Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421 | ||
Amunisi Para Pejuang Priok Amunisi para korban Tanjung Priok dalam menuntaskan kasusnya akan diuji. Berbagai halangan siap menghadang. Untuk melawan gempuran dari luar, perlu dilihat jumlah `amunisi' yang disiapkan para korban Priok dalam membongkar kasus ini. Para korban memang tampak sangat serius menuntaskan kasus ini sampai ke pengadilan. Dalam berbagai kesempatan misalnya mereka selalu menegaskan bahwa masalah Tanjung Priok (TP) harus tuntas sampai pada proses pengadilam. “Sampai nggak ada orang yang mau memperjuangkannya lagi sekalipun, saya akan terus maju sendirian,” tandas Mochtar Beni Biki, adik kandung korban tewas Priok, Amir Biki, yang juga Koordinator Keluarga Besar Korban Kasus (KBKK) Priok. Untuk membuktikan tekadnya itu Beni Biki rela meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di sekolah Persatuan Islam (Persis). Ia beralasan, kasus ini bukan hanya menyangkut nama baik keluarganya saja, tapi juga terkait dengan harga diri ummat Islam serta hak asasi manusia. Lantaran itu, hingga saat kini ia terus-menerus mengurus perjalanan kasus ini, baik yang berupa sosialisasi, mencari dukungan, maupun proses advokasinya. Hingga begitu sibuknya, kegiatan Beni sehari-hari hampir selalu berkenaan dengan masalah TP. Tak heran jika dalam berbagai kesempatan ia selalu bersama sejumlah korban lainnya yang ia kordinir di bawah lembaga KBKK Priok. “Habis siapa lagi yang harus turun kalau bukan kita?” ujarnya. Bukan cuma Beni yang banting tulang berjuang. Istri almarhum Amir Biki, Dewi wardah, juga habis-habisan menuntut kasus ini agar bisa sampai ke pengadilan. Bahkan, untuk melancarkan perjuangannya, Dewi sampai harus menjual berbagai barang-barang berharga untuk kebutuhan operasional. “Termasuk mobil saya juga akan saya gadaikan untuk dana perjuangan ini,” ujarnya semangat. Berbeda dengan yang dilakukan Beni yang menempuh jalur-jalur lobi untuk memperkuat advokasi hukum, Dewi lebih banyak melakukan aksi keprihatinan dalam perjuangannya. Bersama sejumlah korban, sejak pertengahan bulan lalu Dewi mendirikan tenda keprihatinan di Komnas HAM, tempat para korban dan calon tersangka diperiksa Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan HAM Tanjung Priok (KP3T). Di sana, Dewi bukan cuma menginap setiap hari, tapi juga mendemo para calon tersangka yang datang bergiliran ke lembaga yang dipimpin Djoko Soegianto itu. Untuk mendukung proses advokasi para korban TP, Dewi menggandeng sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan praktisi hukum serta aktivis HAM. Mereka tergabung dalam dua lembaga yakni Koalisi Pembela Kasus Priok (KPKP). KPKP merupakan koalisidari sejumlah LSM antara lain Komite Anti Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, dan Asosiasi Pembela Islam (API). Ketika para korban TP dimintai keterangan di KP3T Komnas HAM, para pembela dari KPKP yang mendampingi mereka dalam pemeriksaan. KPKP pula yang semula mengangkat isu TP ini ke permukaan. Sementara untuk melaksanakan proses investigasi di lapangan, tim investigator dari Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) sudah bergerak. Selain bergerak menemukan bukti-bukti yang nyaris terkubur selama 16 tahun lamanya, mereka juga mengumpulkan sejumlah bukti baru. Untuk menyusun langkah strategis maka yang banyak berperan adalah ALARM. ALARM merupakan aliansi dari sejumlah LSM yang sebelumnya banyak bergerak dalam berbagai persoalan ummat Islam, antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jaringan Media Profetik (JMP), Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Komite