Pendapat
Ulama Seputar 'Gay' dan Kelompoknya
Kelompok
'Gay Muslim'
(DR. Taha Jaber Al-'Alwani)
Mendiskusikan
Homoseksualitas dan Perlakuan terhadap 'Gay'
(Muzammil Siddiqi)
Kelompok
'Gay Muslim'
Tanya:
Saya tidak tahu apakah anda telah mendengar mengenai berdirinya organisasi yang sesat secara
seksual yang beranggotakan para gay dan lesbian dan menyatakan berafiliasi dengan Islam. Ide
mereka disebarluaskan dan dipromosikan melalui situs mereka di world wide web. Beberapa pengikut
dan pendukung organisasi ini menyatakan bahwa tidak ada bukti di dalam Al-Qur'an yang melarang
perilaku seksual semacam itu dan mereka yang melakukan tindakan itu dimaafkan karena masalah
tersebut tergantung dari pola genetik manusia. Apalagi, mereka melakukan tindakan tersebut dengan
persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan atau merugikan yang lain. Mereka berargumen bahwa
beberapa agama lain telah mengijinkan pengikutnya (yang mempunyai kecenderungan ini) untuk
mendirikan tempat ibadah yang khusus bagi kalangan mereka sendiri. Kelompok ini mengaku bahwa
dimungkinkan bagi mereka untuk mendirikan masjid khusus bagi mereka, dimana salah satu dari mereka
dapat bertindak sebagai Imam. Dengan cara ini mereka dapat memenuhi kebutuhan spiritual mereka
setelah memenuhi kebutuhan mereka akan tindakan homoseksual.
Bagaimana posisi Islam dalam perilaku ini? Dan apa keputusan
Syari'ah dalam masalah ini? Dan apakah benar bahwa beberapa
ulama Islam tidak melihat tindakan seksual yang sesat sebagai
suatu kejahatan yang dibenci oleh Syari'ah atau dapat dihukum
oleh hukum Islam?
Jawaban
dari DR. Taha Jaber Al-'Alwani:
Sebelum kami menguraikan detail dari putusan Syari'ah atas perilaku
ini kami ingin menyebutkan apa yang dinyatakan dalam kitab suci
Al-Qur'an tentangnya dan tentang orang-orang yang melakukan
tindakan tersebut juga azab dunia apa yang menimpa mereka sebelum
hukuman yang lebih berat di akhirat.
Kami bermaksud
menunjukkan kebohongan besar yang dibuat oleh mereka yang menyatakan
bahwa Al-Qur'an tidak menganggap kejahatan homoseksual ini sesuatu
yang tercela.
Allah,
Yang Maha Kuasa, berfirman:
"Dan
(Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang
pun (di dunia ini) sebelummu?"
Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka),
bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui
batas.
Jawab
kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Lut
dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri."
Kemudian
Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya;
dia termasuk orangorang yang tertinggal (dibinasakan).
Dan
Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu."
(Q.S.
Al-A'raaf (7) : 80-84 )
Allah
juga berfirman :
"Dan
(ingatlah kisah) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat
(nya)?"
Mengapa
kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan
(mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak
mengetahui (akibat perbuatanmu)".
Maka
tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah
Lut beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka
itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih".
Maka
Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali istrinya. Kami
telah menakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).
Dan
Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah
hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan
itu."
(Q.S.
An-Naml (27) : 54-58 )
Allah Yang
Maha Kuasa juga berfirman :
"Dan
(ingatlah) ketika Lut berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya
kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum
pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu".
Apakah
sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya
tidak lain hanya mengatakan: "Datangkanlah kepada kami
azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar".
Lut
berdoa: "Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab)
atas kaum yang berbuat kerusakan itu".
Dan
tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa
kabar gembira, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami akan
menghancurkan penduduk (Sodom) ini, sesungguhnya penduduknya
adalah orang-orang yang lalim".
