Di balik Normalisasi Status Homoseksual

Di masa lalu yang tak jauh dari masa kini, ketika DSM-III masih mencantumkan ego-dystonic homosexual dalam daftar paraphilia, orang-orang dengan same-sex attraction (SSA) menggunakan dalih-dalih berikut untuk menolak mengikuti gaya hidup gay:

  • Takut ketahuan oleh teman, keluarga, atau pasangan, sehingga bisa dikucilkan;
  • Merasa berdosa karena melanggar hukum agama;
  • Merasa bersalah karena menipu orang-orang yang dikasihinya;
  • Takut kena penyakit menular seksual (PMS);
  • Takut diejek abnormal, menyimpang, dll;
  • Ingin berumah tangga demi membahagiakan orang tua, dll.

Pada awalnya, alasan-alasan ini mencukupi motivasi untuk berubah. Namun, kriteria abnormalitas dalam dunia psikologi berubah, diikuti dengan fakta bahwa perilaku homoseksual bukanlah penyebar tunggal PMS, suksesnya propaganda hak-hak gay sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), serta meningkatnya toleransi, penerimaan, dan dukungan terhadap gay oleh masyarakat hingga ke tingkat keluarga. Paling akhir, ijtihad sebagian pakar atau pemuka masyarakat mengenai batasan homoseksualitas, mana yang dimurkai oleh Tuhan dan mana yang sebenarnya tidak. Bagi para gay, ini merupakan kemenangan yang telah diperjuangkan sejak insiden Stonewall 1969.

Sebelum Normalisasi
Aspek Kehidupan
Setelah Normalisasi

Menyalahi kodrat/hukum alam

Tidak memenuhi fungsi prokreasi

Filsafat

Alami sebagaimana heteroseksual, misalnya pada beberapa mamalia

Fungsi rekreasi juga harus dihargai, bahkan mendukung program KB

Dosa

Larangan dalam hukum agama

Agama

Takdir

Perlu ada reinterpretasi dalil yang melarang homoseksual

Tidak sesuai desain biologis

Hubungan seks yang beresiko

Medis

Ada predisposisi genetik dan fisiologis

Ada cara aman dan sehat, misalnya pakai kondom, lubrikan, dll.

Abnormal

Penyimpangan

Terapi reorientasi

Psikologi

Normal

Variasi

Terapi afirmatif

Pengucilan

Diskriminasi

Sosial

Diterima masyarakat

Hak Asasi Manusia (HAM) perlu dihargai

Malu
Penerimaan Diri
Bangga


Kelompok orang dengan SSA pun terbagi dua.

Pertama, mereka yang menyambut perubahan ini dengan suka cita, karena perubahan ini merupakan wujud impian-impian mereka: Kebebasan dalam mengekspresikan cinta dan memenuhi kebutuhan seksual, dan di atas itu semua, peluang untuk menjalani hidup sesuai dengan ketertarikan homoseksualnya. Ini melampaui sekedar berkumpul dengan sesama gay, namun juga berpasangan secara resmi (menikah) dan memiliki anak (misalnya, dengan cara adopsi).

Kedua, yang merasa bahwa mereka perlu mempertahankan perjuangan mereka, namun mulai kehabisan alasan. Biasanya, mereka merasa gaya hidup straight cukup layak untuk diperjuangkan, dan mungkin juga masih mempertahankan sebagian alasan. Meskipun demikian, kadang ada perasaan bingung terhadap pendiriannya, juga perasaan heran, tidak setuju, dan prihatin melihat kemajuan perjuangan pembebasan gay. Seperti yang bisa kita baca di media massa, sikap masyarakat mulai bergeser ke arah toleransi bagi gay, seiring dengan informasi bahwa homoseksualitas bukanlah penyimpangan psikologis. Satu dari sedikit alasan yang masih tersisa adalah dalil agama, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Suci. Menghadapi interpretasi alternatif atas homoseksualitas, mereka berupaya menolaknya meskipun itu berarti dilabeli 'munafik' atau 'picik'.

Sebenarnya, normalisasi status homoseksualitas ini menimbulkan beberapa konsekuensi yang lebih jauh dari sekedar penerimaan masyarakat terhadap anggotanya yang menjalani gaya hidup gay:

1. Alur perkembangan homoseksualitas yang diakui normal adalah menuju ke penerimaan gaya hidup sebagai gay. Dengan kata lain, agar seseorang dengan same-sex attraction (SSA) bisa berfungsi normal dalam kehidupannya sehari-hari (hidup bahagia), maka ia haruslah mengakui dan menerima kenyataan bahwa ia adalah gay, serta hidup sesuai dengan orientasi seksualnya terebut. Akibatnya, orang yang berada dalam keadaan bingung dan masih belum memutuskan alur mana yang akan ditempuhnya hanya ditunjuki satu pilihan: Menjadi gay. Sementara itu, orang yang memilih untuk tidak menjadi gay meskipun nyata-nyata mengalami SSA dianggap rawan mengalami kecemasan dan depresi akibat konflik internal yang dialaminya (Rupp, 2000). Hal ini mulai diterima oleh sebagian ahli kejiwaan, ditunjukkan dengan saran dalam artikel ilmiahnya dan dalam berpraktik (Mangindaan & Syailendra, 1997);

