Sikap
Muhajir (d/h.
Muslim Homoseks Non-Gay)
Terhadap Homoseksualitas
Para pengunjung website
hijrah_web tentu telah membaca artikel yang telah diterjemahkan oleh akhi Mqzf dan
di-upload pada tanggal 7 Juni 2003 mengenai pendapat ulama seputar kelompok gay-muslim.
Artikel tersebut telah menggelitik pikiran saya, sehingga muncul sebuah pertanyaan:
Jika muslim dianjurkan untuk meminta perlindungan dengan mengucapkan nau’udzubillah min
dzalik ketika membicarakan homoseksualitas, maka bagaimana sikap seorang muslim yang
mendapati homoseksualitas telah tumbuh dalam dirinya?
Saya jadi teringat dengan
sebuah artikel yang ditulis pada lembar Jum’at nasional Al-Fath edisi ke-107/th. IV/1424
H/2003 M yang berjudul "Adab Terhadap Musibah". Dalam artikel tersebut, saya
menangkap pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
-
Musibah-segala sesuatu
yang menimpa manusia dalam kehidupannya dan sifatnya tidak dikehendaki-merupakan takdir
Allah Swt. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., "Apa yang menimpa manusia berupa
hal-hal yang tidak dikehendaki, itu namanya musibah." (HR. Imam Muhammad bin Nasr Thabrani);
-
Datangnya musibah tidak
dapat diprediksi, ditolak, atau memilih sasarannya. Bisa menimpa muslim, musyrik, orang
dzalim, pendosa, orang saleh, bahkan nabi sekalipun. Yang membedakan adalah sikap terhadap
musibah itu sendiri.
Dari kedua artikel tersebut,
dihubungkan dengan keadaan yang kita alami saat ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketertarikan
seksual yang kita alami saat ini bertentangan dengan petunjuk yang kita anut (Islam), sehingga
kita menghayatinya sebagai hal yang tidak kita kehendaki. Dengan demikian, homoseksualitas bagi
kita merupakan musibah yang perlu diatasi. Bagi gay justru berlaku sebaliknya. Petunjuk yang
nyata-nyata ditulis dalam Al-Quran justru merupakan musibah karena menjadi gay berarti memilih
untuk merengkuh homoseksualitas dalam kehidupannya. Ayat-ayat yang mengutuk faahisyah bila terbaca
atau dibacakan akan menggemakan celaan dalam dirinya, dan ini bukanlah hal yang menyenangkan.
Dalam Al-Quran diumpamakan dengan orang-orang yang menutup telinganya ketika melihat halilintar
karena takut akan mendengar guntur yang mengiringinya. Dari perbandingan ini, bisa disimpulkan
bahwa perbedaan antara muslim gay dan non-gay adalah pilihan mana yang diambilnya: Mengikuti
dorongan homoseksualnya atau mengikuti ayat-ayat suci agamanya. Ini sejalan dengan apa yang
disinggung dalam buletin Jumat tersebut, bahwa meskipun musibah tidak pandang bulu, perbedaan
muncul ketika menyikapinya. Seorang mukmin sejati tentu berbeda dengan orang yang masih goyah
imannya dalam menyikapi musibah yang sama.
Bagi seorang mukmin, musibah bisa jadi ujian keimanan sebagaimana yang
difirmankan Allah Swt. dalam ayat “Apakah manusia itu mengira, bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
benar. Dan, sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(QS. Muhammad: 10). Bisa jadi musibah adalah peringatan atau teguran
atas keterlenaannya dalam kesalahan yang mungkin tidak disadarinya.
Jika ia bisa bertaubat dan mengambil hikmahnya, maka ia berkesempatan
untuk memperbaiki kesalahannya dan pada gilirannya membuka kesempatan
untuk meningkatkan keimanannya. Mungkin juga berupa hukuman langsung
di dunia atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Ini tidak berarti
Allah Swt. membenci hamba-Nya tersebut, justru ini merupakan wujud
kasih sayang-Nya karena dengan musibah itu kesalahan hamba yang
bersangkutan akan dihapus. Tentu saja, apabila sungguh-sungguh bertaubat
dan menerima musibah itu dengan lapang dada. Dalam sebuah hadis
dikemukakan bahwa tidak ada satu penyakit pun, bahkan hingga bau badan
atau bau mulut sekalipun, yang menghinggapi manusia kecuali sebagai akibat
dari dosa-dosanya. Juga disebutkan bahwa segala penyakit pada manusia,
bahkan sesederhana tertusuk duri, merupakan sarana untuk menghapus dosa
asalkan si hamba bersabar menerimanya.