Berkata
Ibrahim: "Sesungguhnya di kota itu ada Lut". Para
malaikat berkata: "Kami lebih mengetahui siapa yang ada
di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan
pengikut-pengikutnya kecuali istrinya. Dia adalah termasuk orang-orang
yang tertinggal (dibinasakan).
Dan
tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada
Lut, dia merasa susah karena (kedatangan) mereka, dan (merasa)
tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka
berkata: "Janganlah kamu takut dan jangan (pula) susah.
Sesungguhnya
kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali
istrimu, dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)."Sesungguhnya
Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini
karena mereka berbuat fasik.
Dan
sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata
bagi orang-orang yang berakal."
(Q.S.
Al-Ankabut (29) : 28-35 )
Di dalam
semua ayat yang mulia tersebut, Allah, Yang Maha Kuasa, mengungkap
tindakan kaum Luth dengan istilah "keji" dan kota
mereka dinamakan sebagai kota yang melakukan "kekejian".
Apalagi diketahui bahwa kata "fahisya" dalam konteks
ini berarti tindakan cabul dan tindakan sodomi dan lesbian yang
dilakukan kaum Luth.
Kelompok
yang disebutkan mengatakan bahwa ayat-ayat di atas tidak menunjukkan
bahwa perilaku seksual tersebut adalah diharamkan tapi semata
tidak dianjurkan. Mereka menyatakan bahwa jika perilaku tersebut
dilarang Al-Qur'an akan telah menetapkan secara eksplisit suatu
hukuman legal untuk masalah tersebut, sehingga tidak adanya
teks yang menetapkan hukuman atas perilaku tersebut menunjukkan
bahwa itu 'bisa' diperbolehkan.
Tetapi
perlunya ada hubungan antara hukuman legal pada satu sisi dan
sesuatu yang dilarang di sisi lain adalah bukan suatu observasi
yang akurat, karena (sepengetahuan kami) polytheisme adalah
suatu kuburan ketidak-adilan dan dianggap sebagai dosa terbesar,
meskipun tidak ada undang-undang Syari'ah atau hukuman legal
yang dapat diterapkan kepada penganut polytheisme apakah mereka
Magian, pemuja sapi atau yang lain. Dengan demikian hukuman
adalah satu hal tersendiri dan perbuatan dosa adalah hal yang
lain.
Kenyataannya,
dosa besar seperti yang dilakukan kaum Luth seringkali dihukum
di akhirat karena hukumannya lebih berat daripada azab dunia
dan kehinaan di akhirat adalah lebih besar daripada kehinaan
di dunia. Apalagi, hukuman di akhirat, seperti memasuki api
neraka dan datangnya kutukan Allah - semoga Allah menyelamatkan
kita darinya - dan tidak adanya ampunan Allah, adalah lebih
menyakitkan dan lebih berat daripada segala hukuman di dunia.
Ulama telah
menyetujui dan mencapai konsensus - berdasar apa yang tertulis
dalam Al-Qur'an dan Sunnah - mengenai pelarangan kedua perilaku
tersebut (gay dan lesbian) karena pada kedua tindakan tersebut
terdapat penyerangan terhadap kemanusiaan seseorang, perusakan
keluarga dan pertentangan terhadap tujuan dari Pemberi-hukum,
yang salah satunya adalah diberikannya naluri seksual antara
pria dan wanita agar tercipta lembaga pernikahan.
Islam tidak
memandang hasrat seksual sebagai tujuan utama dari pernikahan;
pernikahan adalah sarana untuk mendapatkan ketenangan batin
dan untuk mengaktualisasikan rasa cinta dan kasih sayang di
antara pasangan. Lebih jauh lagi, pernikahan adalah sarana untuk
kelangsungan hidup manusia dan mengembangkan suatu jaringan
dari ikatan-ikatan yang "sehat" yang membantu dalam
membangun keluarga yang "sehat" sebagai unit terkecil
dari masyarakat. Masyarakat yang "sehat" inilah tujuan
utama dari Islam dalam hal pernikahan.