2. Terapi konversi, reparatif atau reorientasi dituntut untuk dihapuskan, sebagai konsekuensi dari normalisasi status homoseksualitas. Hal ini dilakukan dengan alasan yang --kalau boleh saya menilai-- cukup menggelikan: Tidak etis, karena banyak orang yang akan tersinggung apabila terapi ini tetap diadakan (Davison, 1978). "Banyak orang" mengacu pada para gay, yang notabene tidak membutuhkan terapi ini. Namun, bagaimana dengan orang lain dengan SSA yang masih membutuhkan terapi itu? Tidakkah mereka lebih terluka lagi jika terapi ini dihapuskan? Maksud saya di sini adalah, jika semangat demokrasi memang didengungkan di sini, maka terapi itu seharusnya tetap ada demi yang membutuhkannya saja. Bukankah demokrasi berarti menghargai keberbedaan?;

3. Penyangkalan hak pasien (klien) untuk menentukan arah terapi; Dalam hal ini, terapi reparatif. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa tugas psikolog dan psikiater bukanlah untuk menyenangkan pasiennya, melainkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup yang bersangkutan berdasarkan pedoman ilmiah yang baku (cq. PPDGJ atau DSM). Seringkali, pasien datang dengan permintaan yang kurang realistis, yang justru beresiko merusak hidupnya sendiri. Tugas para praktisi kejiwaan adalah membantu pasien agar menyadari dan memilih keputusan yang tepat, serta mendorongnya untuk menjalani keputusan itu dengan bertanggung jawab. Oke, sampai di sini memang terkesan benar dan mulia, namun dengan beberapa titik lemah:

  • Perbedaan individual, terutama perbedaan nilai yang dianutnya. Seandainya pasien lebih memilih untuk memegang nilainya, maka pengubahan nilai yang dipaksakan bisa berakibat konflik antara pasien dan praktisi;
  • Perbedaan lingkungan budaya dan sosial dimana pasien hidup. Jika pasien berasal dan hidup di lingkungan yang liberal (dalam artian positif), hidup sebagai gay adalah jauh lebih mudah dibandingkan dengan lingkungan yang tidak menerima gaya hidup gay (NARTH, 2002);
  • Perkembangan dinamis dari ilmu pengetahuan, dalam hal ini yang berkaitan dengan homoseksualitas. Kini ditemukan bahwa ada sebagian orang dengan SSA yang ternyata hidup lebih bahagia dengan menolak gaya hidup gay. Meskipun sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun para ahli kejiwaan selama ini cenderung meremehkan keberadaannya (Nicolosi, 2002). Dengan pengabaian fakta ilmiah ini pula, maka mandeglah penelitian untuk mengungkap jalan keluar dari homoseksualitas;

4. Dengan normalisasi status homoseksual dan terbukanya Indonesia terhadap arus informasi global, maka perlakuan terhadap kaum homoseks (dalam hal ini, gay) menjadi sangat positif. Berlawanan dengan semangat demokrasi di tempat asalnya, informasi ini membentuk opini baru bahwa dunia terbagi menjadi 2 bagian hitam-putih saja: Putih untuk gay dan pro-gay, hitam untuk anti-gay dan non-gay. Maksudnya adalah, siapa saja yang tidak setuju terhadap gaya hidup gay, meskipun sebenarnya tidak membenci gay, akan dianggap sebagai penindas hak asasi manusia. Dan berdasarkan semangat mendukung hak asasi manusia, mereka inilah penjahat di abad 21 ini. Singkatnya, saat ini anda tidak boleh tidak setuju terhadap gaya hidup gay. Kalau tidak, maka anda cenderung akan ditempatkan di pihak para penganiaya gay, pelaku diskriminasi terhadap gay di tempat umum, serta perusak bar dan klub gay. Apakah gambaran ini dilebih-lebihkan? Bisa jadi. Namun, dalam setiap perdebatan mengenai setuju-tidaknya terhadap gaya hidup gay, akan selalu muncul himbauan "Kita harus menghormati hak asasi manusia." Ini menyiratkan bahwa tidak mendukung gaya hidup gay bukanlah tindak penghargaan hak asasi manusia, sekaligus menutup perdebatan dengan pihak yang tidak mendukung;

5. Kurangnya penghormatan atas keberbedaan juga berasal dari komunitas gay. Sebagian anggota komunitas gay menganggap bahwa non-gay adalah gay munafik. Meskipun memiliki SSA, namun perilakunya menunjukkan sebaliknya: Tidak mau berkumpul dengan komunitas gay, tidak setuju dengan gaya hidup gay, menahan diri dari hubungan seks dengan sesama jenis, bahkan berusaha untuk berumah tangga. Ungkapan paling halus adalah "belum menerima diri sendiri" atau "belum coming out", dan ini pun menyiratkan bahwa menjadi gay adalah garis finish dari keadaannya sekarang. Konsekuensi lain, suara individu-individu dengan SSA selama ini hanya diwakili (baca: ditumpuk) oleh suara kelompok gay saja. Misalnya, tuntutan untuk menghapus terapi reorientasi, keinginan agar gaya hidup gay bisa diterima oleh masyarakat, dll (NARTH, 2001);

