Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421  

Jurus Militer Gagalkan Priok

Kelompok militer agaknya tidak rela bila kasus Tanjung Priok dibawa hingga pengadilan, karena itu usaha untuk menghambat gencar dilakukan. Mulai iming-iming uang hingga penyadapan telepon. Sebuah teror baru?

Di negeri ini sudah lama uang tidak sekadar menjadi alat tukar jual beli di pasar, tetapi juga sebagai pembungkam berbagai persoalan hukum. Semakin besar kasusnya semakin besar pula uangnya. Karenanya banyak kasus hukum yang akhirnya kandas di tengah jalan. Apalagi bila kasus tersebut melibatkan tokoh atau institusi terkenal.

Kondisi inilah yang mengancam para korban kasus Tanjung Priok (TP) yang sedang berupaya menyeret pelaku kasus TP itu ke pengadilan. Tawarannya pun sangat menggiurkan, “Nilainya tidak lagi ratusan juta, tapi sudah miliaran rupiah,” kata Mochtar Beni Biki, Koordinator Keluarga Besar Korban Kasus (KBKK) Tanjung Priok. Maksudnya miliaran rupiah. Beni menyebut angka yang ditawarkan hingga mencapai 20 miliar.

Bagi sebagian besar keluarga korban kasus TP yang sehari-hari hidupnya pas-pasan, tawaran itu bukan lagi tergolong menggiurkan, namun seperti mimpi saja. “Bahkan bisa membuat mereka shock,” tambah Beni Biki.

Sehari-harinya, kondisi ekonomi mereka sangat memprihatinkan. Ada yang berdagang di emperan sebuah pasar swalayan seperti Edi Nurhadi. Menjadi pedagang pisang di pasar rakyat, Maksudi. Menjadi tukang ojek seperti Sofwan Sulaeman. Bahkan ada yang menjadi kuli pelabuhan di Tanjung Priok sebagaimana yang dilakoni oleh Asep Syarifuddin.

Siapa yang rela kehilangan uang sebanyak itu? Sangat mudah ditebak, “Mereka adalah pihak yang paling dirugikan bila kasus TP jadi dibawa ke pengadilan dan yang pasti mereka punya `mesin' uang,” kata Beni Biki. Meski Beni tidak menyebut nama orang atau institusi, tapi orang pasti akan mafhum bahwa yang dimaksud adalah para mantan penjabat militer.

Hingga pekan ini satu persatu mantan pejabat militer ketika kasus TP sudah dipanggil untuk dimintai keterangannya oleh Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Tanjung Priok (KP3T) Komnas HAM. Beberapa diantaranya R Butar Butar, Pranowo, Alip Pandoyo, Edi Nalapraya, Hermanu, dan sejumlah anggota pasukan yang bertugas ketika itu. Menyusul kemudian Leonardus Benedicus Moerdani dan Try Sutrisno yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Meskipun sebagian dari mereka sudah tidak aktif berdinas di militer lantaran pensiun, tapi kesatuan korps di antara mereka masih sangat kuat sehingga tidak rela mantan anggota korpsnya harus dibawa ke pengadilan. Karena itu kalangan militer berusaha mengamankan para seniornya bila kasus TP benar-benar dibawa ke pengadilan.

Indikasi itu bisa dilihat dari masih perlunya lampu hijau segala dari Panglima TNI Laksamana Widodo AS untuk pemanggilan para mantan petinggi militer itu. Memang Widodo menyambut baik upaya Komnas HAM itu. Namun di balik muka manis itu ternyata ada beberapa kalangan militer yang berkeinginan lain. Mereka berharap kasus TP tidak berlanjut ke pengadilan, tapi cukup diselesaikan di bawah tangan alias jalan damai. Salah satu bentuknya adalah pemberian ganti rugi, kompensasi, uang belas kasihan, atau apapun namanya, pokoknya tidak perlu ke pengadilan. Kebetulan kondisi ekonomi para korban sangat memprihatinkan. “Kalau para korban bisa diajak damai, mereka kan tidak perlu repot-repot ke pengadilan,” kata Beni Biki.

