Artikel MQC
Lonceng Kematian Bagi Iklan
Beberapa minggu lalu, dalam sebuah program edutainment
di televisi, dipertontonkan beberapa artis menaiki busway.
Secara detail namun tersamar, diperlihatkan semua hal
seputar busway. Mulai dari harga tiket, keamanan di dalam
halte, cara duduk di dalam, kenyamanan udara dalam bus,
dan sebagainya, dipertunjukkan melalui medium para artis
tersebut. Penonton mungkin menikmati acara tersebut seperti
layaknya sebuah infotainment biasa, namun jika kita kritisi
akan bisa tersibak maksud sebenarnya dari program tersebut,
yakni promosi busway.
Cara terbaik untuk mempublikasikan busway sekaligus meredakan
kontroversial seputarnya, adalah menggunakan saluran yang
disukai banyak orang. Program infotainment –yang lebih
cocok disebut selebtainment—selalu menarik bagi banyak
orang. Rasa kesal masyarakat terhadap kemacetan yang ditimbulkan
oleh busway, akan mereda busway dipertontonkan sebagai
sesuatu yang menarik. “Artis saja mau naik”, kira-kira
begitu pesannya. Bayangkan jika sosialisasi busway menggunakan
iklan konvensional, atau malah iklan “kaku” yang biasa
dimunculkan BUMN, mungkin justru hanya akan mengundang
semakin banyak cercaan.
Kasus busway ini adalah bukti yang mengkonfirmasi trend
marketing kotemporer yang menyatakan bahwa “iklan telah
mati”. Ketimbang sebagai sebuah saluran efektif penyampai
pesan, iklan kini dipandang sebagai sebuah “untrustworthy
communication channel”. Iklan semakin overused dan overcommunicated.
Bukannya memfokuskan diri pada fungsinya untuk mengartikulasikan
sebuah pesan, iklan justru cenderung bermain pada bentuk.
Permainan bentuk ini semakin banyak dan membosankan hingga
akhirnya mencapai titik jenuh. Dalam kajian postmodernisme,
entitas dalam komunikasi seharusnya memiliki penanda dan
petanda, atau bentuk dan isi. Dalam hal ini, iklan telah
menjadi penanda semata. Ia cenderung menjadi permainan
bentuk semata. Bahkan, iklan kini dikategorikan lebih
sebagai seni. Ia mirip lukisan yang kini kehilangan fungsinya
sebagai wakil realitas akibat kehadiran fotografi. Coba
Anda sebutkan iklan yang paling lucu di televisi. Apakah
Anda ingat nama produknya? Jika ingat, apakah Anda termotivasi
untuk membelinya? Kapan terakhir kali Anda mendengar orang
berkata: ”Wah, tadi malam saya nonton iklan yang sangat
bagus, besok saya akan membeli produk tersebut!”.
Perkembangan ini disebabkan antara lain oleh logika iklan
yang ingin menciptakan ”talk value”. Artinya iklan harus
bisa menjadi buzz atau gosip yang menjadi pembicaraan
luas di masyarakat. Semakin dibicarakan, semakin aware
publik terhadap brand yang diiklankan, ujung-ujungnya
semakin besar peluang untuk produk tersebut laku di pasaran.
Tapi bagaimana mengukur efektifitas iklan. Iklan energizer
(dengan boneka kelincinya) sukses mendapat penghargaan
di Amerika Serikat, namun tingkat penjualan brand tersebut
justru menurun drastis. Iklan Nike Freestyle yang meggunakan
banyak pebasket top NBA justru berefek pada jatuhnya market
share Nike dari 47% menjadi 37%. Mungkin ini disebabkan
oleh bertambahnya kompetitor, tapi tetap pertanyaan utama
tidak terjawab: apa alat ukur obyektif bagi iklan. Fakta
berbicara, bahwa advertising agency lebih banyak menghabiskan
uang untuk award dan produksi ketimbang untuk riset pasar.
Iklan yang semakin tidak efektif ini kini digantikan
oleh public relations (atau biasa disebut Humas). Tugas
PR atau Humas adalah melakukan pendekatan emosional dan
rasional ke prospek atau pelanggan. Fungsi publikasi yang
mereka jalankan bertujuan meningkatkan awareness dan memancing
motivasi agar konsumen melakukan aksi membeli. Obyektivitasnya
pun dapat diukur. Misalnya melalui line telephon khusus
pengaduan atau keluhan. Atau dengan cara sedang trend
sekarang ini yakni melalui polling. Dalam menjalankan
fungsinya, PR menggunakan strategi yang soft, artinya
seorang PR tidak akan bertindak mewakili sebuah brand
atau perusahaan, ia justru menyamar sebagai wakil kepentingan
publik. Contohnya ya busway tadi. Program PR busway seakan-akan
memenuhi kebutuhan masyarakat atas tayangan infotainment.
Padahal esensinya adalah promosi busway.
Marketing adalah tentang pertarungan memperebutkan ruang
di kepala dan hati konsumen. Brand bersaing untuk masuk
dan menguasai preferensi pelanggan. Iklan semakin tidak
efektif karena ia bersifat produk sentris atau company
sentris. Konsumen cenderung memandang iklan sebagai sebuah
kebohongan, sebuah janji palsu. Karena itu, sebuah riset
yang diselenggarakan oleh Gallup menunjukkan bahwa praktisi
periklanan berada di posisi runner up terbawah dalam hal
persepsi publik tentang kejujuran. Ia hanya berada satu
tingkat di atas cara salesman. Indonesia mungkin belum
sampai pada kondisi ini, namun di Eropa dan Amerika, iklan
berada dalam stadium kritisnya. Tapi, di manapun lokasinya,
realitas sekarang adalah iklan mengidap problem internal.
Harus ada cara lain untuk masuk ke dalam benak pelanggan.
PR menawarkan solusi untuk itu.
Cristian Rahadiansyah
Markplus&Co
Dimuat di harian Sinar Harapan edisi 26 Januari 2004
download artikel-artikel terbaru di link
download