Penetapan Tujuan yang Realistis

Jika kita rajin menelaah berita-berita dunia gay terutama via internet, maka kita bisa menjumpai adanya kelompok ex-gay dan ex-ex-gay. Kelompok ex-gay beranggotakan orang-orang yang meninggalkan gaya hidup gay menuju gaya hidup straight, sedangkan ex-ex-gay merupakan gerakan counter-ex-gay yang bertujuan untuk menjaga agar komunitas gay tetap utuh dan berkembang, dengan cara menghancurkan klaim ex-gay bahwa perubahan menuju straight adalah mungkin. Bagi non-gay, menjadi straight (atau lebih tepatnya ex-gay) adalah jalan keluar dari permasalahan yang bersumber dari konflik batin (dan konflik dengan lingkungan) mengenai homoseksualitas.

Pertanyaannya: Dengan kegagalan ex-gay mempertahankan capaiannya, bagaimana non-gay mengantisipasinya?

  • Hampir semua non-gay beranggapan bahwa dengan mengubah orientasi seks menjadi heteroseksual, maka semua masalah otomatis akan lenyap. Masalahnya adalah, mengubah orientasi seksual tidaklah semudah itu. Para non-gay memberi bobot terlalu berat pada tujuan ini, sehingga seolah-olah tiada hal lain yang lebih berharga dibandingkan dengan pencapaian tujuan ini. Akibatnya, setelah sekian lama berdoa dan berupaya tanpa hasil yang nyata, maka habislah kesabaran dan turunlah motivasi. Muncullah keluh-kesah dan sumpah-serapah kepada diri sendiri dan bahkan Tuhan. Tidaklah mengherankan apabila ada yang memutuskan untuk jadi gay, pekerja seks, masuk dalam promiskuitas, jadi atheis, depresi, bunuh diri, dan juga jadi ex-ex-gay;
  • Masih berkaitan dengan pembobotan, ada baiknya jika memiliki beberapa tujuan hidup yang senada. Misalnya, jika saat ini sudah menikah namun belum berhasil melenyapkan homoseksualitas dalam diri, kita jangan sampai lupa bahwa ada keluarga yang perlu dibahagiakan, orang tua yang perlu dijaga martabatnya, rekan-rekan non-gay yang butuh dukungan, atau generasi SSA mendatang yang perlu mendapat teladan. Ini berguna kalau-kalau sekali waktu didera keputusasaan atas salah satu tujuan, maka tujuan yang lain masih bisa membangkitkan semangat hidup;
  • Mentargetkan perubahan dari homoseksual eksklusif menjadi heteroseksual eksklusif (Skala 6 menuju 0 dari skala Kinsey), terutama dalam hal ketertarikan seksual, merupakan target yang tidak realistis. Wajar jika kemudian terjadi banyak kegagalan. Ada baiknya menetapkan target antara, misalnya skala 6 menjadi 5, atau jika sulit mengubah ketertarikan seksualnya, bisa dimulai dari perilaku seksual atau identitasnya;
  • Di sisi lain, kadangkala target disusun dengan kaku. Misalnya, tidak mau menikah jika belum bisa tertarik secara seksual pada lawan jenis dan sama sekali tidak tertarik pada sesama jenis. Padahal, tidak bisa diprediksi kapan tujuan itu tercapai dengan sempurna. Kadangkala kita perlu introspeksi, jangan-jangan ketakutan akan masalah homoseksualitaslah yang mendorong penetapan target ini. Beberapa orang mungkin akan bilang bahwa fantasi homoseksual pada saat berhubungan dengan suami / istri adalah bentuk perselingkuhan, atau menjadikan pasangan sebagai objek eksperimen. Memang, alangkah baiknya jika dalam berhubungan seluruh jiwa dan raga kita tertuju pada pasangan sah. Namun, selagi belum memungkinkan, bukankah akan lebih baik jika membahagiakan pasangan sembari berlatih hingga benar-benar tertarik pada lawan jenis? Dalam hal ini, pasangan sebenarnya berjasa karena membantu kita, meskipun ia tidak mengetahuinya. (Budiman, 2000)
  • Jika untuk sementara ini belum bisa mengubah suatu keadaan, maka kita perlu mempertimbangkan untuk mengubah cara pandang kita atas keadaan itu. Misalnya, dengan mengambil hikmah dari keadaan sebagai non-gay. Bukan, ini bukan ajakan untuk menerima homoseksualitas sebagai takdir, namun melihat sisi positif yang kita dapatkan karena berada dalam masalah ini. Contohnya, jika tidak menyandang homoseksualitas, mungkin saya akan sama seperti laki-laki yang lain matanya mau copot setiap kali Inul ngebor.

Terlalu klise jika tulisan ini ditutup dengan ayat, "Sesungguhnya kami tidak akan mengubah nasib suatu kaum ... dst." Cukuplah kita mengambil kesimpulan bahwa panjangnya suatu perjalanan jangan sampai menghambat diri kita untuk menikmati perjalanan itu. Kebahagiaan itu tidak di titik tujuan saja, namun juga di sepanjang jalan yang kita lalui.

(semperfy)

 


REFERENSI

Bastaman, H.D. (1996) Meraih Hidup Bermakna (ed. 1) Jakarta Selatan: Paramadina.

Budiman, L.C. (2000) Berdamai dengan Stres: Rubrik Konsultasi Psikologi Kompas (ed. 2). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Koeswara, E. (1992) Logoterapi: Psikoterapi Viktor Frankl (ed. 1). Yogyakarta: Kanisius.


 

<< Sebelumnya | Indeks Hijrah | Selanjutnya >>