Pasukan sudah bergerak. Beberapa orang yang mengaku sebagai aparat Kodam Jaya gencar mengunjungi korban. Salah satu yang didatangi adalah Sofwan Sulaeman yang selama ini cukup aktif dalam pengungkapan kasus TP ini “Saya tahu persis bahwa mereka memang aparat dari Kodam Jaya karena saya sudah mengenal sebelumnya,” kata Sofwan.

Kepada Sofwan keduanya beralasan ingin mendengar secara langsung kronologi kejadian yang Sofwan saksikan pada saat tragedi itu berlangsung. Bukannya dilayani, keduanya diminta oleh Sofwan bertanya kepada KP3T Komnas HAM saja. “Sebab saya sudah sampaikan semua di sana,” kata Sofwan mengulang. Sebelum pergi tidak lupa mereka mengundang para korban untuk bertemu di kantor Kodim serta diselipkan juga kemungkinan adanya upaya damai tadi.

Sesudah pertemuan itu sempat berlangsung pula pertemuan lain antara para korban dengan orang-orang militer di kantor Kodim Jakarta Utara. Meski tidak menyinggung secara langsung soal kompensasi uang, hanya sekadar `silaturahim' biasa, tak urung keinginan untuk penyelesaian damai kembali dilontarkan. “Tapi banyak yang bingung untuk menjawabnya,” kata Sofwan.

Terhadap gerilya kalangan militer ini, yang mencak-mencak justru Beni Biki, Koordinator KBKK. Betapa tidak, selama ini dirinya merasa selalu memberikan semangat agar para korban kasus TP tetap pada tuntutan hukumnya, meski keadaan para korban sangat memprihatinkan dan berhadapan dengan militer. “Tapi orang-orang militer merusak dengan teror dam iming-iming uang,” kata Beni.

Beni tidak hanya protes, tapi juga melabrak ke markas Kodim. “Saya minta supaya cara-cara seperti ini dihentikan,” katanya setengah marah. Namun menghadapi labrakan Beni, Komandan Kodim tersebut malah menjawab enteng, ”Mereka datang ke tempat kami dengan maksud hendak silaturahim, masak kami menolak,” jawabnya.

Meski Beni sudah berteriak-teriak protes, tapi tidak berarti gerilya mereka berhenti. Apalagi para korban TP sendiri nampak tidak satu suara dalam dalam menyikapi `niat baik' pihak militer. “Saya tidak menjamin para korban bisa satu garis, sebab daya jangkau kami juga terbatas,” tambah Beni.

Sebenarnya upaya damai para korban tidak hanya dilakukan kali ini saja. Sebelumnya Try Sutrisno pernah melakukan pendekatan melalui salah seorang korban kasus TP, yakni Yayan Hendrayana. Hasil dari pertemuan Try Sutrisno dengan para korban menjelang Pemilu 1999 itu muncul pernyataan bahwa para korban TP tidak lagi menuntut. Belakangan muncul pernyataan susulan, bahwa Try Sutrisno tidak terlibat.

Sebagai jasa baik pernyataannya itu Yayan mendapat sebuah rumah nan bagus di Bogor serta sejumlah uang bulanan untuk keperluan rumah tangganya. Bahkan Yayan sempat masuk dalam daftar Calon Legislatif DPR dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang diprakarsai oleh kalangan militer, di mana Try Sutrisno duduk sebagai salah seorang pengurusnya.

Selain itu, salah seorang tangan kanan Try yang sering diberi tugas mendekati para korban adalah Sofyan Ali, pengusaha entertainment yang dikenal dekat dengan kalangan militer. Beberapa orang yang sempat didatangi ketika itu antara lain Yayan Hendrayana, Syarifuddin Rambe, dan sejumlah korban lain. Mereka diundang ke rumah Try untuk silaturahim. “Sempat terkumpul sebanyak 30 korban ketika itu,” kata Ahmad Sahi yang turut diundang ke rumah Try Sutrisno ketika itu.