Sebenarnya,
manusia bukanlah hewan yang dikontrol oleh insting seksualnya,
yang menjawab panggilan hasrat seksual setiap kali timbul di
dalam dirinya. Manusia harus bertanggung jawab untuk mengetahui
bagaimana mereka dapat mengarahkan keinginannya, yang merupakan
suatu kepercayaan Allah yang diberikan kepada mereka, baik pria
maupun wanita, sebagai tambahan dari kemauan dan kekuatan untuk
memilih, suatu anugrah dari Allah bagi manusia; Semua itu adalah
yang membedakan manusia dari mahluk lainnya dimana mereka dapat
mengarahkan perilaku mereka dan melakukan perbuatan yang baik.
Jadi, menganggap
hasrat (materialis) sebagai tujuan dalam diri mereka adalah
suatu penyimpangan dari watak alamiah seseorang dan dari hukum
alam. Jika di Barat terjadi kecenderungan untuk melegalkan perilaku
ini, perlu dicatat bahwa hal itu tidak diwujudkan hingga setelah
nilai-nilai agama menipis dan dirubah ke nilai-nilai relatif
yang mengagungkan individualitas dan bersenang-senang sebagai
tujuan akhir.
Lebih jauh
lagi kebingungan mengenai konsep hari akhir dan masalah lain
meningkatkan pula kebingungan akan seksualitas dan kemudian
menimbulkan anarki ini; Dari sini keserakahan dan ketamakan
timbul untuk mendorong tumbuhnya sejumlah industri yang dibangun
dengan tujuan melayani nafsu seperti wisata seks, pembuatan
film cabul, promosi peralatan pemuas seks dan hal-hal lain.
Hasilnya adalah rusaknya konsep keluarga dan nilai-nilainya
dan kebingungan timbul mengenai bentuk yang pantas dari hubungan
antara pria dan wanita ke arah keluarga yang dibentuk dari dua
pria atau dua wanita.
Dalam firman
Allah :
"Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah
ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Dan
terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu,
maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya
bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang"
(An-Nisa:
15-16)
Beberapa
ulama telah menyatakan bahwa arti dari "Al-lati" dalam
ayat tersebut adalah Lesbian yang melakukan perilaku sesat diantara
mereka dan arti dari "Al-ladhani" dalam ayat berikutnya
adalah homoseksual yang melakukan perbuatan tersebut diantara
mereka sendiri; dan hukuman bagi mereka adalah melalui kata-kata
dan perbuatan.
Dalam Hadits
Rasulullah SAW, menjelaskan buruknya perbuatan tersebut dengan
mengatakan: "Allah mengutuk orang-orang yang melakukan
perbuatan kaum Luth" hingga diulang tiga kali; dan dalam
Hadits yang lain :"Jika seorang pria mendatangi seorang
pria yang lain maka keduanya adalah pezina"
Disini,
beliau menganggap homoseksualitas serupa dengan zina dalam hubungan
dengan hukuman syari'ah karena itu adalah perbuatan tercela
disatu pihak dan di pihak lain definisi dari zina dapat diterapkan
padanya. Juga telah diriwayatkan dari para Sahabat r.a bahwa
kejahatan ini layak menerima hukuman berat lebih daripada zina
demi pencegahan dan pengendalian. Yakni, hukumannya disini adalah
kedua homoseksual tersebut (pelaku dan pasangannya) dibakar
atau dirajam dengan batu hingga mati karena Allah Yang Maha
Tinggi merajam kaum Luth dengan batu setelah menghancurkan kota
mereka.
Sedangkan
untuk lesbian, Rasulullah SAW bersabda : " Jika seorang
wanita mendatangi wanita lain, keduanya adalah pezina".
Para ulama menyebutkan bahwa merupakan kewajiban dari penguasa
untuk memberlakukan hukum atas lesbian yang sesuai dengan kejahatan
yang dilakukan.
