Sikap
Seorang Muslim Menghadapi Beban Hidup
(Dirangkum dari tulisan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi)
Pandanglah
persoalan yang tengah dihadapi dengan tenang dan seimbang, jangan
selalu merasa kesal dan menyalahkan suratan takdir, menyalahkan
bumi dan langit, dan menyalahkan makhluk dan Sang Pencipta.
Renungkanlah beberapa kenyataan penting yang harus selalu diletakkan
di depan mata kita:
Ingatlah
Nikmat-nikmat yang Ada
Pertama, seorang
mukmin yang arif dan bijaksana tidak seharusnya hanya melihat
kegagalan-kegagalannya saja. Yang lebih penting, ia justru harus
mau melihat nikmat-nikmat Allah yang ada padanya. Sejatinya
ia telah mendapatkan banyak sekali nikmat Allah, tetapi ia tidak
bisa melihatnya, atau melihatnya tetapi ia masih merasa belum
puas sehingga ia tidak mau menghargainya sebagaimana mestinya.
Semoga Allah meridhai
Urwah bin Zubair. Dalam waktu satu hari ia ditimpa dua musibah
sekaligus. Seekor kuda menyepak puteranya hingga meninggal dunia.
Sementara itu kakinya sendiri terpaksa harus dipotong oleh seorang
tabib, supaya penyakitnya tidak menular ke seluruh tubuhnya.
Kendatipun demikian ia tetap bersyukur seraya memanjatkan puji
kepada Allah Ta'ala. Anaknya memang meninggal dunia karena kecelakaan
tersebut, tetapi ia masih beruntung karena anaknya yang lain
masih hidup. Dengan penuh kesadaran dan ketulusan ia berkata,
"Ya Allah di samping mengambil Engkau juga memberi".
Dan ketika memandang
sebelah kakinya yang harus terpotong, dan sebelah kakinya lagi
yang masih utuh ia pun berkata, "Ya Allah selain menimpakan
cobaan Engkau juga mengaruniai kesehatan".
Pandangan Urwah bin
Zubair r.a. terfokus pada nikmat yang masih ada, sehingga ia
tetap ridha dan bersyukur. Coba kalau ia hanya terpaku pada
nikmat yang hilang tentu ia akan terus menerus merasa kesal,
marah, dan mengeluh.
Seandainya kita mau
memikirkan diri kita sendiri, akan kita dapati banyak nikmat
ada pada diri kita, kendatipun mungkin tidak ingin mengakuinya,
atau pura-pura tidak tahu. Atau barangkali kita menganggap nikmat-nikmat
itu tidak ada gunanya karena tidak bisa mendatangkan harta dan
kesejahteraan duniawi.
Harus diakui
bahwa sesungguhnya harta adalah sebuah kenikmatan yang sangat
menggiurkan, dan kemiskinan adalah penderitaan yang cenderung
selalu dijauhi oleh hampir setiap orang. Mereka berlindung kepada
Allah dari keburukan kemiskinan. Tetapi bagi orang yang mau
merenung secara mendalam, harta ternyata nikmat yang sepele.
Alapah artinya harta kalau pemiliknya sakit-sakitan terus? Apalah
artinya harta kalau pemiliknya bodoh? Dan apalah artinya harta
kalau pemiliknya kafir atau fasik sehingga tidak bisa mensyukurinya?
Menyinggung
tentang keadaan orang-orang musyrik Allah SWT berfirman, |
|
"Apakah
mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan
kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka
tidak sadar." (Al-Mukminun: 55-56) |
Boleh Jadi
Anda Membenci Sesuatu, Padahal Itu Amat Baik Bagimu
Kedua, sesungguhnya
seseorang - dengan segenap kekurangannya sebagai manusia - tidak
mengerti dimana letak kebajikannya, dan dimana pula letak keburukannya?
Ia hanya bisa menetapkan sesuatu berdasarkan segi lahiriahnya
atau yang terlihat mata saja, tetapi tidak tahu segi batiniyahnya
atau yang tidak terlihat oleh mata. Ia hanya bisa melihat yang
ada di depannya saja, tetapi tidak tahu terhadap apa yang akan
terjadi nanti. Ia cenderung hanya menuruti emosi belaka, tetapi
tidak mau menggunakan akal pikiran sebagaimana mestinya. Karena
itulah Allah Ta'ala berfirman,
|
"Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui."