Bersabar menerimanya? Bukankah itu juga yang dilakukan oleh gay? Bukan. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa gay tidak menganggap hal ini sebagai musibah, bahkan lebih tepat dianggap sebagai perayaan atau kebanggaan. Muhajir di lain pihak, tetap menganggapnya sebagai musibah, namun tidak kehilangan harapannya terhadap Allah Swt. Ini selaras dengan sabda Rasulullah-semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah baginya-, “Sesungguhnya, jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Siapa yang ridla atas ujian itu, maka Allah akan meridlainya. Dan, siapa yang membencinya, maka Allah akan membencinya.” (HR. Tirmidzi).
Dari sini bisa kita temukan bahwa mukmin bukanlah seorang yang menengadahkan wajahnya untuk mempertanyakan kebijaksanaan Allah Swt. atau menuding langit dengan penuh kemarahan ketika kemalangan menimpanya. Ia juga tidak mudah berubah pendirian; Ketika mendapat anugerah berkata, “Tuhan memuliakanku” dan ketika mendapat musibah berkata, “Tuhan menghinakanku”. Prasangka baiknya (husnuzh zhan) terhadap Allah Swt. selalu mengedepan di setiap keadaan, bahagia atau berduka. Tidak juga berputus harapan, misalnya keluar dari agama dengan alasan bahwa Tuhan telah bertindak tidak bijaksana, menciptakan gay untuk kemudian menghukumnya. Dalam bentuk halusnya, melakukan interpretasi ulang atas ayat-ayat suci agar sesuai dengan kehendaknya, mengaku tahu kehendak Tuhan yang jelas-jelas berlawanan dengan kalam-Nya, atau mengemukakan konsep Hak Asasi Manusia (rancangan yang tidak islami) untuk memberikan kebebasan, toleransi, dan dukungan bagi gay. Naudzubillah min dzalik.
Tuntunan Islam
Islam telah memberikan tuntunan bagi umatnya dalam menghadapi musibah. Berikut ini disarikan beberapa di antaranya:
-
Selalu mengingat Allah, husnuzh zhan, ikhlas, dan tawakal pada kemahakuasaan-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 156, “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Sesungguhnya kami semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami akan kembali.’” Ini diperkuat oleh sabda Rasulullah Saw., “Tidak ada suatu musibah yang menimpa seseorang hamba, kemudian ia mengucapkan istirja’; melainkan Allah menetapkan pahala baginya.” (HR. Hakim dan Tirmidzi). Karena itu bisa ditegaskan bahwa apabila mukmin dalam membicarakan homoseksualitas sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya mengiringinya dengan naudzubillah min dzalik, maka sebagai mukmin yang menyadari homoseksualitas dalam dirinya dalam membicarakannya hendaknya mengucap inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun;
-
Bersabar, mengharap bahwa musibah ini tidak hanya menambah pahalanya namun terlebih utama adalah semakin mencintai dan mendekatkan dirinya dengan Sang Pemberi dan Pelepas Musibah. Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. adalah, “Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah ini, dan gantikanlah bagiku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Malik, Ahmad). Tentu saja, selain butuh pahalanya, juga cinta kepada Yang Memberi Pahala, dong;
-
Karena musibah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki, dan seringkali menjadi gangguan bagi manusia dalam beraktivitas sehari-harinya, maka Allah Swt. membolehkan kita memohon agar musibah ini segera berakhir. Sesungguhnya, Allah Swt. akan senang jika hamba-Nya memohonkan pertolongan kepada-Nya, yaitu hamba yang tidak berlagak nggak butuh dan sok kuat menanggung musibah. Dalam berdoa hendaknya tidak tergesa-gesa memutuskan bahwa sebuah doa tidak dikabulkan. Sesungguhnya jika Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, ia akan menunda keterkabulan doanya karena suka mendengarkan permohonan hamba-Nya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak berguna peringatan bagi orang yang telah ditakdirkan; Tetapi doa berguna untuk sesuatu yang telah diturunkan dan sesuatu yang belum diturunkan. Sesungguhnya malapetaka dan cobaan yang diturunkan kemudian bertemu dengan doa, maka keduanya akan saling mengimbangi hingga hari kiamat kelak.” (HR. Al-Hakim);
-
