti di depanku. Tentu
tidak semua mereka menurut untuk berhenti sejenak. Ada saja
yang tetap memacu besi-besi berbentuk itu dan menerobosku.
Entah apa yang mendasari mereka sehingga mengacuhkanku.
Mungkin saja mereka dikejar oleh waktu yang menuntut mereka
untuk secepat mungkin sampai ke tempat yang mereka tuju. Tapi
yang jelas mereka enggan dan malas berhenti di jalan ini. Di
jalan yang begitu gersang dan berdebu ini.
Ah,
andai saja di sekitar tempat aku berdiri ini banyak ditumbuhi
oleh pepohonan hijau dan lebat, pasti para pengguna jalan ini
tidak akan malas berhenti. Mereka pasti saja akan betah diam
sejenak di depanku karena tidak kepanasan. Mereka pasti akan
senang dengan tiupan angin sepoi-sepoi. Tapi sayang sekali, di
tempat ini sangat minim akan pepohonan itu, walaupun ada hanya
beberapa saja dan itupun sudah tidak berbentuk lagi kelebatan
daunnya. Entahlah, akupun juga bingung kenapa warga kota yang
mengaku bungas ini malas untuk merawatnya, malahan
mereka lebih senang memangkas bahkan menebangnya lalu
menggantinya dengan pohon-pohon besi raksasa. Jelas saja
pohon-pohon besi itukan lebih bernilai ekonomi dibandingkan
pohon-pohon hijau yang sebenarnya. Apalagi tempat dimana aku
berdiri sekarang ini letaknya sangat strategis tepat berada di
jantung kota yang menjadi lahan menggiurkan untuk menghasilkan
lembaran-lembaran rupiah. Menurutku alasan inilah yang menjadi
faktor utama sehingga banyak sekali para pengguna jalan yang
mengindahkanku. Mereka lebih senang melanggarr peraturan lalu
lintas daripada harus kepanasan menunggu. Tapi tak apalah, itu
kan tergantung pada diri mereka masing-masing.
Sebenarnya
sudah banyak sekali kejadian-kejadian yang aku saksikan di
sini, selain dari pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang
mereka lakukan. Setiap hari aku menyaksikan bagaimana
kehidupan anak-anak jalanan di sini. Anak-anak jalanan dan
gepeng-gepeng yang mencari sesuap nasi agar bisa bertahan
hidup. Melihat bagaimana susahnya hidup yang mereka jalani.
***
Siang
itu tepatnya seminggu yang lalu, matahari sungguh tidak
bersahabat. Panasnya begitu terik dan menyengat. Semenjak
menampakan diri dari balik gumpalan awan, raja Siang itu tak
pernah ada henti-hentinya memancarkan sinar yang membakar
kulit. Tak pernah sedikitpun dia beristirahat. Jalan-jalan
beraspal -yang penuh debu-debu beterbangan terlindas roda-roda
yang berputar di atasnya- membara.
Akupun
sedikit lelah dan gerah oleh sinar matahari itu. Ingin rasanya
aku beristirahat dan mencari tempat berteduh dari incaran sang
surya tersebut. Tapi, kalian tahu sendirikan, keinginanku itu
sungguh tidak mungkin. Di balik kejenuhanku itu, aku lihat dia,
anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Anak itu selalu datang
ke sini sekitar pukul delapan pagi, waktu dimana sebagian
anak-anak seusianya menikmati yang namanya bangku sekolah.
Pakaian yang dia kenakanpun begitu kotor dan lusuh. Itulah
yang menjadi bukti bahwa dia anak jalanan. Dia selalu
berkeliaran di perempatan jalan ini, tak jauh dari tempatku
berdiri. Seperti anak-anak jalanan lainnya, anak yang bernama
Andi itu selalu mendekati setiap kendaraan bermotor yang
berhenti saat mata merahku menyala. Dia selalu mendendangkan
suara hati dengan bermodalkan instrument dari tutup botol
minuman. Bernyanyi dengan suara sefals-falsnya dengan harapan
bisa mendapatkan recehan dari semua pengendara yang berhenti
di sini, tentunya kalau mereka berbaik hati memberinya.