(Al-Baqarah:216) |
Tahukah
anda, wahai saudaraku, bahwa sebenarnya Allah ingin mendekatkan
anda kepada-Nya lewat cobaan yang barangkali amat berat, dan
mendidik anda dengan ujian yang mungkin sangat pahit? Dan itulah
yang telah dilakukan oleh Allah terhadap para nabi dan para
rasul utusan-Nya yang besar. Mereka dicoba. Tetapi mereka sabar
dan tabah. Dengan tekun mereka tetap menyampaikan risalah Allah
yang dibebankan di pundak mereka kepada umat manusia. Dan atas
jasa merekalah Allah memberikan petunjuk kepada orang yang Dia
tunjuki, dan menegakkan hujjah terhadap orang yang kafir serta
berpaling dari petunjuk-Nya.
Adalah kewajiban
kita menghadapi segala kesulitan dan penderitaan dengan kesabaran
yang indah. Jangan terpikir sama sekali bahwa cobaan yang menimpa
kita merupakan siksaan dari Allah kepada kita. Bahkan seringkali
tanpa kita sadari hal itu justru merupakan hidayah atau petunjuk
dari Allah SWT. Itulah sebabnya kenapa para nabi dijadikan oleh
Allah sebagai orang-orang yang paling berat menerima cobaan
dalam kehidupan dunia.
Rasulullah
SAW bersabda, |
|
"Manusia
yang paling berat cobaannya ialah para nabi, kemudian
yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Seseorang
itu dicoba sebanding dengan kadar beragamanya. Jika beragamanya
kuat maka cobaannya berat, dan jika beragamanya lemah
maka cobaannya pun sebanding dengan kadar beragamanya.
Cobaan itu akan selalu menimpa seorang hamba sepanjang
ia masih berjalan di atas bumi dengan melakukan kesalahan." |
Bahkan
seorang mukmin yang sejati mampu mengambil cobaan secara filosofis.
Baginya, cobaan justru dianggap sebagai sebuah nikmat yang patut
disyukuri, bukan sebagai seuatu musibah dari Allah SWT yang
memang harus dihadapi dengan sabar.
Dalam
hal ini ada riwayat yang dikutip dari Amirul Mukminin Umar
bin Khatab r.a., sesungguhnya ia pernah mengatakan, |
|
"Pada
setiap cobaan yang menimpaku, ada empat macam nikmat pemberian
yang bisa aku temukan. Pertama, bahwa itu tidak sampai
mempengaruhi agamaku. Kedua, bahwa itu bukan cobaan yang
lebih besar daripada nikmat yang aku terima. Ketiga, bahwa
aku masih mendapatkan ridha-Nya. Dan keempat, bahwa aku
berharap akan memperoleh pahala-Nya atas cobaan tersebut." |
"Katakanlah,
Itu dari Kesalahan Dirimu Sendiri"
Ketiga, tidak sepatutnya
kita mengkambinghitamkan suratan takdir semata atas kesialan
yang menimpa kehidupan kita, dan atas kegagalan kita dalam urusan-urusan
duniawi kita. Akibatnya kita lalu cuci tangan. Kita bebaskan
diri kita dari segala kelemahan, kesalahan, kekuarangan dan
tanggung jawab.
Pikiran negatif seperti
ini akan membuat seseorang tidak mau mencoba memperbaiki keadaan
dan mengatasi persoalannya. Dengan nada pasrah dan putus asa
ia hanya akan berkata: "Ini memang sudah menjadi takdir
Allah. Kalau takdir Allah ini berpihak padaku, aku akan berutung.
Tetapi kalau tidak, aku akan bernasib sial." Orang seperti
ini hanya bisa terpaku di tempat. Ia tidak mau mengayunkan langkah
ke depan.
Seorang mukmin yang
mengerti hukum-hukum Allah dalam syariatnya, dan sunnah-sunnah
Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya, ia pasti mempercayai suratan
takdir, tidak menjadikannya sebagai alasan, dan memilih menyalahkan
dirinya sendiri. Nukannya malah menyalahkan zaman atau waktu
dengan marah-marah.
Allah
Ta'ala berfirman kepada orang-orang beriman dari para sahabat
Rasulullah SAW setelah pulang dari perang Uhud dengan mendapatkan
cobaan kekalahan, |
|
"Dan
mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud),
padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat
kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata,
'Dari mana datangnya (kekalahan) ini?' Katakanlah, 'Itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri'." (Ali Imran:165) |
Nabi
SAW pernah memutuskan di antara dua orang yang sedang bersengketa.