Kemanusiaan untuk Penanggulangan Krisis (Kompak), Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM), Keluarga Besar Korban Kasus Priok (KBKK Priok), dan Komite Solidaritas Umat Islam Indonesia (KSUII). Sekilas gerakan korban itu memang tampak sangat kuat. Tapi, kalau melihat lebih jauh masih banyak kendala internal yang harus diselesaikan, terutama di antara para korban. Salah satu contohnya perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh Dewi Wardah dan Beni Biki. Selama ini Dewi menganggap Beni berjalan sendiri dalam menangani kasus Priok karena ketika membentuk KPKP, sebagai keluarga korban ia tidak diberi tahu dan tidak diikutsertakan. Apalagi sebelumnya, Beni juga mendirikan wadah KBKK Priok. Padahal sudah ada wadah para korban yang selama ini sudah berjalan yakni Yayasan 12 September 1984 yang dipimpin Dewi sendiri. Tapi menurut Beni perbedaan itu masih dalam taraf yang wajar. Yang penting, menurutnya, tujuan mereka masih sama, yakni mengungkap kasus TP. Mungkin hanya pendekatannya saja yang berbeda. “Ah biasa itu kalau ada perbedaan, namanya juga manusia,” kilahnya. Menurut Beni, di antara para korban sudah ada kesepakatan tentang pembagian tugas. “Yayasan 12 September bergerak di bidang sosial, sedangkan KBKK Priok bergerak di bidang politik. Jadi tidak ada masalah,” ujarnya. Meskipun ada perbedaan pendekatan dalam menyelesaikan kasus Priok, toh para korban sendiri masih solid. Syafwan Sulaeman, korban yang pernah dipenjara dua setengah tahun ini misalnya, selain menjadi pimpinan harian di yayasan yang didirikan Dewi, juga ikut aktif bersama beni di KBKK Priok. Sikap akomodatif itu diambil Syafwan karena ia menganggap perbedaan itu hanya masalah pribadi saja. “Itu sebetulnya cuma masalah pribadi saja,” ujar tukang ojek ini. Edi Nurhadi, korban tertembak yang kehilangan sebelah kakinya juga kadang-kadang terlihat ada bersama Beni dan di lain kesempatan ikut bersama Dewi. Menurut Budi, salah seorang korban lainnya, sikap seperti itu diambil lantaran mereka tidak banyak mengerti persoalan para pimpinannya. “Pokoknya kita ikut saja kalau diajak,” ujarnya. Tapi menurut salah satu korban lain yang tidak mau disebutkan namanya, sikap yang tidak memihak para korban tersebut lantaran dalam setiap kali ajakan, baik dari Beni maupun Dewi, selalu ada honor yang diberikan. Jadi tidak peduli siapapun yang mengajak, asal ajakan itu ada kompensasi materinya, mereka akan ikut. Sayang, korban ini tidak mau menjelaskan lebih jauh berapa besar uang yang kerap kali mereka terima. Selain terhadap Beni, Dewi juga melayangkan kritik kepada dua korban Priok yang sekarang sudah menjadi wakil rakyat yaitu Abdul Qadir Djaelani dan Syarifin Maloko. Menurut Dewi, kedua tokoh tersebut sekarang tidak lagi mau peduli terhadap kasus Priok. “Saya sekarang mempertanyakan mengapa mereka tidak bersuara lagi. Padahal dulu mereka adalah singa mimbar,” papar Dewi. Menanggapi masalah tersebut, Sekjen Dewan Dakwah, Hussein Umar yang sangat menaruh perhatian terhadap kasus Priok, menyatakan apapun yang dilakukan para korban dan keluarganya hendaknya bisa menuntaskan kasus Priok yang selama ini masih misteri. “Kasus Priok adalah amanah dan hutang yang harus dibayar hingga tuntas. Kalau sampai gagal, kasus itu akan menjadi preseden buruk di masa datang”. Hussein Umar berharap agar jangan sampai kasus itu terhenti di tengah jalan lantaran ada perbedaan pendapat. “Jangan gara-gara masalah iming-iming dan lain-lain, kasus Tanjung Priok jadi diaborsi,” tegas mantan anggota DPR itu. Hussein melihat terjadinya konflik tersebut dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi para korban yang sebagian besarnya serba kekurangan. Dari kekurangan yang disebabkan oleh stempel negatif Orde Baru terhadap mereka itu lahir simpati dari berbagai pihak berupa santunan-santunan. Hal itulah yang kemudian memancing munculnya kepentingan-kepentingan. Karena itu mubalig kondang itu juga mengecam kalau ada orang-orang yang memiliki tujuan memanfaatkan kasus TP untuk kepentingan sendiri. “Tidak sepatutnya orang-orang yang mengaku aktivis Islam itu menyelewengakan Priok dengan alasan kekurangan ekonomi. Bagaimanapun proses hukum harus terus dilakukan,” ujarnya dengan nada kesal. Jika pada korban TP persoalannya berkisar pada masalah soliditas internal serta mentalitas gampang terbujuk iming-iming materi, pada kedua lembaga yang membantu para korban persoalan lebih banyak terkait dengan masalah perangkat kerja yang belum memadai, terutama dana dan SDM. Kendala-kendala di atas tentu saja akan mempengaruhi keberhasilan pengungkapan kasus TP. Apalagi kasus itu juga terancam berhenti di tengah jalan lantaran beberapa sebab. Pertama, main-mainnya KPP HAM Priok. Menurut laporan sebuah tabloid nasional, KP3T diketahui berupaya membujuk para korban TP yang diperiksa untuk menerima tawaran damai. Ancaman lainnya, menurut sejumlah tokoh Islam adalah political will dari pemerintahan Gus Dur yang tidak jelas. Entah apakah lantaran kasus itu menyangkut sohib kental Gus Dur sendiri yakni LB Moerdani, yang jelas tidak ada perhatian yang khusus dari preseden RI ke-4 itu terhadap TP sebagaimana ia bersungguh-sungguh terhadap kasus Timtim. “Saya meragukan apakah Gus Dur juga menunjukkan dukungannya,” ujar Hartono Mardjono, salah seorang anggota DPR. Pihak DPR, khususnya Komisi II, tampaknya juga belum terlihat betul menunjukkan kegalakkannya untuk memperjuangkan kasus tersebut. Tapi, menurut Hartono Mardjono, hal itu disebabkan karena para korban sendiri terlihat kurang serius mengumpulkan fakta dan bukti-bukti yang terkait dengan kasus itu. “Bagaimana kita mau melangkah lebih maju kalau para korban sendiri kelihatannya kurang serius?” sesal anggota Komisi II itu. Tapi di luar faktor-faktor eksternal itu sebetulnya ada persoalan lain yang justru lebih vital pengaruhnya terhadap masa depan penuntasan tragedi kemanusiaan itu. Yakni yang terkait dengan kekuatan internal dari pihak korban TP sendiri. Faktor ini, menurut Hartono, boleh dibilang menjadi sangat penting, sebagaimana pentingnya faktor kesungguhan pemerintahan Gus Dur dan KP3T. “Para korban inilah yang menjadi kunci penyelesaian kasus ini,” tegas Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu. Tapi bukan berarti ummat Islam harus kehilangan harapannya sama sekali karena mereka toh masih bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi kasus TP. Seperti diungkapkan oleh Hussein Umar, ada satu faktor lagi yang menentukan keberhasilan penuntasan kasus ini, yaitu pihak ummat Islam sendiri secara keseluruhan. “Priok ini bukan cuma milik dan tanggung jawab para korban, tapi juga kita semua,” ungkapnya optimis. Jadi, karena saat ini kondisi kekuatan para pejuang kasus TP sedang agak meredup lantaran friksi yang terjadi, ummat Islam harus segera memainkan perannya melakukan berbagai upaya yang bisa menekan semua pihak untuk menuntaskan kasus ini. “Sekarang ini kita butuh dukungan dari ummat Islam supaya mereka mengangkat kasus ini terus-menerus, kalau perlu lewat aksi besar-besaran,” pinta Yusron, salah seorang korban. Jika tidak, jangan salahkan siapa-siapa seandainya kasus ini nanti betul-betul menjadi pupus. Simak juga:
|