Memang
benar bahwa beberapa ulama tidak setuju dengan hukuman tersebut
tapi bukan karena keraguan apakah perbuatan itu adalah suatu
kejahatan, namun karena tidak adanya ketentuan tertulis dalam
Al-Qur'an ataupun hadits mengenai hukuman dunia tersebut. Tetapi
tindakan para Sahabat telah menunjukkan bahwa kejahatan ini
memiliki hukuman di dunia, untuk dilaksanakan oleh mereka yang
berwenang diantara umat Muslim. Kisah dari Abu Bakar Assiddiq
ketika Khalid bin Walid mengirimkan surat kepadanya mengenai
masalah ini telah terkenal dan dapat dibaca dari banyak sumber.
Kisah tersebut
adalah sebagai berikut:
"Dalam bukunya Fathul Qadir, ulama Hanafi terkenal, Ibnu
Humam menyatakan:
"Baihaqi menceritakan dalam bukunya Shu'ab Al Iman atas
wewenang Abu Ad-Dunya bahwa Abdul Aziz bin Abi Hazim dari Daud
bin Bakar dari Muhammad bin Mukadir sebagai berikut:
"Khalid bin Walid menulis kepada Abu Bakar [meminta peraturan
yang sah] mengenai seorang pria yang dengan pria lain melakukan
hubungan seksual. Kemudian, Abu Bakar mengumpulkan para Sahabat
dan meminta pendapat mereka. Ali r.a. yang paling ketat dari
yang lain mengatakan 'Hanya satu negara yang mengabaikan Allah
dengan melakukan dosa semacam itu dan anda tahu bagaimana Allah
memperlakukan mereka. Saya kira bahwa kita harus membakar pria
itu dalam api' Para sahabat dengan suara bulat menyetujuinya."
Kejadian ini juga disebutkan oleh Waqidi dalam masalah kemurtadan
diakhir bagian dari kemurtadan Bani Salim.
Singkatnya,
sesungguhnya perbuatan ini, baik itu antara dua pria atau wanita,
dianggap sebagai perbuatan tercela dan suatu kejahatan. Oleh
karena itu, apa yang dinyatakan oleh orang-orang sesat tersebut
adalah tidak diterima oleh Islam sama sekali dan tertolak sepenuhnya.
Sedangkan, kenyataan bahwa beberapa kelompok religius, karena
ditekan, telah mengijinkan pengikutnya untuk melakukan perbuatan
tersebut tidak dapat dianggap sebagai pembenaran atas perbuatan
terlarang. Telah terjadi dalam sejarah, sejumlah orang merubah
agama mereka dengan menambah dan menguranginya. Sedangkan untuk
Islam, dengan tegas dalam masalah ini, tidak dapat menerima
tawar-menawar apapun dalam kondisi apapun.
Kaum Muslim
perlu mengambil tindakan pencegahan terhadap penyimpangan ini
dan tidak memberi kesempatan pada mereka untuk membingungkan
dan merusak anak-anak mereka. Mereka juga tidak pantas membangun
masjid dan memakmurkannya, tidak juga mereka pantas memimpin
mereka yang memakmurkan masjid siapapun mereka. Lebih penting
bagi mereka untuk mencari pengobatan bagi mereka sendiri atas
penyakit mereka, untuk mensucikan jiwa mereka dari kotoran apapun
yang melekat padanya, dan kembali kepada jalan yang lurus, daripada
mengejek dan mentertawakan perasaan kaum Muslim.
Kembali
ke atas
Mendiskusikan
Homoseksualitas dan Perlakuan terhadap 'Gay'
Tanya:
Bagaimana adab Islam dalam membicarakan homoseksualitas di antara
Muslim? Apakah hal itu merupakan sesuatu yang kita boleh bebas
mendiskusikannya secara umum ataukah itu sesuatu yang harus
dihindari? Juga bagaimana adab Islam dalam menghadapi homoseksualitas?
Apakah dosanya begitu dalam sehingga kita harus memutuskan hubungan
dari para pelakunya?