Sambil beranjak pergi orang yang diputuskan kalah berkata: "Cukuplah
Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baiknya penolong." Mendengar
itu Nabi bersabda: "Sesungguhnya Allah mencerca kelemahan.
Kamu harus pintar dan ulet. Jika ternyata kamu memang kalah,
baru katakan: "Cukuplah Allah bagiku dan Dia adalah sebaik-baiknya
penolong."
Sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW memang tidak menyukai ucapan orang tersebut, kendatipun
itu adalah kalimat berisi dzikir kepada Allah. Tetapi dalam
konteks persoalannya, ucapan tersebut menjadi tidak relevan
karena hanya menunjukkan kelemahan, ketidak berdayaan, dan keputusasaan.
Padahal betapa pun seorang mukmin itu tidak boleh berputus asa.
Disebutkan
dalam sebuah hadits shahih: |
|
"Seorang
mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh
Allah daripada seorang mukmin yang lemah. Penuhilah setiap
kebajikan, bersemangatlah terhadap hal-hal yang berguna
bagimu, memohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan
lemah." |
Buang jauh-jauh
kelemahan dan ketidakberdayaan itu, saudaraku. Cari penyebabnya
apa yang menimpa dirimu itu. Sangat boleh jadi anda punya kelemahan
atau kekurangan tertentu yang menghambat langkah anda. Anda
tentu orang yang paling tahu terhadap diri anda sendiri, dan
paling bisa mengatasi segala kekurangan dan menutupi semua celah
yang mungkin tertutup oleh berbagai macam penutup. Seorang yang
arif bijaksana harus dapat mengingkap semua itu, dan tidak hanya
sekadar mempersalahkan diri sendiri saja. Jujurlah pada diri
anda sendiri. Ajak ia bersungguh-sungguh dalam memperbaiki langkah-langkah
perjalanannya ke depan. Percayalah, Allah pasti akan bersama
anda. Jika anda benar-benar punya hasrat yang kuat, semua jalan
akan terlihat dengan jelas.
Maha
benar Allah ketika Dia berfirman, |
|
"Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik." (Al-Ankabut:69) |
Putus Asa
Bukan Ciri Orang Beriman
Keempat,
sesungguhnya putus asa itu bukanlah termasuk ciri orang-orang
yang beriman. Seseorang yang mengaku beriman itu selamanya tidak
akan pernah berputus asa dari rahmat Allah Tuhannya barang seharipun,
meski dunia kelihatan sempit olehnya, semua pintu harapan tampak
tertutup rapat, dan semua cara sepertinya sudah habis. Hal itu
karena sesungguhnya putus asa adalah fenomena kekufuran dan
kesesatan, seperti yang difirmankan Allah SWT,
|
"Hai
anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang
Yusuf dan saudara-saudaranya dan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Yusuf:87) |
Jadi janganlah
berputus asa, wahai saudaraku, untuk berusaha menciptakan hari
ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada
hari ini. Salah satu sunnah Allah yang akan terus berlaku dalam
kehidupan dunia ialah pergiliran waktu di tengah-tengah manusia.
Sebagai
mana firman Allah, |
|
"Dan
(masa kejadian dan kehacuran) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran."
(Ali Imran:140) |
Allah
SWT berfirman, |
|
"Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."
(Ath-Thalaq:7)
"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
(Alam Nasyrah:5-6)
|
Jagalah
iman Anda, wahai saudaraku. Janganlah anda kehilangan harapan
masa depan barang sekejap pun. Percayalah, di samping hari ini
masih ada hari esok. Dan bagi orang yang mau memandangnya, hari
esok itu terasa sangat dekat.
Semoga Allah memantapkan
hati serta langkah anda dalam meniti kebenaran, melapangkan
dada anda dengan keyakinan, memberikan kemudahan pada urusan
anda, dan memberikan solusi bagi kesulitan anda. Amin. Dan akhir
doa kami ialah bahwa segala puji bagi Allah Tuhan seru semesta
alam.
Sumber
:
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, "Fatawa Mu'ashirah", Dar Al-Qalam
(2001). Terjemahan bahasa Indonesia oleh Samson Rahman, Abdur
Rasyad Shiddiq, Saefudin Zuhri, "Fatwa-fatwa Kontemporer,
Edisi Pilihan", Pustaka Al-Kautsar (2002).
|