Sebenarnya banyak anak-anak jalanan yang senasib dengannya dan
menggantungkan hidup di perempatan ini. Tapi hanya Andi yang
selalu menarik hatiku, bukan karena dia selalu tidur di
bawahku setiap kali dia kelelahan.
Aku
senang dengan kegigihannya itu. Dia seorang anak yang memiliki
spirit yang sangat tinggi untuk menyongsong hidupnya. Walaupun
hidupnya susah tapi dia masih memiliki keinginan untuk sekolah.
Setiap hari, disela-sela aktivitasnya mencari nafkah disini,
dia masih bisa menyempatkan diri untuk belajar. Diwaktu
tertentu dia duduk di sampingku dan membuka buku lusuh yang
didapatnya dari bak-bak sampah ataupun dari orang-orang yang
sengaja memberinya.
Aku
tidak pernah tahu dimana orang tuanya, tapi yang ku
dengar-dengar dari teman-teman sesamanya. Andi tinggal bersama
kakeknya di bawah jembatan yang tak jauh dari sini. Kedua
orang tuanya entah dimana berada. Sebenarnya Andi pernah
merasakan bagaiman enaknya bangku sekolah, tapi sayang masa
bahagianya itu harus berakhir saat dia duduk di kelas dua.
Kakeknya yang hanya bekerja sebagai buruh angkut di pasar Lima
itu tidak mampu lagi membiayayi sekolahnya. Dan akhirnya dia
begini.
“Mungkinkah
bila ku bertanya pada bintang-bintang dan bila ku mulai merasa
bahasa kesunyian. Sadarkah aku yang berjalan dalam kehampaan
terdiam terpana terbata. Semua dalam keraguan,”
Terdengar
lagu Peterpan terlantun seadanya dari mulut Andi. Anak lelaki
itu terlihat begitu gembira menyanyikannya sembari
mengoyang-goyangkan instrument yang ia miliki. Aku lihat
seorang pengemudi sepeda motor yang berhenti di depanku
merogoh saku celananya dan menyerahkan beberapa keping uang
recehan ke tangan Andi.
“Terima
kasih, Pak.” Jawab Andi sembari berlalu dan menghampiri
pengguna jalan lainnya. Anak itupun terus saja bernyanyi
dengan rianngnya.
Tapi,
tiba-tiba terdengar bunyi peluit yang kontan saja membuat
anak-anak jalanan di sekitarku terkejut dan berlarian ke sana
ke mari termasuk juga Andi. Mereka dikejar oleh petugas pamong
praja yang mencoba menertibkan anak-anak jalanan dan
gepeng-gepeng itu. Aku lihat seorang dari mereka mengejar Andi
yang terus berlari menyeberang jalan. “Andi, hati-hati,”
teriak batinku
Tapi
naas dari arah yang berlawanan sebuah sepeda motor melaju
begitu kencangnya padahal pada saat itu lampu merah menyala
dan …
“Brak…”bunyi
dentuman keras menggegerkan aku..
sepeda
motor itu menabrak Andi. Tubuh mungil bocah itu terpelanting
beberapa meter. Darah segar mengucur deras dan mengalir
menghanyutkan debu-debu di jalan itu. Aku hanya bisa ternganga
tanpa bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menyaksikan bagaimana
seorang Andi tewas mengenaskan.
***
Matahari
sudah kembali bersembunyi di peraduannya. Malam telah
menyongsong dengan diiringi gerimis. Aku tak bergerak dari
posisiku walaupun kutahu hujan pasti akan menguyur begitu
derasnya beberapa saat lagi. Aku tetap berdiri seperti
sediakalanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok hari
karena aku hanyalah sebuah “Traffic lights”.***
Hadiyansyah,
SMAN I Banjarmasin |