Homoseksualitas sebagai ketertarikan sendiri mungkin lebih merupakan musibah daripada dosa, namun fantasi, perasaan, kesetujuan, apalagi perilaku nyata mulai dari lirikan mata hingga liwath-naudzuillah min dzalik-sudah termasuk dalam dosa yang amat besar, terbukti dengan dahsyatnya azab yang ditimpakan atas kaum Nabi Luth, as. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt menurunkan dua jaminan keamanan.” Kemudian beliau membaca ayat, “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah pula Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” “Jika aku sudah tiada, maka aku telah meninggalkan istighfar di tengah-tengah mereka hingga hari kiamat.” (HR. Tirmidzi). Untuk itu, hendaklah kita rajin ber-istighfar. Rasulullah Saw. saja dalam sehari bertaubat 70 kali (riwayat yang lain menyebut 100 kali), apalagi muslim awam, apalagi muslim dengan homoseksualitas;
-
Berikhtiar secara aktif mengatasi masalah tersebut. Jika masalah anda adalah homoseksualitas yang notabene sangat tidak islami, ya jangan diatasi dengan cara yang tidak islami, misalnya menyewa watunas atau patunas untuk mencoba-coba berzina. Pernikahan adalah salah satu cara islami, dimana hubungan seksual yang halal bisa menjadi terapi yang berguna bagi kedua belah pihak: Suami/istri bisa mengobati dirinya sendiri, dan pasangannya mendapat pahala karena kesabaran dan cinta kasihnya menterapi suami/istrinya;
-
Saling menolong dan mengingatkan. Meskipun kita belum sepenuhnya bisa lepas dari ketertarikan seksual terhadap sejenis ini, kita masih bisa mengingatkan orang lain agar tetap di jalan-Nya. Bukankah salah satu sebab kehancuran Bani Israil adalah karena mereka tidak saling mengingatkan di antara mereka sendiri untuk tidak melakukan dosa? Bukankah pada saat itu pelanggaran telah merata di seluruh warganya? Mungkin kita akan dicela sebagai munafik oleh para gay, mungkin juga ada yang mengingatkan bahwa menyuruh menghindari apa-apa yang masih melekat di diri kita adalah dosa. Sebenarnya, dosa atas perilaku nyata atau hanya sekedar kilasan perasaan homoerotik tidak menggugurkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Jika kita telah berketetapan hati untuk tidak melakukan keduanya, maka kita bisa tetap saling menasehati sesama agar tetap dalam kesabaran dan keimanan (QS. Al-Ashr 1-3). Jika belum, hendaklah kita malu kepada-Nya;
-
Menunjukkan ketidaksetujuan atas gaya hidup berbasis homoseksual (inkarul munkar), mulai dari yang paling ringan (memelihara ketertarikan homoseksual) hingga yang paling nyata (gaya hidup gay). Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. menceritakan sebuah desa yang diazab oleh Allah Swt. meskipun di dalamnya ada 18.000 orang saleh yang amalannya setara dengan para nabi, hanya karena mereka tidak pernah merasa marah dan prihatin atas perilaku kaumnya yang selalu melanggar larangan Allah Swt. Tentu saja, ini bukan seruan untuk melakukan konfrontasi brutal, melainkan peringatan agar berhati-hati dalam bersikap. Misalnya, dalam menjalin hubungan pertemanan dengan gay hendaknya dibatasi dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar; Juga, hendaknya kita menonjolkan perbedaan dengan kelompok gay, karena jika kita menyimpan persetujuan, menjalin hubungan dekat, dan memiliki kemiripan dengan kelompok gay, maka sesungguhnya kita termasuk dalam kelompok gay.
Sebuah Peringatan
Uraian
di atas saya susun ulang, padahal saya sendiri hingga saat ini
masih belum bisa lepas dari banyak kesalahan. Hendaknya penanaman
harapan akan kasih dan pengampunan-Nya sebagaimana tergelar
di atas tidak menjadikan kita berbangga, bahwa kita sudah pasti
diampuni Allah Swt. Ingat! Banyak mukmin yang gagal dalam ujian
homoseksual ini bukan karena langsung menceburkan diri dalam
"Kehendak Allah" (tentu saja, dengan interpretasinya
sendiri) tanpa melewati "Perintah Allah" (sebagaimana
terukir di kitab-Nya), namun karena terburu-buru merasa aman
dari rekayasa-Nya serta menyombongkan diri atas orang lain yang
tidak (baca: Saat ini belum) sejalan. Ia adalah yang Maha Kuasa,
bila sudah berkehendak bisa mengislamkan musuh-musuh-Nya dan
menyesatkan hamba-hamba-Nya. Karena itulah, hendaknya kita tetap
berharap kepada-Nya dengan yakin dan cemas akan diberi-Nya solusi
terbaik, serta tetap mendoa agar kita semua, gay maupun non-gay,
diberi-Nya kesempatan mencicipi manisnya keimanan. Inna lillaahi
wa inna ilaihi raaji’uun.
(Semperfy)
|