Jawaban
dari Muzammil Siddiqi:
Homoseksualitas adalah perbuatan dosa dan memalukan. Dalam istilah
Islam disebut sebagai 'Al-Fahsya' atau perbuatan keji dan cabul.
Islam mengajarkan agar penganutnya tidak melakukan perbuatan
cabul tersebut, atau dalam bentuk apapun membiarkan perkembangannya.
Allah berfirman "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar
(berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang
yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.
Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui." (Q.S.
An-Nuur (24) : 19)
Normalnya,
kaum muslim merasa benci untuk terlibat dalam membuat masalah
ini menjadi suatu topik diskusi karena kita tahu bahwa kadangkala
setan akan menyebar selama diskusi. Ketika orang mendengar suatu
perbuatan yang salah dan berdosa diucapkan berulang-ulang, mereka
menjadi terbiasa dengannya dan kemudian secara perlahan akan
perbuatan dosa itu kehilangan bobotnya dalam pikiran dan jiwa
mereka.
Tapi pada masa sekarang
ini perbuatan tersebut telah menjadi suatu fenomena. Banyak
terdapat agen dan kelompok lobbi yang bekerja keras untuk menyebarkan
hal ini dan membuatnya sebagai suatu gaya hidup yang sah dan
dapat diterima. Untuk alasan ini kita harus berbicara untuk
melawannya. Kita harus memperingatkan remaja dan anak-anak kita
dari gaya hidup setan tersebut. Kita harus membuatnya sangat
jelas bahwa hal itu adalah haram, sangat terlarang dan membangkitkan
kemurkaan Allah.
Kata "homoseksualitas"
adalah kata yang netral. Tidak menyampaikan sifat-sifat yang
rendah dan dosa. Kata ini sekarang digunakan seakan-akan adalah
hanya suatu tipe perilaku seksual normal yang lain.
Namun, dalam literatur
Islam hal itu selalu disangkutkan dengan konotasi negatif. Dalam
literatur Arab modern disebut sebagai 'Shudhudh' yang berarti
ketidaknormalan.
Dalam literatur Fiqh
kita hal itu dikaitkan sebagai 'Perbuatan Kaum Luth'.
Hal tersebut secara
spontan akan mengingatkan seseorang bahwa hal ini adalah sesuatu
yang buruk yang menjadi subyek dari adzab Allah. Sehingga pikiran
kita akan terbiasa dengannya daripada kita harus membentuk perasaan
alamiah untuk merasa jijik terhadapnya. Lagi pula ketika orang
Islam membahas mengenainya atau perbuatan haram yang serupa,
mereka sering mengucapkan "Na'udzubillahi min dzalik"
atau semacamnya yang berarti "Aku berlindung kepada Allah
dari hal yang seperti itu". Inilah adab yang seharusnya
kita ikuti ketika kita membicarakannya. Kita harus mengaitkan
perilaku ini dengan titel yang negatif dan kita harus memohon
perlindungan Allah dari hal tersebut ketika membicarakannya.
Untuk pertanyaan
kedua, bagaimana kita memperlakukan homoseksualitas, kita harus
menganggap mereka sebagai orang yang melibatkan diri mereka
dalam perbuatan dosa. Kita harus memperlakukan mereka seperti
kita memperlakukan mereka yang terlibat dalam alkohol, judi
atau zina.
Kita harus memiliki
perasaan tidak suka akan perilaku mereka dan kita harus mengingatkan
dan memperingatkan mereka. Mereka yang tetap memaksa berada
dalam gaya hidup tersebut, menganggapnya sah dan merasa bangga
sebagai 'gay', kita tidak seharusnya berhubungan dengan mereka
dan tidak mengambil mereka sebagai teman. Kita harus menghindari
orang-orang tersebut. Jika kita melihat seseorang yang telah
melakukan dosa tersebut dan ingin bertaubat, maka kita harus
membantunya semampu kita untuk mengeluarkannya dari kejahatan
tersebut. Kita tidak boleh meninggalkannya dalam godaan setan.
Kembali
ke atas

|