6. Semua hal itu menimbulkan keraguan pada diri homoseks non-gay, yaitu orang-orang dengan SSA yang memilih untuk menjauhi jalur gay dan menempuh jalurnya sendiri berdasarkan landasan filosofisnya (biasanya agama yang melarang perilaku homoseksual). Ketika homoseksualitas dianggap normal secara ilmiah dan masyarakat mulai menunjukkan toleransinya, maka runtuhlah salah satu alasan memilih jalur non-gay. Pada akhirnya, hanya satu alasan saja yang tersisa: Agama. Namun, dengan munculnya interpretasi-interpretasi baru berkaitan dengan homoseksualitas (cq. pernyataan seorang ahli bahwa Perjanjian Baru menghapus Perjanjian Lama, tradisi mairilan di sejumlah surau atau pondok pesantren, munculnya organisasi gay berbasis agama, penggunaan ayat suci oleh beberapa tokoh agama untuk membela gay, dll) maka landasan ini pun tergoyahkan juga (Oetomo, 1990).

 

Membaca artikel, apakah anda akan beranggapan bahwa memang ada serangan sistematis terhadap kehidupan spiritual agamis? Bisa jadi tengara ini agak berbau paranoia karena para propagandis di atas selalu mengedepankan misi kebaikan bagi umat manusia (dalam hal ini, yang memiliki SSA). Namun Toto Tasmara dalam bukunya Dajal dan Simbol Setan (1999) telah mengingatkan bahwa gerakan ini benar-benar ada.

Dikaitkan dengan demokrasi, demokrasi dalam islam bukan berarti membebaskan manusia untuk menentukan apapun menurut keinginannya meskipun ada hadits yang menyatakan bahwa Allah setuju dengan kesepakatan hamba-Nya mengenai apa-apa yang baik. Implikasinya, yang memenuhi kriteria-Nya sebagai hamba sajalah yang menentukan kriteria apa yang mensejahterakan umat, dengan cara yang diridhai-Nya. Islam hadir untuk membebaskan manusia dari kesesatan menuju fithrahnya, sehingga ijtihad manusia (baca: masyarakat) haruslah sejalan dengan fithrah itu. Dalam hal ini tidaklah mungkin menetapkan homoseksualitas sebagai hal yang halal bagi umat Islam meskipun para ulama menyatakan fatwanya, terutama dikarenakan adanya ayat-ayat muhkamat yang mencela liwath. Dengan demikian, prasyarat ijtihad tidak terpenuhi.

Tanpa berprasangka buruk, tidak ada salahnya untuk berhati-hati dengan berpegang teguh pada Quran dan Hadits, serta memegang teguh persaudaraan dengan saling mengenal, memahami, menolong, dan bertanggung jawab (Tasmara, 1999). Kita juga mesti ingat pada pesan Rasulullah saw. bahwa seseorang berada dalam agama sahabatnya, oleh karena itu hendaknya kita benar-benar selektif dalam bersahabat.

Sebagai penutup, marilah kita renungkan ucapan Umar bin Khattab ra., "Kebenaran yang tidak terorganisasi dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi."

(Semperfy)


REFERENSI

Davison, G.C. (1978). Not Can But Ought: The Treatment of Homosexuality. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 46, 170-172. Dikutip dalam Davison, G.C. & Neale, J.M. (1994) Abnormal Psychology (6th ed.) New York: John Wiley & Sons, Inc.

Mangindaan, L. & Syailendra WS. (1997) Homoseksualitas: Beberapa Perspektif Baru tentang Faktor Etiologi, Permasalahan, dan Penatalaksanaan. " Jiwa, XXX, 4, hal. 365-381.

NARTH (2001). NARTH's Response to "Just the Facts about Sexual Orientation and Youth" http:/www.narth.com/docs/narthresponse.html

NARTH (2002). "Whose Worldview?" "Whose Psychology?" How Psychotherapy Can Recognize Diverse Value Systems. http://www.narth.com/docs/whose.html

Nicolosi, J. (2002) Non-Gay Homosexuals: Who Are They? [Excerpt of chapter one of the book Reparative Therapy of Male Homosexuality]. Leaderu: http://www.leaderu.com/orgs/narth/reparativetherapy-ch01.html
Oetomo, D. (2 September 1990) Gay dan Lesbian. Tiara, hal. 31-33.

Rupp, R. (2000) How Groups Work: Coming Out of a Gay Identity and Becoming One of the Guys. NARTH: http://www.narth.com/docs/groupswork.html

Tasmara, T. (1999) Dajal dan Simbol Setan (cet. 2). Jakarta: Gema Insani Press


<< Sebelumnya | Indeks Opini | Selanjutnya >>