Lepas dari rumah Try ternyata masing-masing mereka mendapat `angpao'. Jumlahnya pun lumayan, yakni sebanyak 15 juta untuk semuanya. Artinya, masing-masing dapat bagian sekitar 500 ribu rupiah. Bagi para korban, jumlah itu lumayan banyak. Sejak itu hubungan antara para korban dengan Try mulai bertaut, terutama melalui Yayan Hendrayana. Sebagian dari mereka lantas melupakan keterlibatan Try dalam kasus TP.

Pada kesempatan lain, semasa Djaja Suparman menjadi Pangdam Jaya, para korban juga diundang `silaturahim' dengan jajaran Kodam Jaya. Pada kesempatan itu lagi-lagi upaya damai disodorkan dan mereka pun dapat uang saku hasil silaturahim. Menurut Budi Santoso, salah seorang korban, yang hadir pada acara itu tidak kurang dari 120 orang. Merekapun dapat uang saku masing-masing sebanyak 400 ribu rupiah.

Bagi kalangan militer, menyediakan dana sebanyak itu tidak ada masalah. “Sebab lahan bisnis militer banyak sehingga mesin uangnya jalan terus,” kata pengamat militer Indria Samego. Meski era reformasi dan Dwi Fungsi ABRI sudah dihapus, bisnis militer jalan terus.

Bisnis tentara yang dikontrol Yayasan Kartika Eka Paksi saja misalnya tidak kurang dari 26 perusahaan. Beberapa diantaranya adalah PT Asuransi Cigna Indonesia, PT Cilegon Fabricators, PT Internasional Timber Corporation Indonesia (ICTI), PT Padang Indah Padang Golf, PT Truban Jurong Engineering, dan banyak lagi.

Sementara yang berada di bawah Induk Koperasi Primer Angkatan Darat (Inkopad) antara lain Hotel Kartika Plaza, Hotel Orchid Palace, Kartika Buana Niaga, dan lain-lain. Ini belum termasuk perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kontrol Kodam dan Kodim. Pendeknya tidak ada kesulitan bagi tentara dalam menyediakan dana.

Kepala Penerangan Kodam Jaya (Kapendam) Letkol JJ Nachrowi mengakui adanya upaya pendekatan yang dilakukan anak buahnya terhadap para korban TP. “Tetapi bukan teror seperti yang dituduhkan Pak Beni Biki. Kami hanya ingin silaturahim dengan para korban,” jelasnya.

Apapun alasannya, keterlibatan kalangan militer dalam persoalan hukum dan penyelesaian kasus TP, menurut Indria Samego, merupakan langkah mundur. Mestinya aparat militer lebih memfokuskan diri pada pembenahan citra TNI yang masih terpuruk, “Jangan melibatkan diri pada persoalan yang bukan porsinya.” Bagi Indria, persoalan TP merupakan wewenang Komnas HAM dan Jaksa Agung.

Pertanyaannya, kalau upaya damai tadi berhasil mendapat kesepakatan dari sebagian korban, apakah tuntutan hukumnya lantas gugur?

Menurut Ketua Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Heru Susetyo, meskipun ada upaya damai tuntutan hukum kasus TP akan jalan terus, sebab kasus ini bukan merupakan delik aduan. Sehingga diminta atau tidak, aparat penegak hukum harus tetap menyelidiki kasus ini.

Pendapat Heru ini juga dibenarkan oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra. Selama kasus TP yang merupakan pelanggaran HAM ini pelakunya masih ada, sangat bisa dituntut ke pengadilan. Menurut Yusril, untuk membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan hanya diperlukan tiga unsur, yakni korban, barang bukti, dan pelaku. Lebih kuat lagi kalau ada yang menuntut. Nah, tinggal menunggu kekompakan korban Priok.

 

Simak juga:
  • Jurus Militer Gagalkan Priok
  • Kesaksian Para Tentara
  • Amunisi Para Pejuang Priok